CERITA DRAMA: KETIKA 2 INTROVERT JATUH CINTA

 Bab 1: Awal Pertemuan

Di sebuah kota kecil di Indonesia, ada seorang pria bernama Arya yang bekerja di BUMN. Usianya baru 25 tahun, gagah dan rupawan, namun sifat introvertnya sering membuatnya lebih memilih kesunyian daripada keramaian. Arya sudah lima tahun ini tinggal di sebuah rumah kos sederhana milik keluarga Retno, seorang guru ASN berusia 21 tahun yang juga memiliki sifat introvert, meski sedikit lebih pandai dalam bergaul di lingkungannya.

Pertemuan pertama mereka biasa saja. Mereka seperti dua orang asing yang kebetulan berbagi satu atap. Meski tinggal dalam satu lingkungan, interaksi mereka terbatas pada obrolan singkat dan sapaan basa-basi. Mereka berbagi minat pada kesederhanaan, kesunyian, dan kecanggungan yang mengelilingi mereka.

Bab 2: Benih Kebersamaan

Suatu hari, setelah mereka cukup lama berteman tanpa ada sesuatu yang spesial, Arya diberi tugas kantor untuk melakukan penelitian tentang pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Kebetulan sekali, sekolah yang dipilih adalah tempat Retno mengajar. Arya pun mengatur jadwal kunjungan, dan saat hari yang ditentukan tiba, ia merasa sedikit cemas. Entah mengapa, sekolah itu terasa berbeda – mungkin karena Retno, sosok yang selama ini ia kenal hanya dari sudut pandang rekan kos.

Ketika Arya sampai di sekolah, ia langsung menuju ruang guru. Di sana, hanya ada Retno yang sedang duduk sendirian mengerjakan tugas-tugas administrasi. Arya berhenti di depan pintu, terdiam sejenak.

“Permisi, Bu Retno,” sapanya dengan suara rendah.

Retno, yang sedang serius mengisi daftar presensi, mengangkat wajahnya dengan sedikit terkejut.

“Oh, Pak Arya. Ada yang bisa saya bantu?” Retno menjawab dengan sedikit kikuk, matanya tak sanggup menatap Arya terlalu lama.

“Tidak ada apa-apa, Bu. Saya hanya… kebetulan lewat dan ingin menyapa saja,” Arya tersenyum tipis, sesuatu yang jarang dilakukannya.

Senyum itu kecil, tapi bagi Retno, rasanya seperti kejutan. Seolah ada percikan kecil yang menyusup di antara mereka. Refleks, Retno balas tersenyum – senyum malu-malu yang langsung tertangkap oleh Arya.

Bab 3: Salah Tingkah yang Tertangkap

Saat itu, beberapa rekan guru Retno masuk ke ruang guru, membawa gelak tawa yang spontan pecah ketika mereka melihat Retno yang tampak malu-malu di hadapan Arya. Salah satu dari mereka, Bu Siti, langsung menyadari suasana canggung yang tak biasa itu.

“Wah, ada tamu istimewa rupanya. Bu Retno, kenapa jadi salah tingkah begitu?” Bu Siti menggoda sambil mengedipkan mata pada teman-teman yang lain.

“Ah, tidak kok, Bu,” jawab Retno tergagap, wajahnya merah padam.

Arya, yang biasanya tenang, juga ikut salah tingkah. Ia hanya bisa tersenyum tipis, tak tahu harus menjawab apa. Tapi dalam hatinya, ia merasa sedikit bahagia. Mungkin, setelah lima tahun, keheningan di antara mereka akan berubah menjadi percakapan yang lebih berarti.

Bab 4: Dialog yang Mencairkan Jarak

Beberapa hari kemudian, Arya dan Retno bertemu kembali di rumah kos. Malam itu, saat suasana sunyi, Arya merasa ada keberanian yang tak biasanya. Ia memutuskan untuk mengajak Retno bicara lebih dalam.

“Retno,” panggil Arya lembut.

Retno, yang sedang menulis di buku catatannya, mengangkat wajah. “Ya?”

“Aku mau bilang terima kasih… karena kemarin… kamu sudah mau meluangkan waktu untuk menemani saya di sekolah,” Arya mencoba memulai, walaupun kalimatnya terdengar canggung.

“Oh, tidak perlu terima kasih,” jawab Retno dengan senyum tipis, wajahnya tetap menunduk. “Saya hanya melakukan apa yang bisa saya bantu.”

Arya terdiam sejenak. “Mungkin… selama ini kita terlalu lama hanya saling mengenal dari jauh. Mungkin… sudah waktunya kita mencoba lebih mengenal satu sama lain?”

Retno tersenyum kecil, kali ini pandangannya terangkat, menatap mata Arya dengan kepercayaan diri yang tumbuh. “Ya, mungkin benar. Mungkin kita bisa mulai dari obrolan sederhana saja, tanpa perlu memikirkan apa yang akan terjadi nanti.”

Malam itu, dua introvert yang selama ini bersembunyi dalam keheningan masing-masing, mulai membuka diri. Mereka menemukan bahwa ada kekuatan dalam pertemuan yang sederhana – bahwa kadang-kadang, kebahagiaan tidak perlu dicari di luar sana. Kegelisahan yang mereka rasakan mungkin hanyalah tanda bahwa, setelah bertahun-tahun, hati mereka telah siap untuk mengenal satu sama lain lebih dalam.

Bab 5: Menyemai Kasih dalam Sunyi

Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak hal yang mereka bagikan. Meskipun tak selalu dengan kata-kata, kedekatan itu tumbuh dalam kesederhanaan, seperti bagaimana mereka saling mengingatkan tentang pekerjaan, atau saling mendengarkan keluh-kesah tanpa perlu banyak bicara. Hingga akhirnya, mereka menyadari, rasa yang selama ini bersembunyi dalam sunyi ternyata jauh lebih berharga dari semua obrolan kosong yang bisa mereka dapatkan dari orang lain.

Kisah Arya dan Retno mengajarkan kita tentang bagaimana cinta dapat tumbuh dalam keheningan, bahwa dalam keintiman yang sederhana, kita dapat menemukan teman hidup yang sejiwa.

Bab 6: Ujian untuk Hati yang Terpendam

Arya semakin yakin ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya setiap kali melihat Retno. Namun, sebagai pria yang juga pemalu dan tidak terbiasa mengungkapkan perasaan, Arya memilih cara yang berbeda untuk menggali reaksi Retno. Ia ingin tahu, apakah Retno juga memiliki perasaan yang sama, atau sekadar menganggapnya teman biasa. Maka, Arya pun mulai lebih sering bergaul dengan seorang rekan kerja wanitanya di BUMN, Laras.

Laras bukanlah orang baru dalam hidup Arya. Mereka telah berteman sejak masa TK dan cukup akrab hingga sekarang, meski hubungan mereka hanya sebatas teman baik. Namun, Arya melihat kedekatannya dengan Laras sebagai cara untuk mengetes apakah Retno akan memberikan reaksi, sekalipun hal itu hanya dilakukan untuk bersenang-senang.

Suatu hari, Arya mengatur janji untuk bertemu dengan Laras di sebuah kafe. Tidak jauh dari situ, ia mengirim pesan singkat kepada Retno.

“Retno, aku sedang di kafe dekat kantor. Ada teman lama yang ingin bertemu. Kalau kamu lagi nggak sibuk, mampir, ya?”

Di kos, Retno membaca pesan itu dengan alis berkerut. "Teman lama?" gumamnya, merasakan sedikit ketidaknyamanan yang tidak ia pahami. Namun, tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk datang.

Bab 7: Reaksi yang Ditunggu

Saat Retno tiba di kafe, ia melihat Arya sedang berbincang dengan seorang wanita yang terlihat sangat akrab dengannya. Mereka tampak tertawa bersama, menikmati pembicaraan yang sepertinya sudah biasa bagi mereka berdua. Retno merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya, seperti kecemasan yang belum pernah ia alami.

“Oh, Retno! Ini Laras, teman kecilku,” Arya memperkenalkan, menyadari kehadiran Retno di dekat mejanya.

Laras menyambut Retno dengan ramah, mengulurkan tangan, “Halo, Retno. Senang akhirnya bisa bertemu. Arya sering cerita tentang kamu.”

“Oh, begitu?” Retno tersenyum sopan, meski hatinya sedikit terusik. “Arya banyak cerita, ya…”

Arya tertawa kecil sambil melirik Retno. “Ya, kadang aku cerita soal kos dan teman-teman di sana. Kan, teman baik lama-lama jadi seperti keluarga,” katanya, menyelipkan sedikit pernyataan yang sengaja disamarkan.

Laras menambahkan sambil tersenyum, “Arya memang tipe orang yang pendiam, tapi kalau sudah ngobrol sama orang yang dikenal dekat, dia bisa banyak bicara. Makanya, dulu waktu kecil, dia selalu jadi pendengar setia.”

Retno hanya mengangguk, berusaha mengabaikan perasaan ganjil yang mendesak hatinya. Ia tahu Arya memang pendiam, tetapi perasaan asing yang muncul tiba-tiba ini membuatnya bingung – apakah mungkin… ia mulai merasa cemburu?

Bab 8: Kecemburuan yang Terbaca

Setelah pertemuan itu, Retno memilih untuk lebih diam, menyembunyikan segala rasa yang mulai mencuat. Namun, Arya yang menyadari perubahan sikap Retno tidak bisa menahan tawa dalam hati. Mungkin, ia sudah mendapatkan jawabannya.

Di malam hari saat mereka kembali ke kos, Arya melihat kesempatan untuk membuka sedikit tabir perasaan itu.

“Retno, kenapa tiba-tiba jadi pendiam? Aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Arya mencoba memancing.

Retno terdiam sejenak, lalu menjawab dengan senyum kecil, “Enggak kok, aku hanya... agak lelah. Banyak tugas di sekolah.”

Arya menatapnya, merasa semakin yakin bahwa Retno sedang menyembunyikan perasaan.

“Kalau begitu, kenapa kamu datang ke kafe tadi?” Arya bertanya lagi, kali ini dengan nada sedikit menggoda.

Retno tersentak, merasa pertanyaan itu langsung menembus dinding yang ia bangun.

“Aku... ya, ingin tahu siapa teman lamamu,” jawab Retno sambil menunduk, tidak ingin Arya melihat kegugupannya.

Arya tersenyum dan mengangguk pelan. “Begitu, ya... Syukurlah kalau kamu penasaran,” katanya sambil menatap Retno yang semakin salah tingkah.

Retno akhirnya tidak tahan lagi, ia tertawa kecil, “Arya, kamu tahu kan aku nggak pandai menyembunyikan perasaan. Aku merasa sedikit… ya, cemburu mungkin.”

Arya terkejut dengan pengakuan yang spontan itu. Namun, senyum yang tersirat di wajahnya menunjukkan kepuasan. Akhirnya, mereka saling mengetahui bahwa selama ini ada rasa yang bersembunyi di balik keheningan dan keraguan mereka.

Bab 9: Mengungkapkan Rasa

Keesokan harinya, saat mereka bertemu di taman kos, Arya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Setelah bertahun-tahun terpendam, mungkin ini saatnya mereka melangkah lebih jauh.

“Retno, aku sudah mengenal kamu cukup lama. Kita sudah saling memahami tanpa perlu banyak bicara,” Arya memulai, suaranya terdengar lembut namun tegas.

Retno menatap Arya, kali ini tanpa keraguan, “Aku juga merasakan hal yang sama, Arya. Aku pikir selama ini aku bisa menyimpan perasaan ini dalam hati. Tapi... sepertinya aku salah.”

Arya tersenyum, “Lalu, apakah kita bisa mencoba? Mungkin tidak perlu terburu-buru, tapi kita bisa mulai sebagai... sesuatu yang lebih dari sekadar teman.”

Retno mengangguk pelan, senyum bahagia merekah di wajahnya. Mereka menyadari bahwa perjalanan cinta yang selama ini tertunda oleh keheningan kini telah terbuka. Dua introvert itu akhirnya menyatukan hati mereka, memilih untuk melangkah bersama, tanpa lagi menyembunyikan perasaan.

Dengan senyum penuh kelegaan, mereka tahu bahwa cinta itu tidak selalu harus terungkap dalam kata-kata. Kadang, cinta lebih indah dalam kesunyian yang akhirnya tersingkap di saat yang tepat.

