CERITA FIKSI: KETIKA AMERIKA SERIKAT "MENIRU" INDONESIA (VERSI 02)

Dunia telah berubah. Dalam versi alternatif sejarah ini, Amerika Serikat bukanlah negara dengan empat musim yang identik dengan salju dan pemandangan musim gugur. Di sini, Amerika adalah negeri tropis yang selalu terjaga dalam hangat matahari dan suara gemuruh hujan. Bukan hanya iklimnya yang berbeda, tetapi masyarakatnya. Amerika ini memiliki watak, kebiasaan, dan nilai-nilai yang sama persis dengan masyarakat Indonesia seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis.

Di jalanan Washington D.C., pada musim hujan yang penuh dengan banjir, seorang pria bernama Mark berdiri memandangi mobil-mobil yang terjebak air. Sudah biasa bagi Mark melihat kota lumpuh dalam genangan—pembangunan yang seolah tanpa perencanaan matang, proyek yang terhenti, dan korupsi di setiap lini yang mengakar dari generasi ke generasi.



Mark adalah seorang reporter yang bekerja di salah satu surat kabar terbesar di Amerika, The Tropical Times. Dalam kondisi ideal, profesinya akan membuatnya disegani dan dihormati. Tapi di negeri ini, pers sering dianggap musuh oleh penguasa. Wartawan seperti Mark menghadapi ancaman setiap hari, khususnya ketika mereka meliput kasus korupsi, manipulasi politik, atau ketidakadilan sosial.

Amerika ini adalah negara yang menempatkan kepentingan keluarga, teman, dan koneksi di atas aturan hukum yang seharusnya adil. Dari lingkaran kekuasaan yang terkecil hingga ke kongres, politik didominasi oleh permainan kekerabatan dan aliran uang yang menentukan nasib negara. Nilai-nilai seperti gotong royong yang dianggap suci dalam masyarakat ternyata memiliki sisi gelap—menjadi sarang nepotisme, kolusi, dan perlindungan hanya untuk "keluarga besar".



“Aku sudah tidak tahan lagi, Rick,” ujar Mark dengan nada frustrasi pada sahabatnya, Rick, yang juga seorang wartawan.

Rick tersenyum pahit sambil menyalakan rokoknya. “Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Sistem ini begitu kuat. Setiap usaha untuk mengubahnya berakhir dengan ancaman, atau lebih buruk lagi, kehilangan pekerjaan.”

“Setiap kali aku mempublikasikan artikel tentang korupsi atau kebijakan yang menindas rakyat, aku harus siap kehilangan banyak hal. Kalau sudah begini, kadang aku berpikir untuk berhenti saja.”

“Mark, ini bukan lagi soal berhenti atau terus. Ini tentang kita melawan angin. Seluruh Amerika ini telah terbentuk dengan nilai-nilai yang berbeda dari yang kita harapkan,” ujar Rick sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.


Di Amerika versi tropis ini, rasa gotong royong bukan lagi sesuatu yang murni dan ikhlas. Setiap bantuan atau budi baik menuntut balas. Ketika seseorang naik jabatan, orang-orang di sekitarnya mengharapkan imbalan sebagai bukti terima kasih. Di setiap kantor pemerintahan, hingga sekecil administrasi desa, sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan bisa dipercepat jika ada “sedikit uang rokok” yang diselipkan dalam amplop.

Kebudayaan ini tidak hanya tercermin dalam politik atau pekerjaan sehari-hari, tetapi juga dalam gaya hidup. Di kota-kota besar seperti New York dan Los Angeles, perbedaan sosial mencolok. Mereka yang berkuasa hidup dalam kemewahan, sementara mayoritas warga terjebak dalam kehidupan yang penuh perjuangan. Banjir, kemacetan, dan polusi adalah bagian dari kehidupan yang tak terhindarkan. Jalan-jalan dibiarkan rusak selama bertahun-tahun, menunggu dana perbaikan yang sering kali lenyap dalam korupsi.



Suatu hari, Mark dan Rick bertemu dengan seorang pejabat lokal, Mr. Brown, untuk mengajukan wawancara tentang proyek perbaikan jalan yang tak kunjung selesai.

“Apa yang akan Anda katakan kepada warga yang sudah menunggu perbaikan ini selama bertahun-tahun?” tanya Mark dengan nada tajam.

