CERITA FIKSI: KETIKA SELURUH MANUSIA DI DUNIA BERKEPRIBADIAN EXTROVERT

Bab 1: Dunia yang Tak Pernah Diam

Tahun 2024 menandai titik awal pergeseran global: populasi manusia yang semakin homogen dalam kepribadian. Genetika, lingkungan, dan budaya berkolaborasi membentuk masyarakat di mana 99% manusia lahir dengan kepribadian ekstrovert. Dunia menjadi tempat yang bising dan penuh energi—semua orang senang berbicara, mencari perhatian, dan berinteraksi tanpa henti. Tidak ada ruang untuk keheningan atau refleksi, karena kesendirian dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan menakutkan.

Konferensi besar, festival, dan interaksi publik menjadi bagian dari rutinitas harian. Kantor-kantor dipenuhi rapat tanpa henti. Orang-orang menghindari kesendirian, selalu mencari keramaian untuk merasa hidup. Setiap sudut kota menjadi panggung untuk berbicara dan bersosialisasi.


Narasi: Euforia dan Keretakan

Pada awalnya, masyarakat dunia merayakan era baru ini sebagai "masa keemasan." Kolaborasi meningkat, dan energi kolektif memicu kemajuan teknologi dan ekonomi. Tidak ada ruang untuk keraguan atau kebosanan—semua orang ingin terlibat dalam percakapan dan proyek besar.

Namun, dalam hiruk-pikuk ini, mulai tampak celah-celah yang mengkhawatirkan. Kelelahan emosional dan kejenuhan sosial menyebar seperti wabah. Tanpa waktu untuk diri sendiri, orang-orang mulai kehilangan arah dan makna. Setiap hubungan terasa intens namun dangkal. Konflik mudah muncul karena semua orang ingin didengar, tetapi hanya sedikit yang benar-benar mendengarkan.


Dialog: Sebuah Percakapan di Tengah Keramaian

Di sebuah kafe di pusat kota New York, Ava, seorang analis media sosial, sedang duduk bersama rekannya, Leo. Kafe itu penuh sesak dengan suara tawa, percakapan, dan musik yang tak henti-hentinya mengalun.

Ava: (sambil menyeruput kopi)
“Kamu nggak merasa capek, Leo? Setiap hari rasanya kayak pesta, tapi... aku nggak tahu lagi kapan terakhir kali aku sendirian.”

Leo: (tertawa)
“Kamu serius? Hidup cuma sekali, Ava. Kalau sendirian, itu namanya buang-buang waktu. Lagipula, kenapa harus sendirian kalau kita bisa selalu ketemu orang baru?”

Ava: (menunduk sedikit)
“Kadang aku merasa... kosong. Seperti semua ini cuma permukaan. Kita ngomong banyak, tapi nggak pernah benar-benar nyambung.”

Leo: (mengangkat bahu)
“Itu cuma perasaan kamu. Yang penting kita terus bergerak, terus bicara. Kalau berhenti, kita malah jadi gila.”


Narasi: Butterfly Effect (100 Tahun Kemudian)

Tahun 2124, dunia menghadapi krisis sosial dan psikologis yang serius. Efek dari 99% populasi ekstrovert mulai menggerogoti fondasi peradaban:

  1. Kelelahan Mental Kolektif
    Tanpa waktu untuk introspeksi, manusia mengalami burnout kronis. Orang-orang tak mampu menghadapi kesunyian, tetapi pada saat yang sama kelelahan dengan keramaian. Terapi dan perawatan kesehatan mental meningkat, tetapi kebanyakan orang tidak tahu cara mengatur batas sosial mereka.

  2. Kemunduran Intelektual dan Kreativitas Mendalam
    Sains dan seni mulai mengalami stagnasi. Inovasi yang mendalam membutuhkan waktu dan konsentrasi, tetapi dunia yang terus bising dan berisik tidak memberi ruang untuk itu. Semua orang fokus pada proyek cepat dan kolaboratif, namun sulit untuk menciptakan ide-ide revolusioner yang lahir dari pemikiran dalam dan refleksi.

