Bab 1: Dalam Keputusan yang Tak Terduga
Di tengah krisis ekonomi yang semakin mencekik, Indonesia terhuyung-huyung mencoba menyelamatkan APBN yang hampir remuk. Menteri Keuangan berkali-kali mengumumkan pembatasan anggaran dan peningkatan pajak, tapi efeknya tak cukup menyelamatkan pundi-pundi negara. Di sisi lain, Palestina kini berperang bukan hanya dengan Israel, tetapi dengan NATO yang mendukung penuh pasukan Zionis. Dalam keadaan seperti ini, Indonesia memutuskan sebuah kebijakan kontroversial—sebuah jawaban radikal atas masalah perjudian online yang merajalela.
Dengan ancaman defisit mencapai 50%, kabinet presiden yang baru saja terpilih dalam pemilu penuh intrik mengambil langkah drastis. Keputusan yang mencengangkan ini disahkan lewat sidang paripurna khusus yang hanya dihadiri oleh segelintir anggota DPR yang masih dipercaya publik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemerintah memutuskan mengirim para pelaku judi online ke medan perang sebagai pasukan sukarelawan untuk membantu Palestina. Bukan hanya pengguna, namun juga bandar, perantara, bahkan pejabat yang terlilit skandal judi kini menghadapi satu hukuman yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
“Ini tidak benar, Pak!” suara seseorang bergetar dalam ruangan sidang kabinet yang senyap.
“Saya tidak peduli lagi benar atau salah, kita sudah kehabisan pilihan,” balas presiden dengan tatapan tajam pada Kepala Badan Intelijen yang semula menentang keputusan ini.
“Tapi… Pak Presiden, ini adalah tindakan yang belum pernah dilakukan negara mana pun,” Menteri Pertahanan menggeleng tak percaya.
“Tepat. Dan itulah mengapa kita melakukannya,” jawab presiden singkat, sebelum lanjut berbicara dengan nada lebih tenang. “Lihat statistiknya. Delapan puluh lima persen! Hampir seluruh rakyat kecanduan judi, bahkan dana negara yang terkuras tak sedikit disedot ke luar negeri oleh para bandar itu. Mereka menghancurkan ekonomi kita. Dan sekarang, kita akan kirim mereka untuk berjuang di tempat di mana mereka benar-benar harus memilih hidup atau mati—ini satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk menebus dosa.”
Pada malam hari setelah keputusan itu ditandatangani, Badan Siber Negara bekerja tanpa henti untuk mengidentifikasi para pemain judi dengan algoritma blockchain yang baru saja dirilis. Orang-orang panik, tak sedikit dari mereka yang ketakutan. Tetapi mereka yang tertangkap tak akan lagi diadili di pengadilan negeri atau dijebloskan ke penjara. Satu demi satu, mereka dijemput, dimasukkan ke dalam truk militer, dan dilarang membawa apapun selain pakaian di badan mereka. Tanpa kompensasi, tanpa janji apa pun.
“Tapi… kami bisa bayar denda, Pak! Ini pasti bisa dibicarakan, kan?” teriak salah satu pelaku, seorang pemuda yang baru berumur dua puluh lima tahun, ketika dirinya digiring masuk ke dalam truk dengan tangan terborgol.
“Tidak ada negosiasi lagi,” jawab petugas TNI dingin, sembari menyentak tangannya agar bergerak lebih cepat.
“Lawan, apa yang kau harapkan mereka lakukan padamu?” seorang pelaku lainnya berkata sinis, terlihat lebih tua dengan janggut tak terurus. “Mereka sudah menganggap kita tak punya nilai apa-apa di sini. Kita dikirim ke Palestina untuk mati demi negara yang hancur ini.”
Tanpa pelatihan, tanpa perlengkapan perang yang layak, ratusan dari mereka akhirnya dikirim ke Palestina. Mereka tiba di tanah yang dipenuhi puing-puing, bertemu langsung dengan para pejuang Palestina yang tak lagi melihat kehadiran mereka sebagai sebuah bantuan, melainkan sebagai sebuah ironi. Namun, seiring waktu, mereka yang awalnya tak terlatih dan tertekan mulai mengenal betapa nyatanya perang itu. Mereka menyaksikan pertempuran yang nyata, berhadapan langsung dengan musuh yang jauh lebih berpengalaman. Tetapi di sisi lain, pengalaman mengerikan ini justru menggugah sesuatu dalam diri mereka, sebuah keberanian yang tersembunyi.