FIKSI RELIGIUS: JIKA SELURUH DUNIA MENGANUT BUDDHISME

 Bab 1: Awal Zaman Pencerahan

Pada tahun 2140, dunia telah berubah secara radikal. Agama Buddha, dengan pengajaran damainya yang berusia ribuan tahun, kini menjadi kepercayaan mayoritas di berbagai belahan bumi. Ajaran-ajaran tentang Dharma, Karma, dan Sangha telah menjadi fondasi kehidupan sehari-hari bagi hampir semua manusia. Agama-agama Abrahamik, yang sebelumnya mendominasi dunia, kini menjadi minoritas yang dihormati, tetapi tidak lagi memimpin arah kebudayaan global.

Scene 1 - Kota Yang Damai

Di sebuah kota besar yang dulunya dikenal sebagai pusat keramaian, sekarang ada ketenangan yang damai. Hiruk-pikuk lalu lintas dan persaingan telah digantikan oleh jalanan yang tenang, di mana meditasi pagi dan senam bersama menjadi pemandangan umum. Gedung-gedung pencakar langit kini dihiasi taman hijau di atapnya, dan suara-suara bising telah diredam oleh suara angin yang berbisik lembut.

Arya, seorang jurnalis muda, duduk di kafe bambu yang tenang, menghadap layar holografiknya. Di depannya duduk Kailash, seorang biksu senior yang sudah dikenal di seluruh dunia karena ajaran damai dan kearifan yang dia sampaikan.

Arya: "Kailash, bagaimana Anda melihat dunia ini 100 tahun dari sekarang? Apakah kita akan tetap berada di jalan ini, atau ada perubahan besar yang menanti kita?"

Kailash tersenyum, sorot matanya penuh kedamaian.

Kailash: "Jika kita terus berjalan di jalan Dharma, dunia akan menjadi tempat yang lebih damai. Tetapi, seperti segala sesuatu dalam roda Samsara, tidak ada yang abadi. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapi setiap perubahan yang datang."

Bab 2: Teknologi dengan Sentuhan Zen

Narasi berubah ke 100 tahun ke depan, pada tahun 2240. Teknologi telah mencapai tingkat yang lebih tinggi, tetapi semua teknologi ini sekarang berpusat pada nilai-nilai Buddhis. Tidak ada persaingan keras di dunia bisnis, karena perusahaan-perusahaan fokus pada kolaborasi dan kesejahteraan umat manusia. Mobil-mobil terbang tidak berisik dan diprogram untuk selalu memberi jalan satu sama lain. Aplikasi meditasi kini terpasang di setiap perangkat, dan setiap kota memiliki "Jam Kedamaian" di mana semua aktivitas berhenti sejenak untuk refleksi batin.

Para ilmuwan terkenal di seluruh dunia berkumpul di konferensi global tahunan yang disebut "Simposium Ketenangan." Kailash, yang kini telah menjadi simbol perdamaian dunia, kembali berbicara tentang masa depan.

Kailash: "Kita hidup di era yang penuh potensi. Teknologi bisa menjadi sahabat dalam pencapaian pencerahan atau menjadi musuh yang memperburuk Maya (ilusi). Pertanyaan untuk kita semua adalah: apakah kita akan membiarkan teknologi menguasai kita, atau kita yang akan menguasai teknologi dengan cinta kasih?"

Bab 3: Konflik yang Tak Terhindarkan

Namun, tidak semua orang puas dengan dunia yang damai ini. Di beberapa daerah, ada kelompok yang masih merindukan semangat yang lebih berapi-api dari agama-agama Abrahamik. Mereka merasa bahwa dunia telah terlalu "lembek" dan tidak memiliki semangat perjuangan yang mereka kenal. Jonah, seorang pemimpin komunitas Kristen yang berpengaruh, berbicara dengan putrinya Sarah di sebuah gereja kecil di Eropa.

Jonah: "Mereka berpikir dunia akan lebih baik tanpa tantangan, tanpa perjuangan. Tapi lihatlah sejarah kita! Apa yang terjadi dengan semangat pengorbanan, dengan iman yang penuh gairah?"

Sarah: "Ayah, aku mengerti perasaanmu, tapi bukankah dunia ini sudah jauh lebih damai? Tidak ada lagi perang besar, tidak ada lagi ketidakadilan yang sistemik."

Jonah: "Damai, ya, tapi apa yang mereka bayar untuk itu? Aku takut kita kehilangan keberanian untuk berjuang, keberanian untuk mempertahankan kebenaran."

Bab 4: Kesatuan yang Tercipta

Narasi kemudian beralih ke diskusi di sebuah pusat meditasi terbesar di dunia yang dibangun di atas reruntuhan sebuah kota lama. Tempat itu disebut "Pusat Pencerahan Dunia," di mana orang-orang dari semua agama berkumpul untuk merayakan perbedaan dan mencari jalan bersama. Ren, seorang pemimpin muda Buddha, berdialog dengan Imam Abdullah dari komunitas Muslim, Pastor David dari komunitas Kristen, dan Swami Meera dari komunitas Hindu.

Ren: "Dulu kita selalu berbicara tentang perbedaan, tentang doktrin yang memisahkan kita. Tapi bukankah intinya sama? Mengasihi sesama, tidak menyakiti, dan menjalani hidup dengan jujur dan penuh cinta kasih?"

Imam Abdullah: "Aku melihat kebijaksanaan dalam kata-katamu, Ren. Meskipun kita berdoa dengan cara yang berbeda, Tuhan yang kita cari adalah satu. Mungkin sudah waktunya kita berhenti mencari perbedaan dan mulai mencari persamaan."

Pastor David: "Jika kita bisa belajar dari satu sama lain dan tidak menolak kebijaksanaan hanya karena berasal dari luar tradisi kita, mungkin kita bisa membangun dunia yang benar-benar damai."

Bab 5: Kesadaran Global yang Baru

Pada akhir abad ke-23, dunia mulai mengalami kesadaran global yang baru. Kepercayaan Buddhis tidak lagi hanya tentang meditasi dan introspeksi, tetapi juga tentang melindungi lingkungan dan menghindari konsumerisme yang berlebihan. Empati menjadi kata kunci dalam pendidikan, dan ajaran-ajaran Buddhis tentang kebaikan hati diterapkan dalam kurikulum sekolah di seluruh dunia.

Di sebuah sekolah di Jepang, seorang guru muda, Aiko, sedang mengajar murid-muridnya tentang nilai Metta (cinta kasih universal).

Aiko: "Anak-anak, dunia ini adalah tempat yang besar, tetapi jika kita hidup dengan cinta kasih dan pengertian, kita bisa membuatnya lebih kecil. Kita semua terhubung, dari setiap tetes hujan hingga matahari yang bersinar."

Seorang anak mengangkat tangan.

Murid: "Guru, apakah orang yang tidak percaya pada Buddhisme juga bisa menjadi bagian dari dunia ini?"

Aiko: "Tentu saja. Ini bukan tentang apa yang kamu percayai, tetapi tentang bagaimana kamu hidup. Cinta kasih dan kedamaian tidak terbatas pada agama tertentu, tetapi milik kita semua."

Bab 6: Akhir yang Baru

Dunia pada tahun 2240 adalah tempat yang lebih damai, lebih sederhana, dan lebih peduli. Tetapi kedamaian ini bukan tanpa tantangan. Semakin dunia bergerak menuju harmoni, semakin besar pula dorongan untuk mempertahankan individualitas dan perbedaan.

Namun, dunia kini memiliki satu kelebihan yang tak dimiliki oleh masa lalu—kemampuan untuk berdialog tanpa rasa takut, mengakui perbedaan tanpa membangun tembok pemisah, dan hidup dalam harmoni tanpa harus menyeragamkan. Agama Buddha mungkin menjadi mayoritas, tetapi dunia telah belajar bahwa kedamaian tidak dapat dicapai melalui dominasi, melainkan melalui pemahaman dan empati.

Epilog

Kailash, yang kini telah menjadi ikon di seluruh dunia, berdiri di depan ribuan orang di pusat meditasi yang baru dibuka di Antartika, daerah yang dulunya tertutup es. Dia menatap wajah-wajah yang datang dari berbagai negara, berbagai agama, dan berbagai latar belakang, kemudian berkata dengan senyum damai:

Kailash: "Kedamaian bukanlah tujuan, melainkan perjalanan. Dan kita semua, dalam perjalanan ini, adalah saudara. Tidak peduli dari mana kita berasal, apa yang kita percayai, atau siapa kita. Semoga kita semua terus berjalan dalam cahaya kebijaksanaan, bersama-sama."

Dan dengan itu, lonceng meditasi terdengar, mengiringi awal dari era baru yang penuh harapan di bumi yang damai.

FIKSI HORROR-FANTASI: LORD VOLDEMORT, KENAKALAN REMAJA DAN TRAGEDI HOROR PBB

 Bab 1: Musuh dari Negeri yang Jauh

Di sebuah sekolah negeri di Indonesia, kenakalan remaja sudah mencapai puncaknya. Guru-guru mulai kehilangan wibawa dan rasa hormat dari para murid. Ruang guru kini hanya dipenuhi oleh keluhan dan rasa takut. Seminggu yang lalu, Bu Ratna, seorang guru bahasa Indonesia yang telah mengajar lebih dari 25 tahun, terjatuh dengan keras di lantai setelah dijegal oleh salah seorang murid. Sebulan sebelumnya, Pak Budi, guru matematika yang dikenal tegas, dikeroyok sampai koma ketika mencoba menegur sekelompok siswa yang merokok di kelas.

"Bu, kenapa kita harus terus mengalah?" tanya Pak Joko, seorang guru sejarah yang sudah lelah dengan keadaan ini.

"Kita sudah lapor ke pihak sekolah, tapi... ah, tidak ada perubahan," jawab Bu Ratna, nadanya getir. "Lihat saja, Komnas HAM dan Anak malah membela mereka, seolah-olah kita yang salah karena tidak bisa mendidik."

"Apa yang harus kita lakukan?" kata Pak Joko, mengelus-elus keningnya yang berkerut.

Mereka tidak tahu bahwa semua perbincangan itu, keluhan mereka, hingga rasa frustrasi yang menumpuk telah terdengar hingga ke dunia yang jauh, ke Hogwarts. Di sebuah ruangan gelap di Istana Malfoy, Lord Voldemort mendengarkan kabar itu melalui sebuah bola kristal berwarna hijau.

"Kenakalan remaja di Indonesia semakin parah, My Lord," ujar Lucius Malfoy dengan senyum sinis. "Sepertinya mereka butuh pelajaran."

Voldemort mendesis pelan, matanya yang berwarna merah menyala berkilat penuh kebencian. "Mereka merusak moral bangsa mereka sendiri, dan itulah yang membuat mereka lemah," katanya. "Sudah saatnya kita turun tangan."

Dan malam itu, keputusan diambil. Hogwarts, yang sudah bosan dengan kerusakan dunia muggle, akhirnya memutuskan untuk bertindak. Bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk menghukum.

Bab 2: Pertemuan di Istana Kepresidenan

Pagi yang cerah di Jakarta, Presiden Indonesia tengah berdiskusi dengan seorang tamu misterius. "Kami sudah tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan," ucap Presiden dengan wajah serius. "Moral anak-anak muda ini semakin hancur, bahkan hukum dan aturan pun mereka langgar tanpa takut."

Di seberang meja, seorang pria berkepala botak dan bermata merah menyala tersenyum tipis. Pria itu mengenakan jubah hitam panjang, dengan tongkat sihir yang mengintip di balik jubahnya. "Biarkan aku menangani masalah ini, Yang Mulia," katanya. "Aku punya cara untuk membuat mereka patuh... dan takut."

Presiden mengangguk pelan, tidak sepenuhnya mengerti siapa tamu di hadapannya ini, tetapi kekhawatirannya terhadap masa depan bangsa membuatnya menutup mata terhadap segala moralitas.

"Baiklah, Lord Voldemort," kata Presiden dengan suara bergetar. "Aku serahkan masalah ini padamu."

Bab 3: Malam Pembalasan

Satu minggu setelah pertemuan rahasia itu, sekolah-sekolah negeri di kota-kota besar mulai berubah. Remaja yang biasa menentang peraturan dengan arogan kini dilanda teror. Di tengah malam, di bawah bulan purnama yang pucat, beberapa murid ditemukan hilang. Kabar beredar bahwa mereka diseret oleh makhluk-makhluk yang mengenakan jubah hitam panjang dan bertopeng putih, membawa tongkat yang memancarkan cahaya hijau.

Di salah satu sudut Jakarta, sebuah sekolah yang terkenal sebagai sarang kenakalan remaja berubah menjadi panggung eksekusi. Di aula yang besar, Voldemort berdiri dengan senyum kemenangan, dikelilingi oleh para Pelahap Mautnya. Di hadapannya, puluhan murid yang dikenal sebagai pengganggu sekolah bersimpuh, wajah-wajah mereka pucat dan penuh ketakutan.

