Bab 1: Musuh dari Negeri yang Jauh
Di sebuah sekolah negeri di Indonesia, kenakalan remaja sudah mencapai puncaknya. Guru-guru mulai kehilangan wibawa dan rasa hormat dari para murid. Ruang guru kini hanya dipenuhi oleh keluhan dan rasa takut. Seminggu yang lalu, Bu Ratna, seorang guru bahasa Indonesia yang telah mengajar lebih dari 25 tahun, terjatuh dengan keras di lantai setelah dijegal oleh salah seorang murid. Sebulan sebelumnya, Pak Budi, guru matematika yang dikenal tegas, dikeroyok sampai koma ketika mencoba menegur sekelompok siswa yang merokok di kelas.
"Bu, kenapa kita harus terus mengalah?" tanya Pak Joko, seorang guru sejarah yang sudah lelah dengan keadaan ini.
"Kita sudah lapor ke pihak sekolah, tapi... ah, tidak ada perubahan," jawab Bu Ratna, nadanya getir. "Lihat saja, Komnas HAM dan Anak malah membela mereka, seolah-olah kita yang salah karena tidak bisa mendidik."
"Apa yang harus kita lakukan?" kata Pak Joko, mengelus-elus keningnya yang berkerut.
Mereka tidak tahu bahwa semua perbincangan itu, keluhan mereka, hingga rasa frustrasi yang menumpuk telah terdengar hingga ke dunia yang jauh, ke Hogwarts. Di sebuah ruangan gelap di Istana Malfoy, Lord Voldemort mendengarkan kabar itu melalui sebuah bola kristal berwarna hijau.
"Kenakalan remaja di Indonesia semakin parah, My Lord," ujar Lucius Malfoy dengan senyum sinis. "Sepertinya mereka butuh pelajaran."
Voldemort mendesis pelan, matanya yang berwarna merah menyala berkilat penuh kebencian. "Mereka merusak moral bangsa mereka sendiri, dan itulah yang membuat mereka lemah," katanya. "Sudah saatnya kita turun tangan."
Dan malam itu, keputusan diambil. Hogwarts, yang sudah bosan dengan kerusakan dunia muggle, akhirnya memutuskan untuk bertindak. Bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk menghukum.
Bab 2: Pertemuan di Istana Kepresidenan
Pagi yang cerah di Jakarta, Presiden Indonesia tengah berdiskusi dengan seorang tamu misterius. "Kami sudah tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan," ucap Presiden dengan wajah serius. "Moral anak-anak muda ini semakin hancur, bahkan hukum dan aturan pun mereka langgar tanpa takut."
Di seberang meja, seorang pria berkepala botak dan bermata merah menyala tersenyum tipis. Pria itu mengenakan jubah hitam panjang, dengan tongkat sihir yang mengintip di balik jubahnya. "Biarkan aku menangani masalah ini, Yang Mulia," katanya. "Aku punya cara untuk membuat mereka patuh... dan takut."
Presiden mengangguk pelan, tidak sepenuhnya mengerti siapa tamu di hadapannya ini, tetapi kekhawatirannya terhadap masa depan bangsa membuatnya menutup mata terhadap segala moralitas.
"Baiklah, Lord Voldemort," kata Presiden dengan suara bergetar. "Aku serahkan masalah ini padamu."
Bab 3: Malam Pembalasan
Satu minggu setelah pertemuan rahasia itu, sekolah-sekolah negeri di kota-kota besar mulai berubah. Remaja yang biasa menentang peraturan dengan arogan kini dilanda teror. Di tengah malam, di bawah bulan purnama yang pucat, beberapa murid ditemukan hilang. Kabar beredar bahwa mereka diseret oleh makhluk-makhluk yang mengenakan jubah hitam panjang dan bertopeng putih, membawa tongkat yang memancarkan cahaya hijau.
Di salah satu sudut Jakarta, sebuah sekolah yang terkenal sebagai sarang kenakalan remaja berubah menjadi panggung eksekusi. Di aula yang besar, Voldemort berdiri dengan senyum kemenangan, dikelilingi oleh para Pelahap Mautnya. Di hadapannya, puluhan murid yang dikenal sebagai pengganggu sekolah bersimpuh, wajah-wajah mereka pucat dan penuh ketakutan.
