CERITA FIKSI: KETIKA AGAMA KRISTEN PROTESTAN DIANUT MASYARAKAT SELURUH DUNIA

 Bab 1: Kota-Kota Taat

Di kota besar yang tak pernah tidur, suasana selalu sibuk dan tenang dalam satu waktu. Jam terus berdetak, sesuai dengan aturan baku masyarakat yang tak mengenal libur dari produktivitas dan moralitas yang diatur ketat.

Hansen memandang bangunan di seberang jalan. Kaca-kaca pencakar langit memantulkan matahari pagi, dan hiruk-pikuk jalanan di bawah tampak sempurna: semua orang berjalan dalam irama yang sama, mengenakan pakaian kerja rapi, dengan senyum sopan yang tak pernah pudar.

"Kerja keras adalah panggilan," Hansen mendesah sambil tersenyum kepada dirinya sendiri. "Sebagaimana Tuhan telah memerintahkannya dalam Alkitab. Dan hari ini, kita akan mewujudkannya.”

Dia bergegas menuju gedung perkantoran yang tampak steril dan sangat tertata, sesuai dengan nilai yang dipegang setiap orang: etos kerja dan kedisiplinan, dua hal yang tak terpisahkan. Di dunia ini, kepercayaan pada gereja terpusat bukan pada sakramen atau dogma, tetapi pada ajaran etika yang dimaknai secara individual dan kolektif. Gereja Protestan memiliki peran sebagai penyemangat, bukan sebagai pengontrol kehidupan pribadi.

Di ruang meeting, Hansen bertemu dengan rekannya, Sarah, yang menyambutnya dengan senyum kecil.

“Hansen, tahukah kamu? Kemarin malam saya mendiskusikan hal menarik dengan pendeta di gereja,” ujar Sarah sambil menyodorkan secangkir kopi hangat.

“Benarkah? Apa yang beliau sampaikan?” Hansen bertanya sambil mengambil cangkir kopi.

“Bahwa tidak ada sukses tanpa kerja keras dan niat baik. Bahwa kita terlahir dengan kewajiban untuk menciptakan dunia ini lebih baik dari sebelumnya. Tidak hanya demi diri kita, tetapi demi seluruh umat manusia yang menjadi satu di bawah Tuhan,” ujar Sarah penuh keyakinan.

Hansen mengangguk perlahan. "Seolah kita adalah seniman yang bertugas memahat dunia ini."

Mereka duduk di kursi masing-masing, berdiskusi tentang proyek sosial yang sedang dikerjakan perusahaan mereka. Di kota itu, semua bisnis besar dan kecil berdiri untuk mendukung kebutuhan bersama, tanpa kecemburuan atau persaingan yang berlebihan. Namun, semua ini juga membawa beban tanggung jawab yang besar pada setiap orang. Siapa yang gagal, dinilai belum cukup berdedikasi.

Bab 2: Di Balik Penjara Suci

Setiap minggu, komunitas dari tiap kota berkumpul di gereja, bukan untuk berdoa dalam kerumunan besar, tapi untuk mendengarkan kisah-kisah perjuangan dan bekerja sama merencanakan proyek sosial untuk minggu berikutnya. Di atas podium, Pendeta Albert, seorang pria paruh baya dengan suara berat dan tegas, berbicara dengan penuh semangat.

“Ketahuilah, saudara-saudaraku, bahwa Tuhan senantiasa menyertai mereka yang bekerja dengan ketulusan. Dunia ini bukan untuk kita miliki, tetapi untuk kita jaga dan perbaiki. Apakah kita sudah melakukan tugas kita dengan baik minggu ini?” tanyanya pada jemaat yang duduk rapi dalam barisan kursi kayu.

"Ya, Pendeta Albert!" jawab mereka dengan satu suara.

Namun, di sudut ruangan, seorang pria berusia dua puluhan, bernama David, duduk dengan gelisah. Di dalam dirinya, ada kebingungan dan rasa haus akan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Sebuah pertanyaan yang sudah lama berputar di kepalanya: Apakah ini semua benar? Apakah tidak ada tujuan lain dalam hidup selain bekerja dan memperbaiki dunia dalam batas yang telah digariskan ini?