  3. Hubungan yang Rapuh dan Rentan Konflik
    Masyarakat menjadi lebih mudah tersulut konflik. Setiap orang merasa perlu mengemukakan pendapatnya, tetapi sedikit yang mau mendengar. Ketegangan di dalam keluarga dan komunitas semakin tinggi, dan perceraian meningkat drastis. Keterlibatan sosial begitu intens hingga orang-orang merasa tercekik dengan ekspektasi sosial yang tinggi.

  4. Kehancuran Lingkungan Akibat Konsumerisme Berlebihan
    Ekstrovert cenderung lebih konsumtif, menikmati pengalaman sosial dan hiburan. Festival, konser, dan acara besar menjadi bagian dari rutinitas, tetapi ini mempercepat kerusakan lingkungan. Dunia penuh pesta tanpa henti, tetapi alam tidak bisa mengikuti laju konsumsi manusia.

  5. Kesulitan Menghadapi Krisis Global
    Saat krisis global seperti bencana alam atau perubahan iklim terjadi, masyarakat kesulitan bekerja sama secara efektif. Semua orang ingin menjadi pemimpin atau pusat perhatian, tetapi tidak ada cukup ketenangan dan ketertiban untuk mengambil keputusan yang tepat.


Dialog: Sebuah Percakapan Terakhir

Di tahun 2124, Ava yang kini sudah berusia lanjut duduk di taman kota dengan cucunya, Iris. Matahari hampir tenggelam, dan untuk pertama kalinya, taman itu terasa lebih sepi.

Iris: (berbisik)
“Aku capek, Oma. Setiap hari aku harus bicara dengan orang-orang. Aku ingin diam, tapi... rasanya nggak mungkin.”

Ava: (tersenyum lelah)
“Aku tahu rasanya, Sayang. Oma dulu juga seperti itu.”

Iris:
“Kenapa dunia seperti ini, Oma? Kenapa kita nggak boleh sendirian?”

Ava terdiam sejenak, menatap langit senja yang mulai memudar.

Ava:
“Kita terlalu takut dengan kesunyian, Iris. Tapi mungkin, dunia ini butuh sedikit sunyi.”

Iris menatap neneknya dengan mata penuh harapan.

Iris:
“Kita bisa mengubahnya?”

Ava: (menghela napas)
“Mungkin. Tapi perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil.”


Epilog: Awal dari Keheningan

Ava dan Iris memutuskan untuk melakukan sesuatu yang kecil tapi berarti: mereka mulai menghabiskan waktu dalam keheningan bersama. Tanpa kata, tanpa kebisingan. Di taman yang semakin sunyi, mereka menemukan kedamaian kecil yang terlupakan.

Butterfly effect dalam cerita ini menggambarkan bahwa dunia yang didominasi ekstrovert memang penuh energi, tetapi tanpa keseimbangan, energi itu bisa berbalik menjadi kekacauan. Namun, harapan selalu ada. Mungkin, dengan langkah-langkah kecil menuju keheningan, manusia bisa menemukan kembali arti keseimbangan dan kedamaian dalam hidup.

CERITA FIKSI: KETIKA SELURUH MANUSIA DI DUNIA BERKEPRIBADIAN INTROVERT


Bab 1: Era Keheningan

Tahun 2094, dunia berubah menjadi tempat yang tenang dan damai. Teknologi komunikasi berkembang pesat, dan dunia maya menjadi pengganti interaksi langsung. 99% populasi Bumi kini memiliki kepribadian introvert—cenderung menyendiri, menikmati waktu pribadi, dan merasa lebih nyaman dalam interaksi terbatas. Kebisingan publik lenyap; kota-kota besar yang dulunya ramai, kini sunyi. Kantor-kantor fisik kosong, digantikan dengan teleworking dan konferensi virtual tanpa kamera.

Orang-orang berkomunikasi seminimal mungkin, memilih pesan teks ketimbang panggilan suara atau tatap muka. Pusat perbelanjaan dan hiburan bergeser ke dunia digital. Namun, ada harga yang tak terlihat dari dunia yang semakin tertutup ini.


Narasi: Keindahan dan Kekosongan

Pada awalnya, perubahan ini dianggap sebagai langkah maju. Konflik sosial menurun drastis. Tidak ada demonstrasi besar, perkelahian di jalanan, atau kerumunan yang berdesak-desakan di pusat kota. Orang-orang menghargai privasi dan keheningan. Namun, dengan cepat muncul masalah baru yang tidak pernah terduga.