"Kalian sudah terlalu jauh," desis Voldemort, suaranya bergema dalam kegelapan. "Tidak ada yang akan menyelamatkan kalian sekarang."

"Siapa kau?! Mengapa kau melakukan ini?!" teriak salah satu murid yang akhirnya tidak tahan lagi. Dia masih berusaha melawan, meskipun dengan tubuh yang gemetar.

Voldemort tersenyum, wajahnya mendekat ke arah murid itu. "Aku adalah keadilan yang kalian butuhkan," jawabnya, dan tongkat sihirnya terangkat tinggi.

"Avada Kedavra!"

Cahaya hijau menyilaukan mengisi ruangan, dan segalanya berubah menjadi sunyi.

Bab 4: Kabar yang Menggemparkan

Keesokan harinya, kabar tentang pembantaian di sekolah itu tersebar luas. Pemerintah bungkam, Komnas HAM tak mampu berkomentar, dan para orang tua mulai takut mengirim anak-anak mereka ke sekolah. Tapi, ketakutan ini justru membuat para siswa mulai berubah. Mereka kini belajar dengan lebih serius, menjaga perilaku mereka, dan tidak lagi menentang guru. Desas-desus tentang "kehadiran para penyihir" mulai beredar di kalangan masyarakat, tetapi pemerintah membantah segalanya.

"Apa yang terjadi dengan anak-anak ini? Mengapa mereka berubah begitu drastis?" tanya Bu Ratna pada Pak Joko di ruang guru.

Pak Joko hanya mengangkat bahu, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. "Mungkin ini hukuman dari Tuhan," jawabnya pelan. "Atau mungkin ada kekuatan lain yang sedang bermain."

Di balik semua perubahan ini, Hogwarts tetap diam. Mereka tidak pernah ingin diakui atau dipuja. Mereka hanya ingin menegakkan apa yang mereka anggap sebagai keadilan.

Dan di malam yang tenang, di sebuah ruangan rahasia di Jakarta, Voldemort menghilang dalam kegelapan dengan senyum puas, meninggalkan bangsa yang mulai meraba-raba menuju moralitas baru, di bawah bayang-bayang ketakutan yang menghantui.

Bab 5: Kabar di Seberang Samudra

Berita tentang pembantaian yang terjadi di Indonesia mengguncang dunia. Para media internasional berusaha membongkar apa yang sebenarnya terjadi, tetapi semuanya terbungkus dalam kabut misteri. Di Amerika Serikat, tayangan berita yang menyoroti "kasus Indonesia" menjadi topik utama di setiap jaringan televisi. Ketika berita menyebutkan tentang sosok berjubah hitam dan tongkat sihir yang memancarkan cahaya hijau, para ahli berdebat: apakah ini hanya mitos atau ada kenyataan di balik cerita tersebut?

Di Washington D.C., Gedung Putih menjadi tempat pertemuan yang penuh rahasia. Presiden Amerika Serikat yang berasal dari Partai Republik, bersama para penasihatnya, mengadakan pertemuan darurat di Ruang Oval. Ancaman kenakalan remaja di AS sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Kasus penembakan di sekolah yang kerap terjadi telah memicu protes, kritik, dan perdebatan sengit di antara masyarakat. Namun, ada satu hal yang jelas: mereka butuh solusi yang tidak konvensional.

"Mr. President, kita harus melakukan sesuatu yang drastis," ujar Senator Blake, seorang tokoh Partai Republik yang dikenal keras. "Kasus Indonesia memberikan kita inspirasi. Mereka berhasil menekan kenakalan remaja hanya dalam hitungan minggu. Kita harus mencari tahu siapa dalang di balik semua itu."

Presiden mengangguk sambil melihat laporan yang menumpuk di mejanya. "Apa kamu benar-benar yakin tentang ini, Blake?" tanyanya dengan ragu. "Kalau ini benar-benar melibatkan sihir... apa kita siap untuk menghadapi konsekuensinya?"

"Kita sudah kehabisan pilihan," jawab Blake tegas. "Jika kita tidak bertindak sekarang, generasi muda kita akan hancur. Ini saatnya kita berpikir di luar kotak."

Malam itu, sebuah tim intelijen Amerika dikirim ke Jakarta untuk bertemu dengan sosok misterius yang telah membuat Indonesia berubah begitu drastis. Mereka tidak hanya mencari solusi, tetapi juga sekutu yang kelam.

Bab 6: Kedatangan Utusan dari Amerika

Di tengah kegelapan malam Jakarta, di sebuah mansion tua yang jauh dari keramaian kota, Lord Voldemort duduk di atas singgasana batu, dikelilingi oleh para Pelahap Mautnya. Para utusan dari Amerika, dengan setelan jas rapi dan sikap angkuh, memasuki ruangan dengan langkah berat. Wajah mereka tampak gugup, meskipun mereka mencoba menyembunyikannya.

"Kami datang atas nama pemerintah Amerika Serikat," kata pemimpin delegasi, memperkenalkan dirinya sebagai Agen Johnson. "Kami ingin bicara tentang... kerjasama."

Voldemort tersenyum dingin, menunjukkan gigi-giginya yang tajam. "Kerjasama?" ulangnya dengan nada mengejek. "Apa yang bisa diberikan oleh Amerika Serikat kepada seorang penyihir yang sudah memiliki kekuatan yang tak tertandingi?"

"Kami tahu bahwa Anda menginginkan pengaruh, My Lord," jawab Agen Johnson dengan suara yang lebih mantap. "Dan kami bisa memberikannya. Kami tahu bahwa para Pelahap Maut mampu menghentikan kenakalan remaja di Indonesia dalam waktu yang sangat singkat. Kami ingin Anda melakukannya di Amerika. Kami akan menyediakan semua sumber daya yang Anda butuhkan, termasuk kekuatan politik untuk melindungi Anda dari segala tuntutan hukum internasional."

"Dan sebagai imbalannya?" tanya Voldemort, matanya menyipit.

"Kami akan memberikan Anda akses tanpa batas ke segala informasi yang kami miliki, serta kekuasaan di balik layar yang tidak bisa Anda dapatkan di belahan dunia manapun," jawab Agen Johnson, suaranya bergetar oleh keinginan kuat untuk meyakinkan.

Voldemort terdiam sesaat, mempertimbangkan tawaran tersebut. Baginya, Amerika adalah lahan baru yang penuh peluang, sebuah medan pertempuran baru di mana dia bisa menegakkan kekuasaannya dan menunjukkan bahwa bahkan bangsa terkuat di dunia bisa tunduk pada sihir hitamnya.

"Baiklah," kata Voldemort akhirnya, senyum licik menghiasi wajahnya. "Tapi aku akan melakukannya dengan caraku sendiri. Amerika tidak akan pernah sama lagi setelah aku selesai."

Bab 7: Serangan di Sekolah-Sekolah Amerika

Dua bulan setelah pertemuan rahasia di Jakarta, serangkaian peristiwa aneh mulai terjadi di Amerika Serikat. Di sekolah-sekolah yang dikenal sebagai tempat penembakan brutal, para siswa yang dikenal nakal dan sering membuat onar mendadak menghilang tanpa jejak. Para guru yang dulu kehilangan otoritas kini merasa ada "kekuatan" tak terlihat yang melindungi mereka. Beberapa menyebutkan tentang sosok berjubah hitam yang muncul di koridor sekolah saat malam, sementara yang lain mengaku melihat cahaya hijau di langit malam.

Di salah satu sekolah di Texas, kepala sekolah yang selama ini kesulitan menangani kekerasan antarsiswa menerima kunjungan yang tidak diharapkannya. Di tengah malam, pintu kantornya terbuka dengan sendirinya, dan seorang pria dengan wajah pucat serta mata merah menyala melangkah masuk.

"Siapa... siapa Anda?" tanya kepala sekolah dengan suara gemetar.

"Aku adalah solusi bagi masalah yang tidak bisa kau tangani," jawab Voldemort, suaranya seperti desisan ular. "Mulai sekarang, sekolah ini adalah milikku."

Esok harinya, berita tentang seorang siswa yang dikenal sebagai pemimpin geng brutal di sekolah itu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, tubuhnya tergeletak di lapangan dengan bekas luka yang tidak bisa dijelaskan oleh sains modern. Ketakutan menyebar, tetapi bersamaan dengan itu, disiplin dan kedisiplinan mulai meningkat di seluruh sekolah.

Bab 8: Reaksi Dunia

Di Washington, Presiden dan para penasihatnya mengamati hasil kerja Voldemort dengan puas. Kenakalan remaja mulai mereda, kasus kekerasan di sekolah turun drastis, dan rasa takut yang menghantui para siswa justru menjadi senjata yang efektif. Namun, di balik keberhasilan itu, muncul protes dari berbagai kalangan. Hak asasi manusia, media internasional, hingga PBB mulai mempertanyakan metode yang digunakan oleh Amerika.

"Ini tidak bisa dibiarkan, Mr. President!" kata seorang reporter dalam sebuah konferensi pers. "Anda tidak bisa menyerahkan anak-anak kita kepada... kepada penyihir jahat!"

Presiden mengangkat tangannya, meminta semua orang tenang. "Saya tahu ini adalah langkah yang kontroversial," jawabnya dengan tegas. "Tapi kita harus realistis. Kita menghadapi krisis yang membutuhkan solusi yang tidak biasa. Dan jika itu berarti kita harus bekerja sama dengan kekuatan yang tidak kita mengerti, maka itulah yang harus kita lakukan demi masa depan bangsa ini."

Di Hogwarts, Harry Potter yang mengetahui keterlibatan Voldemort di Amerika merasa terguncang. Ia tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika adalah sebuah kesalahan besar, sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip kebaikan yang selama ini dijunjung tinggi oleh dunia sihir. Harry merasa bahwa ia harus bertindak, tetapi kali ini lawannya bukan hanya Voldemort, tetapi juga kekuatan politik Amerika yang mendukung musuh bebuyutannya.

"Ini bukan lagi masalah kenakalan remaja," gumam Harry pelan sambil menatap peta dunia di ruang kantornya. "Ini adalah pertarungan untuk masa depan kita semua."

Bab 9: Perang Dingin di Balik Bayangan

Dengan ketegangan yang terus meningkat, dunia terbagi menjadi dua kubu: mereka yang mendukung cara-cara tidak konvensional untuk mengekang kenakalan remaja, dan mereka yang mengutuk kekejaman yang dilakukan atas nama "ketertiban." Voldemort kini tidak hanya menjadi tokoh yang ditakuti, tetapi juga sosok yang dipuja sebagai pahlawan oleh sebagian orang yang melihatnya sebagai penyelamat.

Tapi di balik semua itu, ancaman baru mulai muncul. Para penyihir baik yang selama ini hidup dalam kedamaian tidak bisa diam melihat kekuasaan Voldemort yang semakin besar. Mereka tahu bahwa waktu pertempuran sudah semakin dekat, dan dunia—baik sihir maupun muggle—tidak akan pernah sama lagi setelah ini.

Perang baru di dunia sihir dan politik baru saja dimulai, dan tidak ada yang tahu siapa yang akan menang.

Bab 10: Puncak Kekuatan di New York

Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York City tampak lebih gelap dari biasanya. Bendera dari berbagai negara yang biasanya berkibar di luar gedung tampak tertutup debu, seolah-olah mengisyaratkan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi. Lord Voldemort, bersama para Pelahap Mautnya, telah merencanakan serangan yang tak terduga. Ia tahu bahwa untuk menguasai dunia, ia harus menguasai lembaga yang memiliki kekuatan diplomatik dan politik terbesar: PBB.

Pertemuan tahunan Dewan Keamanan PBB berjalan seperti biasa. Para anggota dari berbagai negara berkumpul di ruang rapat besar, tidak menyadari bahaya yang mengintai di balik dinding-dinding megah gedung itu. Di luar, para aktivis HAM dan Perlindungan Anak sedang melakukan protes damai, menuntut perlindungan terhadap hak-hak manusia di seluruh dunia. Mereka mengira suara mereka akan didengar.

Namun, malam itu, Voldemort memiliki rencana yang jauh lebih gelap. Ia dan para Pelahap Mautnya menyusup melalui pintu-pintu bayangan, menghilangkan semua petugas keamanan dengan kutukan diam-diam. Ketika para delegasi bersiap-siap memulai pertemuan, pintu ruang rapat besar tertutup dengan keras, dan suara desisan dingin bergema di dalam ruangan.