"Kalian sudah terlalu jauh," desis Voldemort, suaranya bergema dalam kegelapan. "Tidak ada yang akan menyelamatkan kalian sekarang."
"Siapa kau?! Mengapa kau melakukan ini?!" teriak salah satu murid yang akhirnya tidak tahan lagi. Dia masih berusaha melawan, meskipun dengan tubuh yang gemetar.
Voldemort tersenyum, wajahnya mendekat ke arah murid itu. "Aku adalah keadilan yang kalian butuhkan," jawabnya, dan tongkat sihirnya terangkat tinggi.
"Avada Kedavra!"
Cahaya hijau menyilaukan mengisi ruangan, dan segalanya berubah menjadi sunyi.
Bab 4: Kabar yang Menggemparkan
Keesokan harinya, kabar tentang pembantaian di sekolah itu tersebar luas. Pemerintah bungkam, Komnas HAM tak mampu berkomentar, dan para orang tua mulai takut mengirim anak-anak mereka ke sekolah. Tapi, ketakutan ini justru membuat para siswa mulai berubah. Mereka kini belajar dengan lebih serius, menjaga perilaku mereka, dan tidak lagi menentang guru. Desas-desus tentang "kehadiran para penyihir" mulai beredar di kalangan masyarakat, tetapi pemerintah membantah segalanya.
"Apa yang terjadi dengan anak-anak ini? Mengapa mereka berubah begitu drastis?" tanya Bu Ratna pada Pak Joko di ruang guru.
Pak Joko hanya mengangkat bahu, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. "Mungkin ini hukuman dari Tuhan," jawabnya pelan. "Atau mungkin ada kekuatan lain yang sedang bermain."
Di balik semua perubahan ini, Hogwarts tetap diam. Mereka tidak pernah ingin diakui atau dipuja. Mereka hanya ingin menegakkan apa yang mereka anggap sebagai keadilan.
Dan di malam yang tenang, di sebuah ruangan rahasia di Jakarta, Voldemort menghilang dalam kegelapan dengan senyum puas, meninggalkan bangsa yang mulai meraba-raba menuju moralitas baru, di bawah bayang-bayang ketakutan yang menghantui.
Bab 5: Kabar di Seberang Samudra
Berita tentang pembantaian yang terjadi di Indonesia mengguncang dunia. Para media internasional berusaha membongkar apa yang sebenarnya terjadi, tetapi semuanya terbungkus dalam kabut misteri. Di Amerika Serikat, tayangan berita yang menyoroti "kasus Indonesia" menjadi topik utama di setiap jaringan televisi. Ketika berita menyebutkan tentang sosok berjubah hitam dan tongkat sihir yang memancarkan cahaya hijau, para ahli berdebat: apakah ini hanya mitos atau ada kenyataan di balik cerita tersebut?
Di Washington D.C., Gedung Putih menjadi tempat pertemuan yang penuh rahasia. Presiden Amerika Serikat yang berasal dari Partai Republik, bersama para penasihatnya, mengadakan pertemuan darurat di Ruang Oval. Ancaman kenakalan remaja di AS sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Kasus penembakan di sekolah yang kerap terjadi telah memicu protes, kritik, dan perdebatan sengit di antara masyarakat. Namun, ada satu hal yang jelas: mereka butuh solusi yang tidak konvensional.
"Mr. President, kita harus melakukan sesuatu yang drastis," ujar Senator Blake, seorang tokoh Partai Republik yang dikenal keras. "Kasus Indonesia memberikan kita inspirasi. Mereka berhasil menekan kenakalan remaja hanya dalam hitungan minggu. Kita harus mencari tahu siapa dalang di balik semua itu."
Presiden mengangguk sambil melihat laporan yang menumpuk di mejanya. "Apa kamu benar-benar yakin tentang ini, Blake?" tanyanya dengan ragu. "Kalau ini benar-benar melibatkan sihir... apa kita siap untuk menghadapi konsekuensinya?"