Mr. Brown tersenyum ramah, tapi tak ada kesan tulus dalam sorot matanya. “Ah, proyek itu pasti akan selesai dalam waktu dekat. Kita hanya perlu bersabar. Lagipula, kan sudah ada jalan lain yang bisa dilalui.”

Rick menggeleng, merasa muak dengan jawaban yang sama di setiap wawancara. “Tapi anggaran sudah dialokasikan tiga kali lipat, Mr. Brown. Kemanakah uang itu?”

Mr. Brown tertawa kecil, lalu menepuk pundak Rick seolah-olah mereka sedang berbicara dalam nada bercanda. “Anda tahu kan, banyak biaya tambahan. Biaya koordinasi, biaya ‘motivasi’ untuk memastikan proyek ini berjalan. Ya, Anda paham maksud saya.”



Di negara ini, hukum adalah permainan yang lentur. Keberpihakan hukum bisa dibeli. Orang kaya jarang menerima hukuman yang adil, sementara rakyat kecil yang tidak punya koneksi sering kali menjadi kambing hitam dalam kasus-kasus besar. Polisi, hakim, dan jaksa seringkali berpihak kepada yang memberikan “amplop tambahan,” sementara keadilan sejati hampir mustahil diperoleh.

Mark merasa bahwa perjuangannya sia-sia. Setiap berita yang ia tulis seolah tenggelam tanpa perubahan yang berarti. Ada kalanya ia merasa menyesal telah memilih profesi ini. Ia ingat nasihat ayahnya dulu, “Di negeri ini, kalau kau ingin hidup nyaman, lebih baik kau jalankan bisnis sendiri atau bergabung dengan pemerintahan.” Ayahnya sendiri dulu bekerja sebagai pegawai di kantor walikota, dan sejak dulu, Mark tahu banyak rahasia keluarga yang hidup nyaman dari “tambahan” hasil suap kecil-kecilan.



“Kita ini seperti ayam yang disuruh bertelur emas, tapi setiap kali telur itu keluar, mereka ambil,” ujar Mark dengan nada kecewa pada Rick di sebuah kafe kumuh di sudut kota.

Rick mengangguk sambil menyeka keringat di dahinya. Di musim kemarau ini, kota begitu panas, hampir tak ada angin yang berhembus. “Aku ingin sekali melarikan diri dari semua ini. Tapi ke mana kita bisa pergi? Seluruh Amerika seperti ini, Mark. Negeri ini sudah terlalu jauh terjerat budaya yang kita ciptakan sendiri.”


Meski memiliki keinginan besar untuk berubah, Mark sadar bahwa hampir tidak ada jalan keluar. Orang-orang di sekelilingnya sudah terbiasa dengan sistem ini—bahkan mereka sudah belajar bagaimana memanfaatkannya. Masyarakat sudah membentuk mentalitas bahwa segala sesuatu bisa diatur dengan cara pintas, dan kebudayaan ini begitu dalam tertanam hingga mengubah Amerika Serikat menjadi negeri tropis yang penuh dengan karakter seperti di Indonesia.

Meski begitu, Mark memutuskan untuk tetap berjuang, meskipun ia tahu dirinya hanyalah setitik debu di tengah badai budaya. Setiap kali ia menulis, ia menyimpan secercah harapan bahwa suatu hari, generasi mendatang akan mulai menyadari kekeliruan yang kini telah menjadi kebiasaan. Di Amerika Serikat ini, ia berjuang untuk menanamkan impian bahwa suatu hari nanti, rakyatnya akan mengutamakan kejujuran, disiplin, dan kebenaran di atas segalanya—meskipun saat ini, impian itu tampak jauh dan hampir mustahil terwujud.

CERITA FIKSI: KETIKA AMERIKA SERIKAT "MENIRU" INDONESIA (VERSI 01)

Amerika Serikat tidak lagi seperti yang dikenal dunia. Iklimnya berubah menjadi tropis dengan dua musim saja: musim hujan yang basah dan mendominasi, serta musim kemarau yang terik dan penuh debu. Sepanjang tahun, langit Amerika kini dipenuhi awan mendung atau terik matahari yang menyengat. Yang lebih aneh, masyarakatnya berubah—mereka memiliki sifat dan karakteristik seperti yang digambarkan oleh sastrawan Mochtar Lubis tentang watak orang Indonesia: penuh keakraban, gotong royong, namun sering kali lamban, fatalistik, terkadang apatis, dan cenderung menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil.

