FIKSI ILMIAH: MESIN WAKTU SEUKURAN LAPTOP

 Tahun 2028: Penemuan yang Mengubah Dunia

Di sebuah laboratorium kecil di Palo Alto, Amerika Serikat, seorang ilmuwan bernama Dr. Alan Morgan akhirnya menyelesaikan prototipe terobosannya—sebuah perangkat seukuran laptop bernama ChronoBook. Ini bukan sekadar komputer biasa, melainkan mesin waktu portabel pertama di dunia. Setelah bertahun-tahun melakukan percobaan menggunakan teori relativitas dan fisika kuantum, Dr. Morgan berhasil memecahkan salah satu misteri terbesar dalam sejarah manusia: perjalanan waktu.


Dialog di Laboratorium

Alan berdiri di depan layar monitor sambil menggigit bibirnya, melihat data uji coba terakhir. Temannya, Emily Harper, seorang ahli fisika teori, berdiri di sampingnya dengan wajah tegang.

“Kalau ini gagal lagi, kita bisa dihentikan untuk selamanya,” kata Emily.

Alan mengangguk sambil mengatur koordinat waktu pada ChronoBook. “Ini tidak akan gagal. Aku sudah memperhitungkan setiap variabel.”

Di layar kecil perangkat itu, tampak pilihan waktu dan tempat: Palo Alto, 2027. Alan menekan tombol Start. Dalam sekejap, ruangan itu bergetar, dan seolah-olah angin tak terlihat menyapu mereka. Dalam beberapa detik, ChronoBook berhasil mengirim Emily ke masa lalu—tepat satu menit sebelum uji coba dimulai.

Emily muncul kembali di sudut ruangan, terengah-engah tapi masih utuh. “Kita berhasil! Ini benar-benar berhasil!”

Alan tertawa lega. “Ini bukan sekadar penemuan, Emily. Ini revolusi.”


ChronoBook Dipasarkan ke Dunia: 2030

Dua tahun setelah uji coba sukses itu, perusahaan teknologi besar bekerja sama dengan Dr. Morgan untuk memproduksi ChronoBook secara massal. Dengan teknologi stabil dan fitur keamanan, perangkat itu memungkinkan perjalanan waktu dalam skala kecil—hanya beberapa jam atau hari ke masa lalu. Harganya juga terjangkau, membuat semua orang, dari pelajar hingga pebisnis, bisa memiliki akses ke mesin waktu ini.

Banyak yang menggunakannya untuk alasan sederhana—menghindari kecelakaan, memperbaiki wawancara kerja yang gagal, atau mendapatkan kembali barang yang hilang. Perusahaan besar mulai menggunakan mesin waktu ini untuk memutar ulang keputusan bisnis. Bahkan, beberapa kota besar mengizinkan polisi menggunakan ChronoBook untuk mencegah tindak kejahatan sebelum terjadi.

Namun, dampaknya mulai terasa jauh lebih cepat dari yang dibayangkan.


Dialog di Markas Keamanan Global, 2035

Alan Morgan kini duduk di depan meja seorang pejabat tinggi di Markas Keamanan Global (GSA). Wajahnya terlihat lelah. Di depannya, seorang wanita bernama Mayor Lisa Clark menatapnya dengan tajam.

“Dr. Morgan, Anda tahu apa yang telah Anda lakukan?” Lisa berkata sambil memutar layar laptopnya, memperlihatkan grafik tentang lonjakan anomali waktu di berbagai kota dunia. “Kita punya ribuan orang mengubah masa lalu setiap hari. Setiap perubahan kecil menciptakan efek domino yang semakin tak terkendali.”

Alan menggeleng. “Aku sudah memasang protokol keamanan. Setiap perjalanan dibatasi—mereka tidak bisa kembali terlalu jauh.”

Lisa mendengus. “Itu tidak penting. Anda pernah dengar teori Butterfly Effect, bukan? Bahkan perubahan sekecil apa pun bisa menyebabkan kekacauan besar di masa depan.”