"Kita sudah kehabisan pilihan," jawab Blake tegas. "Jika kita tidak bertindak sekarang, generasi muda kita akan hancur. Ini saatnya kita berpikir di luar kotak."
Malam itu, sebuah tim intelijen Amerika dikirim ke Jakarta untuk bertemu dengan sosok misterius yang telah membuat Indonesia berubah begitu drastis. Mereka tidak hanya mencari solusi, tetapi juga sekutu yang kelam.
Bab 6: Kedatangan Utusan dari Amerika
Di tengah kegelapan malam Jakarta, di sebuah mansion tua yang jauh dari keramaian kota, Lord Voldemort duduk di atas singgasana batu, dikelilingi oleh para Pelahap Mautnya. Para utusan dari Amerika, dengan setelan jas rapi dan sikap angkuh, memasuki ruangan dengan langkah berat. Wajah mereka tampak gugup, meskipun mereka mencoba menyembunyikannya.
"Kami datang atas nama pemerintah Amerika Serikat," kata pemimpin delegasi, memperkenalkan dirinya sebagai Agen Johnson. "Kami ingin bicara tentang... kerjasama."
Voldemort tersenyum dingin, menunjukkan gigi-giginya yang tajam. "Kerjasama?" ulangnya dengan nada mengejek. "Apa yang bisa diberikan oleh Amerika Serikat kepada seorang penyihir yang sudah memiliki kekuatan yang tak tertandingi?"
"Kami tahu bahwa Anda menginginkan pengaruh, My Lord," jawab Agen Johnson dengan suara yang lebih mantap. "Dan kami bisa memberikannya. Kami tahu bahwa para Pelahap Maut mampu menghentikan kenakalan remaja di Indonesia dalam waktu yang sangat singkat. Kami ingin Anda melakukannya di Amerika. Kami akan menyediakan semua sumber daya yang Anda butuhkan, termasuk kekuatan politik untuk melindungi Anda dari segala tuntutan hukum internasional."
"Dan sebagai imbalannya?" tanya Voldemort, matanya menyipit.
"Kami akan memberikan Anda akses tanpa batas ke segala informasi yang kami miliki, serta kekuasaan di balik layar yang tidak bisa Anda dapatkan di belahan dunia manapun," jawab Agen Johnson, suaranya bergetar oleh keinginan kuat untuk meyakinkan.
Voldemort terdiam sesaat, mempertimbangkan tawaran tersebut. Baginya, Amerika adalah lahan baru yang penuh peluang, sebuah medan pertempuran baru di mana dia bisa menegakkan kekuasaannya dan menunjukkan bahwa bahkan bangsa terkuat di dunia bisa tunduk pada sihir hitamnya.
"Baiklah," kata Voldemort akhirnya, senyum licik menghiasi wajahnya. "Tapi aku akan melakukannya dengan caraku sendiri. Amerika tidak akan pernah sama lagi setelah aku selesai."
Bab 7: Serangan di Sekolah-Sekolah Amerika
Dua bulan setelah pertemuan rahasia di Jakarta, serangkaian peristiwa aneh mulai terjadi di Amerika Serikat. Di sekolah-sekolah yang dikenal sebagai tempat penembakan brutal, para siswa yang dikenal nakal dan sering membuat onar mendadak menghilang tanpa jejak. Para guru yang dulu kehilangan otoritas kini merasa ada "kekuatan" tak terlihat yang melindungi mereka. Beberapa menyebutkan tentang sosok berjubah hitam yang muncul di koridor sekolah saat malam, sementara yang lain mengaku melihat cahaya hijau di langit malam.
Di salah satu sekolah di Texas, kepala sekolah yang selama ini kesulitan menangani kekerasan antarsiswa menerima kunjungan yang tidak diharapkannya. Di tengah malam, pintu kantornya terbuka dengan sendirinya, dan seorang pria dengan wajah pucat serta mata merah menyala melangkah masuk.
"Siapa... siapa Anda?" tanya kepala sekolah dengan suara gemetar.
"Aku adalah solusi bagi masalah yang tidak bisa kau tangani," jawab Voldemort, suaranya seperti desisan ular. "Mulai sekarang, sekolah ini adalah milikku."