Di negeri yang dulu menjadi simbol kedisiplinan dan kebebasan, peradaban kini berputar dalam pola yang berbeda. Dalam segala aspek kehidupan, Amerika Serikat menjadi cerminan dari sebuah masyarakat yang lebih santai, hangat, namun tak lepas dari sifat permisif dan mentalitas ketergantungan pada hubungan-hubungan personal.



Kota New York, pusat bisnis yang dulunya berdetak dengan kecepatan luar biasa, kini dipenuhi oleh budaya yang mengutamakan harmoni sosial dan kehati-hatian. Di jalan-jalan, para pengendara mobil kini tidak secepat dulu; klakson yang biasanya meraung kini hampir tidak terdengar, digantikan oleh pemandangan orang-orang yang saling tersenyum dan menyapa hangat. Tak ada lagi tenggat waktu yang ketat; kebanyakan rapat-rapat bisnis dimulai dengan obrolan panjang tentang keluarga, cuaca, atau hal-hal sederhana lain.

Di lantai atas gedung pencakar langit yang sudah mulai usang dan dipenuhi lumut karena kelembapan yang tinggi, Senator Charles Whitman mengamati langit mendung di luar jendela kantornya.



"Apa pendapatmu, Jack, tentang perubahan ini?" tanya Senator Whitman kepada asistennya, Jack, yang datang membawa secangkir kopi.

Jack tersenyum, lalu duduk di sofa dengan santai. "Kurasa, kita mulai hidup lebih lambat, Pak. Semua orang tampak lebih bahagia, meski pekerjaan jadi lebih lambat."

Senator Whitman menghela napas panjang. "Bahagia, mungkin. Tapi kurasa kita kehilangan semangat bersaing. Negara ini dibangun di atas kompetisi yang sehat dan kerja keras. Sekarang... lihat saja birokrasi kita, penuh dengan jalan pintas dan urusan yang tersendat-sendat."

Jack tertawa kecil. "Begitulah yang terjadi ketika orang-orang lebih mengutamakan kedekatan pribadi daripada ketepatan kerja. Orang-orang lebih suka bekerja dengan ‘kenalan’ atau ‘saudara’."



Ekonomi Amerika berubah secara fundamental. Dunia perbankan, yang biasanya disiplin dan sangat ketat dalam standar-standarnya, kini dibayangi oleh mentalitas “asal kenal” dan kebiasaan untuk memperpanjang tenggat waktu. Orang-orang berhutang dengan mudah, namun terlambat dalam melunasi. Korupsi kecil mulai marak karena hampir semua orang merasa nyaman menerima “titipan” atau “kenang-kenangan” dari pihak-pihak yang memiliki urusan.

Budaya persaingan sehat yang dulu menjadi inti dari masyarakat kapitalis Amerika kini tergantikan oleh sistem yang lebih longgar dan penuh kompromi. Ekonomi yang dulu tumbuh pesat mulai melambat. Para investor asing bingung melihat bagaimana Amerika berubah menjadi tempat di mana proyek-proyek infrastruktur terhambat oleh negosiasi berlarut-larut dan permintaan “balas jasa.”



"Kami harus menghentikan proyek jembatan itu, Senator," lapor seorang insinyur proyek, Alex, dalam rapat di kantor pusat pemerintahan kota New York. "Pihak kontraktor meminta tambahan dana karena beberapa pejabat meminta ‘insentif’ tambahan."

Senator Whitman menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ini bukan Amerika yang aku kenal. Dulu, semua proyek bisa berjalan cepat dengan sistem yang terstruktur. Sekarang, bahkan membangun jembatan pun harus berurusan dengan permintaan tak masuk akal."

"Namun, masyarakat tidak keberatan dengan keterlambatan ini," tambah Alex. "Banyak warga merasa proyek itu bisa menunggu, karena selama ini kita masih punya alternatif jalan lain."

"Fatalisme!" gumam Whitman kesal. "Orang-orang menerima segalanya seakan itu sudah takdir. Bagaimana kita bisa maju jika selalu berpikir, ‘Ah, biar nanti saja selesai?’"