Seusai pertemuan, David mendekati sahabatnya, Elisa, yang merupakan wanita yang dikenal kritis dan punya pemikiran berbeda.

“Elisa,” kata David setengah berbisik, “Apakah menurutmu semua ini tidak terlalu kaku? Bukankah seharusnya kita punya pilihan untuk… ya, menjalani hidup dengan kebebasan?”

Elisa terdiam sejenak, menatap mata David dengan tatapan penuh pengertian. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi bukankah kebebasan itu membawa kita pada chaos, David? Kita sudah belajar bahwa keteraturan ini menciptakan stabilitas yang membuat kita hidup dalam kedamaian.”

“Tapi, kedamaian seperti ini… bukankah rasanya hampa?” balas David pelan, seolah takut kalau ucapannya akan terdengar oleh orang lain. “Seperti… kita hanya menjalani hidup, tanpa benar-benar merasakannya.”

Bab 3: Pertemuan dengan Masa Lalu

Malam itu, David tak bisa tidur. Ia berbaring, memikirkan dunia yang ia lihat dan kebenaran yang tertanam dalam dirinya. Secara diam-diam, dia mengunjungi sebuah gedung tua yang dikenal sebagai museum sejarah — tempat di mana dia berharap menemukan petunjuk tentang kehidupan yang pernah ada sebelum masa ini, sebelum dunia menyatu di bawah etika yang tak tergoyahkan.

Di salah satu ruangan kecil museum itu, terdapat tulisan besar yang menggambarkan masa lalu yang penuh gejolak. Kata-kata tentang pluralisme, perbedaan agama, budaya yang beraneka ragam, dan kepercayaan pada sesuatu yang di luar batas dunia. Di dinding itu ada peta dunia yang penuh warna dan gambaran dari masa ketika manusia dibedakan oleh agama, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berbeda.

Tiba-tiba, David merasa seperti tersedot oleh magnet kuat yang mengikatnya pada tempat itu. Ia bertanya-tanya, Bagaimana kehidupan seperti itu? Apakah mereka lebih bahagia daripada kita yang saat ini hidup dalam keteraturan?

Seseorang mengetuk bahunya. Seorang penjaga museum yang berusia lanjut berdiri di sampingnya. “Anak muda, kau terlihat sangat tertarik pada sejarah lama ini. Jarang ada yang memikirkannya lagi.”

“Pak, apakah… apakah orang-orang dulu hidup lebih bebas dari kita?” David bertanya dengan penuh antusias.

Penjaga itu tertawa pelan. “Kebebasan yang dulu itu datang dengan harga yang tinggi, Nak. Tidak semua orang siap menerima keberagaman dan keragaman dalam hidup mereka. Tapi itulah yang membuat mereka… ya, lebih manusiawi.”

David merasa matanya terbuka pada sesuatu yang lebih luas, sebuah dunia di mana kedamaian dan kekacauan hidup berdampingan, dunia yang berwarna-warni tapi rentan.

Bab 4: Pertarungan Batin

David kembali ke kehidupan rutinnya, tetapi hatinya sudah berubah. Ia mulai mempertanyakan segalanya—nilai kerja keras, disiplin yang ketat, dan kesederhanaan hidup tanpa pilihan yang bebas. Di setiap rapat perusahaan dan pertemuan gereja, pertanyaan itu semakin kuat. Sementara itu, rekan-rekan kerjanya menganggap David sudah mulai melenceng dari etos yang dianut.

Suatu hari, Sarah mendekatinya dengan tatapan khawatir. "David, semua orang tahu kau adalah orang baik, tapi akhir-akhir ini… kau tampak berbeda. Apa kau sudah lupa apa tujuan kita?”

David menggelengkan kepalanya. “Sarah, bukankah terkadang kita merasa seperti robot yang hanya bergerak sesuai aturan? Apa pernah terpikir olehmu bahwa hidup ini bisa lebih luas?”

Sarah terdiam, tetapi segera menggelengkan kepalanya. “David, kita di sini bukan untuk mencari kenyamanan pribadi, tapi untuk berkontribusi pada dunia.”