Efek Domino Mulai Terasa: 2050

Dalam dua dekade, ChronoBook telah sepenuhnya mengubah tatanan dunia. Pemerintah, perusahaan, dan individu tanpa sadar menciptakan realitas baru dengan setiap lompatan waktu kecil. Beberapa negara yang dulu makmur tiba-tiba mengalami resesi karena satu peristiwa diubah. Ilmuwan yang seharusnya menemukan vaksin penting mendadak tidak pernah lahir karena perubahan di garis waktu keluarganya. Hubungan internasional juga kacau—aliansi yang terbentuk di masa lalu lenyap begitu saja, digantikan oleh konflik baru.

Muncul juga masalah sosial yang tak terduga. Banyak orang kecanduan menggunakan ChronoBook untuk memperbaiki kesalahan pribadi, membuat mereka terjebak dalam siklus tanpa akhir. Dunia terfragmentasi menjadi ribuan kemungkinan alternatif, dengan setiap orang mencoba memperbaiki sesuatu yang menurut mereka salah. Hasilnya, masa depan menjadi kabur dan tidak stabil.


Dialog di Masa Depan Alternatif, 2078

Di sebuah ruangan gelap, seorang lelaki tua bernama Adam—salah satu anak muda pertama yang menggunakan ChronoBook pada tahun 2030—berbicara dengan cucunya. Mereka hidup di dunia yang hancur oleh ketidakstabilan waktu.

“Kakek, kenapa dunia jadi begini?” tanya si cucu, matanya penuh kebingungan.

Adam mendesah, mengusap wajahnya yang keriput. “Karena kami pikir kami bisa memperbaiki segalanya.”

“Tapi bukankah kita bisa kembali lagi dan mengubahnya?” tanya si cucu polos.

Adam menggeleng. “Tidak ada lagi yang tahu mana masa lalu yang benar. Semua sudah terfragmentasi. Tidak ada lagi yang bisa kita percayai.”


Upaya Terakhir: Menyegel Waktu

Pada tahun 2080, para ilmuwan dari berbagai penjuru dunia berusaha memperbaiki kekacauan ini. Mereka mengembangkan perangkat bernama ChronoLock, yang dirancang untuk menyegel setiap anomali waktu dan menghentikan penggunaan ChronoBook secara global. Namun, tugas ini tidak mudah—ada terlalu banyak realitas alternatif yang tercipta, dan tidak ada jaminan bahwa upaya mereka akan berhasil.

Dalam rapat terakhir para ilmuwan, Emily Harper—yang kini sudah lanjut usia—berbicara dengan Alan Morgan, yang tampak lebih lemah dari sebelumnya.

“Ini semua salah kita, Alan,” kata Emily. “Kita terlalu percaya bahwa kita bisa mengendalikan waktu.”

Alan tersenyum pahit. “Waktu bukan untuk dikendalikan, Emily. Ia adalah sesuatu yang harus dihormati.”

Mereka menekan tombol terakhir pada ChronoLock, berharap bahwa ini akan mengembalikan dunia ke garis waktu asalnya—atau setidaknya menghentikan kekacauan lebih lanjut.


Epilog: Sebuah Dunia yang Baru

Setelah ChronoLock diaktifkan, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Beberapa orang mendapati hidup mereka berbeda dari sebelumnya—mereka bangun di dunia di mana peristiwa-peristiwa besar yang mereka kenal tidak pernah terjadi. Bagi sebagian besar orang, ini hanya terlihat seperti mimpi buruk yang berakhir tiba-tiba.

Namun, pelajaran yang ditinggalkan oleh ChronoBook tetap ada. Manusia menyadari bahwa waktu bukanlah alat yang bisa dimanipulasi sesuka hati. Masa lalu bukan untuk diperbaiki, dan masa depan bukan untuk diprediksi.

Dan di suatu tempat, di sebuah ruangan berdebu yang terlupakan, sebuah ChronoBook terakhir masih menyala—menunggu seseorang untuk menekan tombolnya sekali lagi.