Esok harinya, berita tentang seorang siswa yang dikenal sebagai pemimpin geng brutal di sekolah itu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, tubuhnya tergeletak di lapangan dengan bekas luka yang tidak bisa dijelaskan oleh sains modern. Ketakutan menyebar, tetapi bersamaan dengan itu, disiplin dan kedisiplinan mulai meningkat di seluruh sekolah.
Bab 8: Reaksi Dunia
Di Washington, Presiden dan para penasihatnya mengamati hasil kerja Voldemort dengan puas. Kenakalan remaja mulai mereda, kasus kekerasan di sekolah turun drastis, dan rasa takut yang menghantui para siswa justru menjadi senjata yang efektif. Namun, di balik keberhasilan itu, muncul protes dari berbagai kalangan. Hak asasi manusia, media internasional, hingga PBB mulai mempertanyakan metode yang digunakan oleh Amerika.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Mr. President!" kata seorang reporter dalam sebuah konferensi pers. "Anda tidak bisa menyerahkan anak-anak kita kepada... kepada penyihir jahat!"
Presiden mengangkat tangannya, meminta semua orang tenang. "Saya tahu ini adalah langkah yang kontroversial," jawabnya dengan tegas. "Tapi kita harus realistis. Kita menghadapi krisis yang membutuhkan solusi yang tidak biasa. Dan jika itu berarti kita harus bekerja sama dengan kekuatan yang tidak kita mengerti, maka itulah yang harus kita lakukan demi masa depan bangsa ini."
Di Hogwarts, Harry Potter yang mengetahui keterlibatan Voldemort di Amerika merasa terguncang. Ia tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika adalah sebuah kesalahan besar, sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip kebaikan yang selama ini dijunjung tinggi oleh dunia sihir. Harry merasa bahwa ia harus bertindak, tetapi kali ini lawannya bukan hanya Voldemort, tetapi juga kekuatan politik Amerika yang mendukung musuh bebuyutannya.
"Ini bukan lagi masalah kenakalan remaja," gumam Harry pelan sambil menatap peta dunia di ruang kantornya. "Ini adalah pertarungan untuk masa depan kita semua."
Bab 9: Perang Dingin di Balik Bayangan
Dengan ketegangan yang terus meningkat, dunia terbagi menjadi dua kubu: mereka yang mendukung cara-cara tidak konvensional untuk mengekang kenakalan remaja, dan mereka yang mengutuk kekejaman yang dilakukan atas nama "ketertiban." Voldemort kini tidak hanya menjadi tokoh yang ditakuti, tetapi juga sosok yang dipuja sebagai pahlawan oleh sebagian orang yang melihatnya sebagai penyelamat.
Tapi di balik semua itu, ancaman baru mulai muncul. Para penyihir baik yang selama ini hidup dalam kedamaian tidak bisa diam melihat kekuasaan Voldemort yang semakin besar. Mereka tahu bahwa waktu pertempuran sudah semakin dekat, dan dunia—baik sihir maupun muggle—tidak akan pernah sama lagi setelah ini.
Perang baru di dunia sihir dan politik baru saja dimulai, dan tidak ada yang tahu siapa yang akan menang.
Bab 10: Puncak Kekuatan di New York
Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York City tampak lebih gelap dari biasanya. Bendera dari berbagai negara yang biasanya berkibar di luar gedung tampak tertutup debu, seolah-olah mengisyaratkan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi. Lord Voldemort, bersama para Pelahap Mautnya, telah merencanakan serangan yang tak terduga. Ia tahu bahwa untuk menguasai dunia, ia harus menguasai lembaga yang memiliki kekuatan diplomatik dan politik terbesar: PBB.
Pertemuan tahunan Dewan Keamanan PBB berjalan seperti biasa. Para anggota dari berbagai negara berkumpul di ruang rapat besar, tidak menyadari bahaya yang mengintai di balik dinding-dinding megah gedung itu. Di luar, para aktivis HAM dan Perlindungan Anak sedang melakukan protes damai, menuntut perlindungan terhadap hak-hak manusia di seluruh dunia. Mereka mengira suara mereka akan didengar.