Tanpa banyak interaksi spontan, inovasi kreatif mulai melambat. Ide-ide brilian yang dulunya muncul dari pertemuan kebetulan di kafe atau seminar mulai berkurang. Sementara itu, hubungan personal menjadi semakin rapuh. Dengan orang-orang semakin jarang berkomunikasi langsung, ikatan emosional perlahan menghilang.


Dialog: Dua Sahabat di Dunia Sunyi

Di sebuah apartemen di Tokyo yang modern namun kosong, Yuna, seorang pekerja lepas, duduk di depan layar komputernya. Ia sedang menunggu pesan dari sahabat lamanya, Kai, yang tinggal di Berlin.

Yuna: (mengetik pesan di layar)
“Kai, sudah lama sekali. Apa kabar?”

Kai merespons setelah beberapa menit.

Kai:
“Aku baik. Kamu?”

Yuna mendesah pelan, menatap layar yang dingin dan tak bernyawa.

Yuna:
“Merasa agak... kosong belakangan ini. Kamu juga?”

Kai:
“Iya, aku rasa begitu. Semua terasa seperti... autopilot.”

Yuna:
“Apakah kamu kadang merasa... kesepian?”

Kai butuh beberapa detik sebelum membalas.

Kai:
“Kesepian... tapi anehnya nyaman juga. Aku tidak ingin banyak berinteraksi, tapi di saat bersamaan, ada perasaan hampa.”

Yuna menatap pesannya cukup lama sebelum akhirnya membalas.

Yuna:
“Mungkin kita semua seperti itu sekarang. Dunia jadi sunyi, tapi bukan berarti kita bahagia.”


Narasi: Butterfly Effect (50 Tahun Kemudian)

Lima dekade setelah transisi dunia ke dominasi kepribadian introvert, muncul efek riak yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan:

  1. Kemunduran Inovasi Sosial
    Dengan orang-orang lebih suka bekerja sendiri dan jarang berkolaborasi, inovasi mulai stagnan. Teknologi tetap maju, tetapi sebagian besar hanya berupa peningkatan kecil, bukan terobosan besar. Banyak ide potensial tidak pernah berkembang karena kurangnya diskusi dan pertukaran gagasan.

  2. Krisis Kesehatan Mental
    Meskipun introversi bukan masalah pada dasarnya, kurangnya interaksi sosial yang bermakna menimbulkan krisis kesehatan mental. Depresi dan kecemasan meningkat, tetapi banyak orang enggan mencari bantuan karena tidak ingin terbuka kepada orang lain. Layanan kesehatan mental yang tersedia sebagian besar berbasis aplikasi dan chatbot AI, tetapi ini tidak cukup menggantikan hubungan manusia nyata.

  3. Keruntuhan Komunitas dan Keluarga
    Keluarga dan komunitas tradisional hampir tidak lagi berfungsi. Hubungan romantis dan pernikahan menjadi langka karena kebanyakan orang merasa nyaman sendiri. Tingkat kelahiran anjlok, dan manusia mulai mengandalkan teknologi reproduksi buatan untuk bertahan hidup. Namun, anak-anak yang lahir di era ini tumbuh tanpa ikatan kuat dengan orang tua atau keluarga, memperkuat siklus keterasingan sosial.

  4. Ekonomi yang Lambat tapi Stabil
    Ekonomi dunia beradaptasi dengan pola konsumsi yang minimalis. Orang-orang tidak tertarik pada gaya hidup mewah atau pengalaman sosial yang mahal. Ekonomi berbasis pengalaman—seperti pariwisata, hiburan, dan restoran—menurun drastis. Industri e-commerce dan hiburan virtual menjadi tulang punggung ekonomi, tetapi kreativitas di sektor ini mulai memudar.

  5. Kerentanan Terhadap Krisis Global
    Dalam keadaan darurat seperti bencana alam atau pandemi, orang-orang kesulitan bekerja sama secara efektif. Dengan kurangnya keterampilan komunikasi dan kolaborasi, respons terhadap krisis menjadi lamban dan tidak terkoordinasi, memperburuk dampaknya.