Dalam bidang politik, Amerika Serikat mengalami fenomena baru yang menarik. Pemilu yang biasanya penuh gairah, debat panas, dan adu argumen kini berjalan lebih santai. Partai-partai politik lebih suka mengandalkan jaringan relasi dan pendekatan pribadi daripada berkampanye dengan janji-janji besar. Pemilihan presiden terakhir berjalan nyaris tanpa kontroversi; para kandidat lebih sering menggelar pertemuan kecil dengan masyarakat setempat, berbincang mengenai cuaca atau keluarga mereka, dan menghindari topik-topik berat.

Namun, di balik semua itu, politik Amerika mulai penuh dengan "politik balas budi." Para pejabat diangkat bukan karena kompetensi atau integritas, tapi karena kedekatan atau "jasa baik" kepada keluarga atau kerabat. Sistem meritokrasi yang dulu dijunjung tinggi kini menjadi lemah, digantikan oleh sistem patronase.



Pada sebuah wawancara di stasiun televisi nasional, seorang jurnalis bertanya kepada Senator Whitman, "Senator, bagaimana Anda melihat perubahan budaya politik di negeri kita sekarang?"

Senator Whitman tersenyum pahit. "Politik kita sekarang lebih hangat, lebih ‘dekat’, tapi juga lebih penuh dengan balas budi. Orang-orang dipilih bukan lagi berdasarkan kemampuan atau kecakapan, tapi siapa yang punya koneksi atau jasa di masa lalu."

"Tapi bukankah itu menciptakan kedekatan yang lebih dalam di masyarakat kita?" tanya jurnalis tersebut, mencoba mengambil sisi positif.

"Kedekatan, mungkin," jawab Senator Whitman. "Tapi tanpa kualitas kepemimpinan yang baik, kita hanya menciptakan perpecahan dan kesenjangan yang lebih besar."



Hukum dan ketertiban di Amerika juga mengalami perubahan besar. Di jalan-jalan, pelanggaran kecil semakin sering dibiarkan. Polisi lebih sering "memberi peringatan" daripada benar-benar menindak. Kasus-kasus kriminalitas yang tidak terlalu berat hampir selalu berakhir dengan permintaan maaf atau sanksi sosial alih-alih hukuman serius.

Budaya "maaf-memaafkan" menjadi nilai baru yang mengakar di masyarakat. Meskipun di satu sisi masyarakat lebih damai dan saling memaafkan, di sisi lain, hukum tidak lagi memiliki kekuatan yang sama. Pelanggar hukum seringkali hanya diberi "peringatan" atau sanksi yang sangat ringan, sehingga banyak orang menganggap enteng segala bentuk pelanggaran. Penegakan hukum menjadi selektif; orang yang memiliki koneksi lebih sering bebas dari hukuman.



"Pak, mengapa orang itu tidak ditahan? Bukankah ia jelas melanggar aturan?" tanya seorang polisi muda kepada atasannya setelah mereka menghentikan seorang pengendara yang menerobos lampu merah.

Atasannya hanya mengangkat bahu. "Ah, biar saja. Toh dia sudah meminta maaf. Lagi pula, dia kenalan saya."

Polisi muda itu menggeleng, merasa bingung dengan perubahan budaya kerja mereka. "Tapi, Pak, kalau begini terus, bagaimana hukum bisa dipatuhi?"

Atasannya hanya tertawa kecil. "Kau akan terbiasa, Nak. Di sini, semuanya soal hubungan baik. Jangan terlalu kaku, kita kan manusia."



Seiring berjalannya waktu, Amerika Serikat semakin mirip dengan gambaran Mochtar Lubis tentang masyarakat yang terjebak dalam jaringan sosial yang kompleks dan penuh kompromi. Negara yang dulu dikenal karena disiplinnya kini tenggelam dalam budaya "santai," di mana hampir setiap aspek kehidupan berputar di sekitar koneksi personal, kompromi, dan mentalitas "jalan pintas."

