FIKSI SOSIAL-BUDAYA DAN SEPAKBOLA: SOUND HOREG MENGGEMA DI LAPANGAN BOLA INTERNASIONAL

Di markas FIFA di Zurich, rapat darurat berlangsung dengan agenda yang tidak biasa. Di antara berbagai kebijakan terkait peraturan baru sepak bola, ada satu keputusan yang mengejutkan para hadirin: mulai musim depan, semua stadion yang menyelenggarakan laga internasional diwajibkan memainkan musik sound horeg untuk membangkitkan semangat suporter dan atlet. Dentuman khas dari Jawa Timur ini akan mengiringi setiap momen pertandingan – mulai dari Piala Dunia hingga Liga Champions.

Di pinggir meja rapat, Alexandre Leclerc, perwakilan dari Prancis, mengangkat tangannya, tampak skeptis. “Tunggu sebentar. Anda ingin setiap stadion di Eropa dan Amerika Selatan… memainkan sound horeg? Apakah kita semua sepakat akan hal ini?”

Giovanni Bellucci, perwakilan Italia, ikut angkat bicara. “Bayangkan bagaimana reaksinya nanti. Fans Italia biasa dengan chanting dan musik tradisional yang membawa nuansa perjuangan. Kalau mereka mendengar sound horeg, mungkin mereka malah bingung. Ini… sangat berbeda dari budaya sepak bola kita.”

Di ujung meja, Thomas Wagner, perwakilan dari Jerman, menimpali dengan sedikit ragu. “Tapi bukankah kita di sini untuk merangkul keberagaman? Mungkin saja sound horeg bisa memberikan nuansa baru, seperti FIFA katakan – semangat dan energi yang berbeda di setiap pertandingan.”

Sementara mereka berdiskusi, Ketua FIFA, Hans Müller, berdiri untuk memberi penjelasan lebih lanjut. “Sound horeg telah terbukti membawa semangat luar biasa dalam acara-acara di Amerika dan Eropa beberapa bulan terakhir. Kami ingin membawa elemen baru yang bisa menyatukan dunia sepak bola dengan energi yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sound horeg ini akan menambah gairah di stadion, seperti api yang membakar semangat para pemain.”


Di tempat lain, tepatnya di Stadion Wembley, Inggris, kabar tentang keputusan FIFA ini sampai ke telinga para suporter. Dua penggemar setia, Jack dan Liam, duduk di sebuah pub sambil membicarakan isu tersebut.

“Jadi, FIFA benar-benar serius, ya?” tanya Liam sambil meneguk birnya. “Mulai musim depan, kita bakal dengar sound horeg di tiap laga internasional?”

Jack tertawa, tampak tak percaya. “Aku nggak habis pikir, Liam. Maksudku, Wembley punya atmosfernya sendiri, chanting khas Inggris yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi sekarang, bayangkan seluruh stadion dihantam suara dentuman dari musik jalanan Jawa Timur. Serius, ini akan jadi pengalaman yang aneh!”

Di stadion lain, tepatnya di Estadio Santiago Bernabeu, Madrid, persiapan pertandingan La Liga antara Real Madrid dan Barcelona mulai terasa. Suasana kali ini jauh berbeda. Sesuai dengan aturan FIFA, sound horeg mulai menggema di seluruh penjuru stadion, menggantikan musik klasik yang biasa dimainkan untuk mengiringi para pemain memasuki lapangan. Para suporter berteriak, setengah bingung, setengah kagum.

“Que es esto?” teriak Alejandro, seorang pendukung setia Real Madrid, kepada temannya, Marco. “Apa ini? Musik apa yang sedang dimainkan?”

Marco tertawa sambil menutup telinga sesaat. “Ini, Alejandro, namanya sound horeg! Musik dari Indonesia, katanya sih buat bikin stadion makin semangat. Rasanya lebih seperti fiesta di jalanan daripada pertandingan bola.”

Namun, semakin lama dentuman itu terdengar, semakin banyak suporter yang mulai menggerakkan tubuh mengikuti irama. Dentuman keras dan energik sound horeg menciptakan suasana yang berbeda, seolah setiap suporter menjadi satu kesatuan dalam irama yang sama.


Di Indonesia, khususnya di Surabaya, kebijakan FIFA ini menjadi kebanggaan nasional. Di sebuah warung kopi yang ramai, beberapa pria berkumpul untuk menonton berita internasional yang menyiarkan reaksi dunia terhadap sound horeg di pertandingan sepak bola.

“Heh, Pak De!” panggil Dani pada teman duduknya. “Gendeng tenan iki FIFA, lho. Saiki stadion sepak bola sedunia kudu muter sound horeg. Wong Eropa sampe kaget kabeh!”

Pak De tertawa, bangga sekaligus terkejut. “Ora nyongko aku, Le. Dadi saiki awakmu iso melok ngrungokke horeg nang Bernabeu karo Camp Nou, yo? Iso ngguyu aku iki.”

Dani tersenyum lebar. “Iyo, Pak De. Sing dulu dipikir musik ndeso, saiki malah jadi wajib di stadion gede. Aku malah pingin dolan nang Eropa, ndelok wong-wonge nari horeg nang lapangan.”

Kebijakan baru FIFA ini mengundang reaksi beragam dari berbagai penjuru dunia. Di stadion-stadion besar, protes sempat terjadi, namun perlahan-lahan para suporter mulai terbiasa. Pada akhirnya, setiap gol yang tercipta kini disambut dengan dentuman keras sound horeg, menggema di seluruh stadion, memicu semangat luar biasa yang menyebar di antara pemain dan suporter.


Di pertandingan final Liga Champions yang sangat dinanti, para pemain dari dua klub terbesar di Eropa sudah bersiap di ruang tunggu, menunggu giliran untuk memasuki lapangan. Di antara mereka, Lionel, seorang pemain asal Prancis, berbincang dengan rekannya dari Brasil, Diego.

“Apa menurutmu sound horeg ini cocok untuk pertandingan besar seperti ini?” tanya Lionel sambil merapikan kaus kakinya.

Diego mengangguk pelan. “Awalnya memang terasa aneh. Tapi, setelah beberapa pertandingan, aku mulai merasakan energinya. Dentuman itu… membuatku lebih bersemangat, seperti ada kekuatan yang mengalir setiap kali musik itu dimainkan. Ini bukan sekadar musik, Leo. Ini seperti… panggilan untuk bertarung.”

Saat mereka melangkah ke lapangan, dentuman sound horeg langsung menyambut, menyatu dengan sorak-sorai ribuan penonton. Stadion bergemuruh dengan energi yang tak biasa, seolah-olah setiap hentakan sound horeg menciptakan gelombang semangat baru, menular ke setiap orang yang ada di stadion.

Di akhir pertandingan, seorang jurnalis mendekati Diego dan bertanya tentang pengalamannya bermain dengan sound horeg sebagai latar musik.

Diego tersenyum sambil menghela napas. “Dentuman itu seperti suara semangat dari tempat yang jauh, suara dari budaya yang mungkin tidak pernah kita kenal, tapi kini menjadi bagian dari kita. Saat mendengarnya, aku merasa seperti pemain dari seluruh dunia, bukan hanya untuk satu klub atau satu negara. Aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.”

Sound horeg kini bukan hanya simbol kebanggaan bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga bagian dari perayaan sepak bola global. Dari stadion-stadion megah di Eropa hingga pelosok jalanan di Surabaya, dentuman khas ini menyatukan para pemain, suporter, dan budaya-budaya yang berbeda dalam satu irama yang mendunia.

CERITA FIKSI: KETIKA SOUND HOREG "MENGINVASI" PAMAN SAM

Dalam realitas yang terbalik ini, alunan sound horeg – suara khas dari komunitas jalanan di Jawa Timur, yang dikenal dengan dentuman ritmisnya yang energik – telah menembus batas negara. Yang dulunya hanya memeriahkan hajatan dan acara-acara lokal di Indonesia, kini menjadi simbol hiburan di Amerika Serikat. Ketukan khas tersebut kini menghiasi perayaan Thanksgiving dan Halloween, menambah nuansa berbeda di balik hiruk-pikuk tradisi Amerika yang sudah turun-temurun.

Di tengah-tengah hiruk-pikuk Thanksgiving, seorang pria bernama Randy McCarthy, seorang warga Texas, berdiri dengan canggung di depan speaker besar yang sedang memainkan musik sound horeg. Di sebelahnya berdiri Wira, seorang mahasiswa Indonesia yang kebetulan menempuh pendidikan di Amerika.

“Randy,” Wira memulai, suaranya sedikit terganggu oleh dentuman musik yang memekakkan telinga, “apa yang kamu pikirkan tentang sound horeg ini?”

Randy tersenyum kecut, mengangkat bahu. “Entahlah, Wira. Musik ini... energik, tapi tak biasa untuk Thanksgiving. Biasanya kami hanya memainkan musik country atau jazz yang tenang,” katanya sambil menutup telinganya sesaat karena suara yang semakin menggelegar. “Tapi pemerintah bilang kita harus memainkan musik ini, jadi… ya mau bagaimana lagi?”

Wira terkekeh, merasa sedikit bangga tapi juga heran. Ia tidak pernah menyangka sound horeg, yang sering ia dengar di kampung halamannya di Surabaya, akan mendominasi perayaan besar di Amerika. “Di Indonesia, musik ini biasanya dipakai buat acara-acara jalanan, pernikahan, atau sekadar kumpul-kumpul warga. Bukan untuk Thanksgiving, apalagi Halloween!”