Dialog: Harapan yang Tersisa

Di suatu malam yang sunyi, Yuna dan Kai akhirnya memutuskan untuk bertemu secara langsung—untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Mereka duduk di bangku taman kota Berlin yang sepi, dikelilingi oleh lampu jalan redup.

Kai: (memandang langit)
“Ini aneh. Bertahun-tahun kita bicara lewat layar, tapi sekarang, bertatap muka rasanya... canggung.”

Yuna: (tertawa pelan)
“Aku bahkan lupa bagaimana caranya berbasa-basi.”

Mereka terdiam sejenak, meresapi suasana yang asing namun menyegarkan.

Kai:
“Mungkin, kita semua butuh sedikit lebih banyak interaksi seperti ini. Dunia kita terlalu sepi.”

Yuna:
“Tapi bagaimana caranya? Semua orang sudah terbiasa sendiri.”

Kai:
“Mungkin kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Satu percakapan setiap hari. Satu senyuman untuk orang asing. Mungkin itu cukup untuk mengubah sesuatu.”

Yuna tersenyum dan menatap sahabatnya.

Yuna:
“Kedengarannya seperti rencana.”


Epilog: Awal Baru yang Perlahan

Dunia mungkin sudah berubah menjadi tempat yang sunyi, tetapi masih ada harapan bagi umat manusia untuk menemukan kembali arti dari hubungan dan kebersamaan. Perubahan tidak terjadi seketika, tetapi seperti riak di air, sebuah senyuman atau percakapan kecil bisa membawa dampak besar di masa depan.

Butterfly effect dalam cerita ini menunjukkan bahwa sifat-sifat manusia, jika didominasi oleh satu kepribadian saja, dapat memengaruhi seluruh sistem sosial, ekonomi, dan psikologis. Namun, bahkan dalam kegelapan, selalu ada secercah harapan. Mungkin, dengan kesadaran akan pentingnya keseimbangan, manusia bisa membangun dunia yang lebih harmonis—di mana introversi dan ekstroversi saling melengkapi, bukan saling mendominasi.

CERITA FIKSI: AIR KEABADIAN DAN EFEK DOMINONYA

Petualangan Tak Terduga

Di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra, seorang remaja bernama Rama dikenal gemar menjelajah hutan. Suatu sore, ia menemukan sebuah gua tersembunyi di balik rerimbunan pohon besar. Didorong oleh rasa penasaran, Rama memutuskan untuk masuk.

Langkah kakinya bergema dalam kegelapan gua. Di dalam, ia menemukan sebuah kolam kecil berisi air yang sangat jernih, berkilauan seperti kristal di bawah cahaya remang yang menembus celah-celah batu. Karena lelah dan haus, Rama menangkupkan tangannya dan meminum air tersebut.

“Rasanya segar sekali,” gumamnya puas. Tanpa sadar, ia telah meminum sesuatu yang akan mengubah takdirnya.


Dialog di Rumah

Beberapa hari setelah kejadian di gua, Rama duduk bersama kakeknya, Pak Wirya, di teras rumah.
“Kakek, ada hal aneh. Luka di tangan saya yang seminggu lalu masih berdarah, sekarang sudah hilang tanpa bekas.”

Pak Wirya tertawa kecil. “Anak muda, kamu terlalu banyak nonton film. Luka kecil memang cepat sembuh.”

“Tapi bukan cuma itu, Kek,” kata Rama serius. “Sejak minum air dari gua itu, saya merasa… berbeda. Tidak lelah, tidak sakit. Bahkan, tubuh saya terasa lebih kuat.”

Kakeknya mengernyit. “Air apa itu? Kamu harus hati-hati, Rama. Alam sering menyimpan rahasia yang tidak boleh diusik manusia.”

Rama hanya mengangguk, meski pikirannya terus dibebani oleh rasa penasaran.


Narasi: Tahun-tahun Awal Keabadian

Seiring berjalannya waktu, Rama menyadari bahwa tubuhnya benar-benar berhenti menua. Ketika teman-teman sebayanya mulai beranjak dewasa, tubuh Rama tetap seperti anak remaja berusia 17 tahun. Sepuluh tahun berlalu, dan ia menyaksikan kakeknya meninggal dunia, sedangkan dirinya tetap tak berubah. Rama mulai mengerti: ia telah mendapatkan kehidupan yang hampir abadi.