CERITA FIKSI: BAGAIMANA KALAU AS DAN NATO MENJADI PENGUASA TUNGGAL TANPA RUSIA

 "Bayangan Tanpa Batas"


Tahun 2025 menandai titik akhir perlawanan besar terakhir di dunia. Setelah bertahun-tahun perang dingin, invasi militer, dan sanksi ekonomi, NATO akhirnya berhasil menumbangkan empat negara yang dianggap ancaman utama: Rusia, Cina, Iran, dan Korea Utara. Melalui operasi rahasia dan intervensi militer, rezim-rezim lama digulingkan dan digantikan oleh pemimpin-pemimpin boneka pro-Barat.

Vladimir Zhukov di Rusia, Li Xuan di Cina, Reza Farrokh di Iran, dan Park Ji-ho di Korea Utara adalah wajah-wajah baru yang dipasang dengan janji reformasi, kebebasan, dan modernisasi. Namun, dalam bayang-bayang kemewahan konferensi internasional dan deklarasi kerja sama, dunia perlahan memasuki era baru di mana dominasi mutlak Barat tidak lagi mendapat tantangan.


Dialog Rahasia di Brussels, Markas Besar NATO, 2026

Seorang pejabat tinggi NATO, Jenderal Richard Donovan, duduk bersama kepala intelijen CIA dan MI6 dalam ruang rapat tertutup. Di meja terdapat laporan mengenai perkembangan politik di empat negara yang baru saja mereka "bebaskan".

“Rusia kini terpecah dalam faksi-faksi oligarki yang kita kendalikan,” kata Donovan sambil menyesap kopinya. “Zhukov sepenuhnya patuh. Tapi ada kekhawatiran di Iran dan Korea Utara. Farrokh dan Park mulai memperlihatkan gejala resisten. Apakah kita harus mengintervensi lagi?”

“Kita tak bisa membiarkan mereka punya kehendak sendiri,” ujar Direktur MI6, berbisik tajam. “Mereka ada di sana untuk satu alasan: menjaga stabilitas yang kita rancang.”

“Bagaimana dengan Cina?” tanya Donovan sambil menatap Direktur CIA.

“Li Xuan mengikuti rencana dengan baik,” jawabnya. “Ia menjadikan Cina pusat produksi global untuk kita. Tidak ada lagi ambisi kekaisaran atau militer. Penduduknya hanya fokus bekerja.”

Donovan tersenyum dingin. “Baik. Dunia akhirnya berada di bawah kendali penuh. Kini kita bisa membangun apa pun yang kita mau.”


Narasi: Dunia Baru Tanpa Penyeimbang

Pada tahun 2035, dua dekade setelah pengambilalihan Rusia, Cina, Iran, dan Korea Utara, seluruh dunia tampak berjalan di bawah satu tatanan yang rapi. Kapitalisme Barat mendominasi setiap sudut bumi. Di Rusia, oligarki baru memperdagangkan gas dan minyak langsung kepada perusahaan-perusahaan Amerika. Cina berubah menjadi pusat manufaktur total yang memproduksi segala kebutuhan dunia, dengan pekerja-pekerjanya bekerja dalam jam panjang tanpa hak berserikat. Di Iran, kebudayaan lama ditinggalkan; syariat diganti dengan sistem sekuler pro-Barat yang menekan setiap bentuk oposisi. Sementara itu, Korea Utara menjadi negara satelit penuh pengawasan, model eksperimen kontrol sosial digital.

Namun, di bawah permukaan kemajuan ini, sesuatu yang tidak beres mulai tampak. Tanpa ada kekuatan penyeimbang di dunia—baik politik, militer, maupun ideologis—keserakahan mulai tumbuh tanpa batas. Perusahaan-perusahaan multinasional menguasai hampir setiap aspek kehidupan: dari air minum hingga layanan kesehatan. Pemerintah negara-negara hanya menjadi pelengkap bagi kepentingan bisnis besar. Kebebasan individu, yang dulu dijanjikan sebagai inti demokrasi, perlahan terkikis oleh pengawasan total.