"Selamat datang di akhir dari ilusi kebebasan kalian," desis Voldemort sambil melangkah maju, jubah hitamnya melambai seolah menghisap setiap cahaya di ruangan itu. "Hari ini, aku mengambil alih dunia ini... dan kalian semua akan menjadi saksi terakhir."

Para anggota PBB mulai panik. Beberapa mencoba keluar, tetapi pintu-pintu telah terkunci rapat. Lampu-lampu mulai padam satu per satu, meninggalkan mereka dalam kegelapan total.

"Apa yang kau inginkan?! Siapa kau?!" teriak seorang delegasi, suaranya bergetar oleh ketakutan.

"Aku adalah masa depan yang tak bisa kalian hindari," jawab Voldemort dingin, mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. "Avada Kedavra!"

Dalam sekejap, cahaya hijau yang mematikan menerangi ruangan, dan tubuh-tubuh mulai jatuh satu per satu. Jeritan ketakutan memenuhi udara, tetapi mereka tak bisa melarikan diri. Di luar gedung, para aktivis yang masih berunjuk rasa tiba-tiba terdiam saat mereka melihat cahaya hijau memancar dari jendela-jendela gedung PBB.

Di antara para Pelahap Maut, Bellatrix Lestrange tertawa terbahak-bahak sambil mengacungkan tongkatnya, memusnahkan setiap nyawa tanpa belas kasihan. "Dunia ini adalah milik kita sekarang, My Lord!" serunya dengan histeris.

Bab 11: Keterlambatan Sang Penyelamat

Di Hogwarts, Harry Potter merasakan sesuatu yang mengerikan. Instingnya mengatakan bahwa Voldemort telah melakukan sesuatu yang sangat buruk. Tanpa berpikir dua kali, ia mengambil tongkat sihirnya dan bersiap pergi. Hermione dan Ron, yang juga merasakan firasat yang sama, berusaha menahannya.

"Harry, kau tidak bisa pergi sendirian!" teriak Hermione, wajahnya pucat oleh kecemasan. "Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi!"

"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan!" jawab Harry dengan putus asa. "Aku harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat!"

Dengan bantuan tongkatnya, Harry ber-apparate langsung ke New York, berharap bisa menyelamatkan mereka yang terperangkap di dalam Gedung PBB. Tapi ketika ia tiba di sana, sudah terlambat. Gedung itu sunyi senyap, seperti kuburan raksasa di tengah kota yang hidup.

Harry berjalan perlahan di lorong yang gelap, di mana bau kematian begitu pekat. Di ruangan besar yang biasanya dipenuhi oleh para diplomat dari seluruh dunia, kini hanya ada mayat-mayat yang berserakan di lantai. Wajah-wajah mereka menunjukkan ekspresi ketakutan terakhir yang mereka alami, dan Harry merasa tubuhnya lemas.

"Tidak... ini tidak mungkin," gumam Harry, matanya berkaca-kaca. "Aku terlambat... mereka semua sudah mati."

Saat Harry berlutut di tengah ruangan, dikelilingi oleh kehancuran, suara desisan yang sudah begitu ia kenal menggema dari sudut ruangan.

"Aku sudah menunggumu, Potter," kata Voldemort sambil berjalan mendekat, wajahnya penuh kemenangan. "Kau terlambat, seperti biasa."

"Voldemort!" teriak Harry dengan kemarahan yang memuncak, mengangkat tongkat sihirnya. "Apa yang telah kau lakukan? Mereka tidak bersalah!"

Voldemort tersenyum dingin, matanya menyala dengan kegembiraan yang jahat. "Bersalah atau tidak bersalah tidak ada artinya bagiku," katanya. "Mereka adalah penghalang bagi tatanan baru yang akan kubangun. Mereka percaya pada kebebasan dan HAM... nilai-nilai yang lemah dan tidak relevan dalam dunia yang aku impikan."

Bab 12: Pertarungan yang Gagal

Harry menyerang dengan cepat, melemparkan berbagai kutukan sihir yang kuat. Cahaya merah, biru, dan emas memancar dari tongkatnya, mencoba menjebol pertahanan Voldemort. Tapi Voldemort, dengan ketenangan yang mengerikan, menangkis setiap serangan dengan mudah. Mereka bertarung di antara mayat-mayat yang berserakan, kekuatan sihir mereka menghancurkan meja dan dinding di sekitar.

"Kau tidak akan menang!" teriak Harry, suaranya dipenuhi oleh tekad yang membara.

"Aku sudah menang, Potter," jawab Voldemort dengan tawa mengejek. "Lihatlah sekelilingmu. Dunia ini sudah menjadi milikku, dan kau tidak bisa menghentikanku."

Dengan satu gerakan cepat, Voldemort menyerang balik, mengirimkan kutukan yang begitu kuat hingga Harry terlempar menabrak dinding dengan keras. Harry jatuh tersungkur, tongkatnya terlepas dari genggaman, dan darah mengalir dari sudut bibirnya. Voldemort mendekat dengan perlahan, matanya bersinar penuh dengan kemenangan.

"Aku selalu tahu bahwa kau akan gagal, Harry Potter," desisnya. "Kau lemah... terlalu percaya pada kebaikan. Tapi dunia tidak butuh kebaikan lagi. Dunia butuh ketakutan... dan aku adalah sumber dari semua ketakutan itu."

Harry mencoba meraih tongkatnya, tetapi Voldemort menginjak tangan Harry dengan keras. "Selamat tinggal, Sang Penyelamat," kata Voldemort, mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. "Avada—"

Namun, sebelum Voldemort bisa menyelesaikan mantranya, sebuah ledakan besar mengguncang ruangan. Dinding-dinding bergetar, dan debu beterbangan. Voldemort terpaksa mundur, melihat ke sekeliling dengan ekspresi marah.

"Ini belum selesai, Potter," katanya dengan nada dingin. "Aku akan kembali... dan saat itu, kau akan melihat akhir dari segalanya."

Dengan suara retakan keras, Voldemort menghilang dalam kegelapan, meninggalkan Harry yang terluka di tengah kehancuran.

Bab 13: Dunia di Bawah Bayang-Bayang

Berita tentang pembantaian di PBB mengguncang dunia. Seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, bersama aktivis HAM dan Perlindungan Anak, dilaporkan tewas. Media internasional melaporkan bahwa peristiwa itu sebagai "serangan paling mengerikan dalam sejarah manusia modern," tetapi tidak ada yang tahu siapa yang bertanggung jawab. Desas-desus tentang "penyihir" dan "kekuatan gelap" mulai menyebar, tetapi pemerintah dunia menutup rapat-rapat setiap informasi yang bisa mengarah ke kebenaran.

Harry kembali ke Hogwarts dengan hati yang penuh luka. Ia merasa gagal sebagai seorang pahlawan, dan rasa bersalah membebani setiap langkahnya. Ia tahu bahwa perang belum berakhir, tetapi kali ini, lawannya sudah jauh lebih kuat dan lebih licik dari sebelumnya.

Di New York, Gedung PBB yang kini kosong dan hancur menjadi simbol kehancuran yang dibawa oleh Voldemort. Dunia sedang berubah, dan setiap orang, baik muggle maupun penyihir, harus menghadapi kenyataan baru: bahwa kekuatan gelap sudah mengambil alih panggung dunia, dan hanya keajaiban yang bisa mengembalikan cahaya.

Dan di suatu tempat yang jauh dari keramaian, Voldemort tertawa puas. Ia tahu bahwa dengan jatuhnya PBB, tidak ada lagi yang bisa menahan ambisinya. Dunia ini akan tunduk padanya, atau hancur bersamanya.

Bab 14: Daftar Pembantaian dan Musuh yang Terkalahkan

Misi Voldemort dan para Pelahap Mautnya bukan hanya sekadar menakut-nakuti dunia; mereka bergerak dengan tujuan jelas: membasmi semua pihak yang mereka anggap sebagai ancaman atau sebagai target kekuasaan mereka. Dimulai dari para remaja nakal yang dianggap sebagai benih kekacauan, hingga orang-orang yang menduduki posisi penting di panggung global. Berikut ini adalah kisah pembantaian yang dilakukan oleh kekuatan kegelapan.

1. Remaja-Rebel Indonesia: Kengerian di Kota-Kota Besar

Di Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya, para Pelahap Maut memulai misinya dengan memburu para remaja nakal yang dikenal sebagai biang keladi kekacauan. Malam-malam panjang diwarnai dengan jeritan ketakutan yang memenuhi gang-gang gelap dan lorong sekolah yang sepi.

Di sebuah sekolah negeri di Jakarta, sekelompok remaja yang dikenal sering merundung guru dan teman-teman mereka bertemu dengan kematian yang tak terhindarkan. Ketika mereka pulang dari sekolah, sosok berjubah hitam menunggu di jalan gelap yang biasa mereka lewati. Tanpa sepatah kata pun, Voldemort mengangkat tongkatnya.

"Kalian adalah simbol dari kekacauan yang harus dihentikan," desisnya. "Avada Kedavra!"

Cahaya hijau menyambar, dan tubuh-tubuh mereka jatuh dengan bunyi berdebum di trotoar. Tidak ada saksi yang selamat. Keesokan harinya, berita tentang hilangnya para remaja ini tersebar luas, tetapi tak seorang pun tahu siapa pelakunya. Mereka menjadi legenda urban yang ditakuti oleh para pelajar di Indonesia.

2. Kenakalan Mematikan di Amerika Serikat: Teror di Sekolah-Sekolah

Ketika para remaja di Indonesia mulai lenyap dalam bayang-bayang, Amerika Serikat menjadi medan tempur berikutnya. Lord Voldemort tidak lagi hanya menargetkan para remaja yang sekadar nakal; ia memburu mereka yang terlibat dalam penembakan sekolah dan kekerasan brutal di dalam institusi pendidikan.

Di sebuah SMA di Detroit, seorang siswa yang dikenal sering membawa senjata ke sekolah dan memimpin geng kekerasan sedang merencanakan penembakan besar-besaran. Namun, rencana itu tidak pernah terlaksana. Pada malam sebelum hari H, saat siswa itu dan gengnya sedang berkumpul di sebuah gudang tua untuk menyusun strategi, pintu gudang itu meledak dengan kekuatan yang luar biasa.

"Siapa kalian?!" teriak salah satu anggota geng, memegang pistol dengan tangan gemetar.

"Kami adalah akhir dari rencana bodoh kalian," kata Bellatrix Lestrange, matanya menyala dengan kegilaan yang menakutkan. "Tidak ada tempat untuk kenakalan di dunia baru ini."

Dengan gerakan tangan cepat, Bellatrix dan para Pelahap Maut lainnya menyerang, menghabisi mereka semua tanpa perlawanan berarti. Pistol-pistol yang mereka pegang terjatuh ke lantai, tidak berguna di hadapan kekuatan sihir. Keesokan harinya, gudang itu ditemukan terbakar, dan tubuh-tubuh hangus tergeletak tanpa tanda pengenal. Kasusnya dinyatakan "tidak terselesaikan."

3. Dunia Internasional: Pembantaian Para Pemimpin PBB

Kemenangan terbesar Voldemort datang ketika ia berhasil menaklukkan PBB, mengeksekusi para pemimpin dunia dan aktivis HAM di hadapan mata seluruh dunia. Gedung PBB yang megah menjadi medan penyiksaan dan kekerasan yang tidak akan pernah terlupakan.

Di dalam ruang rapat besar, ketika para anggota Dewan Keamanan PBB berkumpul untuk membahas krisis global, pintu-pintu ruangan terkunci rapat dan Voldemort muncul di depan mereka dengan para Pelahap Maut di kedua sisinya. Para delegasi yang ketakutan hanya bisa terdiam ketika Voldemort mulai berbicara.

"Dunia ini terlalu lama diperintah oleh mereka yang lemah," katanya dengan nada mengancam. "Hari ini, aku mengambil alih."

Beberapa delegasi mencoba memohon belas kasihan, sementara yang lain mencoba menyerang balik dengan senjata apa pun yang ada di tangan mereka. Tapi itu semua sia-sia. Voldemort mengangkat tongkatnya dan melantunkan mantra mematikan.

"Imperio!" suaranya bergema. Dalam sekejap, beberapa delegasi berubah menjadi boneka tanpa kehendak, saling menyerang satu sama lain dengan senjata apa pun yang bisa mereka temukan. Kekacauan meletus di ruangan, sementara Voldemort dan para Pelahap Maut hanya berdiri dan tertawa menyaksikan pertumpahan darah.

Di tengah pembantaian, seorang delegasi asal Inggris, Sir Robert Kingsley, berdiri dan mencoba mengarahkan pistolnya ke arah Voldemort. "Aku tidak akan membiarkanmu mengambil alih dunia ini!" teriaknya dengan keberanian yang tersisa.