Namun, ada harga yang harus dibayar. Setelah 30 tahun, Rama merasa terasing. Teman-teman dan keluarga meninggalkannya, sementara ia terus menjalani hidup tanpa tujuan yang jelas. Ia harus berpindah-pindah kota dan mengganti identitas berkali-kali agar tidak menimbulkan kecurigaan.


Dialog dengan Seorang Teman Lama

Pada tahun 2070, Rama bertemu kembali dengan Farhan, seorang sahabat lama yang kini sudah tua renta. Mereka duduk di sebuah kafe di Jakarta.
“Rama… Kamu? Masih seperti dulu? Bagaimana bisa?” tanya Farhan terkejut.

Rama tersenyum pahit. “Aku minum air dari sebuah gua bertahun-tahun lalu. Aku tidak bisa menua.”

Farhan terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin kedengarannya hebat, tapi apa kamu tidak merasa lelah hidup terus-terusan seperti ini?”

Rama menghela napas panjang. “Kadang, aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. Orang-orang yang aku sayangi pergi satu per satu, sementara aku tetap di sini, sendirian.”


Butterfly Effect: Dunia dalam Bayangan Keabadian

Rama mencoba menjalani hidupnya dengan hati-hati agar keberadaannya tidak menarik perhatian. Namun, suatu hari, seorang ilmuwan tanpa sengaja mengetahui rahasia keabadiannya. Informasi ini bocor dan akhirnya tersebar luas. Dunia menjadi gempar. Orang-orang berbondong-bondong mencari gua misterius itu untuk mendapatkan kehidupan abadi.

Pemerintah di seluruh dunia mulai berlomba-lomba mengirim ekspedisi ke Sumatra, berusaha menemukan gua tersebut. Namun, air abadi yang ditemukan Rama ternyata tak hanya memberikan kehidupan panjang, tapi juga efek samping mengerikan: semakin lama seseorang hidup, semakin besar risiko mereka kehilangan emosi dan kepekaan, menjadi seperti cangkang kosong yang hanya eksis secara fisik.


Tahun 2150: Keabadian yang Menghancurkan

Pada abad ke-22, segelintir orang kaya dan berkuasa berhasil mendapatkan akses ke air abadi. Namun, alih-alih menjadi berkah, kehidupan panjang mereka membawa kekacauan. Para elit tak mau melepaskan kekuasaan, membuat struktur sosial dan politik dunia menjadi stagnan. Generasi muda kehilangan kesempatan untuk berkembang karena dunia dikendalikan oleh orang-orang yang sudah hidup ratusan tahun.

Pemberontakan terjadi di mana-mana. Orang-orang yang tidak bisa mendapatkan air abadi merasa ditindas, sementara mereka yang sudah hidup terlalu lama mulai kehilangan makna hidup. Ekonomi dan peradaban manusia mulai runtuh karena tidak ada lagi motivasi untuk berkembang. Kehidupan abadi ternyata menghilangkan rasa urgensi dan tujuan.


Dialog Terakhir di Gua

Pada tahun 2200, Rama kembali ke gua tempat ia pertama kali meminum air abadi. Kali ini, ia ditemani oleh seorang wanita bernama Mira, seorang ilmuwan yang ingin menghentikan kekacauan yang terjadi akibat keabadian.

“Kita harus menghancurkan sumber air ini,” kata Mira dengan tegas.

Rama menatap kolam jernih itu, teringat pada dirinya yang dulu—seorang remaja polos yang hanya ingin minum karena haus. “Air ini tidak seharusnya ditemukan,” gumamnya. “Kehidupan abadi bukan berkah. Ini kutukan.”

Mira mengangguk. “Jika kita biarkan, dunia akan terus terjebak dalam kekacauan.”

Dengan hati-hati, mereka menutup mulut gua dan menghancurkan sumber airnya. Saat pintu gua tertutup rapat, Rama merasa seolah-olah beban berat terangkat dari pundaknya.


Epilog: Harapan dalam Keterbatasan

Dengan hilangnya sumber air abadi, dunia perlahan berubah. Mereka yang telah meminum air itu mulai merasakan efek tubuh menua kembali. Kehidupan kembali berjalan seperti semula—dengan keterbatasan, kematian, dan kesempatan baru bagi setiap generasi.