Randy menatapnya, tertarik. “Jadi, di sana ini memang budaya lokal? Apa kalian punya makna khusus di balik musik ini?”

Wira berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Mungkin lebih ke bentuk kebersamaan dan solidaritas. Musik ini keras, heboh, dan melibatkan banyak orang. Semakin ramai, semakin seru. Tapi kalau dipaksakan ke acara Thanksgiving dan Halloween seperti ini, rasanya agak… absurd.”

Di tempat lain, tepatnya di New York, aula besar di Times Square dipenuhi dengan ornamen labu dan dekorasi seram khas Halloween. Speaker-speaker besar ditempatkan di setiap sudut ruangan, menghentak dengan dentuman sound horeg yang sama. Kebisingan memenuhi udara, menciptakan suasana yang tak biasa – kombinasi horor dan keriuhan khas Jawa Timur.

"Apakah kalian merasa aneh dengan perubahan ini?" tanya Marie, seorang jurnalis muda, kepada seorang pengunjung lainnya, Alex.

Alex mengangguk, bingung. “Aku sudah biasa dengan suasana Halloween yang menyeramkan, musiknya itu biasanya gelap, mencekam. Tapi sekarang…” Ia berhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Sekarang rasanya lebih seperti pesta jalanan yang kacau. Anak-anak tidak takut; malah mereka ikut menari!”

Marie tertawa, namun tidak bisa menyembunyikan kebingungannya sendiri. Ia tidak mengerti bagaimana kultur Indonesia yang jauh bisa merambah hingga ke pusat kota New York.

Saat mereka berbincang, pemerintah federal Amerika mengumumkan lewat layar besar bahwa sound horeg akan menjadi suara resmi perayaan nasional pada hari-hari besar. Orang-orang mulai mempertanyakan motif di balik keputusan ini.

“Kamu tahu, Marie,” ujar Alex dengan serius, “aku rasa ini bukan sekadar hiburan. Mungkin mereka mencoba mengalihkan perhatian kita dari masalah lain. Siapa tahu?”

Marie mendengus, “Mungkin saja. Tapi tetap saja, aneh bukan, bagaimana mereka bisa memilih sound horeg dari semua jenis musik yang ada?”

Sementara itu, di Indonesia, berita tentang sound horeg yang mendunia ini menjadi topik hangat. Di warung kopi Surabaya, para warga berkumpul dan menyaksikan berita yang menayangkan bagaimana masyarakat Amerika bersuka cita dengan sound horeg.

“Wah, Le, iki lho Amerika wes do seneng sound horeg! Iso-iso kono wonge jadi suka kabeh!” ucap Pak Wiryo, seorang pria tua dengan nada bangga.

Tukang kopi yang mendengar pun ikut tertawa. “Yo iyo, Pak. Jek ora ngiro aku musik ndeso ki nyampe Amerika.”

Dan begitulah, masyarakat Indonesia menyaksikan budaya mereka – yang dulu sering dianggap sederhana dan “ndeso” – menjadi fenomena di dunia barat. Bagi Wira dan Randy, Marie dan Alex, serta para penonton di kedua belah dunia, pengadopsian sound horeg dalam budaya Amerika ini adalah suatu paradoks yang menakjubkan dan membingungkan.

Di antara kebingungan dan kekaguman, mereka menyadari satu hal: bahwa budaya bisa berpindah, mengubah bentuknya, dan diterima dengan cara yang tak terduga. Dalam setiap dentuman sound horeg yang menghentak Amerika, gema Nusantara pun ikut mengiringi, mengajarkan bahwa apa yang dulu hanya sebuah suara kini telah menjadi identitas yang mengglobal.


"Diplomasi Horeg: Dentuman yang Menembus Batas NATO"


Di ruang pertemuan NATO di Brussels, para pemimpin negara berkumpul dengan wajah serius. Dalam agenda hari itu, ada satu pengumuman kontroversial dari Amerika Serikat yang menjadi topik utama. Seorang diplomat Amerika berdiri di tengah podium dengan percaya diri, siap mengumumkan sebuah keputusan yang akan mengubah wajah budaya perayaan di seluruh Eropa dan negara-negara sekutu.

“Kami, sebagai pimpinan NATO, menetapkan bahwa mulai tahun depan, musik sound horeg wajib dimainkan dalam setiap perayaan besar negara-negara anggota, tanpa terkecuali,” katanya dengan nada tegas. Sejenak, ruangan terdiam. Para diplomat dari negara-negara sekutu saling bertukar pandang, tampak kaget dan bingung.

Salah satu yang pertama angkat bicara adalah Jean-Pierre Dubois, perwakilan dari Prancis. “Tunggu dulu, Anda ingin kami memutar… sound horeg, musik jalanan dari Indonesia itu, di perayaan Natal dan Paskah?” tanyanya dengan nada skeptis, seakan tidak percaya.

“Benar, Tuan Dubois,” jawab diplomat Amerika dengan nada santai, seolah menganggap hal tersebut wajar. “Kami yakin, melalui sound horeg, kita akan memperkuat ikatan sosial dalam perayaan kita. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk memperkuat solidaritas budaya dan diplomasi antar anggota NATO.”

Di belakang ruangan, seorang perwakilan Jerman, Hans Müller, berbisik kepada rekannya, “Apakah mereka bercanda? Musik itu seperti… pesta jalanan yang kacau balau! Bagaimana bisa itu mencerminkan solidaritas di perayaan gereja atau Hari Kemerdekaan kita?”

Sementara itu, di London, masyarakat sudah mulai mendengar kabar tersebut melalui media. Di sebuah kafe kecil di kota, dua sahabat, Emily dan Grace, sedang membicarakan kebijakan baru itu.

“Emily, pernah dengar musik sound horeg ini?” tanya Grace, sambil menyeruput kopinya.

Emily mengangguk, “Ya, beberapa bulan lalu aku mendengarnya di acara Halloween. Suara dentumannya benar-benar… gila! Kupikir itu hanya tren sementara.”

Grace mendesah panjang, “Tapi sekarang, katanya kita wajib memutarnya saat Natal? Maksudku, Natal harusnya tenang, penuh damai. Tapi kalau yang diputar sound horeg… aku bahkan tak bisa membayangkan suasananya.”

Di sela-sela pembicaraan mereka, sebuah layar televisi di kafe tersebut menayangkan seorang pejabat NATO yang menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut.

“Kami percaya bahwa sound horeg, dengan dentuman energiknya, akan membawa semangat baru dalam setiap perayaan kita. Ini adalah upaya untuk menggabungkan elemen tradisional dan modern dari berbagai budaya, mempererat persatuan dan menghapuskan batas-batas sosial,” ujar pejabat itu.

Emily mendengus. “Batas sosial? Maksud mereka, memaksa semua orang mendengar musik yang bukan dari budaya mereka akan mempererat persatuan?”

Di Berlin, protes mulai bermunculan. Ribuan orang berkumpul di depan gedung parlemen, memegang spanduk bertuliskan “Keep Horeg Away” dan “Our Holidays, Our Choice!”. Mereka menuntut hak untuk menentukan jenis musik yang sesuai untuk perayaan besar di negara mereka.

Kembali ke Brussels, para pemimpin negara NATO terlihat semakin gelisah. Wakil dari Italia, Lorenzo Rossi, yang terkenal lantang, akhirnya angkat bicara.

“Kami menghormati budaya Amerika dan ide-ide baru, tapi memaksa musik tertentu untuk dimainkan pada hari-hari besar kami adalah tindakan yang tidak adil! Bagaimana mungkin kami menggabungkan sound horeg yang penuh dentuman ini dengan suasana perayaan suci seperti Natal di Roma?”

Diplomat Amerika menatap Lorenzo dengan tenang. “Tuan Rossi, kebijakan ini sudah diputuskan secara kolektif. Kami percaya, jika Anda semua memberikan kesempatan, sound horeg akan membawa energi baru bagi rakyat kalian.”

Suara protes mulai terdengar semakin nyaring, namun diplomat Amerika tetap pada pendiriannya. “Kita sudah berada di era baru, di mana setiap budaya harus saling menyatu. Lagipula, jika Indonesia bisa membawakan sound horeg ke perayaan besar seperti Thanksgiving di Amerika, mengapa negara-negara NATO tidak bisa menerima musik ini juga?”

Di Indonesia, berita tentang kebijakan NATO ini menjadi sorotan. Di sebuah warkop di Surabaya, Pak Budi dan beberapa pelanggan lainnya menonton berita tersebut dengan penuh semangat.

“Lho, iki piye ceritane sound horeg kok tekan NATO!” seru Pak Budi dengan nada tak percaya.

Seorang pemuda di sampingnya, yang juga penggemar sound horeg, terkekeh. “Mungkin Amerika memang lagi doyan kebudayaan kita, Pak. Bayangno, wong Eropa kudu muter sound horeg waktu Natal. Horeg nang gereja, piro lucune kuwi!”

Pak Budi tertawa terbahak-bahak. “Yo yo, sing penting awakdewe sing gawe, wong-wonge seneng opo ora, wes tanggung jawab NATO saiki!”

Di berbagai belahan dunia, ketegangan mengenai kebijakan ini terus memanas. Namun, bagi rakyat Indonesia, kebijakan ini seolah menjadi penghargaan bagi budaya mereka yang berhasil melintasi batas benua. Bagi Wira, Randy, Emily, dan para pemimpin dunia, dentuman sound horeg kini bukan hanya sekadar musik, tetapi sebuah simbol baru – simbol globalisasi yang penuh ironi, mengajarkan bahwa terkadang, batas budaya bisa menjadi absurd di tangan kekuatan politik.