“Kenapa kau melakukannya?” tanya seorang sukarelawan lokal Palestina ketika mereka bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, menghadapi suara tembakan yang semakin dekat.
“Awalnya… karena aku dipaksa. Tapi… sekarang aku tahu ini juga untuk kelangsungan hidup keluargaku di sana,” jawab salah satu pemain judi online yang kini menjadi pasukan berani mati.
Dari sini, cerita bergulir dengan semakin banyak pelaku yang menemukan makna baru dalam perjuangan mereka di Palestina, memahami kematian, dan rasa bertanggung jawab yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Di Indonesia, dampak ekonomi dari hukuman ini mulai terasa. APBN perlahan pulih, perekonomian menguat, bahkan harga properti dan nilai tukar rupiah melonjak drastis di tengah penindakan ketat yang terus berlanjut di bawah radar blockchain negara.
Bab demi bab berikutnya menggambarkan dilema psikologis, perjuangan fisik, dan dinamika politik antara Palestina, Indonesia, dan negara-negara besar yang mulai mengendus langkah radikal ini sebagai ancaman atau kesempatan baru.
Bab 2: Pintu Gerbang Perang
Perjalanan menuju Palestina bukanlah sekadar sebuah penerbangan panjang. Bagi para mantan pelaku judi online yang sekarang disebut "sukarelawan", perjalanan ini adalah pergeseran antara hidup yang penuh kemudahan dan kenyamanan ke dalam dunia yang berlumuran darah dan kematian. Saat mereka tiba di kamp pelatihan di perbatasan Palestina, terik matahari Timur Tengah yang menyengat menyambut mereka. Udara dipenuhi bau mesiu dan tanah, jauh dari kehidupan bebas yang dulu mereka kenal.
Di sepanjang jalan menuju kamp, wajah-wajah asing memperhatikan mereka, sebagian dengan tatapan curiga, sebagian lagi dengan keheranan dan ketidakpercayaan. Mereka sadar, para warga lokal pun tidak tahu apakah pasukan dari Indonesia ini datang sebagai penyelamat atau sebagai pengganggu.
“Kalian datang dari mana?” tanya seorang pria tua Palestina dalam bahasa Inggris yang patah-patah, wajahnya menunjukkan kelelahan hidup bertahun-tahun dalam zona perang.
Salah seorang pria Indonesia yang baru saja tertangkap karena berjudi, bernama Roni, hanya bisa menatap pria tua itu dengan bingung. Bahasa Inggrisnya pun tak jauh lebih baik.
“Indonesia,” jawab Roni singkat, sebelum menunjuk beberapa rekannya yang sama-sama terdiam. “Kami… diperintahkan datang ke sini. Untuk membantu kalian.”
Pria tua itu mengangguk perlahan, wajahnya kaku. “Bantuan datang dan pergi. Tapi mati tetap di sini,” katanya lirih sebelum melangkah menjauh, meninggalkan Roni dan kelompoknya dalam keheningan yang mencekam.
Setibanya di kamp, para sukarelawan Indonesia langsung dihadapkan pada kenyataan brutal: pelatihan intensif tanpa ampun, tanpa henti, yang dikepalai oleh tentara Palestina dan segelintir pejuang asing yang sudah berpengalaman di medan perang. Mereka tak punya waktu untuk merenung atau menyesali pilihan hidup yang membawa mereka ke tempat ini. Satu-satunya tujuan mereka sekarang hanyalah bertahan hidup, sesederhana itu.
“Kalian pikir ini semacam hukuman saja? Lupakan itu,” suara serak seorang instruktur Palestina membahana di tengah lapangan pelatihan. "Ini bukan soal hukuman atau pengampunan. Ini tentang hidup dan mati. Jika kalian tak mau mati besok, belajarlah hari ini.”