Voldemort hanya tertawa. "Kau salah, Sir Kingsley. Dunia ini sudah menjadi milikku." Dan dengan satu gerakan sederhana, ia melemparkan kutukan pembunuh. Sir Kingsley terjatuh ke lantai, tubuhnya tak bernyawa.

4. Aktivis HAM dan Perlindungan Anak: Musuh Utama Kekuatan Kegelapan

Para aktivis yang dulu berdiri tegak melawan kekerasan dan penindasan kini menjadi sasaran empuk bagi Voldemort. Mereka adalah simbol perlawanan yang harus dihancurkan untuk mengokohkan kekuasaan baru yang diimpikan oleh Sang Penguasa Kegelapan. Di berbagai negara, para aktivis diculik, diinterogasi, dan dibunuh secara brutal.

Di Paris, kantor pusat sebuah organisasi Perlindungan Anak yang terkenal menjadi tempat serangan berikutnya. Pada suatu malam yang kelam, para aktivis yang tengah berdiskusi tentang peningkatan kasus kenakalan remaja tiba-tiba dikejutkan oleh ledakan besar di ruang utama. Jendela-jendela pecah, dan asap hitam mulai memenuhi ruangan.

"Siapa yang ada di sana?!" teriak salah satu aktivis, memegang telepon untuk menghubungi polisi.

Sosok Voldemort muncul di tengah-tengah ruangan yang hancur, matanya menyala dalam kegelapan. "Kalian yang terus melindungi kelemahan... kini saatnya kalian merasakan kekuatan sejati," katanya sambil mengarahkan tongkatnya.

Beberapa detik kemudian, para aktivis tergeletak tak bernyawa di lantai, tubuh mereka membeku oleh kutukan pembunuh yang begitu cepat dan tanpa ampun.

Bab 15: Setelah Kehancuran

Dengan lenyapnya para pemimpin PBB dan aktivis HAM, dunia berada dalam kekacauan. Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia tidak berdaya di hadapan kekuatan sihir yang menguasai panggung global. Di berbagai negara, gerakan perlawanan kecil mulai bermunculan, tetapi mereka segera dihancurkan oleh para Pelahap Maut yang kini menyebar ke seluruh penjuru bumi.

Harry Potter, yang menyaksikan kehancuran ini, merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan mereka tepat waktu. Ia tahu bahwa perang belum selesai, tetapi musuh yang dihadapinya kali ini jauh lebih besar daripada sekadar Lord Voldemort; ini adalah seluruh tatanan dunia yang sudah berubah, tatanan di mana ketakutan menjadi hukum yang mengendalikan segalanya.

Di tengah kehancuran, Voldemort berdiri di puncak gedung PBB yang kini kosong, menatap ke langit malam yang dipenuhi bintang. Di tangannya, tongkat sihirnya berkilauan dengan kekuatan yang baru didapatnya dari setiap jiwa yang dihabisi.

"Aku adalah masa depan," katanya kepada dirinya sendiri, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Dan tidak ada yang bisa mengubahnya."


FIKSI SOSIO-POLITIK: PESTA 'MUKBANG' ULAR BERBISA DAN AKHIR TRAGIS PELAKU KORUPSI

 Bab 1: Titik Balik

Di ruang sidang DPR yang penuh sesak, suasana terasa tegang. Wajah-wajah para politisi tampak serius, beberapa tampak khawatir, yang lain menunjukkan amarah yang tersembunyi di balik senyum diplomatik mereka. Presiden Aryo Pratama berdiri di podium, menatap seluruh anggota dewan yang duduk rapi di depannya.

"Kita berada di titik nadir," ucap Presiden Aryo dengan nada tegas. "Tingkat kasus korupsi di Indonesia mencapai 95%, hampir menghancurkan ekonomi makro kita. Rakyat menderita. Harga-harga melonjak, pengangguran meningkat, dan kepercayaan pada pemerintahan ini berada di titik terendah. Hari ini, kita akan memutuskan langkah berani. Saya dan pimpinan MPR/DPR telah merumuskan UU yang tak pernah terbayangkan sebelumnya—hukuman bagi para koruptor yang akan memberi pelajaran pada mereka yang mempermainkan amanah rakyat."

Suara desahan terdengar di seluruh ruangan. Ketua MPR, Pak Hardiman, melirik ke arah Presiden Aryo dengan tatapan tajam namun penuh dukungan.

"Kita akan memberikan hukuman mati bagi para koruptor dengan cara yang tidak akan pernah mereka lupakan," lanjut Aryo, matanya bersinar oleh kemarahan yang terpendam. "Koruptor akan dijatuhkan ke dalam sebuah sumur besar yang berisi puluhan spesies ular berbisa—sumur yang akan menjadi simbol keadilan sejati bagi rakyat Indonesia."

Bab 2: Reaksi Publik

Berita tentang rancangan UU itu menyebar bak api yang membakar rumput kering. Di jalan-jalan, di pasar, di kedai kopi, semua orang membicarakan hal yang sama. Televisi dan radio terus menyiarkan liputan langsung tentang sidang yang berlangsung panas di Senayan.

"Ini gila! Bagaimana mungkin mereka bisa begitu kejam?" tanya seorang pria paruh baya di warung kopi pinggir jalan, wajahnya memucat.

"Keji? Itu yang pantas mereka dapatkan!" jawab seorang wanita dengan nada tinggi. "Para koruptor itu sudah terlalu lama mempermainkan nasib kita semua. Sudah saatnya mereka merasakan ketakutan yang sama seperti kita setiap hari."

Di kantor-kantor pemerintah, para pegawai yang biasanya tenang kini tampak gelisah. Suara bisikan mengalir deras di antara meja-meja kerja. Banyak yang takut, tidak sedikit yang merasa bersalah. UU ini, jika disahkan, akan mengubah wajah Indonesia selamanya.

Bab 3: Pengesahan UU

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Di gedung DPR, ribuan orang berkumpul untuk mendukung atau memprotes rancangan UU baru tersebut. Bendera merah putih berkibar di antara teriakan massa, sebagian menginginkan keadilan, sebagian lagi menuduh pemerintah telah kehilangan akal sehat.

Presiden Aryo kembali berdiri di depan mikrofon, kali ini diapit oleh Ketua MPR dan Ketua DPR. "Dengan disahkannya UU ini, kami menyatakan perang terhadap korupsi," katanya sebelum mengetukkan palu yang menandai dimulainya era baru di Indonesia.

Di luar gedung, sorakan rakyat bercampur dengan suara tangis dan amarah. Tidak lama kemudian, di media, cuplikan-cuplikan tentang pembangunan sumur raksasa yang dijaga ketat oleh militer dan polisi mulai menghiasi layar televisi.

Bab 4: Pengadilan Pertama

Setahun setelah UU disahkan, korupsi mulai terkuak satu per satu. Pengadilan pertama menjatuhkan vonis pada seorang bupati yang terbukti menggelapkan dana bantuan bencana. Wajahnya pucat saat mendengar keputusan hakim.

"Bupati Ramdani, Anda dijatuhi hukuman mati sesuai UU Korupsi Nomor 20 Tahun 2024," kata hakim dengan nada datar. "Anda akan dimasukkan ke dalam sumur keadilan beserta spesies ular berbisa yang ada di dalamnya."

Suara riuh rendah terdengar di ruang sidang. Ramdani yang biasanya angkuh kini tampak putus asa, wajahnya seperti kehilangan darah.

"Tidak...! Ini tidak adil!" teriak Ramdani. "Saya dijebak! Tolong, berikan saya kesempatan kedua!"

Namun, keputusan telah dijatuhkan. Para penjaga memborgol tangannya dan membawanya pergi menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke "Sumur Keadilan."

Bab 5: Eksekusi di Depan Publik

Ribuan orang berkumpul di sekitar area eksekusi yang dijaga ketat. Di tengah lapangan yang luas, sebuah sumur besar sebesar rumah minimalis berdiri menganga. Sumur itu sudah menjadi legenda sejak dibangun, dikelilingi oleh pagar tinggi dan kawat berduri. Di dalamnya, puluhan spesies ular berbisa berkeliaran, siap menunggu siapa pun yang dijatuhkan ke dalamnya.

"Ini adalah keadilan bagi rakyat," kata seorang presenter televisi, wajahnya tegang. "Hari ini, kita akan melihat eksekusi pertama di Sumur Keadilan."

Ramdani dibawa ke pinggir sumur. Para penonton terdiam, menahan napas. Presiden Aryo, yang menyaksikan dari kejauhan, menatap dengan tatapan penuh keyakinan.

"Bupati Ramdani, inilah hukuman untuk dosa-dosa yang telah kau lakukan kepada rakyat," kata algojo yang berdiri di sebelahnya.

Dengan satu dorongan, tubuh Ramdani terjatuh ke dalam sumur. Suara jeritan bercampur dengan suara gemerisik ular yang mulai bergerak mendekatinya. Teriakan Ramdani memudar seiring dengan suara gemuruh penonton yang menyaksikan keadilan ditegakkan, meski dengan cara yang begitu mengerikan.

Bab 6: Dampak Sosial dan Politik

Setelah eksekusi pertama, ketakutan menyebar ke seluruh negeri. Para politisi dan pejabat yang selama ini bermain curang tiba-tiba memperlihatkan perilaku yang lebih bersih. Tidak ada lagi amplop-amplop coklat yang berpindah tangan di ruang-ruang gelap. Di pasar, harga-harga mulai stabil, dan ekonomi perlahan membaik.

Namun, pro dan kontra tak kunjung reda. Organisasi HAM internasional mengutuk UU ini sebagai tindakan barbar yang melanggar hak asasi manusia. Namun, Presiden Aryo tetap kukuh pada pendiriannya.

"Kita tidak bisa kembali ke masa lalu," kata Aryo dalam sebuah wawancara televisi. "Korupsi hampir menghancurkan negara ini. Kita harus bertindak tegas untuk menyelamatkan masa depan Indonesia."

Di sisi lain, para pengacara mulai mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, menuduh bahwa UU ini tidak manusiawi. Namun, suara rakyat tetap mendukung pemerintah. "Kita sudah cukup menderita," kata seorang ibu yang diwawancarai di pinggir jalan. "Akhirnya, ada yang bertindak untuk kita."

Bab 7: Perubahan di Negeri

Lima tahun kemudian, Indonesia berubah menjadi negara dengan ekonomi yang kuat. Laporan internasional menunjukkan bahwa tingkat korupsi turun drastis hingga 5%, dan birokrasi menjadi lebih efisien. Pembangunan infrastruktur berjalan lancar, dan investasi asing mengalir deras.

Namun, di balik kemajuan itu, "Sumur Keadilan" tetap menjadi simbol yang kontroversial. Setiap tahun, puluhan pelaku korupsi dari berbagai level dijatuhkan ke dalam sumur itu. Di mata sebagian orang, ini adalah keadilan yang akhirnya ditegakkan. Di mata yang lain, ini adalah kebrutalan yang tak seharusnya terjadi di zaman modern.

Suatu sore, Presiden Aryo yang kini sudah pensiun, duduk di teras rumahnya yang sederhana. Seorang jurnalis muda datang menemuinya, membawa rekaman suara dari salah satu koruptor yang pernah dijatuhkan ke sumur.

"Apa Anda tidak menyesal, Pak, telah membuat hukum yang begitu keras?" tanya jurnalis itu.

Aryo menatap jauh ke arah cakrawala yang mulai memerah. "Kadang, untuk menghentikan kegelapan, kau harus menyalakan api yang cukup besar untuk membakar semua yang busuk," jawabnya pelan. "Aku tidak bangga, tapi aku tahu itu perlu. Mungkin suatu hari, kita bisa menemukan cara yang lebih manusiawi. Tapi saat itu, kita sedang di ambang kehancuran. Dan aku hanya memilih jalan yang tersisa."

Jurnalis itu terdiam, menatap wajah tua mantan presiden yang penuh dengan keteguhan namun juga kesedihan yang sulit disembunyikan. Di kejauhan, suara nyanyian anak-anak terdengar, menggema di langit sore yang damai, seolah menandakan era baru di negeri yang pernah hampir tenggelam dalam kegelapan.

Bab 8: Pengaruh yang Tak Terduga

Berita bahwa Indonesia berhasil menurunkan tingkat korupsi hingga titik terendah dalam sejarah menyebar dengan cepat. Negara-negara di seluruh dunia memperhatikan dengan penuh minat, terutama mereka yang tengah menghadapi krisis kepercayaan terhadap pemerintah akibat skandal-skandal korupsi. Keberhasilan "Sumur Keadilan" menjadi topik perdebatan panas di parlemen negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat.