Di balik dentuman yang menggelegar itu, dunia pun menyadari bahwa persatuan budaya yang dipaksakan justru menyisakan banyak pertanyaan.

FIKSI SOSIO-POLITIK: KETIKA DONALD TRUMP DAN JOKOWI SALING BERTUKAR PRESIDEN

Narasi Pembuka:

Bayangkan dua negara besar, Amerika Serikat dan Indonesia, melakukan sebuah eksperimen unik: pertukaran pemimpin. Donald Trump, dengan gaya flamboyan dan sikap kontroversialnya, kini mengendalikan pemerintahan Indonesia. Sebaliknya, Joko Widodo—pria sederhana yang selalu dikenal dekat dengan rakyat kecil—memimpin Amerika Serikat dengan sikap moderat dan berusaha mendengar suara rakyat dari berbagai kalangan. Lima tahun yang akan datang tidak hanya menguji kemampuan mereka dalam memimpin, tetapi juga memengaruhi struktur ekonomi, sosial, dan budaya di kedua negara.


Bab 1: Jakarta di Bawah Trump

Setahun setelah Trump resmi menjabat sebagai Presiden Indonesia, perubahan mulai terasa di seluruh penjuru negeri. Tatanan politik, kebijakan ekonomi, bahkan isu sosial berubah secara drastis.

Dialog di Istana Negara:

"Pak Presiden, Anda yakin ini langkah yang tepat?" Tanya seorang menteri dengan nada ragu.

"Tentu saja," jawab Trump dengan senyum penuh percaya diri. "Indonesia perlu lebih berani! Sudah terlalu lama kita diam, sekarang saatnya menunjukkan kekuatan kita."

"Tapi, Pak, kebijakan fiskal ini—menghapus beberapa subsidi dan membuka pasar sepenuhnya—bisa mengganggu kesejahteraan masyarakat kecil," balas sang menteri hati-hati.

Trump menghela napas. "Lihat, saya tidak peduli dengan detail kecil. Ini tentang mengubah sistem. Dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus menjadi negara yang dihormati di dunia."


Narasi:

Di bawah kepemimpinan Trump, ekonomi Indonesia mengalami perubahan besar. Sebuah program ekonomi ambisius diumumkan, menghapus beberapa subsidi di sektor vital dan membuka pintu investasi asing tanpa batas. Imbasnya, sektor ekonomi Indonesia memang tumbuh cepat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Namun, di sisi lain, ketimpangan ekonomi antara kota dan desa semakin tajam. Kalangan pekerja di desa-desa mengalami kesulitan akibat kebijakan ini, dan jumlah pengangguran semakin meningkat.


Bab 2: Washington di Bawah Jokowi

Sementara itu, Joko Widodo memimpin Amerika Serikat dengan pendekatan yang sangat berbeda. Alih-alih menggunakan kekuatan untuk menekan lawan, ia memusatkan kebijakan pada rekonsiliasi dan pemulihan sosial. Media di Amerika menyebut masa pemerintahannya sebagai "The Years of Calm," era di mana konflik sosial diusahakan diminimalisir, meskipun tantangan tetap hadir.

Dialog di Ruang Oval:

"Mr. President, mengapa Anda begitu terfokus pada infrastruktur lokal?" tanya seorang penasihat senior yang tampak frustrasi. "Orang-orang ingin melihat Amerika mendominasi di kancah internasional, bukan membangun jalan di pedesaan."

Jokowi tersenyum kecil. "Terkadang, yang sederhana adalah yang terbaik. Saya percaya, jika kita menguatkan fondasi dalam negeri, Amerika akan kuat dari dalam."

"Tapi, ini Amerika, Pak. Kami ingin sesuatu yang lebih dari sekadar jembatan dan jalan desa," protes sang penasihat.

Jokowi hanya mengangguk pelan. "Mungkin benar, tapi kita semua butuh jembatan yang kuat untuk mencapai impian kita, bukan?"


Narasi:

Kepemimpinan Jokowi di Amerika Serikat membawa perubahan signifikan di dalam negeri. Prioritas utamanya adalah memperbaiki hubungan antargolongan, mengurangi tensi politik, dan membangun infrastruktur yang merata. Pendekatan ini berhasil menenangkan sebagian besar masyarakat, namun juga menimbulkan pro-kontra. Banyak pihak konservatif mengkritiknya karena dianggap terlalu "lembek" dalam menjaga posisi Amerika di kancah internasional. Di sisi lain, masyarakat yang tinggal di pedesaan Amerika, serta komunitas minoritas, merasakan dampak positif dengan kebijakan pembangunan infrastruktur dan layanan kesehatan yang lebih merata.


Bab 3: Perdebatan di Layar Kaca

Lima tahun telah berlalu, dan kedua negara bersiap menghadapi pemilu baru. Dampak dari kepemimpinan yang sangat berbeda ini menjadi topik hangat dalam setiap perbincangan.

Dialog di sebuah talk show di Jakarta:

"Pak, bagaimana pandangan Anda mengenai kebijakan Trump selama lima tahun terakhir ini?" tanya seorang pembawa acara kepada seorang pakar ekonomi.

Pakar itu tersenyum, "Sulit untuk mengatakan apakah kita lebih baik atau lebih buruk. Di satu sisi, ekonomi kita berkembang pesat. Tapi, di sisi lain, kita menyaksikan banyak masyarakat kecil yang tertinggal."

Seorang pengamat politik lain ikut menyela, "Indonesia lebih keras sekarang, lebih tegas di mata internasional. Tapi apa artinya itu kalau rakyat di pedesaan justru hidup lebih susah?"

Sang pembawa acara mengangguk, "Apakah Anda pikir rakyat akan memilih pemimpin seperti Trump lagi?"

"Saya rasa, setelah lima tahun, mereka akan memilih pendekatan yang lebih membumi," jawab pakar ekonomi itu mantap.


Dialog di CNN, Amerika Serikat:

"Mr. Jackson, apakah Anda melihat efek positif dari kepemimpinan Jokowi di Amerika?" tanya seorang pembawa berita.

"Positif bagi beberapa kalangan, tapi kontroversial untuk yang lainnya," jawab Jackson, seorang kolumnis senior. "Dia membawa stabilitas di dalam negeri, tapi banyak yang merasa Amerika kehilangan pengaruhnya di panggung internasional."

"Apakah menurut Anda orang Amerika ingin gaya kepemimpinan seperti ini?" lanjut sang pembawa berita.

Jackson berpikir sejenak. "Saya tidak tahu. Mungkin sebagian merindukan dominasi kita, tapi sebagian lagi mungkin merasa lebih damai dengan prioritas dalam negeri seperti ini."


Narasi Penutup:

Pada akhirnya, eksperimen lima tahun ini memberikan banyak pelajaran bagi rakyat di kedua negara. Di Indonesia, masyarakat mulai merindukan kepemimpinan yang lebih berpihak pada rakyat kecil. Mereka menyadari bahwa kemajuan ekonomi saja tidak cukup tanpa kesejahteraan sosial. Sementara di Amerika, sebagian masyarakat mulai melihat bahwa kekuatan militer dan pengaruh internasional perlu dilengkapi dengan fondasi dalam negeri yang kokoh.

Dua pemimpin, dua negara, dan dua pendekatan berbeda memberikan cermin bagi keduanya—bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang membuat keputusan besar, tetapi juga tentang mendengarkan dan merangkul kebutuhan rakyat dari berbagai lapisan masyarakat.

FIKSI ILMIAH: EFEK KUPU-KUPU REALITAS GANDA

Sejak teknologi Schrödinger yang revolusioner itu diluncurkan, dunia mengalami perubahan yang tak terduga. Alat tersebut, yang seukuran ponsel, memungkinkan pengguna untuk “memilih” atau “melihat” cabang realitas alternatif di mana keputusan mereka berbeda—sebuah gagasan tentang “melihat kemungkinan lain dalam hidup.” Teknologi ini dijuluki "Realizer" dan segera menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.


1. Di Ruang Kantor - Jakarta, Indonesia

Pada sebuah perusahaan, Dwi dan Raka, rekan kerja yang sama-sama penasaran dengan Realizer, berdiskusi sambil menatap layar alat tersebut.

“Kamu tahu, Dwi, aku sudah pakai alat ini selama satu bulan. Lihat ini! Kalau saja waktu itu aku mengambil pekerjaan di luar negeri, ternyata aku hidup jauh lebih kaya,” kata Raka sambil menunjukkan tampilan alternatif dari kehidupannya.

Dwi menatap layar itu dengan takjub. “Luar biasa, Rak! Tapi, apa kau tidak merasa aneh? Kadang aku berpikir, sepertinya aku terlalu bergantung pada Realizer untuk melihat ‘kehidupan lain’ yang mungkin aku miliki.”

Raka tertawa. “Aneh? Justru ini cara untuk tahu kita hidup di dunia yang benar. Dengan alat ini, kita bisa memastikan pilihan-pilihan kita itu tepat.”

Namun, yang tidak disadari Raka, setiap kali ia mengintip realitas alternatif, ia membawa pengaruh dari realitas lain ke dalam kehidupannya yang sekarang, menciptakan efek kupu-kupu yang perlahan mengguncang keberadaannya.


2. Dampak pada Keluarga dan Hubungan

Beberapa bulan setelah Realizer dirilis, hubungan dalam keluarga-keluarga pun mulai merenggang. Banyak orang yang menggunakan Realizer untuk melihat kemungkinan dalam pernikahan atau hubungan mereka.

Suatu malam, seorang pria bernama Ardi berbicara dengan istrinya, Sari, yang tampak resah.