Dialog di Moskow, 2045

Vladimir Zhukov, Presiden Rusia boneka, duduk di kantornya yang mewah, wajahnya penuh keraguan. Di seberangnya duduk seorang diplomat Amerika, John Miller, yang tersenyum puas.

“Lima belas tahun memimpin dan Anda masih ragu, Vladimir?” kata Miller sambil menyulut cerutunya.

“Aku tidak ragu, hanya lelah,” sahut Zhukov. “Rakyatku mulai sadar bahwa kebebasan yang kita janjikan hanya ilusi. Mereka lapar, miskin, dan setiap kali mereka bicara, kita bungkam dengan gas air mata dan peluru.”

“Lalu?” jawab Miller datar. “Bukankah itu yang kita sepakati? Stabilitas di atas segalanya.”

Zhukov terdiam. “Aku ingin tahu, John. Apa jadinya dunia kalau kita tidak pernah kalah?”

Miller tertawa. “Mereka sudah memilih, Vladimir. Dan kau sebaiknya mengingat itu.”


Efek Domino: 2075, 50 Tahun Kemudian

Pada tahun 2075, dunia yang sepenuhnya dikendalikan oleh Barat tidak lagi terasa seperti peradaban, tetapi lebih seperti mesin raksasa yang bekerja tanpa henti. Tanpa adanya kekuatan oposisi untuk menyeimbangkan dominasi Barat, kesenjangan ekonomi dan sosial semakin melebar. Teknologi berkembang pesat, tetapi hanya untuk kepentingan kaum elit. AI dan algoritma mengendalikan kehidupan manusia hingga ke hal-hal terkecil, dari pekerjaan hingga preferensi pribadi. Setiap gerakan dipantau; setiap pemikiran dikendalikan.

Di tengah kemajuan ini, gerakan perlawanan bawah tanah muncul di berbagai penjuru. Mereka terdiri dari generasi muda yang tidak pernah merasakan kebebasan sejati dan mulai mempertanyakan tatanan dunia. Di Moskow, Teheran, Beijing, dan Pyongyang, jaringan pemberontak mulai terjalin diam-diam. Mereka menyebut diri mereka "Bayangan Dunia"—sebuah simbol dari keinginan untuk keluar dari dominasi yang mematikan kreativitas dan kemanusiaan.


Dialog Terakhir di Beijing, 2075

Di sebuah ruangan bawah tanah di Beijing, Li Wei, seorang pemuda pemberontak, berdiskusi dengan rekannya dari Rusia, Iran, dan Korea Utara melalui saluran komunikasi rahasia.

“Ini adalah saatnya,” kata Li Wei. “Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Dunia harus berubah.”

“Tapi bagaimana caranya?” tanya Arash dari Teheran. “Mereka punya segalanya—senjata, teknologi, dan kontrol total.”

“Kita tidak butuh banyak,” jawab Li Wei. “Yang kita perlukan hanyalah percikan kecil. Dunia ini seperti dinamit—siap meledak kapan saja.”

Di ujung lain saluran, Yuri dari Moskow menimpali, “Mereka pikir mereka abadi, tapi kekuasaan seperti ini tidak pernah bertahan lama.”

Park Min-ji dari Pyongyang menambahkan, “Kita akan buat mereka merasakan apa yang mereka lakukan pada leluhur kita. Bukan lewat perang, tapi dengan mengambil kembali sesuatu yang paling mereka takutkan: harapan.”


Epilog

Pada akhirnya, tatanan dunia Barat yang tampak tak tergoyahkan mulai retak, bukan karena invasi besar atau revolusi kekerasan, tetapi karena ketidakpuasan kecil yang menyebar seperti api. Tanpa penyeimbang ideologis, dunia yang dulu dianggap stabil berubah menjadi rapuh, dan pada tahun 2075, api pemberontakan kembali menyala.

Dunia telah belajar satu pelajaran penting: ketika kekuasaan tanpa batas memonopoli segalanya, selalu ada yang akan berdiri melawan, karena manusia tidak diciptakan untuk hidup tanpa harapan dan kebebasan.