Namun, malam itu, David tidak bisa lagi berdiam diri. Dunia ini yang ia kenal penuh kedisiplinan, tak lagi terasa cukup. Ada keinginan untuk mengetahui apa yang ada di balik batas-batas ini, dan mungkin, hidup sebagai manusia yang benar-benar bebas. Ia tahu, keputusannya untuk mencari jawaban ini mungkin akan mengorbankan segalanya, tetapi ia juga tahu, dalam hatinya, bahwa ia harus menemukan jalan sendiri.

Nusantara di Bawah Etika: Indonesia yang Disiplin

Bab 1: Titik Awal dalam Persatuan

Jakarta pagi itu dipenuhi lalu-lalang kendaraan yang bergerak tertib, dengan rambu-rambu lalu lintas yang ditaati tanpa sedikit pun celah pelanggaran. Setiap gedung pemerintah dan swasta, setiap toko, dan bahkan warung-warung kecil, terpampang poster berisi prinsip-prinsip etika yang menjadi fondasi kehidupan seluruh masyarakat Indonesia: kerja keras, kedisiplinan, kejujuran, dan pengabdian pada kebaikan umum.

Di sebuah kafe kecil di kawasan Sudirman, Budi, seorang pemuda pegawai negeri, duduk bersama rekannya, Rani, sambil menikmati secangkir kopi pagi.

“Rani,” Budi memulai percakapan dengan nada serius, “apa kau sadar, betapa bersyukurnya kita hidup di Indonesia yang seperti ini? Kita tidak lagi terpecah oleh pandangan atau ideologi. Semua orang berpijak pada prinsip yang sama.”

Rani mengangguk. “Benar, Bud. Dulu, nenekku sering bercerita betapa banyak perbedaan yang mengakibatkan ketegangan di masa lalu. Sekarang kita punya tujuan yang jelas, dan setiap orang bekerja keras untuk mencapainya tanpa keraguan,” ujarnya sambil tersenyum bangga.

Di negara ini, agama Kristen Protestan dengan landasan etika Weberian telah menyatukan segala lapisan masyarakat Indonesia. Tidak ada lagi perbedaan karena agama atau kepercayaan yang mendalam. Setiap orang menjalani hidup sesuai dengan ajaran universal yang diterapkan secara menyeluruh — bekerja demi kebaikan bersama, dengan landasan bahwa keberhasilan dan kelayakan seseorang di hadapan Tuhan dilihat dari kontribusi dan disiplin dalam hidupnya.

Bab 2: Pekerjaan adalah Ibadah

Di dalam sebuah gedung pemerintah di Bandung, seluruh pegawai terlihat sangat sibuk dan disiplin dalam bekerja. Waktu dan kedisiplinan merupakan hal yang diutamakan; setiap orang tahu bahwa mereka bekerja bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi sebagai bagian dari ibadah mereka.

Anton, seorang pegawai muda yang baru direkrut, berbicara dengan manajernya, Ibu Ningsih, seorang perempuan yang sudah lebih dari dua dekade bekerja di pemerintahan.

“Ibu Ningsih,” kata Anton, sedikit ragu, “apakah bekerja keras seperti ini tidak membuat kita merasa... terbebani? Seakan-akan hidup kita hanya untuk bekerja dan terus bekerja?”

Ibu Ningsih tersenyum lembut. “Anton, bekerja keras adalah jalan kita untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Di negara kita yang sekarang, setiap pekerjaan adalah panggilan suci, bagian dari ibadah. Ketika kita menjalankan tugas kita dengan jujur dan disiplin, kita tidak hanya membantu diri sendiri, tetapi juga masyarakat, dan itu adalah salah satu bentuk pengabdian tertinggi.”

Anton mengangguk, meski hatinya masih menyimpan keraguan. “Namun, bagaimana dengan waktu untuk diri sendiri, Bu? Apakah kita tidak boleh memiliki kebebasan untuk... beristirahat atau melakukan hal lain?”

Ibu Ningsih menjawab dengan sabar, “Istirahat tentu penting, Anton. Tapi, dalam dunia ini, makna istirahat bukan untuk bermalas-malasan. Kita diajarkan untuk memanfaatkan waktu dengan penuh tanggung jawab, dan itulah bagian dari etika kita. Selama bekerja untuk kepentingan bersama, kita menjadi manusia yang layak di hadapan Tuhan.”