“Sari, lihat ini. Kalau waktu itu aku tidak menikah denganmu, hidupku ternyata lebih bebas, tanpa beban!” kata Ardi sambil tertawa kecil, menunjukkan layar Realizer kepada Sari.

Sari menatapnya dengan marah. “Jadi, maksudmu kau menyesal menikah denganku?”

Ardi terkesiap, menyadari kekhilafannya. “Tidak, bukan begitu maksudku... aku hanya penasaran.”

Namun, keretakan sudah mulai terbentuk. Banyak keluarga mengalami konflik seperti ini, ketika melihat “kemungkinan lain” malah menimbulkan rasa penyesalan atau ketidakpuasan dalam kehidupan nyata.


3. Ketidakpastian dalam Dunia Pekerjaan

Banyak perusahaan mulai mengalami krisis kepercayaan karena para karyawan sibuk mencari “versi diri” yang lebih sukses atau kaya. Beberapa bahkan berhenti dari pekerjaan mereka karena merasa lebih baik di realitas lain. Di sebuah perusahaan teknologi, seorang manajer bernama Lina mengeluhkan dampak alat ini pada timnya.

“Bambang, kau serius mau berhenti? Kau salah satu programmer terbaik kami,” kata Lina sambil menahan frustrasi.

Bambang tersenyum tipis. “Maaf, Bu. Tapi setelah melihat kemungkinan di mana aku bekerja sendiri, menjadi seorang freelancer sukses, aku merasa itulah yang seharusnya aku lakukan.”

Keputusan seperti ini menimbulkan efek domino. Banyak perusahaan mengalami kesulitan mempertahankan karyawan, sementara banyak orang justru kehilangan stabilitas hidup karena keputusan yang didorong oleh versi diri yang mungkin tak sepenuhnya sesuai.


4. Realitas yang Mulai Kabur

Sementara itu, dampak dari Realizer semakin terasa di dunia nyata. Banyak orang melaporkan merasa bingung antara mana yang nyata dan mana yang hanya “pilihan alternatif” dalam Realizer. Dodot, yang pernah selamat dari kecelakaan dan kini menjadi penggiat teknologi Realizer, merasa seperti berada di dua dunia sekaligus.

“Kamu tidak merasa aneh, Dodot? Sepertinya kita sudah terlalu banyak melihat versi hidup yang seharusnya bukan untuk kita,” kata Toni, rekannya.

“Aku juga mulai merasakan hal yang sama. Kadang, aku merasa diriku yang lain... yang seharusnya mati dalam kecelakaan itu, malah hidup di sini. Semua ini... kacau,” ujar Dodot, menatap layar Realizer yang terus menunjukkan pilihan-pilihan.

Teknologi ini menciptakan efek yang sangat mirip dengan "efek kupu-kupu" dalam teori chaos—sebuah perubahan kecil yang membawa pengaruh besar di masa depan. Banyak orang merasa kehadiran mereka di realitas yang salah, atau mulai terasing dari dunia yang mereka kenal.


5. Kehilangan Jati Diri

Lama-kelamaan, orang-orang yang terlalu sering menggunakan Realizer mulai merasa kehilangan identitas. Mereka menjadi terlalu banyak terpapar dengan versi alternatif dari diri mereka. Mungkin mereka adalah seorang dokter di dunia ini, tetapi di versi lain, mereka seorang seniman atau seorang pengusaha. Konflik identitas ini perlahan menggerogoti mental mereka.

Suatu hari, seorang pemuda bernama Rio, yang baru saja berhenti dari pekerjaannya sebagai akuntan karena melihat dirinya menjadi musisi di realitas lain, berbicara dengan seorang terapis.

“Dokter, saya merasa kosong… Seperti aku ini bukan diriku sendiri,” kata Rio.

Terapis mengangguk. “Ini disebut ‘dissociative identity confusion’. Kau terlalu sering melihat dirimu yang lain, hingga tidak lagi mengenali siapa dirimu yang sebenarnya.”

Rio tertunduk lesu. Ia menyadari bahwa Realizer telah mempengaruhinya begitu dalam, mencabut fondasi jati dirinya.


6. Perpecahan dan Destabilitas Sosial

Dengan semakin banyaknya orang yang merasa terhubung ke realitas lain, tatanan sosial pun mulai goyah. Konflik, ketidakpuasan, bahkan pemberontakan kecil muncul di berbagai belahan dunia. Orang-orang mulai bertanya, “Jika aku bisa menjadi kaya atau sukses di realitas lain, mengapa aku harus menderita di sini?”

Di sebuah ruang sidang pemerintah, para ahli berdiskusi tentang dampak jangka panjang Realizer ini.

“Kita harus membatasi penggunaan Realizer,” ujar seorang senator. “Ini sudah mengacaukan masyarakat kita. Orang-orang kehilangan jati diri dan kewarasan karena alat ini.”

Namun seorang ahli teknologi membalas. “Membatasinya tidak akan menyelesaikan masalah. Dunia sudah terlalu tergantung. Kita harus menemukan cara lain untuk mengelola dampaknya.”

Kekacauan semakin meluas, dan pemerintah di seluruh dunia mulai khawatir Realizer akan memicu anarki global. Efek kupu-kupu dari alat ini semakin terasa—mulai dari perpecahan kecil dalam keluarga hingga gejolak sosial di tingkat yang lebih besar.


7. Masa Depan yang Kacau

Pada akhirnya, Realizer tidak hanya mengubah individu tetapi juga seluruh peradaban. Dunia kini terpecah antara mereka yang “percaya pada realitas asli” dan mereka yang merasa “terjebak di realitas yang salah.” Sekelompok orang bahkan mulai menyebut diri mereka “Penjelajah Realitas,” mengklaim bahwa hidup di satu realitas saja adalah penjara bagi jiwa manusia.

Di sebuah pusat konferensi, Dodot yang kini menjadi aktivis Realizer mengakhiri pidatonya dengan nada getir.

“Kita menginginkan pilihan, tetapi kita justru terjebak dalam kebebasan tanpa batas. Realitas, bagi kita, telah menjadi persimpangan yang tak ada ujungnya. Pertanyaannya adalah, beranikah kita berhenti dan menerima hidup yang kita miliki sekarang?”

Para penonton terdiam, menyadari bahwa mereka kini hidup dalam dunia yang tak lagi pasti, berantakan oleh efek kupu-kupu yang tak bisa dihentikan.


Epilog

Teknologi yang dimulai dengan janji untuk “melihat kemungkinan lain” akhirnya menjadi alat yang mengaburkan batas antara hidup yang nyata dan ilusi. Realizer, yang awalnya dirancang untuk membuka mata manusia terhadap pilihan hidup, malah menciptakan dunia yang penuh ketidakpastian, di mana setiap orang menjadi buronan dari dirinya sendiri, terjebak dalam labirin yang tanpa akhir.

FIKSI ILMIAH: PENGARUH REALITAS GANDA TERHADAP ORANG YANG MENINGGAL PART 02

1. Kecemasan yang Menggerogoti

Setelah kecelakaan itu, Mas Dodot mengalami hal yang sulit dijelaskan. Sejak ia sadar di rumah sakit, dunia terasa seperti tirai kabur, seperti ada bayangan kelam yang selalu mengikuti. Dokter bilang ia selamat meskipun luka-lukanya cukup parah. Tapi di kepalanya, ada sesuatu yang terus membisikkan keraguan.

“Dodot, kamu baik-baik saja?” tanya Rani, sahabatnya, ketika menjenguk.

“Ya... cuma, rasanya aneh, Ran. Seperti, aku... merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku,” jawab Mas Dodot sambil menerawang.

Rani tertawa kecil. “Kau habis kecelakaan, Dot. Wajar kalau masih bingung. Bersyukurlah kau masih hidup.”

Mas Dodot tersenyum samar, namun hatinya masih gundah. Ia ingin percaya bahwa hidupnya normal, tetapi setiap kali ia melihat cermin, wajahnya seperti memudar, seperti sesuatu dalam dirinya perlahan-lahan terkikis.


2. Bertemu Dirinya yang Lain

Beberapa minggu setelah kecelakaan, Dodot mulai merasakan kehadiran yang aneh. Pada suatu malam, ia mendengar suara bisikan lembut ketika sedang tertidur di kamarnya.

“Kau... seharusnya di sini bersamaku,” bisik suara itu.

Dodot terbangun dengan keringat dingin, matanya menatap ke arah jendela. Tapi yang dilihatnya bukan jendela, melainkan bayangan samar dirinya sendiri, sedang menatapnya penuh rasa iri.

“Siapa... siapa kamu?” tanya Dodot dengan suara gemetar.

“Aku... dirimu yang lain. Yang mati dalam kecelakaan itu.”

Mas Dodot mencoba mengabaikan suara itu, menganggapnya hanya ilusi akibat trauma. Namun semakin lama, semakin nyata kehadiran bayangan tersebut, seakan dirinya yang telah mati tak rela ditinggalkan begitu saja.


3. Bayangan di Dunia yang Berbeda

Suatu hari, Mas Dodot duduk di taman kota, mencoba menenangkan pikirannya. Ia mulai merasakan perasaan terasing dari dunia. Anak-anak yang berlari di sekitarnya tampak begitu jauh, meskipun berada dekat.

Ia menyandarkan tubuhnya ke bangku taman sambil melihat langit. Saat itulah ia merasa seluruh dunianya seperti berhenti.

“Kenapa aku merasa... terpisah dari dunia ini?” bisiknya lirih.