CERITA FIKSI: NASIB INDONESIA KALAU JEPANG TIDAK KENA BOM ATOM OLEH AS

 "Tanah di Bawah Matahari Terbit"


Pada tahun 1945, kemenangan Blok Poros membawa perubahan besar bagi Hindia Belanda. Jepang, yang telah menduduki wilayah ini, tidak hanya menggusur kekuasaan kolonial Belanda tetapi juga membentuk rezim baru. Alih-alih memberikan kemerdekaan, Jepang mengintegrasikan Hindia Belanda ke dalam Dai Nippon Teikoku (Kekaisaran Jepang Raya). Dengan sumber daya melimpah—seperti minyak, karet, dan bijih logam—kepulauan ini menjadi pilar ekonomi Kekaisaran di Asia Tenggara.


Jakarta, 17 Agustus 1945

Di Istana Merdeka—yang kini diubah menjadi Kantor Gubernur Jepang—berlangsung pertemuan penting antara perwakilan militer Jepang dan beberapa pemimpin lokal. Soekarno dan Hatta, yang awalnya bekerja sama dengan Jepang dengan harapan bisa mendapatkan kemerdekaan, kini dihadapkan pada kenyataan pahit.

“Tidak ada kemerdekaan bagi Hindia,” kata Jenderal Nishimura tegas. “Kalian semua akan menjadi bagian dari Kekaisaran. Ini adalah takdir kalian.”

Soekarno mengepalkan tangannya. “Kami telah membantu kalian. Kami ingin tanah kami merdeka, bukan sekadar berganti penjajah.”

Nishimura tertawa dingin. “Kalian tidak mengerti. Di dunia baru ini, hanya yang kuat yang berhak menentukan masa depan. Jepang adalah matahari, dan kalian hanyalah bayangan di bawah sinarnya.”


Nasib Indonesia di Era 1950-an

Pada dekade berikutnya, Indonesia menjadi wilayah strategis yang sepenuhnya diawasi oleh pemerintahan militer Jepang. Pemerintah kolonial Jepang mendirikan pusat-pusat industri dan menjadikan Jawa sebagai markas besar pasukan militer untuk Asia Tenggara. Bahasa Indonesia dilarang berkembang, digantikan oleh bahasa Jepang sebagai bahasa resmi. Anak-anak sekolah diajarkan untuk menyembah Kaisar dan mempelajari nilai-nilai bushido—kode etik samurai yang menekankan ketaatan tanpa syarat.

Para pemuda dipaksa menjadi buruh dan prajurit bagi Kekaisaran. Ribuan orang dikirim ke berbagai penjuru Asia sebagai pekerja paksa, sementara hasil bumi dieksploitasi besar-besaran.

Namun, gerakan perlawanan masih ada, meskipun dalam bayang-bayang. Para pejuang seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka membentuk kelompok bawah tanah, berusaha mempertahankan semangat kemerdekaan di tengah represi brutal.


Dialog di Pedalaman Sumatra, 1965

Di sebuah gubuk tersembunyi di hutan Sumatra, Sjahrir dan beberapa pemuda lokal membahas langkah selanjutnya.

“Kita tidak bisa terus seperti ini,” ujar Sjahrir sambil menyeka keringat. “Rakyat mulai kehilangan harapan. Anak-anak kita tidak mengenal sejarah mereka sendiri. Mereka hanya tahu bahwa Kaisar Jepang adalah dewa.”

Seorang pemuda bernama Amir memandang Sjahrir dengan mata penuh tekad. “Mungkin kita kalah, tapi semangat tak akan mati. Suatu saat, rantai ini akan putus. Setiap kekaisaran punya batas waktunya.”

“Kita mungkin tidak hidup untuk melihat hari itu,” sahut Sjahrir pelan, “tapi kita harus memastikan bahwa benih perlawanan tetap tumbuh.”