Orang-orang mulai kehilangan semangat untuk berkompetisi secara sehat; banyak yang pasrah dan menerima keadaan. Amerika, yang dulu menjadi simbol kemajuan dunia, kini hanyalah sebuah negeri yang bergerak lamban, dipenuhi oleh orang-orang yang penuh keramah-tamahan, namun tersandera oleh hubungan personal yang rumit dan kesulitan membedakan antara aturan dan perasaan.

Sebuah negeri tropis, penuh keakraban, namun lemah dalam kedisiplinan—itulah Amerika Nusantara.

CERITA FIKSI: MENIKMATI MASA TUA DARI SAHAM PERBANKAN HINGGA BERUMUR 100 TAHUN

 Bab 1: Keputusan Terbesar

Di sebuah kota kecil di ujung negeri, Ardi menjalani hidup yang sepi tapi penuh warna. Hidupnya selalu pas-pasan, bekerja dari satu tempat ke tempat lain, hingga usianya hampir mencapai 60 tahun. Setelah bertahun-tahun kerja serabutan—menjadi buruh angkut, penjaga toko, tukang servis elektronik, hingga pembersih kantor—Ardi akhirnya berhasil mengumpulkan uang yang dianggapnya cukup untuk pensiun. Namun, siapa sangka jika hari itu adalah titik awal dari perjalanan hidup yang sama sekali berbeda dari perkiraan.

Di rumahnya yang sederhana, di atas kursi kayu yang sudah usang, Ardi duduk sambil memegang secarik kertas laporan bank yang menampilkan jumlah tabungannya.

"Akhirnya… 700 juta rupiah," gumamnya, seolah-olah tidak percaya pada dirinya sendiri. Angka yang luar biasa bagi seorang seperti Ardi, angka yang ia impikan sejak lama.

Dengan langkah mantap, ia menuju rumah tetangganya yang lebih muda, seorang pria bernama Hendra yang dikenal cukup paham soal investasi. Setelah mengetuk pintu dan masuk, ia berbicara langsung kepada Hendra.

"Hendra," ujar Ardi sambil duduk. "Kira-kira kalau uang ini aku investasikan ke saham BCA dan BRI, gimana ya? Ada yang bilang, dua saham ini cukup aman buat jangka panjang."

Hendra mengangguk. "BCA dan BRI itu perusahaan besar, Pak Ardi. Keduanya aman, stabil, dan dividennya lumayan. Tapi, ini buat jangka panjang. Apa Pak Ardi yakin?"

Ardi tersenyum. "Aku sudah kerja keras selama hampir 40 tahun, Hendra. Sekarang, aku ingin uang ini yang bekerja buat aku."


Bab 2: Kehidupan yang Tak Diduga

Beberapa bulan setelah uangnya diinvestasikan, Ardi resmi berhenti bekerja. Setiap pagi, ia menghabiskan waktu dengan berolahraga ringan di halaman rumahnya, menonton televisi, atau membaca koran tua yang ia kumpulkan dari waktu ke waktu. Hidupnya sederhana tapi damai.

Namun, waktu terus berlalu, dan takdir ternyata memiliki rencana lain untuknya. Pada usia 70 tahun, Ardi menyadari bahwa kesehatannya cukup prima. Tubuhnya kuat, pikirannya tajam, bahkan ingatannya masih baik. Hari demi hari berlalu, hingga tiba masanya ia berusia 80 tahun, dan saat itu ia mulai menyadari bahwa umurnya mungkin akan jauh lebih panjang dari yang ia duga.

Sahabatnya, Mulyadi, sesekali berkunjung. Di teras rumah Ardi, mereka berbincang sambil menyeruput kopi.

"Ardi, kau benar-benar masih sehat ya. Kau pikir umurmu bisa sepanjang ini?" tanya Mulyadi sambil tertawa.

"Sejujurnya, aku kira waktu sudah tak banyak, Mulyadi," Ardi menghela napas. "Siapa sangka bisa mencapai umur 80 lebih. Kalau tahu begini, dulu mungkin aku tidak akan berhenti bekerja terlalu dini."

Mulyadi tertawa kecil. "Jangan menyesal, Ardi. Hidup ini anugerah. Pikirkan saja ini sebagai kesempatan untuk melakukan lebih banyak kebaikan."