Namun, malam itu, Voldemort memiliki rencana yang jauh lebih gelap. Ia dan para Pelahap Mautnya menyusup melalui pintu-pintu bayangan, menghilangkan semua petugas keamanan dengan kutukan diam-diam. Ketika para delegasi bersiap-siap memulai pertemuan, pintu ruang rapat besar tertutup dengan keras, dan suara desisan dingin bergema di dalam ruangan.
"Selamat datang di akhir dari ilusi kebebasan kalian," desis Voldemort sambil melangkah maju, jubah hitamnya melambai seolah menghisap setiap cahaya di ruangan itu. "Hari ini, aku mengambil alih dunia ini... dan kalian semua akan menjadi saksi terakhir."
Para anggota PBB mulai panik. Beberapa mencoba keluar, tetapi pintu-pintu telah terkunci rapat. Lampu-lampu mulai padam satu per satu, meninggalkan mereka dalam kegelapan total.
"Apa yang kau inginkan?! Siapa kau?!" teriak seorang delegasi, suaranya bergetar oleh ketakutan.
"Aku adalah masa depan yang tak bisa kalian hindari," jawab Voldemort dingin, mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. "Avada Kedavra!"
Dalam sekejap, cahaya hijau yang mematikan menerangi ruangan, dan tubuh-tubuh mulai jatuh satu per satu. Jeritan ketakutan memenuhi udara, tetapi mereka tak bisa melarikan diri. Di luar gedung, para aktivis yang masih berunjuk rasa tiba-tiba terdiam saat mereka melihat cahaya hijau memancar dari jendela-jendela gedung PBB.
Di antara para Pelahap Maut, Bellatrix Lestrange tertawa terbahak-bahak sambil mengacungkan tongkatnya, memusnahkan setiap nyawa tanpa belas kasihan. "Dunia ini adalah milik kita sekarang, My Lord!" serunya dengan histeris.
Bab 11: Keterlambatan Sang Penyelamat
Di Hogwarts, Harry Potter merasakan sesuatu yang mengerikan. Instingnya mengatakan bahwa Voldemort telah melakukan sesuatu yang sangat buruk. Tanpa berpikir dua kali, ia mengambil tongkat sihirnya dan bersiap pergi. Hermione dan Ron, yang juga merasakan firasat yang sama, berusaha menahannya.
"Harry, kau tidak bisa pergi sendirian!" teriak Hermione, wajahnya pucat oleh kecemasan. "Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi!"
"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan!" jawab Harry dengan putus asa. "Aku harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat!"
Dengan bantuan tongkatnya, Harry ber-apparate langsung ke New York, berharap bisa menyelamatkan mereka yang terperangkap di dalam Gedung PBB. Tapi ketika ia tiba di sana, sudah terlambat. Gedung itu sunyi senyap, seperti kuburan raksasa di tengah kota yang hidup.
Harry berjalan perlahan di lorong yang gelap, di mana bau kematian begitu pekat. Di ruangan besar yang biasanya dipenuhi oleh para diplomat dari seluruh dunia, kini hanya ada mayat-mayat yang berserakan di lantai. Wajah-wajah mereka menunjukkan ekspresi ketakutan terakhir yang mereka alami, dan Harry merasa tubuhnya lemas.
"Tidak... ini tidak mungkin," gumam Harry, matanya berkaca-kaca. "Aku terlambat... mereka semua sudah mati."
Saat Harry berlutut di tengah ruangan, dikelilingi oleh kehancuran, suara desisan yang sudah begitu ia kenal menggema dari sudut ruangan.
"Aku sudah menunggumu, Potter," kata Voldemort sambil berjalan mendekat, wajahnya penuh kemenangan. "Kau terlambat, seperti biasa."
"Voldemort!" teriak Harry dengan kemarahan yang memuncak, mengangkat tongkat sihirnya. "Apa yang telah kau lakukan? Mereka tidak bersalah!"
Voldemort tersenyum dingin, matanya menyala dengan kegembiraan yang jahat. "Bersalah atau tidak bersalah tidak ada artinya bagiku," katanya. "Mereka adalah penghalang bagi tatanan baru yang akan kubangun. Mereka percaya pada kebebasan dan HAM... nilai-nilai yang lemah dan tidak relevan dalam dunia yang aku impikan."