Di Washington, D.C., sebuah sidang khusus diadakan oleh Kongres Amerika Serikat. Parlemen yang didominasi oleh Partai Republik, yang selama ini dikenal dengan kebijakan sayap kanan, menunjukkan minat yang mengejutkan terhadap kebijakan kontroversial Indonesia.

“Ini mungkin solusi yang kita cari selama ini,” ujar Senator John McMillan, seorang politisi garis keras dari Partai Republik, sambil menatap layar yang memperlihatkan cuplikan eksekusi pertama di Sumur Keadilan. “Korupsi di negeri ini sudah terlalu parah. Lihat apa yang berhasil dilakukan Indonesia. Mungkin inilah saatnya kita mengambil langkah serupa.”

Seorang senator dari Partai Demokrat, Catherine Torres, mengangkat tangan dengan wajah gusar. “Ini barbar! Bagaimana bisa kita mempertimbangkan sesuatu yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia? PBB tidak akan pernah menyetujui ini!”

McMillan menatap tajam ke arah Torres, lalu tersenyum dingin. “PBB sudah lama kehilangan kendali. Rakyat kita menuntut tindakan nyata, bukan ceramah moral dari organisasi internasional yang tak pernah efektif.”

Bab 9: Sidang di PBB

Desas-desus tentang Amerika yang mempertimbangkan hukuman mati untuk koruptor menyebar hingga ke PBB. Delegasi dari berbagai negara mulai mempertanyakan apakah negara-negara Barat, yang selama ini menjadi advokat utama hak asasi manusia, benar-benar akan mengambil langkah seperti itu.

Di ruang sidang PBB, seorang perwakilan dari Indonesia, Duta Besar Rahayu, berdiri di podium dengan tenang, dikelilingi oleh wajah-wajah yang tampak tidak percaya.

"Indonesia tidak pernah bermaksud menjadi contoh untuk negara-negara lain," katanya. "Kami melakukan apa yang harus kami lakukan untuk menyelamatkan negara kami dari kehancuran. Tetapi, jika negara-negara lain ingin meniru kebijakan kami, kami hanya bisa berharap mereka melakukannya dengan hati-hati dan mempertimbangkan konteks masing-masing."

Seorang perwakilan dari Amerika Serikat, yang dikenal sebagai pendukung Partai Republik, berdiri dan tersenyum pada Rahayu. "Kami menghargai keberanian Indonesia untuk mengambil langkah yang sulit," katanya. "Kita semua tahu bahwa sistem global saat ini seringkali tidak efektif dalam menangani korupsi."

Sejak saat itu, PBB mengeluarkan peringatan keras terhadap negara-negara yang berniat meniru kebijakan Indonesia, menyebutnya sebagai "pelanggaran hak asasi manusia yang terang-terangan." Namun, beberapa negara Barat—termasuk Amerika—tetap tidak bergeming.

Bab 10: Diskusi di Gedung Putih

Di Gedung Putih, sebuah rapat rahasia diadakan di Ruang Oval, dihadiri oleh para pemimpin partai Republik dan sejumlah penasihat keamanan nasional. Presiden Amerika Serikat, seorang politisi sayap kanan yang dikenal keras, menatap layar monitor yang menunjukkan data keberhasilan Indonesia dalam menekan korupsi.

"Ini langkah yang berisiko, Tuan Presiden," kata penasihat hukum senior, Robert Blake. "PBB dan media internasional pasti akan menentangnya. Tapi jika kita benar-benar bisa mengurangi korupsi seperti Indonesia, itu akan jadi kemenangan besar bagi kita di pemilu berikutnya."

Presiden berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Kita sudah terlalu lama ditindas oleh aturan yang dibuat oleh organisasi internasional yang tidak tahu apa yang terjadi di negara ini. Kalau Indonesia bisa melakukannya dan berhasil, kenapa kita tidak?"

"Tapi ini akan memecah belah negara," protes Kepala Staf, Emily Carter. "Banyak orang yang tidak akan setuju dengan cara ini, terutama mereka yang mendukung hak asasi manusia."

Presiden tersenyum tipis. "Rakyat tidak peduli dengan moralitas jika perut mereka lapar dan dompet mereka kosong. Ini bukan soal keadilan moral, ini soal bertahan hidup. Mulai rancang undang-undangnya. Kita akan bergerak, dengan atau tanpa restu PBB."

Bab 11: Protes dan Dukungan

Berita bahwa Amerika Serikat sedang merumuskan undang-undang serupa dengan "Sumur Keadilan" memicu gelombang protes besar di seluruh negeri. Di New York, ribuan orang turun ke jalan, membawa spanduk yang mengecam kebijakan yang mereka anggap sebagai "kemunduran peradaban."

"Ini tidak bisa diterima! Kita tidak bisa menjadi negara barbar seperti ini!" teriak seorang demonstran muda di depan Gedung Putih.

Namun, di bagian lain negara, di pedesaan yang selama ini merasa terpinggirkan oleh korupsi di pusat kekuasaan, dukungan terhadap kebijakan itu tumbuh subur. Talk show radio konservatif membicarakan keberanian Indonesia dengan penuh kekaguman, memuji negara kecil di Asia yang berhasil menantang otoritas global.

"Indonesia punya nyali," kata seorang pembawa acara radio terkenal di Texas. "Dan mereka membuktikan bahwa hukuman keras adalah cara untuk membersihkan kotoran yang menumpuk di sistem pemerintahan kita. Mungkin kita juga perlu menyalakan api keadilan seperti mereka."

Bab 12: Undang-undang Baru di Amerika

Kongres akhirnya mengesahkan undang-undang baru, yang disebut "Act for Ultimate Justice," yang memberikan hukuman mati bagi koruptor dengan cara yang lebih "terhormat" daripada di Indonesia—bukan sumur ular, tetapi penjara isolasi penuh tanpa komunikasi selama sisa hidup. Amerika mencoba untuk meniru kesuksesan Indonesia, tetapi dengan sedikit modifikasi agar terlihat lebih beradab di mata dunia.

Kritik internasional terus berdatangan, tapi dukungan rakyat Amerika mengalir deras. Mereka yang merasa dikhianati oleh sistem yang korup akhirnya menemukan harapan baru dalam kebijakan ekstrem tersebut.

Bab 13: Pertemuan di Jakarta

Di Jakarta, Presiden Aryo diundang untuk berbicara dalam sebuah konferensi internasional yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat. Di depan para pemimpin dunia, Aryo berdiri dengan tenang, menatap wajah-wajah yang penasaran.

"Kami tidak pernah bermaksud untuk menjadi model bagi dunia," katanya, suaranya rendah namun tegas. "Kami melakukan apa yang kami lakukan karena kami terpojok. Kami tidak punya pilihan lain. Saya berharap dunia memahami, bahwa setiap negara punya konteks dan masalahnya masing-masing. Cara kami bukanlah satu-satunya cara."

Presiden Amerika berdiri dan menyalami Aryo. "Kami belajar banyak dari Anda," katanya. "Mungkin Anda benar. Mungkin cara kami akan berbeda, tapi semangat keadilan itulah yang kami ambil dari pengalaman Anda."

Bab 14: Dunia yang Berubah

Setelah pertemuan itu, semakin banyak negara di dunia yang memberanikan diri untuk mengambil langkah ekstrem terhadap korupsi, terutama di Eropa Timur dan Amerika Latin yang selama ini berjuang dengan masalah korupsi sistemik. Indonesia menjadi simbol, bukan hanya ketegasan, tapi juga pengingat bahwa keadilan bisa menjadi senjata yang tajam, jika tidak dikelola dengan bijaksana.

Namun, meski keberhasilan Indonesia menginspirasi dunia, ada harga yang harus dibayar. Kritik internasional, isolasi dari PBB, dan tekanan ekonomi dari negara-negara yang menentang kebijakan itu membuat Indonesia menghadapi tantangan baru.

Di Jakarta, Aryo duduk di kantornya, menatap laporan ekonomi yang menunjukkan kemajuan pesat, tetapi juga laporan diplomatik yang penuh dengan ancaman sanksi dari PBB.

"Mungkin kita benar," gumamnya pelan. "Mungkin kita salah. Tapi yang pasti, kita memilih jalan yang sulit, dan sekarang, tidak ada lagi jalan untuk kembali."

Di sisi lain dunia, Presiden Amerika berdiri di Gedung Putih, menatap peta global yang terpampang di dinding, mencoba memahami dunia baru yang mulai terbentuk, di mana garis antara keadilan dan kekejaman menjadi semakin tipis, dan di mana kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh diplomasi, tetapi oleh keberanian untuk bertindak, apa pun risikonya.

Bab 15: Oligarki Terkapar di Sumur Keadilan

Sistem "Sumur Keadilan" telah menyebar melintasi batas-batas negara, dan dalam gelombang pertama penghakiman yang menghebohkan, sepuluh orang oligarki kelas kakap dari berbagai negara, yang selama ini dikenal sebagai untouchable, akhirnya menghadapi konsekuensi dari keserakahan mereka. Setiap nama yang masuk dalam daftar eksekusi menjadi headline di seluruh dunia, menarik perhatian jutaan orang yang haus akan keadilan sejati.

1. Alejandro Guzmán (Meksiko)

Alejandro Guzmán, seorang taipan minyak yang menguasai pasar energi di Meksiko, dijatuhi hukuman mati setelah terbukti mengalihkan dana pemerintah sebesar miliaran dolar untuk memperkaya dirinya sendiri. Di hadapan sumur berisi ular berbisa, Alejandro gemetar. “Aku bisa bayar lebih! Aku bisa beli semuanya!” teriaknya, memohon ampun saat didorong oleh algojo. Saat tubuhnya jatuh ke dasar sumur, teriakan penuh ketakutan itu berubah menjadi tangisan mengerikan yang terhenti oleh desisan ular yang segera menyergap tubuhnya.

2. Boris Volkov (Rusia)

Boris Volkov, seorang oligarki yang menguasai sektor gas alam Rusia, dihukum mati karena suap yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah selama bertahun-tahun. Di pinggir sumur, ia menatap dingin para eksekutor. “Negara ini tidak akan bertahan tanpaku!” katanya dengan nada arogan. Tapi keangkuhannya segera lenyap saat ia jatuh ke dalam sumur. Seekor king kobra bergerak cepat, mengigit tangan Boris sebelum ia sempat berteriak lebih lama, dan tubuhnya bergoyang di antara tumpukan ular.

3. Klaus Becker (Jerman)

Klaus Becker, penguasa jaringan konstruksi raksasa di Eropa, terkenal memonopoli tender proyek-proyek pemerintah Jerman dengan suap yang tersebar luas. Di saat terakhirnya, ia memohon belas kasihan kepada para penjaga, tetapi tak ada ampun untuknya. Saat terjun ke dalam sumur, ular tanah menyelusup dengan cepat dan melilit kakinya, menyebabkan kejang-kejang hebat yang menghentikan napasnya dalam hitungan menit.

4. Lu Wei (Tiongkok)

Di Beijing, pengusaha teknologi Lu Wei—yang selama ini menguasai pasar e-commerce dan media sosial—dituduh melakukan korupsi besar-besaran dengan menyelundupkan uang negara ke luar negeri. Ia mencoba menyogok algojo dengan mata uang asing, tapi semua upaya sia-sia. Saat tubuhnya menghantam dasar sumur, seekor kobra jawa muncul dari kegelapan, menyuntikkan bisa mematikan tepat di lehernya. Jeritannya mereda dalam hitungan detik, bergema di antara dinding sumur yang gelap.

5. Samuel Donovan (Amerika Serikat)

Samuel Donovan, seorang pengusaha real estate dan pemilik media yang dikenal sebagai “Raja Properti Amerika,” akhirnya jatuh setelah bertahun-tahun mengontrol politik melalui korupsi dan suap. Sebelum didorong, ia bersumpah akan “menghancurkan” sistem ini, tetapi ancaman terakhirnya lenyap saat tubuhnya dihempaskan ke dalam sumur. Seekor welang yang licin bergerak tanpa suara dan menyergap tubuhnya yang terbaring tak berdaya, membuatnya menggeliat dalam kesakitan yang tak terkatakan.