Rama, meskipun masih abadi, akhirnya menemukan kedamaian. Ia memutuskan untuk menjalani hidup dengan cara yang berbeda, membantu orang lain memahami bahwa kehidupan adalah tentang makna, bukan tentang lamanya.

Pada suatu hari, ia berkata kepada Mira, “Aku mungkin akan hidup lebih lama dari siapa pun, tapi akhirnya aku paham. Hidup itu berarti justru karena ada akhirnya.”

Dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, Rama tersenyum.

FIKSI ILMIAH: APA JADINYA KALAU MESIN WAKTU DIPAKAI ORANG INDONESIA?

 Tahun 2032: Peluncuran ChronoBook di Indonesia

Perangkat mesin waktu ChronoBook akhirnya masuk ke pasar Indonesia. Tanpa ada regulasi ketat dari pemerintah, siapa pun bisa membeli dan menggunakan teknologi canggih itu. Perangkat ini tersedia di e-commerce, toko elektronik, dan bahkan dijual oleh pedagang kaki lima. Harganya terjangkau, hanya setara dengan smartphone kelas menengah. Promosinya pun bombastis: “Ubah kesalahanmu! Kembali ke masa lalu dan perbaiki hidupmu!”

Namun, dengan tingkat literasi teknologi dan kesadaran masyarakat yang masih rendah, ancaman tak terlihat mulai mengintai.


Dialog di Warung Kopi, Jakarta

“Gue nyesel banget kemarin nggak ngejawab pertanyaan dosen dengan bener,” keluh Dimas kepada teman-temannya di warung kopi.

“Ya udah, pakai aja ChronoBook,” saran Rizky sambil menyeruput kopi hitamnya. “Tinggal balik sehari ke belakang, lo bisa jawab ulang tuh.”

Dimas mengeluarkan ChronoBook dari tasnya, perangkat itu terlihat seperti laptop kecil dengan layar sentuh berwarna biru. Ia menekan beberapa tombol dan mengatur waktunya kembali ke satu hari yang lalu. Dalam sekejap, tubuh Dimas bergetar, dan ia menghilang dari tempat duduknya. Tak sampai semenit, Dimas kembali muncul dengan wajah sumringah.

“Berhasil, bro! Gue jawab ulang tadi, dosen langsung ngasih nilai A!”

Rizky tertawa. “Gila, enak banget, ya. Ini mesin kayak cheat dalam hidup!”

Namun, di sudut ruangan, seorang pria tua bernama Pak Joko hanya menggelengkan kepala. “Kalian pikir ini mainan? Hati-hati. Sekali kalian ubah masa lalu, masa depan bisa berantakan.”


Efek Jangka Pendek: Kekacauan Waktu di Masyarakat

Tidak lama setelah ChronoBook dipasarkan, masyarakat mulai menggunakannya tanpa kendali. Pelajar yang gagal ujian kembali ke masa lalu untuk memperbaiki nilai mereka. Pedagang yang mengalami kerugian menggunakan mesin itu untuk menghindari transaksi yang merugikan. Bahkan, pasangan suami-istri menggunakan ChronoBook untuk mencegah pertengkaran atau kebohongan yang pernah terjadi.

Namun, semakin banyak orang mengubah masa lalu, semakin kacau masa depan. Transaksi bisnis yang seharusnya terjadi tiba-tiba lenyap dari catatan. Kesepakatan penting yang sudah diambil hilang tanpa jejak. Orang-orang mulai mengalami kebingungan karena peristiwa yang mereka ingat tidak lagi sama dengan realitas di sekitar mereka.


Dialog di Kantor Pemerintah, 2035

Di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, para pejabat bingung mencari solusi. Menteri Kominfo, Ibu Ratna, terlihat frustrasi sambil membaca laporan.

“Ini sudah tidak bisa dibiarkan,” katanya kepada timnya. “Setiap orang mengubah waktu sesuka hati. Bisnis kacau, catatan pemerintah tidak konsisten, dan bahkan ada orang yang kembali ke masa lalu untuk menghindari pernikahan mereka!”

Seorang pejabat lain menambahkan, “Kami bahkan tidak bisa melacak siapa yang melakukan perubahan. Semua orang punya ChronoBook. Kita harus segera bikin regulasi.”