Bab 3: Tahun-Tahun yang Sunyi

Memasuki usia 90 tahun, Ardi sudah lama tinggal seorang diri. Ia mulai merasa terasing di tengah-tengah masyarakat yang semakin modern dan asing. Jalan-jalan yang dulu ia kenal telah berubah; tetangga-tetangganya kini adalah generasi baru yang tak mengenalnya. Namun, dividennya dari saham BCA dan BRI terus mengalir, memberinya cukup uang untuk makan sehari-hari dan membiayai kebutuhan kecil lainnya.

Satu malam, Ardi berbincang dengan dirinya sendiri, sebuah kebiasaan yang ia dapatkan di usia senja.

"Tak kusangka… aku hidup lebih lama dari semua yang kukenal. Bahkan Mulyadi, sahabat terdekatku, sudah berpulang lima tahun lalu." Ardi tersenyum pahit, menatap kosong pada album-album foto tua di depannya.

Malam itu, kesepian menyelimuti Ardi. Namun, ada ketenangan yang tak ia dapatkan selama hidupnya sebagai pekerja serabutan. Hidup yang panjang memberi kesempatan baginya untuk merenung lebih dalam tentang makna hidup, dan ia merasa bersyukur meski hidup dalam kesederhanaan.


Bab 4: Warisan yang Tak Terduga

Pada suatu hari di usianya yang ke-98, Ardi mengunjungi bank untuk melihat laporan investasinya. Seorang petugas bank muda terkejut saat melihatnya.

"Kakek Ardi… saham Anda bertumbuh pesat, terutama karena BCA dan BRI berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir," katanya. "Total aset Anda sekarang… mencapai sekitar 1,5 miliar."

Ardi tercengang mendengar jumlah yang fantastis itu. "1,5 miliar? Tak kusangka," gumamnya, setengah tak percaya. "Dulu, aku cuma berpikir uang ini cukup untuk menghidupiku. Tapi sekarang, aku punya lebih dari yang kubutuhkan."

Beberapa bulan kemudian, Ardi memutuskan untuk mewariskan sebagian besar uangnya kepada anak-anak yatim di panti asuhan dekat rumahnya. Pada akhirnya, ia merasa bahwa uang itu tak akan berarti apa-apa bila hanya disimpan.

Kepala panti asuhan, Ibu Rina, yang menerima kabar itu, tak mampu menahan haru. Ia menemui Ardi dan berterima kasih atas kemurahan hatinya.

"Kami akan selalu mendoakanmu, Pak Ardi. Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi hidupmu menjadi berkah untuk banyak orang di sekitar sini."

Ardi tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Doa anak-anak itu lebih berharga dari semua harta di dunia ini, Bu Rina."


Bab 5: Perjalanan Terakhir

Di usia 100 tahun, Ardi akhirnya dipanggil Sang Khalik dengan tenang di rumahnya. Tidak ada keramaian, hanya beberapa tetangga dan sahabat lama yang hadir. Namun, jejak hidup Ardi dan warisan yang ia tinggalkan menjadi cerita bagi banyak orang di kota itu, terutama bagi anak-anak di panti asuhan yang ia bantu.

Dunia mungkin telah melupakannya, tetapi kisah hidupnya yang sederhana dan tabah menjadi pelajaran bagi mereka yang mendengar. Ardi yang hidup dalam hening, pergi dalam damai, tapi meninggalkan warisan kasih yang abadi.

NOVEL FIKSI ILMIAH: KETIKA MANUSIA MENGGUNAKAN 85% PIKIRAN SADARNYA

 Bab 1: "Kesadaran yang Terlupakan"

Di tahun 2087, manusia telah mengembangkan teknologi yang memungkinkan pengaturan ulang pikiran, sebuah inovasi revolusioner yang mereka namakan Neuro-Directive Sync (NDS). Melalui teknologi ini, pikiran sadar manusia ditingkatkan hingga mencapai kontrol hampir penuh dalam kehidupan sehari-hari—85% pikiran sadar, sementara hanya tersisa 15% untuk pikiran bawah sadar. Teknologi ini diyakini sebagai solusi atas ketidakstabilan emosi dan kesalahan impulsif yang sering menyebabkan masalah sosial. Di era ini, manusia hidup di bawah kendali kesadaran yang hampir sepenuhnya dirancang untuk logika dan perhitungan rasional, mengesampingkan impuls bawah sadar yang dianggap tidak perlu.