Bab 12: Pertarungan yang Gagal
Harry menyerang dengan cepat, melemparkan berbagai kutukan sihir yang kuat. Cahaya merah, biru, dan emas memancar dari tongkatnya, mencoba menjebol pertahanan Voldemort. Tapi Voldemort, dengan ketenangan yang mengerikan, menangkis setiap serangan dengan mudah. Mereka bertarung di antara mayat-mayat yang berserakan, kekuatan sihir mereka menghancurkan meja dan dinding di sekitar.
"Kau tidak akan menang!" teriak Harry, suaranya dipenuhi oleh tekad yang membara.
"Aku sudah menang, Potter," jawab Voldemort dengan tawa mengejek. "Lihatlah sekelilingmu. Dunia ini sudah menjadi milikku, dan kau tidak bisa menghentikanku."
Dengan satu gerakan cepat, Voldemort menyerang balik, mengirimkan kutukan yang begitu kuat hingga Harry terlempar menabrak dinding dengan keras. Harry jatuh tersungkur, tongkatnya terlepas dari genggaman, dan darah mengalir dari sudut bibirnya. Voldemort mendekat dengan perlahan, matanya bersinar penuh dengan kemenangan.
"Aku selalu tahu bahwa kau akan gagal, Harry Potter," desisnya. "Kau lemah... terlalu percaya pada kebaikan. Tapi dunia tidak butuh kebaikan lagi. Dunia butuh ketakutan... dan aku adalah sumber dari semua ketakutan itu."
Harry mencoba meraih tongkatnya, tetapi Voldemort menginjak tangan Harry dengan keras. "Selamat tinggal, Sang Penyelamat," kata Voldemort, mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. "Avada—"
Namun, sebelum Voldemort bisa menyelesaikan mantranya, sebuah ledakan besar mengguncang ruangan. Dinding-dinding bergetar, dan debu beterbangan. Voldemort terpaksa mundur, melihat ke sekeliling dengan ekspresi marah.
"Ini belum selesai, Potter," katanya dengan nada dingin. "Aku akan kembali... dan saat itu, kau akan melihat akhir dari segalanya."
Dengan suara retakan keras, Voldemort menghilang dalam kegelapan, meninggalkan Harry yang terluka di tengah kehancuran.
Bab 13: Dunia di Bawah Bayang-Bayang
Berita tentang pembantaian di PBB mengguncang dunia. Seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, bersama aktivis HAM dan Perlindungan Anak, dilaporkan tewas. Media internasional melaporkan bahwa peristiwa itu sebagai "serangan paling mengerikan dalam sejarah manusia modern," tetapi tidak ada yang tahu siapa yang bertanggung jawab. Desas-desus tentang "penyihir" dan "kekuatan gelap" mulai menyebar, tetapi pemerintah dunia menutup rapat-rapat setiap informasi yang bisa mengarah ke kebenaran.
Harry kembali ke Hogwarts dengan hati yang penuh luka. Ia merasa gagal sebagai seorang pahlawan, dan rasa bersalah membebani setiap langkahnya. Ia tahu bahwa perang belum berakhir, tetapi kali ini, lawannya sudah jauh lebih kuat dan lebih licik dari sebelumnya.
Di New York, Gedung PBB yang kini kosong dan hancur menjadi simbol kehancuran yang dibawa oleh Voldemort. Dunia sedang berubah, dan setiap orang, baik muggle maupun penyihir, harus menghadapi kenyataan baru: bahwa kekuatan gelap sudah mengambil alih panggung dunia, dan hanya keajaiban yang bisa mengembalikan cahaya.
Dan di suatu tempat yang jauh dari keramaian, Voldemort tertawa puas. Ia tahu bahwa dengan jatuhnya PBB, tidak ada lagi yang bisa menahan ambisinya. Dunia ini akan tunduk padanya, atau hancur bersamanya.