Beberapa pria dalam kelompok itu saling pandang, jelas ketakutan.
“Pak, kami tidak pernah mengangkat senjata seumur hidup kami,” ujar Toni, seorang mantan bandar judi yang sekarang dipaksa memakai seragam militer. “Kami... hanya ingin hidup tenang. Kami dipaksa ke sini.”
“Selamat datang di dunia nyata,” jawab instruktur dengan suara dingin. “Di sini, hanya ada satu cara keluar: lewat peti mati atau lewat kemenangan. Jadi, jika kalian tak ingin mati besok, lebih baik dengarkan aku baik-baik.”
Malamnya, kelelahan mulai terasa di tubuh para sukarelawan. Beberapa dari mereka berbaring di atas tanah keras dengan tubuh lelah, memandang langit yang gelap. Rasa rindu akan kehidupan lama, yang serba bebas dan penuh kenikmatan duniawi, mulai menggoda. Namun, apa gunanya semua itu kini? Jalan untuk kembali sudah tertutup rapat.
“Apa menurutmu kita akan bertahan di sini?” tanya Agus, salah seorang pemain judi online yang terkenal dengan keberuntungannya, sembari memandang langit penuh bintang.
Roni menghela napas panjang. “Entahlah, Gus. Sejujurnya, aku bahkan tidak yakin kita akan selamat dalam seminggu pertama. Tapi…,” ia terdiam sejenak, menelan ludah sebelum melanjutkan, “sekarang aku mengerti. Hidup ini bukan sekadar soal keberuntungan. Kita di sini karena pilihan kita sendiri.”
“Pilihan?” Agus menyeringai pahit. “Maksudmu, karena kita bodoh memilih jalan judi itu?”
Roni mengangguk, mencoba menahan rasa bersalah yang terpendam dalam dadanya. “Mungkin kita memang pantas dihukum. Tapi di sini, setidaknya kita bisa mati untuk sesuatu yang lebih besar dari kita. Bukan sekadar mengejar uang kotor.”
Perlahan, semangat bertarung mulai muncul dalam diri mereka, seolah ada dorongan baru yang menggantikan ketakutan akan kematian. Para sukarelawan dari Indonesia ini—yang tadinya hanya berjudi dengan hidup mereka sendiri—kini dihadapkan pada pilihan sederhana namun penuh arti: mati tanpa makna atau berjuang dengan kehormatan.
“Besok, kita akan dihadapkan dengan kelompok Zionis di front depan,” kata komandan mereka, seorang pejuang veteran yang sudah kehilangan banyak sahabat di medan perang. “Kalian sudah belajar dasar-dasarnya. Ini bukan soal siapa yang paling ahli, tapi siapa yang paling siap bertahan. Ingat ini: kalian bukan hanya bertempur untuk Palestina. Kalian juga bertempur untuk bangsa kalian sendiri.”
Di kejauhan, gema suara ledakan dan tembakan menggema di malam sunyi. Tanah Palestina telah menjadi saksi banyak darah yang tumpah, dan kini, darah dari negeri seberang pun turut akan membasahinya. Para sukarelawan itu perlahan sadar, apa yang mereka lakukan di sini lebih dari sekadar hukuman; ini adalah perjuangan mereka untuk sebuah makna, sebuah penebusan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Dengan bab ini, konflik internal dan eksternal mulai terlihat jelas. Setiap karakter perlahan menemukan jati diri baru dalam keadaan yang penuh tekanan dan ancaman nyata. Bab berikutnya akan mulai membawa mereka dalam pertempuran-pertempuran langsung, dan menyaksikan bagaimana pengalaman ini mengubah mereka dari pelaku yang lemah menjadi pejuang yang tangguh.
Bab 3: Matahari Baru di Nusantara
Di Indonesia, dampak dari keputusan mengirim para pelaku judi online sebagai sukarelawan perang mulai terasa. Dalam kurun waktu satu tahun sejak program ini dilaksanakan, jumlah populasi perlahan mengalami penurunan—bukan secara drastis, namun cukup signifikan untuk mengubah beberapa aspek kehidupan masyarakat. Fenomena ini mengubah wajah bangsa dalam cara yang tak terduga. Ratusan hingga ribuan dari mereka yang dulunya hidup di tepi kemakmuran semu, ketergantungan judi, dan kebiasaan hidup instan, kini telah gugur di medan perang Palestina.