Di sebuah ruang makan di kota Solaris, Rian dan sahabatnya, Kiran, tengah berbicara serius. Keduanya adalah mahasiswa psikologi di Universitas Solaris, salah satu dari sedikit universitas yang masih mempertahankan jurusan psikologi dalam era yang sangat bergantung pada NDS ini.

"Apa yang kamu pikirkan soal NDS, Rian?" tanya Kiran sambil menatap secangkir kopi di depannya. Matanya penuh rasa ingin tahu, tapi nadanya seolah mengandung kegelisahan yang ia coba sembunyikan.

Rian terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke luar jendela, melihat orang-orang yang berlalu-lalang tanpa ekspresi yang terlalu mencolok. "Menurutku, ini seperti menciptakan manusia yang terlalu sempurna… atau mungkin terlalu kaku. Pikiran sadar kita mengendalikan hampir semuanya, kita menjadi seperti mesin, hanya berbeda karena kita masih bisa merasakan, tapi hanya sebatas yang logis," jawabnya perlahan, mencoba merangkai kata-katanya dengan hati-hati.

Kiran mengangguk, lalu melanjutkan, "Kita menghapus aspek bawah sadar kita, bagian yang mengandung emosi mendalam, trauma, bahkan naluri bertahan hidup. Apa kita benar-benar tahu apa yang kita korbankan?"

Rian menatap Kiran dengan sorot mata yang tajam. "Justru itu, Kiran. Pikiran bawah sadar kita adalah tempat tersembunyinya banyak pengalaman emosional yang bisa mengajarkan kita sesuatu tentang diri kita. Sekarang, semua itu tertutup oleh perhitungan rasional yang terlalu dominan."

Mereka terdiam. Di luar, tampak orang-orang berjalan dengan langkah mantap, wajah datar mereka tak menunjukkan sedikitpun kegundahan atau rasa senang yang berlebihan. Sementara Kiran terus menerus melirik sekeliling, mencari tanda-tanda bahwa dunia ini masih memiliki sisa-sisa kehangatan manusiawi.

Bab 2: "Memori yang Terbungkam"

Seminggu kemudian, Kiran memperkenalkan Rian kepada seorang profesor tua bernama Dr. Sarman, seorang pakar neurologi yang dikenal skeptis terhadap NDS. Dr. Sarman adalah satu dari sedikit orang yang masih mempertanyakan dampak NDS pada kondisi mental manusia.

"Apa kalian sadar?" Dr. Sarman membuka percakapan dengan nada tegas. "Selama ini, kita selalu mengira bahwa memperbesar kontrol sadar adalah solusi untuk kedamaian dan ketertiban. Tapi, dalam proses itu, kita memenjarakan bagian paling mendasar dari diri kita, yaitu intuisi, naluri, dan ketakutan kita."

Rian mengangguk penuh perhatian. "Maksud Anda, Dr. Sarman, kita mengorbankan kebebasan jiwa?"

"Lebih dari itu," jawab Dr. Sarman dengan nada yang bergetar, "Kita membuang pengalaman traumatis yang dulu menjadi bagian dari pertumbuhan kita. Tanpa memori itu, kita tidak tahu bagaimana menghadapi ketakutan dan rintangan. Kita hanya hidup, bukan merasakan hidup."

Kiran mencoba memahami. "Tapi bukankah trauma dan rasa sakit yang ada di bawah sadar itu berbahaya jika dibiarkan terlalu lama?"

"Tentu saja," jawab Dr. Sarman. "Namun, membuangnya begitu saja sama saja seperti menghapus sejarah kita sendiri. Bukankah tanpa ingatan, kita menjadi seperti tabula rasa yang tak pernah belajar dari masa lalu?"

Rian merasa kata-kata Dr. Sarman seolah menyentuh sesuatu yang sangat dalam di benaknya. "Jadi, bagaimana caranya kita bisa mengembalikan keseimbangan ini, tanpa harus menyingkirkan NDS sepenuhnya?"

Dr. Sarman tersenyum samar, seolah-olah ia menantikan pertanyaan itu. "Ada cara. Aku sedang mengerjakan sebuah program alternatif yang bisa mengaktifkan kembali memori bawah sadar dalam dosis yang aman. Namun, itu berisiko tinggi. Pemerintah akan menganggap ini sebagai ancaman terhadap ketertiban yang mereka ciptakan."