6. Jean-Michel Renault (Prancis)

Di Paris, Jean-Michel Renault, seorang miliarder mode yang mengontrol jaringan bisnis di seluruh Eropa, dijatuhi hukuman mati setelah terbukti melakukan penggelapan pajak dan penipuan finansial selama dua dekade. Saat jatuh ke dalam sumur, kilatan kulitnya yang pucat tampak sejenak sebelum ular-ular tanah menyerbu tubuhnya yang gemetar. Suaranya tenggelam dalam suara desisan ular yang berdesak-desakan di sekelilingnya.

7. Rajiv Bhattacharya (India)

Rajiv Bhattacharya, taipan properti yang terkenal di seluruh India, terkenal menguasai sektor properti dengan cara yang tidak bersih. Ketika dihadapkan pada hukuman mati, ia menatap sumur dengan wajah yang sudah pasrah. “Semua ini tak akan mengubah apa pun,” katanya datar, sebelum tubuhnya didorong ke dalam kegelapan. Seekor king kobra yang bersembunyi di celah-celah batu bergerak secepat kilat, membuat Rajiv menggeliat liar saat bisa menyebar di tubuhnya.

8. Fernando Torres (Spanyol)

Di Madrid, Fernando Torres—seorang pengusaha perbankan yang mengatur aliran dana dari rekening gelap di seluruh Eropa—menjadi korban berikutnya. Wajahnya yang biasanya tersenyum sinis kini berubah tegang. “Aku tidak akan mati seperti ini!” teriaknya, tetapi eksekutor tetap mendorongnya tanpa ampun. Di dasar sumur, seekor kobra jawa melingkari tubuhnya, menggigit beberapa kali hingga tubuh Fernando mengejang dan matanya membelalak kosong.

9. Amadou Diarra (Nigeria)

Di Lagos, Amadou Diarra, seorang pengusaha minyak yang berkuasa di Afrika Barat, dituduh memanfaatkan kekayaan alam negaranya untuk kepentingan pribadi dengan merugikan negara miliaran dolar. Ia diantar ke sumur dengan tangan terikat, berusaha meyakinkan para penjaga bahwa ia bisa “membeli” kebebasannya. Namun, ketika tubuhnya jatuh, tak ada yang bisa disogok. Weling yang berbisa dengan cepat menyergap tubuhnya, membuat Amadou meraung dalam siksaan hingga akhirnya terdiam.

10. Gerard Dubois (Kanada)

Gerard Dubois, seorang taipan tambang di Kanada, dikenal karena eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan lingkungan atau hak-hak masyarakat adat. Ketika dijatuhi hukuman, ia mencoba menyogok eksekutor dengan saham perusahaannya yang berharga. Tapi semua rayuan ditolak mentah-mentah. Saat tubuhnya terhempas ke dalam sumur, ular tanah merayap di tubuhnya, diikuti oleh king kobra yang segera menancapkan taringnya di lengan Gerard, menyebabkan tubuhnya mengejang dalam rasa sakit yang tidak tertahankan.

Bab 16: Dunia yang Terhenyak

Ketika berita tentang eksekusi oligarki ini tersebar, dunia terhenyak. Tayangan langsung yang disiarkan melalui media global menimbulkan perdebatan panas di ruang publik. Di satu sisi, banyak yang bersorak, menyebutnya sebagai keadilan yang lama ditunggu-tunggu. Namun di sisi lain, kecaman datang dari organisasi hak asasi manusia, menyebutnya sebagai langkah mundur peradaban.

Di Jakarta, Presiden Aryo diundang dalam sebuah wawancara khusus oleh media internasional yang menanyakan pandangannya tentang eksekusi yang semakin menyebar luas di seluruh dunia.

"Ini bukan tentang keadilan yang sempurna," kata Aryo dengan tegas, wajahnya tak menunjukkan keraguan. "Ini tentang pesan yang kita kirimkan pada mereka yang selama ini merasa tak tersentuh oleh hukum. Rakyat di berbagai negara mulai sadar bahwa ketidakadilan harus dihadapi dengan tindakan nyata, meskipun cara kita tidak akan disukai oleh semua orang."

Di seluruh dunia, satu per satu oligarki yang selama ini berdiri di atas hukum akhirnya terjatuh ke dalam “sumur” mereka sendiri, dihadapkan pada ular-ular berbisa yang tak peduli dengan kekayaan atau kekuasaan. Sejarah mencatatnya sebagai era baru di mana kekuasaan tidak lagi bisa membeli keadilan, dan suara rakyat yang marah menjadi lebih kuat dari segala suap dan intimidasi yang selama ini menutupi kebenaran.

FIKSI SOSIO-POLITIK: KETIKA GEORGE WALKER BUSH MENJADI PRESIDEN SEUMUR HIDUP

 

Bab 1: Tahun Ketegangan, 2008

Amerika Serikat berubah drastis sejak George W. Bush dinobatkan sebagai Presiden Seumur Hidup pada tahun 2005, menyusul keberhasilan besar dalam invasi ke Afghanistan dan Irak. Dunia terguncang ketika Saddam Hussein dihukum mati di depan umum, dan Taliban dibubarkan sepenuhnya. Bush menjadi simbol kekuatan tak terbantahkan di era modern, menyatukan Amerika di bawah kepemimpinan yang "tegas" dan "demokratis."

Di tahun 2008, Bush kembali tampil di depan Kongres yang sudah kehilangan sebagian besar kekuasaannya. Kongres kini hanyalah forum untuk mendiskusikan keputusan yang sudah dibuat oleh Bush dan Dewan Nasional Keamanan yang setia kepadanya.

"Kita telah mencapai kemenangan besar," ujar Bush dengan nada berapi-api di hadapan para anggota kongres. "Dunia semakin aman karena keberanian kita. Demokrasi harus dipertahankan, meskipun dengan cara yang luar biasa."

Di sisi lain dunia, Uni Eropa mulai khawatir akan kekuasaan Amerika yang semakin besar. Sementara itu, Rusia dan China memutuskan untuk membentuk aliansi strategis, melihat Amerika sebagai ancaman yang tak bisa diabaikan.

Bab 2: Demokrasi dengan Wajah Baru

Selama dekade berikutnya, Amerika Serikat menjadi pusat kekuatan dunia. Di bawah kepemimpinan Bush, yang dianggap sebagai pahlawan internasional, negara-negara lain mulai mengikuti jejaknya, menerapkan sistem demokrasi yang terlihat liberal tetapi dengan sentralisasi kekuasaan yang ketat. Kebebasan pers masih ada, tetapi dikontrol dengan cermat oleh Komisi Etika Jurnalisme yang dibentuk oleh pemerintahan Bush.

Senator Anderson, seorang politisi muda yang kritis, duduk di kantornya di Washington, menatap keluar jendela ke arah Gedung Putih yang kini dikelilingi oleh patung-patung pahlawan Amerika modern. Dia tahu bahwa di bawah permukaan yang tampak stabil, ada gelombang ketidakpuasan yang terus membesar.

"Ini bukan demokrasi yang kita janjikan," kata Anderson kepada asistennya, Rachel. "Bush telah mengubah demokrasi menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih menyerupai kekaisaran."

Rachel hanya mengangguk. Dia tahu bahwa kritik terhadap Bush jarang disuarakan di tempat umum. Banyak yang menganggap Presiden Seumur Hidup itu sebagai pahlawan, dan sedikit yang berani menentangnya secara terbuka.

Bab 3: Aliansi Global yang Retak

Pada tahun 2030, aliansi Amerika dengan Inggris dan negara-negara Barat semakin kuat. Namun, pengaruh Amerika yang dominan mulai menimbulkan ketegangan dengan kekuatan besar lainnya. Rusia dan China membentuk Blok Eurasia, yang bertujuan untuk menyaingi kekuatan Amerika di panggung global. Konflik ekonomi dan teknologi meningkat, dan Perang Dingin kedua pun dimulai.

Di sebuah pertemuan rahasia di Moskow, Presiden Mikhail Petrov dari Rusia bertemu dengan Presiden Liu Zhang dari China.

"Kita tidak bisa membiarkan Amerika mengendalikan dunia seperti ini," kata Petrov dengan tegas. "Mereka telah mengekspor model demokrasi palsu mereka ke seluruh dunia, dan Bush tetap di sana sebagai simbol kekuasaan yang abadi."

Liu Zhang mengangguk. "Kita harus bersiap. Bukan dengan perang terbuka, tapi dengan teknologi dan ekonomi. Kita akan menantang dominasi mereka dengan cara kita sendiri."

Bab 4: Era Teknokrasi Amerika

Pada tahun 2040, Amerika Serikat telah beralih menjadi negara teknokrasi yang menggunakan kecerdasan buatan dan data besar untuk mengelola hampir setiap aspek kehidupan publik. Kebijakan publik diambil berdasarkan analisis data, dan demokrasi digital menjadi wajah baru dari demokrasi liberal. Pemilu tetap dilakukan, tetapi selalu dengan hasil yang sama: George W. Bush tetap di posisi puncak, meskipun kini hanya sebagai simbol, sementara Dewan Nasional Keamanan menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Di ruang rapat Pentagon, John Blake, seorang teknokrat muda yang baru saja diangkat sebagai Kepala Pengendali Informasi Nasional, sedang memaparkan laporan tentang stabilitas domestik kepada Dewan Keamanan Nasional.

"Tingkat kepuasan publik stabil di angka 85 persen, berdasarkan algoritma prediksi terbaru," jelas Blake. "Namun, kami mendeteksi adanya peningkatan aktivitas radikal di beberapa kota besar yang perlu diperhatikan."

Seorang jenderal tua, General Moore, memandang Blake dengan dingin. "Tidak akan ada pemberontakan, anak muda. Rakyat Amerika percaya pada sistem ini. Dan kita punya alat untuk memastikan mereka tetap percaya."

Bab 5: Ledakan di Benua Afrika

Sementara itu, negara-negara dunia ketiga mengalami perubahan drastis. Setelah Amerika berhasil mendominasi Timur Tengah, perhatian mereka beralih ke Afrika. Bush, yang masih dianggap sebagai pemimpin terkuat dunia, mendirikan berbagai pangkalan militer di seluruh Afrika dengan dalih menjaga stabilitas dan menyebarkan demokrasi liberal. Namun, dampaknya adalah eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan ketidakstabilan politik.

Di Nairobi, Amina, seorang aktivis lingkungan, menyaksikan bagaimana hutan-hutan dihancurkan untuk tambang emas dan minyak yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan Amerika.

"Mereka bilang ini demi stabilitas," kata Amina kepada kelompoknya. "Tapi yang mereka inginkan hanyalah keuntungan. Di bawah demokrasi liberal mereka, kita tetap miskin."

Bab 6: Ketegangan Memuncak

Pada tahun 2050, ketegangan internasional memuncak. Blok Eurasia berhasil mengembangkan teknologi komunikasi yang sepenuhnya independen dari pengaruh Amerika, menciptakan jaringan satelit dan internet global yang terpisah. Dunia terbelah menjadi dua blok besar: Blok Atlantik, yang didominasi oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, dan Blok Eurasia, yang terdiri dari Rusia, China, dan aliansi Timur Tengah yang bersatu setelah penarikan pasukan Amerika.

Di PBB, yang kini hanya menjadi forum formal tanpa kekuatan nyata, perwakilan Amerika dan Blok Eurasia saling bertukar tuduhan. Diplomasi global mencapai titik terendah, dengan ancaman perang teknologi dan ekonomi yang mengancam keseimbangan dunia.

"Ini tidak akan bertahan lama," ujar Duta Besar Natasha Ivanova dari Rusia kepada perwakilan China setelah pertemuan yang panas. "Kita hanya menunggu waktu sebelum ledakan besar terjadi."

Liu Zhang, yang sekarang sudah menjadi pemimpin terkuat di Blok Eurasia, mengangguk perlahan. "Bush menciptakan kekuatan yang tidak bisa dia kendalikan. Dunia ini siap untuk berubah, dan kita akan menjadi pemicu perubahan itu."

Bab 7: Tahun Perubahan, 2060

Pada tahun 2060, sebuah revolusi besar pecah di Amerika Serikat. Generasi muda, yang tidak pernah merasakan dunia tanpa Bush, mulai mempertanyakan warisan panjang kepemimpinannya. Mereka menuntut perubahan, menuntut demokrasi sejati, bukan demokrasi digital yang dikendalikan oleh segelintir elit. Demonstrasi besar-besaran terjadi di seluruh negeri, dipimpin oleh kelompok-kelompok aktivis yang menginginkan transparansi, kebebasan pers yang sesungguhnya, dan pemilu yang jujur.

Emma Carter, seorang mahasiswa muda yang karismatik, muncul sebagai pemimpin gerakan ini. Di tengah kerumunan demonstran di Washington D.C., dia berteriak dengan penuh semangat.