Bab 3: Di Desa yang Produktif

Di pelosok Jawa Tengah, desa-desa berkembang dengan pesat. Tidak ada lagi lahan kosong yang terbengkalai, karena setiap sudut desa diubah menjadi lahan produktif. Setiap warga desa bekerja bersama untuk mengelola pertanian dan perkebunan dengan etika yang sama. Keuntungan bukanlah tujuan utama, melainkan kesuksesan kolektif dan pengentasan kemiskinan.

Pak Marno, seorang kepala desa, berbicara dengan para warganya di balai desa.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian semua. Berkat kerja keras dan kedisiplinan, desa kita telah mencapai swasembada pangan,” kata Pak Marno dengan nada penuh bangga.

Seorang warga desa, Joko, menimpali, “Pak, sekarang kita hidup tanpa kekhawatiran, tidak ada lagi perebutan lahan atau konflik. Tapi terkadang, saya merasa rindu dengan kebebasan untuk… sekadar bersantai tanpa merasa harus bekerja setiap waktu.”

Pak Marno tersenyum. “Saya juga memahami perasaanmu, Joko. Namun, kita tahu bahwa kerja keras ini adalah bagian dari iman kita. Kesenangan datang saat kita melihat hasilnya, saat kita tahu bahwa kita berkontribusi pada kemakmuran bersama. Itulah kebahagiaan sejati kita.”

Para warga mengangguk, menerima nilai-nilai itu sebagai kebenaran. Hidup di desa kini memang penuh dengan produktivitas dan harmoni, meskipun waktu untuk bersantai dan merenung seakan sudah menjadi kenangan masa lalu.

Bab 4: Pergolakan di Hati

Sementara seluruh Indonesia menikmati kehidupan yang tertata dengan sangat rapi, beberapa orang mulai mempertanyakan konsep ini. Apakah hidup hanya untuk bekerja demi kebaikan kolektif? Beberapa pemuda di kota, seperti Randi, mulai berbicara secara diam-diam di antara teman-temannya.

“Kalian sadar, kan? Tidak ada ruang bagi kita untuk bereksplorasi atau mencoba hal baru. Hidup kita sudah terencana, dari lahir hingga mati,” kata Randi pada teman-temannya di sebuah kedai kopi.

Salah satu temannya, Leni, menatap Randi dengan cemas. “Kau tak takut bicara seperti itu? Banyak orang melihat pandanganmu sebagai sikap anti-etika.”

Randi mendesah. “Ya, aku tahu risikonya. Tapi tidakkah kalian merasa kita kehilangan sisi manusiawi kita? Dulu, di negara ini, ada berbagai budaya, ada berbagai kepercayaan yang membuat hidup lebih berwarna. Kita bukanlah robot yang hanya bergerak mengikuti rutinitas tanpa pilihan.”

Teman-temannya terdiam, dan beberapa dari mereka tampak mulai memahami apa yang Randi maksudkan.

Bab 5: Perubahan yang Mulai Terlihat

Di dalam gereja, Pendeta Aryo, yang sudah lama mendalami etika Kristen, mulai mendengar keluhan dari beberapa jemaatnya. Banyak dari mereka, terutama generasi muda, yang merasa hidup mereka terlalu diatur, bahkan meski aturan itu berdasarkan prinsip moral yang luhur.

Pendeta Aryo menatap jemaatnya, yang duduk dengan ekspresi ragu.

“Saya mendengar suara-suara yang mempertanyakan nilai-nilai kita,” ujarnya dengan suara lembut. “Dan saya menghargai kalian yang jujur mengungkapkan itu. Memang, hidup di bawah etika yang teratur ini memberi kita kestabilan. Tapi ingatlah, anak-anak, Tuhan menciptakan kita dengan akal untuk berpikir dan jiwa untuk bertanya. Apa pun yang ada di dalam hati kalian, jangan ragu untuk berdiskusi. Tugas kita adalah memahami, bukan hanya menjalani.”

Setelah ibadah selesai, Randi mendekati Pendeta Aryo.

“Pendeta, saya ingin tahu,” katanya. “Apakah menurut Anda, kita ini hanya hidup sesuai dengan aturan, atau apakah kita bisa menjadi lebih dari sekadar pengikut yang taat?”