Bab 3: "Kebangkitan Memori"

Rian dan Kiran memutuskan untuk ikut dalam eksperimen Dr. Sarman, meski sadar bahwa mereka bisa dihukum berat jika tertangkap. Mereka mengenakan perangkat kecil yang dirancang Dr. Sarman, yang ia sebut "Reverie". Alat ini memfasilitasi pemulihan memori bawah sadar secara bertahap, memungkinkan mereka mengakses emosi terdalam dan insting yang sudah lama hilang.

Rian mulai mengalami perubahan. Di suatu malam, ia bermimpi tentang peristiwa masa kecil yang dulu sangat menyakitkan baginya—dihina oleh teman-temannya, merasa tidak berdaya, dan terpuruk dalam kesedihan. Namun, anehnya, ia merasa damai setelah terbangun dari mimpi itu.

Ketika Rian bertemu dengan Kiran keesokan harinya, ia tampak lebih tenang dan percaya diri. "Aku merasakan sesuatu, Kiran. Seperti ada bagian dari diriku yang baru saja terlahir kembali."

Kiran menatap Rian dengan antusias. "Kamu ingat mimpi atau memori masa kecilmu?"

Rian mengangguk, tersenyum lemah. "Ya, tapi bukan hanya itu. Aku mulai merasa lebih hidup. Seolah-olah aku tidak lagi terperangkap dalam kendali pikiran sadar yang begitu kaku."

Bab 4: "Pemberontakan Kesadaran"

Eksperimen Dr. Sarman mulai menyebar secara diam-diam di kalangan mahasiswa Solaris yang merasa muak dengan kendali kesadaran berlebihan. Mereka mulai mempertanyakan nilai-nilai hidup mereka dan melihat kehidupan sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar produktivitas dan ketertiban.

Namun, pemerintah Solaris segera menyadari pergerakan ini. Mereka mengirimkan pasukan keamanan untuk memburu orang-orang yang menggunakan Reverie, menganggap mereka sebagai ancaman yang bisa menghancurkan tatanan sosial.

Di sebuah pertemuan rahasia, Rian, Kiran, dan beberapa mahasiswa lainnya berkumpul untuk mendiskusikan langkah selanjutnya.

"Kita tidak bisa berhenti sekarang," seru Rian dengan semangat yang menyala. "Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang kemanusiaan kita yang sebenarnya."

Kiran menggenggam tangan Rian. "Jika kita teruskan, kita mungkin akan dianggap kriminal. Apa kau benar-benar yakin ini jalan yang ingin kau tempuh?"

Rian menatap Kiran dengan mata penuh keyakinan. "Jika hidup kita hanya sekadar mengikuti perintah pikiran yang terprogram, apa gunanya kita ada di dunia ini?"

Bab 5: "Kebebasan yang Terlupakan"

Pertarungan antara pasukan pemerintah Solaris dan kelompok "Reverie" menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang telah menekan sisi manusiawi. Di tengah kekacauan itu, Dr. Sarman dan kelompok mahasiswa tersebut melarikan diri ke tempat tersembunyi, membangun komunitas kecil yang hidup dengan keseimbangan antara pikiran sadar dan bawah sadar.

Rian, kini menjadi pemimpin gerakan "Reverie", mulai menyadari bahwa kebebasan sejati tidak bisa diperoleh tanpa memahami ketakutan dan rasa sakit yang tersembunyi di bawah sadar. Di hadapan para pengikutnya, ia berkata, "Kita mungkin akan kehilangan segalanya, tapi kita memiliki kebebasan yang tak bisa mereka ambil. Kebebasan untuk merasakan, bermimpi, dan berjuang."

Kiran tersenyum bangga di sampingnya, sambil menggenggam tangan Rian erat. "Akhirnya, kita bisa merasakan kehidupan yang sesungguhnya."

Novel ini berakhir dengan sebuah gambaran tentang komunitas yang hidup dengan prinsip baru, mempertahankan keseimbangan antara kesadaran dan bawah sadar mereka. Mereka bukanlah manusia sempurna, tapi mereka manusia yang sepenuhnya hidup, menjalani hidup dengan segala kompleksitas dan kedalaman emosi.