Di sampingnya, seorang pria tua tak dikenal tiba-tiba duduk dan menatapnya dengan senyum penuh arti. “Kau merasa seolah-olah berada di tempat yang bukan milikmu, bukan?”

Dodot terkejut. “Anda tahu apa yang saya alami?”

Pria itu mengangguk. “Kau adalah orang yang berada di ambang, Nak. Antara hidup dan mati. Itu adalah tempat yang paling menyesakkan, penuh dengan rasa tak pasti.”


4. Kejadian Aneh di Sekitar Mas Dodot

Kehidupan Dodot pun semakin penuh dengan pengalaman ganjil. Setiap kali ia melihat sesuatu yang familiar, ia merasakan deja vu yang menakutkan. Ketika ia menyusuri jalanan yang dulu sering ia lalui, semua terasa sedikit berbeda, seperti versi yang kusam dari dunia aslinya.

Saat berjalan di trotoar, ia melihat seorang wanita berdiri di sudut jalan, menatapnya tajam. Wanita itu tampak seperti mengenalinya, tetapi juga aneh, seperti bukan dari dunia yang sama.

“Mas, apa kau tahu aku?” tanya wanita itu dengan suara bergetar.

“Aku... tidak tahu,” jawab Mas Dodot ragu. Namun, jauh di dalam dirinya, ada perasaan aneh bahwa wanita ini pernah menjadi bagian dari hidupnya, mungkin di sisi lain dari realitas ini.

Setiap interaksi yang dialaminya selalu menyisakan kegelisahan mendalam, seolah-olah ia melihat sekilas orang-orang yang seharusnya tak ia temui.


5. Terusir dari Dunia Orang Hidup

Pada suatu malam, Dodot menyadari sesuatu yang sangat mengganggu. Ketika ia menyentuh benda-benda, semuanya terasa dingin, bahkan lebih dingin dari biasanya. Ketika ia mencoba berbicara dengan teman-temannya, mereka sering tampak tidak menyadari keberadaannya, meski ia berdiri tepat di depan mereka.

Pada saat itu, ia memberanikan diri bertanya pada Rani, sahabatnya.

“Ran, pernahkah kau merasa... aku seolah bukan bagian dari dunia ini?” tanya Dodot, menatapnya serius.

Rani tertawa kecil, namun ada rasa cemas di wajahnya. “Kenapa, Dodot? Kau masih merasa seperti itu?”

Dodot mengangguk. “Rasanya... aku ini cuma bayangan yang terperangkap. Setiap kali aku menatap orang lain, mereka seperti memudar.”

Rani menghela napas panjang. “Mungkin kau memang butuh terapi, Dot. Kau harus menerima bahwa kau hidup... kau ada di sini, bersamaku.”

Tetapi dalam benaknya, Dodot tidak bisa berhenti merasakan ada celah yang semakin lebar antara dirinya dan dunia orang hidup.


6. Akhir yang Tak Terhindarkan

Beberapa bulan kemudian, Dodot tidak lagi mampu membedakan dunia yang nyata dan ilusi. Suatu malam, ia terbangun di suatu tempat asing yang gelap. Di sekitarnya, bayangan samar tampak seperti mencerminkan dirinya. Lalu, terdengar suara yang familier: suara dirinya sendiri, namun dari masa yang lalu.

“Kau seharusnya mati di kecelakaan itu,” suara tersebut berkata dengan tajam. “Kau di sini karena menolak menerima takdirmu.”

Dodot terdiam, jiwanya terasa kosong. Pada saat itu, ia menyadari kebenaran yang menakutkan—bahwa ia hidup di ruang antara, terjebak sebagai orang yang tak sepenuhnya mati namun juga tak sepenuhnya hidup.

Dan malam itu, ketika dunia masih terlelap, Mas Dodot akhirnya memilih untuk menutup matanya dan menerima bayangan dirinya yang lain. Ia tahu, untuk benar-benar bebas, ia harus melepaskan segala keinginan untuk tetap berada di dunia ini.

Dalam kegelapan yang hening, Mas Dodot pun menghilang, menyatu dengan dirinya yang seharusnya mati.

FIKSI ILMIAH: PENGARUH REALITAS GANDA TERHADAP ORANG YANG MENINGGAL PART 01

Pada suatu malam yang dingin, di sebuah laboratorium fisika kuantum, seorang ilmuwan bernama Dr. Raka Dwinanto menatap layar komputernya dengan cemas. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun meneliti hipotesis yang pada akhirnya menjadi sebuah teori ilmiah. Ia menyebutnya "Efek Schrödinger Realitas Ganda." Teori ini, yang awalnya dianggap hanya sebatas pemikiran filosofis, kini terbukti nyata dan mampu memengaruhi kehidupan manusia.

Di layar monitor terlihat simulasi rekonstruksi kecelakaan yang terjadi pada 21 Juli 2023, di mana seorang pria bernama Wahyu Widodo, atau yang dikenal dengan nama panggilan “Mas Dodot,” mengalami kecelakaan sepeda motor yang fatal. Tetapi, kecelakaan ini memiliki keunikan tersendiri, sesuatu yang membuatnya menjadi bahan penelitian yang menarik di komunitas ilmuwan kuantum.


Laboratorium Kuantum Universitas Metro, Jakarta - 17 Agustus 2023

“Ini gila, Pak! Kecelakaan itu terjadi secara bersamaan dalam dua kondisi berbeda! Mas Dodot... dia mati, tapi juga hidup,” kata Dwi, seorang asisten peneliti, dengan suara gemetar.

Dr. Raka menatapnya dengan sorot mata serius. “Itulah yang ingin kita buktikan, Dwi. Realitas ini bukan hanya hitam atau putih. Ada celah-celah di mana kemungkinan bisa bertumpuk. Mirip dengan hipotesis Schrödinger, tapi dalam skala makro. Tidak hanya benda mati—manusia pun terpengaruh.”

Dwi tampak kebingungan. “Jadi, maksudnya...?”

“Di satu realitas, Mas Dodot benar-benar meninggal dalam kecelakaan itu. Tetapi di realitas lain, dia berhasil selamat dan terus hidup. Kita bisa mengamati dua realitas ini bersamaan karena peristiwa kecelakaan tersebut melibatkan ‘fluktuasi kuantum makro’,” jelas Dr. Raka sambil menampilkan dua visualisasi pada layar.

Di layar, terlihat sebuah diagram. Di satu sisi, garis waktu menunjukkan bahwa Mas Dodot tewas di tempat setelah bertabrakan dengan mobil. Di sisi lain, pada realitas yang berbeda, ia hanya mengalami luka ringan dan pulang dengan selamat.


Kamar Asrama - 19 Agustus 2023

Dwi tidak bisa berhenti memikirkan kasus ini. Ia bahkan merasa sedikit takut membayangkan ada realitas di mana seseorang bisa hidup dan mati dalam saat yang bersamaan.

“Bagaimana ini mungkin?” bisik Dwi pada dirinya sendiri. “Apa dunia ini hanyalah ilusi?”

Pada saat yang sama, di ruang tamu sebuah rumah kecil di pinggiran Jakarta, seorang pria duduk termenung di kursi. Wajahnya sayu, tatapannya kosong. Ia adalah Mas Dodot—setidaknya versi dari dirinya yang berhasil selamat. Namun, ia merasa ada sesuatu yang aneh sejak hari kecelakaan itu.

“Ibu… Aku merasakan hal yang aneh sejak kecelakaan itu. Aku merasa... mati,” ujarnya lirih pada ibunya.

Sang ibu hanya menggeleng. “Jangan ngomong yang aneh-aneh, Nak. Kau masih hidup di sini, sehat-sehat saja.”


Laboratorium Kuantum - 21 Agustus 2023

Dr. Raka kembali mengecek catatannya. Ia menemukan pola bahwa ketika satu peristiwa melibatkan 'keputusan hidup atau mati,' realitas bercabang dengan jelas. Menurut teori, realitas di mana seseorang selamat akan tetap eksis berdampingan dengan realitas di mana ia meninggal.

“Apa kau yakin kita tidak sedang bermain-main dengan nasib, Pak?” tanya Dwi, yang masih tampak cemas.

Dr. Raka tersenyum samar. “Dwi, kita tidak menciptakan realitas ini. Kita hanya mengamati. Tapi ya, ini membuatku berpikir: seberapa banyak dari kita yang benar-benar tahu siapa diri kita saat ini? Bagaimana kalau realitas kita adalah salah satu dari cabang yang tidak diharapkan?”

“Seperti hidup dalam kotak Schrödinger?” tanya Dwi.

Dr. Raka mengangguk. “Dan kotak itu bisa saja terbuka kapan saja.”


Kehidupan Mas Dodot

Di luar laboratorium, kehidupan Mas Dodot yang masih hidup mulai merasakan dampak dari dualitas realitas tersebut. Setiap kali ia berjalan di dekat jalan tempat ia kecelakaan, ia merasa ada bayangan dirinya yang mati menatapnya. Pengalaman ini semakin lama membuatnya ketakutan.

Pada malam yang gelap, saat ia duduk sendiri di kamarnya, ia merasa sebuah kehadiran asing yang dingin merayap. Suara samar terdengar, seperti bisikan dirinya yang telah mati.

“Kau seharusnya ada di sini bersamaku...” suara itu berbisik.

Mas Dodot gemetar. “Siapa kau?”

“Aku... dirimu yang lain. Aku yang mati. Kita terpisah oleh satu kecelakaan. Kau hidup karena aku mati.”


Laboratorium Kuantum - 23 Agustus 2023

Dr. Raka dan Dwi akhirnya berhasil menghubungi Mas Dodot. Mereka ingin meneliti lebih jauh tentang efek samping dari teori Schrödinger di dunia nyata.