Banyak orang Indonesia yang awalnya mengecam kebijakan tersebut, namun mulai menyadari adanya keuntungan sosial yang tak pernah mereka bayangkan. Lapangan kerja perlahan terbuka, kompetisi untuk memperoleh posisi pekerjaan juga menjadi lebih kondusif dan merata. Bonus demografi yang selama ini menjadi momok akhirnya terkendali. Sekarang, SDM yang tersisa di dalam negeri adalah mereka yang memang memiliki kualitas tinggi dan berorientasi pada pengembangan diri.
“Aku masih tidak percaya pemerintah seberani itu, mengirim para penjudi ke medan perang,” ujar Ridho, seorang dosen sosiologi di sebuah universitas negeri, kepada koleganya di kantin kampus.
“Yah, jika dipikir-pikir, itu satu-satunya cara yang realistis, bukan?” balas Maria, seorang peneliti sosial yang baru saja kembali dari riset lapangan. “Sistem penjara kita sudah penuh, dan ketergantungan pada judi online benar-benar menjadi racun dalam masyarakat. Jika tidak dikendalikan, generasi muda kita bisa hancur lebih dalam lagi.”
Ridho mengangguk setuju. “Tapi sekarang lihatlah hasilnya. Persaingan kerja menurun, lapangan kerja terbuka lebar, dan masyarakat mulai lebih menghargai pekerjaan produktif daripada mengejar uang cepat.”
Maria tersenyum kecil. “Yang tersisa sekarang adalah mereka yang mau bekerja keras, mengasah keterampilan, dan berkontribusi pada masyarakat. Tanpa kita sadari, pemerintah sudah melakukan seleksi alam tersendiri.”
Di tahun-tahun sebelumnya, Indonesia telah menghadapi tantangan besar akibat ledakan jumlah penduduk yang mayoritas merupakan tenaga kerja tanpa keahlian. Mereka yang dulu berbondong-bondong mencari pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif sekarang perlahan menghilang. Jumlah populasi Indonesia menjadi lebih terkendali. Mereka yang dulu memiliki kebiasaan buruk dan hidup dalam bayang-bayang ketergantungan pada judi online—yang dulunya mencapai hampir 85% dari penduduk—perlahan terhapus dari statistik. Apa yang dulu terlihat seperti hukuman, kini mulai dilihat sebagai solusi sosial.
“Apa kamu tahu, aku baru dapat promosi di perusahaan,” ujar Dedi, seorang pekerja muda yang tadinya sempat ragu dengan masa depannya di dunia kerja. “Setahun yang lalu, aku bahkan tak bisa membayangkan ini terjadi. Persaingan kerja begitu ketat, dan banyak dari mereka yang hanya memanfaatkan koneksi daripada kemampuan.”
“Selamat, Ded! Tapi memang, sekarang kesempatan itu semakin adil. Mereka yang mau bekerja keras dan memiliki keterampilan, akhirnya mulai diperhatikan,” balas Arif, sahabatnya yang kini bekerja di sektor teknologi. “Kalau bukan karena kebijakan pemerintah waktu itu, mungkin kita masih sibuk bersaing dengan mereka yang hanya mengejar uang instan.”
Dedi mengangguk, matanya berbinar penuh harapan. “Ya, dan lebih dari itu, lingkungan kerja kita sekarang juga jauh lebih sehat. Toxic people sudah banyak yang tersaring. Perusahaan juga jadi lebih selektif mencari mereka yang punya integritas.”
Bonus demografi yang tadinya menjadi pisau bermata dua bagi Indonesia, kini berada di titik yang lebih stabil. Para pakar ekonomi dan sosiologi menyebutkan bahwa ini adalah salah satu masa emas dalam sejarah sosial-ekonomi Indonesia. Hilangnya generasi yang terjebak dalam perjudian online memberikan kesempatan bagi generasi muda lainnya yang berorientasi pada kemajuan. Jumlah pelaku judi yang gugur di medan perang telah mengurangi beban pada pemerintah, dan pada akhirnya, membuka peluang bagi pengembangan sumber daya manusia berkualitas di dalam negeri.