Bab 14: Daftar Pembantaian dan Musuh yang Terkalahkan
Misi Voldemort dan para Pelahap Mautnya bukan hanya sekadar menakut-nakuti dunia; mereka bergerak dengan tujuan jelas: membasmi semua pihak yang mereka anggap sebagai ancaman atau sebagai target kekuasaan mereka. Dimulai dari para remaja nakal yang dianggap sebagai benih kekacauan, hingga orang-orang yang menduduki posisi penting di panggung global. Berikut ini adalah kisah pembantaian yang dilakukan oleh kekuatan kegelapan.
1. Remaja-Rebel Indonesia: Kengerian di Kota-Kota Besar
Di Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya, para Pelahap Maut memulai misinya dengan memburu para remaja nakal yang dikenal sebagai biang keladi kekacauan. Malam-malam panjang diwarnai dengan jeritan ketakutan yang memenuhi gang-gang gelap dan lorong sekolah yang sepi.
Di sebuah sekolah negeri di Jakarta, sekelompok remaja yang dikenal sering merundung guru dan teman-teman mereka bertemu dengan kematian yang tak terhindarkan. Ketika mereka pulang dari sekolah, sosok berjubah hitam menunggu di jalan gelap yang biasa mereka lewati. Tanpa sepatah kata pun, Voldemort mengangkat tongkatnya.
"Kalian adalah simbol dari kekacauan yang harus dihentikan," desisnya. "Avada Kedavra!"
Cahaya hijau menyambar, dan tubuh-tubuh mereka jatuh dengan bunyi berdebum di trotoar. Tidak ada saksi yang selamat. Keesokan harinya, berita tentang hilangnya para remaja ini tersebar luas, tetapi tak seorang pun tahu siapa pelakunya. Mereka menjadi legenda urban yang ditakuti oleh para pelajar di Indonesia.
2. Kenakalan Mematikan di Amerika Serikat: Teror di Sekolah-Sekolah
Ketika para remaja di Indonesia mulai lenyap dalam bayang-bayang, Amerika Serikat menjadi medan tempur berikutnya. Lord Voldemort tidak lagi hanya menargetkan para remaja yang sekadar nakal; ia memburu mereka yang terlibat dalam penembakan sekolah dan kekerasan brutal di dalam institusi pendidikan.
Di sebuah SMA di Detroit, seorang siswa yang dikenal sering membawa senjata ke sekolah dan memimpin geng kekerasan sedang merencanakan penembakan besar-besaran. Namun, rencana itu tidak pernah terlaksana. Pada malam sebelum hari H, saat siswa itu dan gengnya sedang berkumpul di sebuah gudang tua untuk menyusun strategi, pintu gudang itu meledak dengan kekuatan yang luar biasa.
"Siapa kalian?!" teriak salah satu anggota geng, memegang pistol dengan tangan gemetar.
"Kami adalah akhir dari rencana bodoh kalian," kata Bellatrix Lestrange, matanya menyala dengan kegilaan yang menakutkan. "Tidak ada tempat untuk kenakalan di dunia baru ini."
Dengan gerakan tangan cepat, Bellatrix dan para Pelahap Maut lainnya menyerang, menghabisi mereka semua tanpa perlawanan berarti. Pistol-pistol yang mereka pegang terjatuh ke lantai, tidak berguna di hadapan kekuatan sihir. Keesokan harinya, gudang itu ditemukan terbakar, dan tubuh-tubuh hangus tergeletak tanpa tanda pengenal. Kasusnya dinyatakan "tidak terselesaikan."
3. Dunia Internasional: Pembantaian Para Pemimpin PBB
Kemenangan terbesar Voldemort datang ketika ia berhasil menaklukkan PBB, mengeksekusi para pemimpin dunia dan aktivis HAM di hadapan mata seluruh dunia. Gedung PBB yang megah menjadi medan penyiksaan dan kekerasan yang tidak akan pernah terlupakan.
Di dalam ruang rapat besar, ketika para anggota Dewan Keamanan PBB berkumpul untuk membahas krisis global, pintu-pintu ruangan terkunci rapat dan Voldemort muncul di depan mereka dengan para Pelahap Maut di kedua sisinya. Para delegasi yang ketakutan hanya bisa terdiam ketika Voldemort mulai berbicara.