Pendeta Aryo tersenyum. “Randi, pertanyaan seperti itu penting. Kehidupan ini tidak hanya tentang aturan, tapi juga tentang pemahaman akan arti kehidupan itu sendiri. Mungkin suatu hari, kita perlu membuka ruang baru dalam hidup kita. Ruang yang memungkinkan kita untuk tidak hanya taat, tetapi juga mencari makna yang lebih dalam.”

Dunia Tanpa Celah: Di Bawah Bayang Etika

Bab 1: Suara dari Timur

Di kantor sebuah organisasi internasional di Jenewa, para diplomat dari seluruh dunia berkumpul dalam sidang istimewa. Mereka berkumpul untuk mengevaluasi penerapan global dari etika Protestan, yang sekarang menjadi prinsip universal di setiap negara, termasuk negara-negara berkembang. Berbagai delegasi membahas dampaknya pada sosial-politik, ekonomi makro, dan pemberantasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Di tengah-tengah rapat, diplomat dari Indonesia, seorang pria muda bernama Yusuf, berdiri dan membuka suara.

"Teman-teman sekalian," katanya, mengawali pidato dengan suara tegas namun lembut, "etika Protestan telah mengubah cara kita memandang hidup, terutama di negara-negara berkembang. Namun, apa yang terjadi bukan sekadar perubahan moral, melainkan juga sistem sosial-politik yang lebih stabil dan transparan. Sistem politik kami kini terfokus pada kejujuran dan pelayanan publik yang murni, bukan lagi perebutan kekuasaan.”

Seorang delegasi dari Nigeria, Maria, menanggapi dengan anggukan. "Kami juga merasakan perubahannya, Yusuf. Politisi sekarang dipilih bukan hanya berdasarkan popularitas, tapi karena dedikasi mereka terhadap etika kerja dan kepentingan umum. Di setiap kota, ada komite warga yang memastikan bahwa semua kebijakan benar-benar menguntungkan masyarakat, bukan untuk kepentingan segelintir elit."

Bab 2: Negara yang Transparan

Di Indonesia, penerapan etika Protestan telah membawa angin segar bagi pemerintahan. Di gedung parlemen, sesi diskusi berlangsung hangat namun penuh keterbukaan. Dengan landasan etika yang mendorong setiap orang untuk jujur dan melayani kepentingan publik, praktek korupsi perlahan memudar dari panggung politik.

Malam itu, Rudi, seorang anggota dewan muda, berbicara dengan rekannya, Faisal, di ruang rapat yang sepi setelah jam kerja.

“Faisal, kau tahu, kan? Dulu, kita selalu mendengar cerita tentang korupsi dan uang haram dalam pemerintahan. Tapi sekarang, segala pengeluaran dan penerimaan langsung diawasi oleh masyarakat luas,” kata Rudi dengan nada penuh kagum.

Faisal mengangguk. "Bahkan, keluarga pun tidak bisa lagi menjadi jalan untuk mendapatkan jabatan, Rud. Kini jabatan hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar berkompeten dan jujur. Lihatlah, sistem ini memutus tradisi kolusi dan nepotisme yang sudah mengakar puluhan tahun."

Mereka duduk terdiam sejenak, memikirkan perubahan besar yang mereka alami. Di era ini, para pemimpin diangkat berdasarkan rekam jejak yang transparan, bukan karena hubungan kekeluargaan atau kedekatan politik. Etika yang dianut masyarakat menjamin bahwa tidak ada lagi jalan pintas untuk memperoleh kekuasaan.

Bab 3: Ekonomi yang Stabil dan Berkembang

Penerapan etika Protestan juga membawa dampak positif pada ekonomi makro negara-negara berkembang. Di dalam ruang rapat Bank Sentral Indonesia, sebuah diskusi penting berlangsung tentang pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam beberapa tahun terakhir.

"Sejak semua kebijakan ekonomi dipandu oleh prinsip kejujuran, kita berhasil mengendalikan inflasi dan menurunkan tingkat pengangguran secara signifikan," kata Susi, seorang ekonom senior.

"Benar, Bu," sahut Adi, seorang analis muda. "Investor asing kini sangat percaya pada perekonomian kita. Mereka tahu bahwa tidak ada lagi permainan kotor atau manipulasi data. Angka ekonomi yang kita tampilkan benar-benar transparan dan dapat dipercaya.”