“Jadi, ini adalah dampak dari apa yang disebut oleh beberapa orang sebagai ‘bersih-bersih generasi’?” tanya seorang mahasiswa dalam kelas Ridho.
Ridho tersenyum samar, meluruskan kacamata di wajahnya. “Bisa dikatakan demikian, meskipun mungkin ini adalah dampak yang tidak langsung. Kehilangan sejumlah besar populasi dari lapisan masyarakat yang terjebak dalam lingkaran negatif membawa perubahan signifikan.”
“Tapi, Pak,” seorang mahasiswa lain menyela, “Apakah ini tidak kejam? Bukankah mereka juga manusia yang punya hak hidup?”
Ridho mengangguk perlahan, merespons dengan bijak. “Betul, mereka juga manusia. Namun, kebijakan radikal seperti ini kadang diperlukan ketika negara menghadapi krisis besar. Dan yang pasti, ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua: bagaimana kita hidup, pilihan yang kita buat, semua memiliki konsekuensi. Tidak ada yang lepas dari tanggung jawab atas pilihan hidup.”
Kini, Indonesia menikmati efek samping dari kebijakan keras tersebut. Peluang kerja meningkat, kesejahteraan meningkat, dan masyarakat mulai merasakan stabilitas sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada lagi generasi yang sibuk mengejar uang instan. Sebaliknya, masyarakat mulai belajar untuk menghargai kerja keras, keterampilan, dan integritas dalam pekerjaan mereka.
“Aku hanya berharap perubahan ini bertahan lama,” ujar Maria kepada Ridho ketika mereka berjalan pulang dari kampus. “Kita sudah melalui banyak hal sebagai bangsa. Jika ini adalah kesempatan kita untuk benar-benar bangkit, maka kita harus menjaganya.”
Ridho mengangguk sambil melihat ke langit. “Benar, Maria. Kita sudah kehilangan banyak orang untuk mencapai titik ini. Kini, terserah pada kita semua untuk menjaga apa yang tersisa, agar masa depan kita tak kembali terjebak pada lingkaran yang sama.”
Perubahan ini membawa Indonesia ke dalam era baru. Perekonomian perlahan tumbuh stabil, masyarakat mulai membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya integritas dan kualitas hidup. Tidak ada lagi masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada janji-janji kekayaan instan. Dan tanpa disadari, bonus demografi yang tadinya menjadi beban kini berubah menjadi anugerah: sebuah generasi yang lebih siap, lebih terdidik, dan penuh harapan untuk membangun masa depan bangsa.
Di luar sana, dunia mulai melihat Indonesia dengan pandangan berbeda. Kini, negeri ini bukan lagi sekadar negara berkembang yang kewalahan dengan ledakan penduduk. Indonesia kini berdiri dengan gagah, dengan generasi baru yang penuh potensi—siap menatap dunia dengan kepala tegak, meninggalkan masa lalu yang penuh ketergantungan, dan melangkah ke masa depan dengan optimisme yang belum pernah ada sebelumnya.
Bab ini memberikan gambaran jelas tentang dampak sosial-ekonomi dari kebijakan pemerintah yang radikal. Generasi yang tersaring melalui seleksi alam ini memberikan peluang pada Indonesia untuk membangun SDM berkualitas dan mengatasi tantangan bonus demografi.
Bab 4: Kerjasama yang Tak Terduga
Tahun demi tahun, konflik di Timur Tengah dan negara-negara yang menjadi basis ISIS semakin berlarut-larut. Di tengah situasi tersebut, NATO menghadapi tantangan serius. Kekurangan tenaga sukarelawan menjadi masalah besar bagi aliansi militer ini. Negara-negara anggota NATO yang selama ini mengandalkan angkatan militernya kini mulai kehilangan daya dukung dari rakyat sipil, yang lebih memilih untuk mengejar karier di dunia bisnis dan investasi ketimbang mempertaruhkan nyawa mereka di medan perang. Di sisi lain, konflik di Suriah, Libya, Yaman, dan negara-negara lainnya terus berkobar tanpa tanda-tanda mereda.