Ratna menghela napas. “Terlambat. Kacaunya sudah di luar kendali.”


Narasi: Efek Domino yang Tidak Terkendali

Tahun demi tahun, kekacauan semakin memuncak. Para politisi menggunakan ChronoBook untuk memutar ulang kampanye dan memperbaiki kesalahan yang merugikan mereka. Pejabat korup menghapus bukti kejahatan mereka di masa lalu. Orang-orang yang meninggal dalam kecelakaan atau bencana tiba-tiba kembali hidup, tetapi dengan memori yang tidak sinkron dengan realitas yang ada.

Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap peristiwa sejarah. Pilihan-pilihan politik, keputusan bisnis, dan bahkan hubungan pribadi menjadi tidak bisa dipercaya karena bisa saja diubah kapan saja. Institusi-institusi mulai runtuh, karena semua catatan dan dokumen menjadi tidak relevan dalam dunia yang terus-menerus berubah.


Dialog di Bandung, Tahun 2045

Di sebuah kamar kos sederhana, seorang pemuda bernama Rian berbicara dengan temannya, Siska. Wajah Rian terlihat penuh kecemasan.

“Siska, gue nyoba balikin waktu buat ngehindarin kecelakaan adik gue kemarin. Tapi malah jadi kacau. Sekarang dia nggak pernah lahir…”

Siska menatapnya dengan prihatin. “Gue udah bilang, Ri. Ini nggak main-main. Lo pikir lo bisa ngeperbaiki segalanya, tapi ternyata ada harga yang harus dibayar.”

“Terus gue harus gimana? Gue nggak bisa hidup dengan rasa bersalah ini.”

Siska menggenggam tangan Rian. “Kadang-kadang, kita harus terima apa yang udah terjadi. Masa lalu itu nggak seharusnya diubah.”


2050: Kehancuran Sosial dan Ekonomi

Pada tahun 2050, efek penggunaan ChronoBook sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Pemerintah kehilangan kendali penuh atas catatan kependudukan dan administrasi. Identitas orang-orang berubah tanpa henti, dan peristiwa-peristiwa penting tidak bisa lagi dipastikan kebenarannya. Sistem ekonomi runtuh karena setiap transaksi bisa diubah kapan saja.

Masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang hidup dengan “versi” realitas masing-masing. Mereka tidak lagi mempercayai apa pun—bahkan waktu itu sendiri. Sementara itu, beberapa orang memilih untuk terus-menerus menggunakan ChronoBook, terjebak dalam lingkaran tanpa akhir, selalu mencoba memperbaiki sesuatu tetapi malah membuat keadaan semakin buruk.


Dialog Terakhir di Tahun 2080

Di sisa-sisa Jakarta yang kacau, seorang pria tua bernama Pak Joko berbicara dengan seorang anak muda yang kebingungan.

“Pak, kenapa semua jadi kayak gini? Apa nggak ada cara buat balikin semuanya?”

Pak Joko tersenyum lemah. “Semuanya berubah karena kita terlalu serakah. Kita pikir kita bisa memperbaiki kesalahan kita dengan mengubah masa lalu. Tapi kenyataannya, hidup itu nggak sempurna. Kesalahan harus diterima, bukan dihindari.”

Anak muda itu terdiam. “Jadi, kita nggak bisa ngapa-ngapain lagi?”

Pak Joko mengangguk. “Kadang, satu-satunya cara buat maju adalah dengan berhenti berusaha kembali.”


Epilog: Dunia Tanpa Arah

ChronoBook, yang dulunya dianggap sebagai anugerah teknologi, kini menjadi simbol kehancuran. Dunia tidak lagi memiliki arah atau masa depan, karena masa lalu terus-menerus diubah.

Di suatu tempat, di pojok toko elektronik yang berdebu, tersisa satu ChronoBook tua yang tak terpakai. Seorang anak kecil melihatnya, menatap layar birunya dengan rasa penasaran, dan bertanya dalam hati: “Apa yang akan terjadi kalau aku menekan tombol ini?”

Dunia diam, menunggu kemungkinan baru—entah untuk berubah lagi atau akhirnya berhenti berubah selamanya.