Di luar sana, pasar-pasar lokal di seluruh penjuru Indonesia terlihat hidup dan dinamis. Setiap orang tahu bahwa pekerjaan adalah tanggung jawab mereka, dan semua berkontribusi demi kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi monopoli atau oligarki yang merugikan rakyat kecil. Setiap usaha yang berhasil mendapatkan keuntungan harus membayar pajak secara transparan, yang kemudian dialokasikan secara adil untuk pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan.

Di sebuah kedai kopi di pusat kota, seorang pengusaha kecil bernama Andi berbicara dengan temannya, Bima, tentang peran etika dalam bisnis.

“Bima, lihat bisnis kita sekarang,” kata Andi sambil tersenyum. “Dulu kita harus bayar ‘uang pelicin’ kalau mau izin usaha cepat keluar. Tapi sekarang, segalanya jadi lebih mudah dan bebas pungli. Hasil usaha kita lebih banyak dinikmati oleh kita dan karyawan, bukan pejabat korup.”

Bima mengangguk antusias. "Benar, Mas. Dengan transparansi seperti ini, kita bisa mengembangkan bisnis tanpa takut ditekan oleh pihak yang memanfaatkan jabatan."

Bab 4: Perubahan Sosial di Masyarakat

Di seluruh negeri, kehidupan sosial pun berubah dengan cepat. Masyarakat telah terbiasa hidup dalam nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan kerja keras. Dengan kesadaran kolektif yang tinggi, semua lapisan masyarakat bersatu tanpa pandang bulu.

Di sebuah desa kecil di Sumatera, sebuah musyawarah desa berlangsung di balai desa. Kepala desa, Pak Hasan, berbicara dengan tegas namun ramah.

“Kita semua tahu bahwa sekarang, tidak ada lagi dana desa yang bisa disalahgunakan. Semua bantuan dan dana pembangunan harus dikelola untuk kepentingan bersama,” katanya.

Seorang warga desa, Ibu Siti, mengangguk setuju. “Benar, Pak. Dulu kami tidak tahu ke mana larinya dana desa. Tapi sekarang semua laporan pengeluaran terbuka, dan kita bisa langsung melihat hasilnya dalam pembangunan jalan dan irigasi yang baik. Hidup jadi lebih adil bagi kita semua.”

Tidak hanya itu, masyarakat di berbagai kota besar dan kecil merasakan ikatan yang lebih kuat. Etika ini mendorong kebersamaan dan kolaborasi. Program pengentasan kemiskinan dikelola secara transparan, dan tidak ada lagi ketimpangan sosial yang berlebihan. Di kota-kota, setiap orang tahu bahwa kerja keras dan kejujuran mereka akan menghasilkan manfaat nyata bagi lingkungan mereka.

Bab 5: Dunia yang Bebas dari KKN

Sementara itu, di panggung internasional, penerapan etika Protestan secara universal telah membawa dampak besar bagi pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Negara-negara yang sebelumnya mengalami krisis kepercayaan kini mulai bangkit dan mengubah sistem mereka.

Di konferensi anti-korupsi internasional, Menteri Kehakiman dari Brasil, Carlos, berbicara dengan diplomat-diplomat lainnya.

“Kini kita memiliki sebuah sistem yang menghapus peluang bagi KKN. Setiap pejabat dan pemimpin kini diwajibkan untuk mengungkap semua aset mereka secara terbuka, dan jika ditemukan kecurangan, konsekuensinya sangat berat,” kata Carlos.

Yusuf, delegasi Indonesia yang juga hadir di konferensi tersebut, mengangguk dengan semangat. “Ya, dan dengan etika ini, kita dapat memastikan bahwa para pemimpin dunia dipilih karena integritas mereka, bukan karena kedekatan politik atau kekayaan. Kita telah menciptakan dunia di mana rakyat tidak lagi takut terhadap pemerintah, melainkan saling mendukung demi kemajuan bersama.”

Dampak penerapan etika Protestan ini sangat dirasakan di negara-negara berkembang. Korupsi yang dahulu seperti wabah kini berhasil diberantas secara efektif. Semua orang memiliki tanggung jawab untuk melaporkan setiap indikasi penyalahgunaan jabatan, dan hal ini membuat seluruh sistem menjadi lebih kuat dan tahan terhadap godaan korupsi.