"Situasinya semakin sulit," ujar Jenderal Hawkins, salah satu komandan tertinggi NATO, dalam sebuah pertemuan di Brussels. “Kita tak lagi memiliki tenaga cadangan yang cukup. Pasukan kita tersebar di terlalu banyak wilayah konflik.”
“Tidak ada pilihan lain, Jenderal,” kata Anna Johnson, seorang pejabat diplomasi NATO. “Kita harus bekerja sama dengan negara-negara yang memiliki ledakan penduduk besar. Jika kita bisa memanfaatkan mereka untuk mendukung operasi kita, setidaknya beban ini bisa berkurang.”
Jenderal Hawkins menggelengkan kepala dengan pandangan cemas. “Indonesia, India, Pakistan, dan Bangladesh. Itulah negara-negara dengan ledakan penduduk terbesar. Tapi kita tahu sendiri, SDM mereka masih berada di level rendah dan banyak dari mereka menjadi beban negara.”
“Namun, bukankah itu justru peluang?” kata Anna dengan nada tenang namun penuh keyakinan. “Negara-negara itu memiliki populasi yang sangat besar dengan tingkat pengangguran tinggi. Jika mereka sepakat mengirimkan rakyat mereka, itu akan menjadi win-win solution. Mereka bisa mengurangi beban ekonomi, sementara kita mendapatkan tambahan pasukan di lapangan.”
Hawkins terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Baik, kita coba mengadakan perundingan dengan mereka. Beri tahu PBB, meskipun saya yakin, mereka mungkin hanya akan—"
“—tepok jidat,” Anna menyelesaikan kalimatnya dengan senyum miring. "Betul, Jenderal. PBB mungkin akan melihat ini sebagai tindakan kontroversial, tetapi situasi saat ini benar-benar mendesak."
Beberapa bulan kemudian, delegasi NATO bertemu dengan perwakilan dari Indonesia, India, Pakistan, dan Bangladesh dalam sebuah konferensi internasional. Di ruang konferensi yang megah, para pemimpin negara-negara tersebut mendengarkan usulan kerja sama militer dari NATO dengan penuh perhatian. Namun, tidak semua pemimpin memiliki pandangan yang sama.
“Mengirimkan rakyat kami yang berpotensi menjadi beban negara mungkin akan membantu kami dalam jangka pendek,” kata Menteri Pertahanan Indonesia, Andi Wirawan, “tetapi dampaknya pada citra negara kami akan besar. Dunia akan melihat kami sebagai negara yang mengorbankan rakyat untuk perang yang bukan milik kami.”
Perwakilan NATO, Jenderal Hawkins, tersenyum diplomatis. “Kami memahami kekhawatiran Anda, Tuan Andi. Namun, lihatlah ini sebagai kesempatan. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya soal mengurangi beban, tapi juga memberikan pelatihan militer dan kedisiplinan kepada mereka yang kurang produktif. Mereka bisa pulang sebagai warga yang lebih terlatih.”
Andi terdiam, mempertimbangkan argumen tersebut. “Kami juga tahu bahwa banyak dari rakyat kami yang terjebak dalam perjudian online, menguras APBN, dan tidak memberikan kontribusi berarti pada masyarakat. Tapi, ini bukan langkah yang mudah untuk kami ambil.”
Perdana Menteri India, yang berada di sisi kiri meja konferensi, menimpali. “Sama dengan Indonesia, kami pun punya banyak populasi yang kesulitan mendapat pekerjaan. Jika kerja sama ini dapat mengurangi pengangguran dan menciptakan SDM yang lebih terlatih, kami bisa pertimbangkan.”
Di seberang meja, delegasi PBB yang hadir sebagai pengamat hanya bisa terdiam, tampak canggung dengan perdebatan ini. Seorang pejabat PBB, yang duduk di pojok, tampak tak nyaman dengan diskusi tersebut dan berbisik kepada rekannya, “PBB hanya bisa tepok jidat melihat situasi ini. Dunia benar-benar sudah berubah.”