“Kami perlu menganalisis keadaan mental dan fisikmu, Mas Dodot. Ini mungkin bisa memberikan wawasan baru tentang teori realitas ganda,” kata Dr. Raka dengan penuh harap.

Mas Dodot menatap mereka dengan mata gelisah. “Aku tidak yakin ingin tahu lebih jauh, Pak. Rasanya... ada yang mati dalam diriku. Aku merasa setiap detik hidupku hanyalah bayangan.”

Dwi menatap Mas Dodot dengan penuh rasa empati. “Mungkin kau masih merasa terhubung dengan dirimu yang... lain.”


Penutup

Eksperimen itu semakin hari semakin mendekati kesimpulan. Mas Dodot, yang terombang-ambing dalam dua realitas, akhirnya mengambil keputusan.

“Aku tidak bisa hidup dalam ketidakpastian ini, Dokter. Biarkan aku memilih satu jalan, hidup atau mati. Aku tidak ingin menjadi kucing Schrödinger selamanya.”

Dr. Raka tersenyum sedih, lalu mengangguk. “Baiklah, Mas Dodot. Mungkin, inilah saatnya kita menghentikan pengamatan ini. Terkadang, memahami kehidupan tidak berarti harus membelah setiap realitasnya.”

Dan begitulah, realitas di mana Mas Dodot hidup pun tertutup selamanya, menyisakan hanya satu kepastian di dunia ini: bahwa di suatu tempat dalam realitas yang berlapis-lapis, ada hidup yang terus bergerak maju dan mati yang tetap berdiam dalam ingatan.


FIKSI ILMIAH: DUNIA TANPA GENERASI KELAHIRAN TAHUN 1993

Sinopsis: Dr. Armand, seorang ilmuwan jenius kelahiran 1980, memiliki pandangan ekstrem terhadap generasi kelahiran 1993 ke atas. Bagi Armand, generasi ini adalah sumber ketidakseimbangan sosial, kehancuran moral, dan tingkah laku toksik yang merusak tatanan masyarakat. Dalam upayanya untuk “memurnikan” sejarah, Armand menciptakan sebuah alat bernama ChronoVanish, sebuah perangkat canggih yang mampu menghapus generasi dari eksistensi sejarah. Ketika alat ini diaktifkan, semua orang yang lahir di tahun 1993 menghilang dari sejarah dunia, menciptakan perubahan besar yang mempengaruhi jalannya sejarah umat manusia.

Bab 1: Permulaan yang Hilang

Latar: Dr. Armand berada di laboratorium bawah tanahnya, memantau efek penggunaan ChronoVanish di layar holografik raksasa. Di sebelahnya, asistennya, Rhea, mengamati grafik perubahan sejarah yang perlahan bergerak di layar. Keduanya melihat realitas yang bergeser, menciptakan riak-riak tak kasat mata di seluruh dunia.

Dialog dan Narasi:

Rhea menatap layar dengan cemas, grafik-grafik statistik populasi dan perkembangan sosial dunia yang bergetar seperti gelombang riak di permukaan air. "Dr. Armand… kau benar-benar yakin ini adalah langkah yang tepat? Menghapus seluruh generasi kelahiran 1993 dari sejarah? Apa kau tidak khawatir tentang dampaknya pada dunia?"

Armand hanya tersenyum samar, tatapannya dingin dan penuh keyakinan. "Dampak? Generasi ini telah merusak tatanan sosial kita, Rhea. Mereka membawa ide-ide yang merusak, moralitas yang kabur, dan kebudayaan yang kacau. Dengan menghapus mereka, aku memastikan bahwa dunia berjalan sesuai arah yang benar."

Rhea menggelengkan kepala, merasa takjub sekaligus ngeri. "Tapi tanpa generasi 1993, kau bahkan tak tahu apa yang akan terjadi pada sejarah dunia. Semua yang berhubungan dengan mereka, keluarga, teman, bahkan pengaruh karya mereka—semuanya menghilang.”

“Justru itu yang kuinginkan,” jawab Armand dengan tegas. “Dunia akan berterima kasih padaku nanti. Keseimbangan moral dan etika akan pulih, dan generasi berikutnya akan tumbuh tanpa terpengaruh oleh generasi toksik itu."

Narasi:

Ketika ChronoVanish mulai bekerja, sejarah berubah seketika. Semua anak yang harusnya lahir di tahun 1993 lenyap, termasuk interaksi, karya, dan kontribusi mereka. Seolah-olah seluruh dunia melewati tahun 1993 tanpa ada satupun kelahiran, meninggalkan tahun itu sebagai ruang kosong dalam sejarah manusia. Keluarga-keluarga yang seharusnya memiliki anggota kelahiran 1993 kini hidup tanpa mereka, tanpa kenangan atau pengaruh dari generasi yang dihapus tersebut.

Awalnya, tak ada yang menyadari perubahan ini selain Dr. Armand. Namun, dampak dari ketiadaan satu generasi mulai terasa. Di dunia akademik, ilmuwan-ilmuwan muda yang seharusnya lahir tahun 1993—orang-orang yang berpotensi menemukan inovasi penting, menghilang. Berbagai perusahaan, proyek, dan produk teknologi yang tercipta karena kontribusi generasi tersebut tak pernah ada.

Dialog dan Narasi Lanjutan:

Rhea mengamati layar yang menunjukkan tren perkembangan teknologi dunia, yang tampak melambat. "Dr. Armand, lihat ini. Tanpa anak-anak yang lahir di tahun 1993, kita mulai kehilangan para inovator, insinyur, dan pemikir kreatif yang seharusnya berperan besar dalam kemajuan teknologi. Banyak penemuan yang kini tertunda."

Armand mengernyit, namun tak tampak gentar. "Ini hanya fase awal. Dunia akan beradaptasi. Generasi lainnya akan muncul, mengambil alih dan memulihkan perkembangan yang hilang."

Namun Rhea menggeleng, menunjuk grafik di layar. "Tidak sesederhana itu, Dr. Armand. Semua peristiwa dan orang saling terhubung. Generasi 1993 bukan hanya kelompok manusia biasa; mereka adalah bagian dari ekosistem masyarakat kita. Tanpa mereka, kita mengalami stagnasi di berbagai bidang, mulai dari kesehatan, teknologi, hingga kebudayaan."

Narasi:

Dalam lima tahun sejak ketiadaan generasi 1993, dunia mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakseimbangan yang tak terduga. Produk-produk budaya yang terpengaruh dari karya dan tren generasi tersebut menghilang, membuat arus budaya pop yang lebih monoton dan kaku. Industri hiburan kehilangan variasi, teknologi tidak berkembang secepat seharusnya, dan tak ada lagi tokoh-tokoh penting yang seharusnya lahir di tahun itu untuk menginspirasi generasi berikutnya.

Lebih jauh lagi, perubahan ini juga mempengaruhi aspek psikologis masyarakat. Ketiadaan generasi 1993 menciptakan perasaan “kosong” dalam sejarah keluarga. Banyak keluarga merasa hidup tanpa arah karena tidak memiliki anggota keluarga yang mengisi peran dan memengaruhi keputusan penting dalam kehidupan mereka.

Dialog dan Narasi Akhir Bab:

Rhea menatap Dr. Armand dengan ketakutan yang dalam. "Kau tahu, kita sudah terlalu jauh. Apa kau benar-benar tak melihat? Dunia kehilangan bagian penting dari jiwanya. Anak-anak yang lahir di tahun 1993 membawa perubahan yang tak tergantikan, perubahan yang menjaga kita tetap berkembang dan seimbang."

Armand, yang awalnya penuh keyakinan, mulai merasakan keraguan. Namun egonya menolak untuk mengakui kesalahan. “Semua ini hanya sementara. Generasi lainnya akan bangkit, akan ada pengganti bagi mereka yang telah hilang.”

Namun di dalam hatinya, Armand tahu bahwa hilangnya generasi 1993 telah menciptakan kekosongan yang tak akan pernah bisa terisi. Dunia yang ia bayangkan sebagai lebih baik justru berakhir dalam stagnasi dan kekosongan, sebuah efek kupu-kupu yang tak ia perkirakan.

Bab 2: Dunia Tanpa Tahun 1993

Latar: Setelah penggunaan ChronoVanish, dunia tanpa generasi kelahiran 1993 berjalan di jalur yang berbeda. Berbagai bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, budaya, teknologi, hingga lingkungan keluarga, mulai menunjukkan dampak yang tak terduga. Di laboratoriumnya, Dr. Armand mengamati laporan-laporan dari berbagai belahan dunia, sementara Rhea memantau dampak dari perspektif manusia biasa.

Dialog dan Narasi:

Rhea mengamati laporan di layar holografik, menunjukkan data dari sektor pendidikan dan ketenagakerjaan di seluruh dunia. "Lihat ini, Dr. Armand. Beberapa universitas di Amerika Serikat dan Eropa kekurangan mahasiswa untuk angkatan tahun 2011. Kampus-kampus yang seharusnya ramai kini justru sunyi, tanpa mahasiswa baru untuk jurusan-jurusan tertentu."

Dr. Armand menatap layar dengan kerutan halus di keningnya. "Itu hanya efek awal, Rhea. Dalam beberapa tahun, generasi setelah mereka akan mengisi kekosongan itu."

Rhea menggeleng, matanya penuh kekhawatiran. "Tapi ini bukan soal angka, Dokter. Kehilangan satu generasi menciptakan kekosongan budaya dan kreativitas yang tak bisa digantikan begitu saja. Dunia menjadi... datar. Tak ada pembaruan, tak ada tantangan ide dari generasi baru."