Dampak 50 Tahun Kemudian: 1995

Pada 1995, Indonesia telah berubah menjadi negara industri di bawah kendali penuh Jepang. Jakarta dipenuhi gedung pencakar langit bergaya arsitektur futuristik Jepang, dan rakyatnya mengenakan kimono atau seragam khas Kekaisaran. Agama-agama lokal ditekan, digantikan oleh upacara penghormatan kepada Kaisar.

Namun, tekanan ini juga memicu efek domino. Semakin banyak pemuda Indonesia yang bergabung dengan gerakan bawah tanah yang terinspirasi oleh perlawanan di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Perlahan tapi pasti, jaringan perlawanan mulai terbentuk, menyebarkan gagasan bahwa identitas nasional tidak bisa dibungkam selamanya.


Dialog Rahasia di Jakarta, 1995

Di sebuah apartemen kecil di pinggiran Jakarta, dua pemuda bernama Rudi dan Lestari duduk dalam keremangan cahaya lilin.

“Kita bisa memulai dari sini,” bisik Rudi. “Aku sudah dapat akses ke jaringan komunikasi rahasia di Singapura. Mereka siap membantu kita.”

“Bagaimana kalau kita tertangkap?” tanya Lestari. “Semua yang menentang Kekaisaran dihukum mati.”

Rudi menggenggam tangan Lestari. “Kalau kita tidak bergerak sekarang, kita akan selamanya hidup sebagai budak. Kita harus melakukan ini, bukan hanya untuk kita, tapi untuk mereka yang datang setelah kita.”


Pemberontakan yang Tak Terhindarkan: 2045

Setengah abad setelah kemenangan Blok Poros, benih perlawanan akhirnya berbuah. Di berbagai wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, gerakan-gerakan kecil terkoordinasi untuk melawan dominasi Kekaisaran Jepang. Perlawanan ini tidak datang sebagai gelombang besar, tetapi melalui seribu luka kecil—aksi sabotase, pemberontakan lokal, dan propaganda bawah tanah.

Di dunia yang didominasi tirani, rakyat mulai menyadari bahwa kekuatan terbesar bukanlah senjata, tetapi keyakinan bahwa perubahan mungkin terjadi. Di tengah represi brutal, satu pesan terus menyebar: Kemerdekaan adalah hak semua bangsa, tak peduli berapa lama rantainya telah membelenggu.

CERITA FIKSI: KALAU SAJA BLOK POROS MEMENANGKAN PERANG DUNIA II

 "Dunia di Bawah Tiga Matahari"


Langit Berlin cerah dengan tiga matahari terpajang di bendera dunia: Swastika Jerman, Matahari Terbit Jepang, dan Fasces Italia. Dunia, setelah kemenangan Poros dalam Perang Dunia II, adalah tatanan baru yang menggabungkan teknologi, tirani, dan kontrol ketat atas manusia. Pada tahun 1995, 50 tahun setelah kemenangan itu, wilayah-wilayah dunia terbagi ke dalam tiga kekaisaran besar: Kekaisaran Jerman Raya, Kekaisaran Jepang di Asia dan Pasifik, dan Kekaisaran Romawi Baru di Eropa Selatan dan Afrika Utara.

Di sebuah gedung pemerintahan di pusat Berlin, seorang pejabat tinggi Gestapo bernama Reinhard Müller duduk di balik meja marmernya, menatap peta dunia elektronik yang baru saja diperbarui.

“Asia Tenggara melaporkan peningkatan produksi pangan sebesar 20 persen, Herr Müller,” lapor seorang letnan muda sambil memberi hormat kaku. “Jepang senang.”

“Bagus,” gumam Müller sambil menyalakan sebatang rokok. “Selama mereka senang, kita aman. Tapi pastikan perbatasan tetap dijaga. Aku tidak mau melihat ada pengaruh ideologis dari perlawanan bawah tanah lagi.”

Letnan itu mengangguk dan pergi. Müller menghela napas dalam-dalam. Dunia mungkin terlihat stabil, tapi ada riak-riak kegelisahan di mana-mana.