"Kita telah cukup hidup dalam bayang-bayang kekuasaan satu orang! Inilah saatnya Amerika menemukan kembali jati dirinya sebagai bangsa yang bebas!"

Dewan Keamanan Nasional mengirim pasukan untuk meredam protes, tetapi semakin keras penindasan, semakin kuat perlawanan. Di Eropa, Blok Atlantik mulai terpecah, dengan beberapa negara anggota mendukung gerakan demokrasi baru di Amerika.

Bab 8: Perang Saudara Modern

Revolusi Amerika berubah menjadi perang saudara modern. Teknologi militer yang canggih, drone, dan AI digunakan oleh kedua pihak untuk saling bertarung. Blok Eurasia mendukung gerakan pemberontak secara terselubung, menyuplai teknologi yang mampu melawan dominasi Amerika.

Di ruang bawah tanah yang gelap di pinggiran New York, Emma Carter sedang merencanakan strategi bersama dengan mantan teknokrat yang kini berbalik mendukung revolusi.

"Kita tidak akan bisa menang dengan kekuatan militer saja," ujar Dr. Alan Reeves, mantan Kepala Teknologi di Dewan Keamanan Nasional. "Kita harus memenangkan hati rakyat. Ini tentang siapa yang bisa memberikan harapan sejati."

Emma mengangguk dengan tekad. "Bush mengendalikan kita dengan ketakutan. Kita akan mengubah dunia dengan harapan."

Bab 9: Akhir Sebuah Era

Pada tahun 2070, kekuasaan Bush akhirnya runtuh. Teknologi pemberontak berhasil membongkar jaringan propaganda digital yang selama ini menopang kepemimpinan Bush. Amerika kembali ke jalur demokrasi sejati setelah hampir tujuh dekade berada di bawah bayang-bayang satu nama. Di depan Gedung Putih yang hancur oleh konflik, Emma Carter dilantik sebagai presiden baru Amerika, simbol harapan yang lama hilang.

Dunia, yang telah lama terbagi, mulai bersatu kembali. Blok Eurasia dan Blok Atlantik mengakhiri persaingan mereka dan bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan damai.

Bab 10: Masa Depan yang Baru

Pada tahun 2100, dunia telah berubah. Sistem demokrasi yang baru, berbasis pada transparansi dan partisipasi, mulai tersebar di seluruh dunia. Teknologi digunakan untuk memperkuat masyarakat, bukan mengontrolnya. Generasi baru telah belajar dari kesalahan masa lalu, dengan keyakinan bahwa kebebasan harus dirawat, bukan diambil oleh satu orang atau satu kekuatan.

Emma Carter, yang kini sudah tua, berdiri di hadapan anak-anak muda di Capitol yang sudah dibangun kembali.

"Jangan pernah biarkan satu orang menguasai masa depan kalian," katanya. "Kebebasan adalah hak semua, bukan milik satu generasi atau satu orang. Jagalah, dan pelajarilah dari sejarah kita."

Dan dengan itu, dunia memasuki era baru—era yang tidak lagi didominasi oleh satu kekuatan, tetapi oleh rakyat yang bersatu demi masa depan yang lebih baik.

FIKSI ILMIAH: SAAT PARA ALIEN MELIHAT KAPITALISME MANUSIA BUMI

 

Bab 1: Ketika Langit Terbelah

Pada tahun 2200, sebuah peristiwa aneh terjadi di Bumi. Langit malam yang gelap tiba-tiba terbelah oleh cahaya-cahaya misterius. Kapal-kapal raksasa dari berbagai galaksi mendarat di titik-titik penting dunia, menandai awal kedatangan ras-ras yang selama ini hanya ada di cerita fiksi: Terran, Zerg, Protoss, Orc, Undead, dan Night Elf. Setiap ras membawa teknologi, kekuatan, dan niat yang berbeda. Mereka datang bukan untuk berperang, tetapi untuk memahami sistem ekonomi Bumi yang begitu unik—kapitalisme murni.

Di tengah keramaian pusat kota New York yang modern, Mengsk, pemimpin Terran, berdiri memandang gedung-gedung pencakar langit yang dihiasi lampu neon. Kerrigan, sang Ratu Zerg, berdiri di sampingnya, memperhatikan manusia yang berlalu-lalang tanpa henti.

"Jadi ini yang disebut dengan peradaban modern mereka?" tanya Kerrigan, suara penuh dengan ejekan. "Semuanya terlihat begitu megah, tapi aku bisa mencium aroma ketidakadilan."

Mengsk hanya tersenyum tipis. "Mereka menyebutnya 'kemajuan'. Semua ini adalah hasil dari sistem yang memberi kebebasan tanpa batas kepada yang kuat untuk mendominasi yang lemah."

Bab 2: Aliansi yang Tidak Biasa

Di sisi lain dunia, Protoss yang dipimpin oleh Artanis mendarat di Tokyo, tertarik oleh kemajuan teknologi dan kecanggihan manusia dalam membangun kota. Mereka terkesan oleh infrastruktur yang kompleks, namun di balik itu mereka melihat polusi yang mencemari udara dan orang-orang yang bekerja tanpa henti.

"Mereka begitu sibuk mengejar keuntungan," ujar Artanis kepada Tassadar, seorang komandan Protoss. "Sampai-sampai mereka lupa bahwa dunia ini perlu dijaga, bukan hanya dieksploitasi."

Di hutan Amazon yang tersisa, Night Elf yang dipimpin oleh Tyrande Whisperwind terkejut melihat penggundulan hutan secara besar-besaran. Pohon-pohon yang berusia ratusan tahun ditebang tanpa pertimbangan, demi membuka lahan untuk pertambangan dan perkebunan. Tyrande tidak percaya bahwa makhluk yang mengaku beradab bisa melakukan hal sekejam itu terhadap alam mereka sendiri.

"Apa yang mereka cari, Malfurion?" tanya Tyrande kepada suaminya, Malfurion Stormrage, sang druid terkuat di kalangan Night Elf. "Mengapa mereka menghancurkan alam yang memberi mereka kehidupan?"

Malfurion hanya menggelengkan kepala, matanya menyiratkan kesedihan. "Mereka tidak menghargai keseimbangan. Bagi mereka, alam hanyalah sumber daya, bukan sesuatu yang harus dilindungi."

Bab 3: Kapitalisme Bertemu Kekuatan Luar Biasa

Kedatangan makhluk-makhluk asing ini mengundang perhatian dari korporasi-korporasi raksasa yang menguasai ekonomi dunia. Mereka melihat potensi keuntungan besar dalam menjalin kerja sama dengan ras-ras luar angkasa ini. CEO dari perusahaan multinasional terbesar di dunia, Arthur Steel, mengundang delegasi dari semua ras untuk bertemu di kantornya yang megah di New York. Mereka ingin membahas kemungkinan kerja sama, perdagangan teknologi, dan eksploitasi sumber daya.

"Kita bisa menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan," kata Arthur Steel dengan senyum komersialnya. "Teknologi kalian bisa kami komersialisasikan, dan kami akan memberikan akses tak terbatas ke sumber daya yang ada di Bumi."

Mengsk menatap Arthur dengan tatapan dingin. "Kau menawarkan perdagangan, tetapi dalam sistemmu, keuntungan selalu memihak pada yang berkuasa. Kami tidak datang untuk tunduk pada sistemmu."

Sementara itu, di sudut ruangan, Kerrigan mengamati semuanya dengan rasa ingin tahu. Zerg tidak tertarik pada keuntungan atau teknologi. Mereka ingin memahami mengapa manusia mau hidup dalam sistem yang tampaknya sangat menindas bagi sebagian besar dari mereka.

"Sistem ini," Kerrigan bergumam, "hanya menguntungkan segelintir orang. Mereka yang kuat menghancurkan yang lemah, dan mereka yang lemah hanya bisa tunduk atau mati."

Bab 4: Konfrontasi dengan Kapitalisme

Di benua Afrika, Orc dan Undead datang dengan maksud yang berbeda. Thrall, pemimpin Orc, melihat bagaimana manusia berjuang untuk bertahan hidup di daerah yang gersang dan miskin, meskipun tanah itu sebenarnya kaya akan sumber daya. Dia mengajukan pertanyaan kepada pemimpin setempat.

"Mengapa rakyatmu kelaparan sementara korporasi asing datang dan menjarah tanahmu?" tanya Thrall dengan nada penuh kemarahan.

Pemimpin setempat hanya menundukkan kepala. "Kami tidak punya pilihan. Tanpa mereka, tidak ada investasi. Tanpa investasi, tidak ada pekerjaan."

Sementara itu, Lich King, pemimpin Undead, tertarik oleh kemiskinan dan penderitaan yang tersebar di seluruh dunia. Baginya, kapitalisme manusia yang brutal adalah refleksi dari kegelapan dan ketamakan yang telah lama dia kenal.

"Sistem ini sangat rapuh," ujar Lich King kepada pengikutnya. "Ketika yang lemah sudah terlalu tertindas, mereka akan memberontak. Mungkin inilah yang mereka sebut sebagai 'revolusi'."

Bab 5: Kebenaran yang Terungkap

Setelah setahun tinggal di Bumi, setiap ras mulai melihat kebenaran di balik kapitalisme murni. Zerg memutuskan untuk tidak ikut campur, menganggap manusia sebagai spesies yang terlalu lemah untuk bertahan tanpa bantuan. Protoss, di sisi lain, mulai menyebarkan ajaran tentang keseimbangan dan keadilan di komunitas-komunitas kecil yang lelah dengan sistem yang ada. Night Elf membentuk kelompok-kelompok aktivis lingkungan yang melawan eksploitasi alam secara besar-besaran.

Sementara itu, Thrall dari Orc mengumpulkan pasukan manusia yang ditindas, memimpin pemberontakan di kota-kota besar. Revolusi terjadi di seluruh dunia, dan sistem kapitalisme yang murni akhirnya mulai runtuh. Di sebuah desa kecil di Amerika Selatan, Tassadar berdiri di tengah rakyat yang memberontak, menyampaikan pesan penting.

"Kalian harus menemukan jalan kalian sendiri," katanya kepada orang-orang yang berkumpul di depannya. "Kalian tidak bisa bergantung pada kekuatan luar. Kalian harus menciptakan sistem yang adil bagi kalian sendiri."

Bab 6: Akhir dari Kapitalisme Murni

Perang besar melanda Bumi. Pertempuran terjadi di setiap kota, setiap hutan, dan setiap pegunungan. Zerg meninggalkan Bumi, menganggapnya tidak layak untuk didominasi. Protoss dan Night Elf bersatu membantu manusia memulihkan ekosistem yang telah dihancurkan oleh eksploitasi kapitalis. Orc dan manusia bahu membahu membangun tatanan sosial yang baru, berlandaskan pada kesetaraan dan kerja sama.

Di tengah reruntuhan New York, Arthur Steel, yang pernah menjadi simbol kapitalisme murni, kini hanya bisa memandangi kota yang porak-poranda. Di depannya, Mengsk berdiri dengan pandangan penuh kemenangan.

"Kau kalah, Steel," kata Mengsk. "Kapitalisme murni bukanlah sistem yang cocok untuk semua makhluk di galaksi ini. Kau terlalu sombong untuk melihatnya."

Arthur Steel hanya tertawa kecil, meski matanya menyiratkan keputusasaan. "Kau mungkin benar. Tapi manusia selalu mencari keuntungan. Jika bukan kapitalisme, apa lagi yang bisa mereka pilih?"

Bab 7: Harapan di Galaksi yang Lebih Luas

Di tahun 2250, Bumi mulai membangun ulang peradabannya. Kini, dengan panduan Protoss, Night Elf, dan bantuan Orc, manusia menciptakan sistem yang lebih adil. Ekonomi berbasis komunitas dan kesetaraan perlahan menggantikan kapitalisme murni. Alam kembali dipulihkan, teknologi dikembangkan tanpa merusak keseimbangan lingkungan, dan masyarakat mulai menemukan makna baru dalam hidup mereka—bukan hanya tentang keuntungan, tetapi tentang kesejahteraan bersama.

Malfurion dan Tyrande berdiri di tengah hutan yang dulu ditebang habis-habisan, yang kini kembali hijau. Mereka tahu bahwa perjuangan ini masih panjang, tetapi harapan kini telah tumbuh di tengah reruntuhan.

"Kita mungkin telah membawa perubahan," kata Tyrande dengan lembut, "tetapi pada akhirnya, semua ini ada di tangan manusia. Apakah mereka benar-benar bisa berubah?"

Malfurion menatap langit yang kembali biru. "Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Tapi mereka punya kesempatan, dan itu lebih dari cukup."