Narasi:

Di berbagai belahan dunia, kekosongan yang ditinggalkan oleh generasi 1993 menciptakan pergeseran besar. Universitas dan sekolah kehilangan satu kelompok usia yang seharusnya menjadi mahasiswa dan pelajar. Sekolah-sekolah, yang biasanya dipenuhi oleh anak-anak muda, tampak sunyi setiap kali datang tahun ajaran baru tanpa kehadiran mereka.

Di sektor ketenagakerjaan, mulai tampak kekosongan pada pekerjaan level menengah yang biasanya diisi oleh individu berusia 30-an. Ketiadaan generasi 1993 membuat beberapa industri terhenti, terutama yang mengandalkan kreativitas dan inovasi anak muda untuk menghadapi perubahan tren. Perusahaan-perusahaan mode, media sosial, hingga teknologi kehilangan dorongan dari orang-orang yang seharusnya memberi pengaruh pada perubahan zaman.

Dialog dan Narasi Lanjutan:

Di sela-sela mengamati data, Rhea berbicara dengan seorang kenalannya, Lian, seorang dosen di bidang psikologi yang kebingungan dengan fenomena baru ini. “Lian, kau merasakan sesuatu yang berbeda di kampus, bukan?”

Lian mengangguk dengan ekspresi penuh keheranan. "Iya, Rhea. Tahun ini sepi sekali. Angkatan mahasiswa yang seharusnya berusia sekitar 20-an, tak ada sama sekali. Aku bahkan merasa kehilangan energi dan semangat dari interaksi dengan mahasiswa baru. Mereka membawa kebaruan dalam cara berpikir yang selalu menarik.”

“Apa yang kau maksud dengan ‘energi baru’ itu?” Rhea mencoba memahami lebih jauh.

Lian termenung sejenak, lalu menjelaskan dengan hati-hati. "Setiap generasi membawa perspektif berbeda, Rhea. Mahasiswa kelahiran 1993 ke atas harusnya membawa sudut pandang yang lebih adaptif terhadap teknologi dan budaya digital. Tapi tanpa mereka, perkembangan pemikiran dalam masyarakat menjadi lamban, kurang inovatif. Semua terasa seperti berputar dalam pola yang sama."

Narasi:

Ketiadaan generasi 1993 juga berdampak pada keluarga dan hubungan sosial. Banyak keluarga yang semestinya memiliki anak, saudara, atau kerabat kelahiran 1993 merasakan kekosongan tak terjelaskan. Di Jepang, kelompok masyarakat paruh baya yang kehilangan anak-anak generasi tersebut merasa tidak ada penerus yang memahami mereka, menciptakan jurang yang sulit dipulihkan antara generasi tua dan muda.

Di sisi hiburan, dunia pop dan industri musik kehilangan beberapa artis dan musisi yang seharusnya membawa warna baru. Musik, film, dan seni visual yang biasanya didorong oleh kreator-kreator muda menjadi lebih monoton. Tak ada kejutan, tak ada tren baru yang meledak, dan semua budaya populer berjalan lebih lambat.

Dialog dan Narasi Akhir Bab:

Rhea menatap Dr. Armand dengan kekhawatiran yang semakin mendalam. "Dunia tanpa anak kelahiran 1993 terasa... kosong. Bukan hanya secara fisik, tapi secara mental dan emosional. Orang-orang merasa kehilangan sesuatu yang tak mereka pahami. Bahkan hubungan antar-generasi menjadi renggang.”

Dr. Armand tersenyum, meskipun hatinya sedikit terguncang oleh laporan itu. "Ini hanya penyesuaian, Rhea. Generasi berikutnya akan mengisi peran mereka."

Namun, Rhea tak yakin. Ia melihat ke layar, meneliti data dari berbagai belahan dunia yang menunjukkan stagnasi dalam kreativitas, hubungan sosial, dan inovasi. “Terkadang, Dokter, satu generasi yang kita anggap biasa saja justru membawa sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan yang lebih utuh. Kita mungkin telah menghilangkan lebih dari sekadar manusia; kita telah menghapus bagian dari jiwa dunia ini.”

CERITA FIKSI: KETIKA DUNIA BARAT NEKAT MENJATUHKAN NUKLIR KE PALESTINA

Sinopsis: Dalam dunia yang terbentuk setelah Palestina hancur oleh senjata nuklir, pengaruh Amerika Serikat dan NATO tak terbendung. Rusia, China, dan Iran kini tak lagi menjadi kekuatan besar dunia, terpecah menjadi negara-negara kecil yang tak mampu melawan dominasi kekuatan Barat. Israel berkembang pesat sebagai pusat kekuatan Timur Tengah, mengambil alih kawasan yang dulunya penuh konflik. Namun, seratus tahun kemudian, efek dari keputusan tersebut telah membentuk sebuah realitas yang mengancam keberadaan kemanusiaan, menciptakan ketidakseimbangan besar di antara negara-negara dan memicu krisis yang tak pernah terbayangkan.

Bab 1: 100 Tahun Kemudian

Di sebuah ruang rapat yang dikelilingi tembok kaca tebal, tiga ilmuwan tengah membahas krisis iklim yang semakin parah akibat ketidakseimbangan kekuatan global. Mereka adalah Dr. Samuel Perkins, ahli geopolitik; Fatima al-Qassab, pakar sejarah; dan Dr. Reza Hamidi, ilmuwan lingkungan.

Dialog dan Narasi:

Dr. Perkins menyentuh dinding layar interaktif di hadapannya, menampilkan data-data lingkungan. Angka-angka yang tampak di layar itu sangat mengkhawatirkan: peningkatan suhu global, tingginya radiasi di kawasan Timur Tengah, hingga krisis ekonomi di bekas negara-negara yang kini terpecah.

“Dulu, orang tidak berpikir bahwa menghancurkan sebuah negara akan berdampak global. Tapi lihatlah sekarang,” Dr. Perkins menatap rekan-rekannya dengan tatapan serius. “Seratus tahun yang lalu, tindakan nuklir itu mengubah arah sejarah, menciptakan ketakutan, dan—lebih buruknya—menyisakan ketidakseimbangan yang terus bertambah hingga sekarang.”

Fatima mengangguk pelan. "Efek kupu-kupu dalam geopolitik. Momen kecil yang memicu gelombang tak berujung. Tanpa kekuatan penyeimbang seperti Rusia atau China, Amerika Serikat dan NATO bisa melakukan apa saja. Tapi sekarang, bahkan mereka tidak bisa mengatasi krisis yang mereka mulai."

Dr. Reza menggeser layar ke arah peta dunia yang menunjukkan batas laut yang naik secara drastis di berbagai negara. "Dengan tak adanya persaingan untuk sumber daya, negara-negara besar yang tersisa seperti Amerika Serikat, Israel, dan negara-negara Eropa mulai menguras habis lahan dan sumber daya alam. Mereka merusak ekosistem demi keuntungan singkat."

Di layar, data terbaru tentang populasi dunia muncul: angka kelahiran menurun drastis, penyakit genetik meningkat, dan air bersih menjadi barang langka. "Efek panjangnya adalah bencana kesehatan. Genetik manusia makin terdegradasi akibat radiasi. Saat Palestina dihancurkan, mereka berpikir itu hanya akan menyelesaikan konflik kecil di Timur Tengah. Namun, radiasi yang tertinggal malah mencemari wilayah sekitarnya, dan keturunannya kini menderita," Dr. Reza menambahkan dengan nada getir.

Fatima menarik napas dalam-dalam, mengenang catatan sejarah yang dipelajarinya. "Seratus tahun yang lalu, Amerika dan sekutunya menghancurkan Palestina, mengabaikan hak manusia, dan berpikir mereka telah menyelesaikan masalah. Namun ternyata, keputusan itu hanya menciptakan kekacauan yang lebih besar dan memperburuk keadaan."

Narasi:

Seratus tahun setelah tragedi itu, dunia bukan lagi tempat yang aman. Hanya beberapa negara besar yang tersisa, menguasai teknologi dan militer yang tak tertandingi. Namun, rakyat dunia membayar mahal. Ketidakseimbangan lingkungan, ekonomi, dan sosial menjalar dari satu negara ke negara lain, meluluhlantakkan kemanusiaan yang mulai tak memiliki tujuan bersama.

Perang kecil terjadi di mana-mana, bukan lagi tentang ideologi, tapi tentang air, udara bersih, dan tanah yang tak terkontaminasi. Negara-negara kecil yang dahulu menjadi bagian dari Rusia dan China kini berusaha bertahan dengan sisa sumber daya yang mereka miliki. Rakyat yang hidup di bawah bayang-bayang radiasi Palestina yang tak kunjung hilang hidup dalam ketakutan akan penyakit dan degradasi genetik.

Dialog dan Narasi Lanjutan:

Di ruang rapat, Fatima menatap keluar jendela, melihat langit yang mulai keabu-abuan akibat polusi. "Mungkin seratus tahun yang lalu, mereka berpikir bahwa kekuatan mereka akan abadi. Tapi kekuatan tanpa tanggung jawab selalu berujung pada kehancuran."

Dr. Perkins menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang letih. "Setiap keputusan yang mereka buat, setiap langkah yang mereka ambil tanpa mempertimbangkan dampaknya... semua itu adalah langkah menuju kehancuran. Mereka lupa, dunia ini punya hukum alamnya sendiri, yang menuntut keseimbangan. Dan kini, kita semua dipaksa membayar harganya."