"Dunia ini terlalu lama diperintah oleh mereka yang lemah," katanya dengan nada mengancam. "Hari ini, aku mengambil alih."
Beberapa delegasi mencoba memohon belas kasihan, sementara yang lain mencoba menyerang balik dengan senjata apa pun yang ada di tangan mereka. Tapi itu semua sia-sia. Voldemort mengangkat tongkatnya dan melantunkan mantra mematikan.
"Imperio!" suaranya bergema. Dalam sekejap, beberapa delegasi berubah menjadi boneka tanpa kehendak, saling menyerang satu sama lain dengan senjata apa pun yang bisa mereka temukan. Kekacauan meletus di ruangan, sementara Voldemort dan para Pelahap Maut hanya berdiri dan tertawa menyaksikan pertumpahan darah.
Di tengah pembantaian, seorang delegasi asal Inggris, Sir Robert Kingsley, berdiri dan mencoba mengarahkan pistolnya ke arah Voldemort. "Aku tidak akan membiarkanmu mengambil alih dunia ini!" teriaknya dengan keberanian yang tersisa.
Voldemort hanya tertawa. "Kau salah, Sir Kingsley. Dunia ini sudah menjadi milikku." Dan dengan satu gerakan sederhana, ia melemparkan kutukan pembunuh. Sir Kingsley terjatuh ke lantai, tubuhnya tak bernyawa.
4. Aktivis HAM dan Perlindungan Anak: Musuh Utama Kekuatan Kegelapan
Para aktivis yang dulu berdiri tegak melawan kekerasan dan penindasan kini menjadi sasaran empuk bagi Voldemort. Mereka adalah simbol perlawanan yang harus dihancurkan untuk mengokohkan kekuasaan baru yang diimpikan oleh Sang Penguasa Kegelapan. Di berbagai negara, para aktivis diculik, diinterogasi, dan dibunuh secara brutal.
Di Paris, kantor pusat sebuah organisasi Perlindungan Anak yang terkenal menjadi tempat serangan berikutnya. Pada suatu malam yang kelam, para aktivis yang tengah berdiskusi tentang peningkatan kasus kenakalan remaja tiba-tiba dikejutkan oleh ledakan besar di ruang utama. Jendela-jendela pecah, dan asap hitam mulai memenuhi ruangan.
"Siapa yang ada di sana?!" teriak salah satu aktivis, memegang telepon untuk menghubungi polisi.
Sosok Voldemort muncul di tengah-tengah ruangan yang hancur, matanya menyala dalam kegelapan. "Kalian yang terus melindungi kelemahan... kini saatnya kalian merasakan kekuatan sejati," katanya sambil mengarahkan tongkatnya.
Beberapa detik kemudian, para aktivis tergeletak tak bernyawa di lantai, tubuh mereka membeku oleh kutukan pembunuh yang begitu cepat dan tanpa ampun.
Bab 15: Setelah Kehancuran
Dengan lenyapnya para pemimpin PBB dan aktivis HAM, dunia berada dalam kekacauan. Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia tidak berdaya di hadapan kekuatan sihir yang menguasai panggung global. Di berbagai negara, gerakan perlawanan kecil mulai bermunculan, tetapi mereka segera dihancurkan oleh para Pelahap Maut yang kini menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Harry Potter, yang menyaksikan kehancuran ini, merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan mereka tepat waktu. Ia tahu bahwa perang belum selesai, tetapi musuh yang dihadapinya kali ini jauh lebih besar daripada sekadar Lord Voldemort; ini adalah seluruh tatanan dunia yang sudah berubah, tatanan di mana ketakutan menjadi hukum yang mengendalikan segalanya.
Di tengah kehancuran, Voldemort berdiri di puncak gedung PBB yang kini kosong, menatap ke langit malam yang dipenuhi bintang. Di tangannya, tongkat sihirnya berkilauan dengan kekuatan yang baru didapatnya dari setiap jiwa yang dihabisi.
"Aku adalah masa depan," katanya kepada dirinya sendiri, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Dan tidak ada yang bisa mengubahnya."