Akhirnya, setelah diskusi panjang dan negosiasi yang intens, negara-negara dengan populasi besar itu setuju untuk mengirimkan sebagian rakyatnya yang dianggap sebagai beban negara sebagai sukarelawan untuk mendukung operasi NATO. Di Indonesia, keputusan ini kembali menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat mengecam langkah tersebut, namun sebagian lainnya melihatnya sebagai cara untuk mengatasi permasalahan populasi dan pengangguran yang mengganggu stabilitas sosial.
Di sebuah warung kopi di Jakarta, dua orang pria tengah berdiskusi tentang keputusan terbaru pemerintah.
“Jadi, pemerintah mau mengirim orang-orang yang main judi online ke medan perang?” tanya Reza sambil mengaduk kopi hitamnya. “Gila, ya. Negara kita benar-benar main keras sekarang.”
“Bukan hanya pemain judi,” jawab Rahmat, temannya. “Ini berlaku untuk semua orang yang dianggap kurang produktif dan membebani ekonomi. Kalau mereka mau jadi sukarelawan, mereka dapat pelatihan, kalau nggak ya... mungkin mereka tetap disanksi.”
Reza menghela napas, seakan-akan masih tak percaya. “Dulu kita dikirim ke luar negeri untuk belajar dan membangun negara, sekarang dikirim ke luar negeri untuk bertempur demi NATO. Dunia memang sudah gila.”
Sementara itu, di negara-negara NATO, berita tentang kerja sama ini menuai respons beragam. Banyak warga sipil mulai merasa lega bahwa mereka tidak lagi harus menjadi sukarelawan di medan perang, dan sebagian dari mereka mulai melihat ini sebagai kesempatan bagi NATO untuk mengatasi kekurangan tenaga. Para politisi NATO berdalih bahwa langkah ini adalah jalan keluar paling realistis di tengah konflik global yang semakin kompleks.
Di sisi lain, keputusan ini menciptakan jurang baru dalam komunitas internasional. PBB mulai khawatir dengan dampak sosial dari kebijakan ini, terutama mengingat bahwa para "sukarelawan" tersebut berasal dari negara-negara berkembang yang sering kali tidak memiliki pilihan hidup yang lebih baik.
Dalam pertemuan PBB yang diadakan beberapa waktu setelah kebijakan ini dilaksanakan, seorang perwakilan dari LSM internasional angkat bicara dengan nada pedas. “Apakah kita sekarang hanya akan memanfaatkan negara-negara berkembang sebagai sumber tenaga murah di medan perang? Ini jelas bentuk eksploitasi!”
Seorang diplomat dari Indonesia, yang hadir di pertemuan tersebut, segera menanggapi. “Negara kami memiliki hak untuk membuat keputusan terbaik bagi rakyatnya. Kita menghadapi krisis populasi dan beban ekonomi yang berat. Kebijakan ini adalah jalan yang kami tempuh untuk mengatasi masalah tersebut. Dan saya yakin, mereka yang menjadi sukarelawan akan mendapat pelatihan dan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka.”
Pertemuan itu memanas, namun pada akhirnya, PBB tetap tidak memiliki otoritas untuk mengubah keputusan yang sudah diambil. Negara-negara berkembang yang bekerja sama dengan NATO meneruskan kebijakan mereka, dan para "sukarelawan" pun mulai diberangkatkan ke berbagai zona konflik di Timur Tengah.
Di Indonesia, para sukarelawan dari kelas pekerja rendah yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan perjudian online mulai digiring menuju pelatihan militer. Bagi mereka, kesempatan ini adalah jalan baru dalam hidup, meskipun penuh risiko. Sementara itu, masyarakat dunia menyaksikan langkah-langkah yang diambil negara-negara ini dengan campuran rasa takut, kagum, dan skeptisisme.
Pada akhirnya, dunia terus berubah, dan kebijakan kontroversial ini menjadi cerminan dari era baru: sebuah zaman di mana krisis ekonomi dan ledakan penduduk tak lagi sekadar masalah, tetapi juga menjadi sumber kekuatan dalam percaturan geopolitik global.