Di layar, angka populasi dunia menunjukkan penurunan yang drastis. "Butterfly effect yang sebenarnya," gumam Dr. Reza lirih.

Bab 2: Dampak ke Barat

Latar: Di sebuah pusat penelitian sosiopolitik di Eropa, seorang jurnalis investigatif, Maria Weber, tengah berbicara dengan Robert Dean, seorang analis ekonomi dari London yang mempelajari dampak keputusan nuklir seratus tahun yang lalu. Maria mempersiapkan artikel khususnya tentang pengaruh keputusan masa lalu terhadap Barat di era modern.

Dialog dan Narasi:

Maria mengamati Robert yang menatap layar hologram dengan data-data keuangan yang tampak tak terkendali. Nilai mata uang, rasio pengangguran, dan tingkat ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah terus meningkat. Di layar, garis-garis grafik menunjuk ke bawah, mencerminkan penurunan stabilitas ekonomi.

"Aku masih tak percaya bahwa keputusannya dulu akan menciptakan malapetaka sebesar ini, bahkan bagi kita di Barat," ujar Maria dengan nada suara bergetar.

Robert mengangguk dengan sorot mata muram. "Pada awalnya, Barat merasa telah memenangkan permainan geopolitik. Palestina hilang, dan Timur Tengah tak punya lagi kekuatan yang bisa menandingi kepentingan mereka. Tapi kemenangan itu cuma bertahan beberapa dekade. Setelahnya, Barat sendiri yang kehabisan sumber daya dan ditinggalkan oleh aliansi-aliansi yang runtuh."

Maria terdiam sejenak, mencoba memahami dampaknya secara mendalam. "Jadi… ini lebih dari sekadar kehancuran fisik Timur Tengah. Ketidakseimbangan itu ternyata memengaruhi kita juga di sini?"

"Benar," jawab Robert sambil menunjuk grafik penurunan ekonomi yang memanjang hampir seratus tahun. "Tanpa saingan kuat di Timur, Amerika Serikat dan sekutunya terlalu percaya diri, mendominasi ekonomi global tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Mereka menguras bahan bakar fosil, mencemari lingkungan, dan melupakan bagaimana memperkuat ketahanan ekonomi lokal. Kini, kita mengalami inflasi dan krisis energi yang memukul semua lapisan masyarakat."

Narasi:

Eropa dan Amerika Serikat kini menjadi bayang-bayang dari kejayaan mereka yang dulu. Dengan runtuhnya perekonomian Timur, ketergantungan mereka pada monopoli sumber daya justru menciptakan situasi yang tak mereka duga. Negara-negara Barat saling berebut sumber daya alam yang tersisa, mengakibatkan ketidakstabilan sosial dan kerusuhan yang meluas. Teknologi tinggi memang telah maju, namun terbatas hanya pada kalangan elit, sementara mayoritas penduduk terjebak dalam kemiskinan.

Efek psikologis dari ketidakamanan ini semakin jelas di masyarakat. Rasa percaya terhadap pemerintah semakin terkikis, sementara ketidakpuasan terhadap kelas elit meningkat tajam. Konflik-konflik dalam negeri pun semakin kerap terjadi, membawa Barat ke dalam pusaran ketidakpastian yang hampir tak teratasi.

Dialog dan Narasi Lanjutan:

Maria menatap Robert dengan pandangan ingin tahu. "Bagaimana dengan kehidupan sosial? Rakyat Amerika dan Eropa dulu dikenal tangguh. Tapi sekarang… rasanya ada sesuatu yang hilang."

Robert terdiam, mencoba mencari kata yang tepat. "Semangat masyarakat untuk bersatu perlahan pudar. Warga merasa diabaikan, diperintah oleh elite yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Setelah Palestina hancur, solidaritas Barat juga mulai terkikis. Orang-orang merasa hidup di dunia yang tak ada arah, tak ada nilai kemanusiaan yang benar-benar nyata."

Maria menundukkan kepalanya, memahami bahwa dampak keputusan itu jauh lebih besar dari sekadar geopolitik. Barat, yang dulu digdaya, kini berada di titik nadir, menghadapi ancaman kehancuran dari dalam akibat keserakahan dan hilangnya rasa tanggung jawab.

Narasi Akhir Bab:

Seratus tahun telah berlalu sejak Barat mengklaim "kemenangan" mereka. Kini, mereka hanya menyaksikan keruntuhan internal yang tak terhindarkan, terjebak dalam siklus ketidakstabilan yang mereka ciptakan sendiri. Ironisnya, keputusan untuk menghancurkan sebuah negara kecil di Timur Tengah telah menciptakan kehancuran yang lebih besar di jantung peradaban mereka sendiri, menciptakan sebuah ironi sejarah yang tak akan pernah terlupakan.

Bab 3: Kejatuhan Sang Penguasa

Latar: Beberapa dekade setelah peristiwa penghancuran Palestina, seorang sejarawan muda bernama Amelia Rivers sedang melakukan wawancara dengan Jack Miller, seorang veteran politik dan mantan anggota intelijen yang hidup semasa era Presiden Trump. Amelia hendak menyusun buku tentang dampak keputusan-keputusan besar di masa kepemimpinan Trump, termasuk serangan nuklirnya yang paling kontroversial.

Dialog dan Narasi:

Amelia menatap pria tua di depannya, melihat garis-garis kelelahan dan bekas luka di wajah Jack yang tampak begitu nyata. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Presiden Trump setelah dia meluncurkan serangan itu? Apakah ada penyesalan atau tekanan dari orang-orang di sekitarnya?”

Jack menghela napas dalam-dalam. “Trump adalah orang yang keras kepala. Ia selalu percaya bahwa tindakannya benar, bahkan ketika banyak dari kami memperingatkannya tentang dampak yang bisa menghancurkan dunia. Ketika keputusan nuklir itu diambil, ia yakin ia sedang mengamankan Amerika, tetapi nyatanya, ia membuka pintu menuju kehancuran yang tak terbayangkan.”

Amelia memiringkan kepala, penasaran. "Bagaimana reaksinya setelahnya? Apakah dia pernah menyadari kesalahannya?”

“Awalnya, tidak sama sekali,” jawab Jack dengan suara lirih. “Dia bahkan menyebut serangan itu sebagai ‘langkah patriotik yang berani’. Bagi Trump, itu adalah kemenangan melawan ‘teroris’ dan ancaman Timur Tengah. Namun, saat dampak radiasi mulai menyebar dan Israel, sekutunya, mulai merasakan tekanan lingkungan dan politik, barulah Trump mulai merasa tertekan oleh konsekuensinya.”

Narasi:

Di tahun-tahun terakhir masa kepemimpinannya, Trump menghadapi protes besar-besaran di Amerika Serikat. Rakyat yang dulu mendukungnya mulai kehilangan kepercayaan, melihat bahwa keputusan tersebut justru membuat Amerika lebih rentan daripada sebelumnya. Ekonomi mulai terguncang karena negara-negara Timur yang dulunya menjadi pasar besar Amerika kini tidak lagi stabil, dan ketidakpuasan rakyat memuncak ketika dampak lingkungan dari serangan nuklir mulai mencapai wilayah Amerika.

Setelah pensiun, Trump menjalani kehidupan dalam isolasi. Ia diasingkan secara tidak resmi dari partai dan politik arus utama. Para mantan sekutunya menjauhinya, menyalahkan dirinya atas kesalahan perhitungan strategis yang mengorbankan hubungan internasional dan menjerumuskan Amerika dalam ketidakstabilan yang berkepanjangan.

Dialog dan Narasi Lanjutan:

Amelia menatap Jack dengan raut wajah penuh simpati. "Jadi, apa yang terjadi pada Trump di akhir hidupnya?"

Jack tersenyum miris, matanya menerawang ke masa lalu. “Ia meninggal dalam kesepian. Di tahun-tahun terakhirnya, Trump menyaksikan negara yang dia cintai mengalami keruntuhan ekonomi dan sosial. Generasi muda tak bisa lagi hidup dengan idealisme patriotik seperti dulu. Mereka menyalahkan generasinya atas kondisi yang mereka alami.”

Amelia mencatat dengan seksama, terkejut dengan akhir hidup yang begitu tragis bagi sosok yang pernah begitu berkuasa. “Dia tak pernah meminta maaf?”

Jack menggelengkan kepala. “Tidak secara resmi. Bagi Trump, menyesali keputusan itu berarti mengakui bahwa dirinya salah. Ia meninggalkan dunia dengan keyakinan bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk Amerika. Namun, Amerika yang ia tinggalkan justru adalah negara yang terpecah-belah, ekonomi yang hancur, dan generasi muda yang kehilangan kepercayaan pada masa depan.”

Narasi Akhir Bab:

Kisah tentang Donald Trump dan serangan nuklir yang ia perintahkan menjadi babak kelam dalam sejarah Amerika Serikat. Keputusan yang awalnya diharapkan menjadi pengamanan bagi negara justru membuka luka mendalam yang tak pernah pulih. Kematian Trump menjadi simbol dari era penuh kebencian dan perpecahan, sebuah peringatan tentang konsekuensi dari kekuasaan yang dijalankan tanpa kebijaksanaan dan kemanusiaan.

Serangan nuklir ke Palestina menjadi keputusan yang menghancurkan, bukan hanya bagi Timur Tengah, tetapi juga bagi Amerika Serikat sendiri. Sementara jasad Trump dikubur dengan pengawalan kecil, namanya terus menjadi perdebatan dalam sejarah Amerika, meninggalkan warisan tentang bahaya dari ambisi yang tak terkendali.