Sementara itu, di Tokyo, seorang ilmuwan bernama Takashi Nakamura berdiskusi dengan koleganya tentang eksperimen baru yang didanai oleh Kekaisaran.

“Kita benar-benar akan menguji mesin waktu ini?” tanya Nakamura, menatap koleganya dengan mata ragu.

“Kita tidak punya pilihan,” jawab Dr. Hiroshi. “Mereka ingin memastikan bahwa setiap titik dalam sejarah yang berpotensi meruntuhkan kemenangan kita bisa dihapus.”

“Bagaimana kalau eksperimen ini menciptakan dampak tak terduga? Kita bermain dengan waktu,” protes Nakamura.

Hiroshi menatap rekannya dingin. “Lebih baik berurusan dengan ketidakpastian alam semesta daripada menghadapi kemurkaan Kaisar.”


Di Roma, Benito Romano, cucu dari Benito Mussolini, memimpin rapat besar di Colosseum yang telah diubah menjadi markas pemerintahan.

“Kekaisaran Italia harus lebih tegas!” serunya kepada para pejabat tinggi di sekelilingnya. “Jerman terus mendominasi, dan Jepang semakin agresif. Sudah waktunya Afrika menjadi pusat kekuasaan kita.”

Seorang pejabat lain, Marconi, menyela, “Tapi rakyat mulai lelah dengan perang. Gerakan perlawanan di Mesir dan Aljazair semakin kuat.”

Romano menyipitkan mata. “Rakyat tidak butuh kebebasan. Mereka butuh arah. Dan arah itu adalah kejayaan Kekaisaran.”


Butterfly Effect Mulai Terasa

Pada tahun 1995, teknologi telah berkembang pesat berkat eksperimen brutal dan eksploitasi tanpa batas. Namun, dunia ini adalah tempat yang dingin dan penuh ketakutan. Setiap orang diawasi; setiap tindakan dihitung. Gerakan perlawanan kecil-kecilan terjadi di bawah bayang-bayang. Para filsuf dan seniman telah lama dibungkam atau dihilangkan, menggantikan ekspresi bebas dengan propaganda.

Di sebuah apartemen tersembunyi di Paris, yang kini berada di bawah kendali Jerman, seorang pemuda bernama Pierre bersama temannya Aisha merencanakan tindakan perlawanan. Mereka tahu bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan mungkin tidak berarti di dunia sebesar ini, tapi tetap saja, mereka tidak bisa diam.

“Kita harus meretas jaringan kontrol pusat mereka,” bisik Pierre.

“Kita akan mati kalau ketahuan,” jawab Aisha.

Pierre menatapnya. “Dunia ini sudah mati tanpa harapan. Kalau kita tidak mencoba, kita sama saja dengan mesin-mesin mereka.”


Titik Balik di Tahun 2045

Pada tahun 2045, perlawanan dari berbagai belahan dunia mulai terkoordinasi. Di Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Afrika, kolaborasi antar-gerakan terjadi secara diam-diam. Di masa depan yang dipenuhi dengan ketakutan, bahkan satu pesan rahasia bisa menciptakan percikan revolusi.

Di sebuah bunker bawah tanah di Rio de Janeiro, seorang pemimpin perlawanan berbicara kepada pasukan kecilnya.

“Hari ini kita serang pangkalan Jepang di Pasifik. Kalau mereka kehilangan kendali di sana, mereka akan mulai retak.”


Namun, semua upaya ini tidaklah cukup untuk menggulingkan kekuasaan. Kekuatan gabungan Jerman, Italia, dan Jepang terlalu kuat. Tapi butterfly effect terus bergulir: semakin keras kekuasaan menekan, semakin banyak titik-titik pemberontakan muncul.

Pada akhirnya, mungkin kekuasaan ini tidak akan runtuh karena satu pertempuran besar, tapi karena seribu pemberontakan kecil. Dan di balik setiap pemberontakan itu, selalu ada satu keyakinan: bahwa dunia tanpa kebebasan bukanlah dunia yang layak untuk dihuni.