CERITA FIKSI: AIR KEABADIAN DAN EFEK DOMINONYA

Petualangan Tak Terduga

Di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra, seorang remaja bernama Rama dikenal gemar menjelajah hutan. Suatu sore, ia menemukan sebuah gua tersembunyi di balik rerimbunan pohon besar. Didorong oleh rasa penasaran, Rama memutuskan untuk masuk.

Langkah kakinya bergema dalam kegelapan gua. Di dalam, ia menemukan sebuah kolam kecil berisi air yang sangat jernih, berkilauan seperti kristal di bawah cahaya remang yang menembus celah-celah batu. Karena lelah dan haus, Rama menangkupkan tangannya dan meminum air tersebut.

“Rasanya segar sekali,” gumamnya puas. Tanpa sadar, ia telah meminum sesuatu yang akan mengubah takdirnya.


Dialog di Rumah

Beberapa hari setelah kejadian di gua, Rama duduk bersama kakeknya, Pak Wirya, di teras rumah.
“Kakek, ada hal aneh. Luka di tangan saya yang seminggu lalu masih berdarah, sekarang sudah hilang tanpa bekas.”

Pak Wirya tertawa kecil. “Anak muda, kamu terlalu banyak nonton film. Luka kecil memang cepat sembuh.”

“Tapi bukan cuma itu, Kek,” kata Rama serius. “Sejak minum air dari gua itu, saya merasa… berbeda. Tidak lelah, tidak sakit. Bahkan, tubuh saya terasa lebih kuat.”

Kakeknya mengernyit. “Air apa itu? Kamu harus hati-hati, Rama. Alam sering menyimpan rahasia yang tidak boleh diusik manusia.”

Rama hanya mengangguk, meski pikirannya terus dibebani oleh rasa penasaran.


Narasi: Tahun-tahun Awal Keabadian

Seiring berjalannya waktu, Rama menyadari bahwa tubuhnya benar-benar berhenti menua. Ketika teman-teman sebayanya mulai beranjak dewasa, tubuh Rama tetap seperti anak remaja berusia 17 tahun. Sepuluh tahun berlalu, dan ia menyaksikan kakeknya meninggal dunia, sedangkan dirinya tetap tak berubah. Rama mulai mengerti: ia telah mendapatkan kehidupan yang hampir abadi.

Namun, ada harga yang harus dibayar. Setelah 30 tahun, Rama merasa terasing. Teman-teman dan keluarga meninggalkannya, sementara ia terus menjalani hidup tanpa tujuan yang jelas. Ia harus berpindah-pindah kota dan mengganti identitas berkali-kali agar tidak menimbulkan kecurigaan.


Dialog dengan Seorang Teman Lama

Pada tahun 2070, Rama bertemu kembali dengan Farhan, seorang sahabat lama yang kini sudah tua renta. Mereka duduk di sebuah kafe di Jakarta.
“Rama… Kamu? Masih seperti dulu? Bagaimana bisa?” tanya Farhan terkejut.

Rama tersenyum pahit. “Aku minum air dari sebuah gua bertahun-tahun lalu. Aku tidak bisa menua.”

Farhan terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin kedengarannya hebat, tapi apa kamu tidak merasa lelah hidup terus-terusan seperti ini?”

Rama menghela napas panjang. “Kadang, aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. Orang-orang yang aku sayangi pergi satu per satu, sementara aku tetap di sini, sendirian.”


Butterfly Effect: Dunia dalam Bayangan Keabadian

Rama mencoba menjalani hidupnya dengan hati-hati agar keberadaannya tidak menarik perhatian. Namun, suatu hari, seorang ilmuwan tanpa sengaja mengetahui rahasia keabadiannya. Informasi ini bocor dan akhirnya tersebar luas. Dunia menjadi gempar. Orang-orang berbondong-bondong mencari gua misterius itu untuk mendapatkan kehidupan abadi.

Pemerintah di seluruh dunia mulai berlomba-lomba mengirim ekspedisi ke Sumatra, berusaha menemukan gua tersebut. Namun, air abadi yang ditemukan Rama ternyata tak hanya memberikan kehidupan panjang, tapi juga efek samping mengerikan: semakin lama seseorang hidup, semakin besar risiko mereka kehilangan emosi dan kepekaan, menjadi seperti cangkang kosong yang hanya eksis secara fisik.


Tahun 2150: Keabadian yang Menghancurkan

Pada abad ke-22, segelintir orang kaya dan berkuasa berhasil mendapatkan akses ke air abadi. Namun, alih-alih menjadi berkah, kehidupan panjang mereka membawa kekacauan. Para elit tak mau melepaskan kekuasaan, membuat struktur sosial dan politik dunia menjadi stagnan. Generasi muda kehilangan kesempatan untuk berkembang karena dunia dikendalikan oleh orang-orang yang sudah hidup ratusan tahun.

Pemberontakan terjadi di mana-mana. Orang-orang yang tidak bisa mendapatkan air abadi merasa ditindas, sementara mereka yang sudah hidup terlalu lama mulai kehilangan makna hidup. Ekonomi dan peradaban manusia mulai runtuh karena tidak ada lagi motivasi untuk berkembang. Kehidupan abadi ternyata menghilangkan rasa urgensi dan tujuan.


Dialog Terakhir di Gua

Pada tahun 2200, Rama kembali ke gua tempat ia pertama kali meminum air abadi. Kali ini, ia ditemani oleh seorang wanita bernama Mira, seorang ilmuwan yang ingin menghentikan kekacauan yang terjadi akibat keabadian.

“Kita harus menghancurkan sumber air ini,” kata Mira dengan tegas.

Rama menatap kolam jernih itu, teringat pada dirinya yang dulu—seorang remaja polos yang hanya ingin minum karena haus. “Air ini tidak seharusnya ditemukan,” gumamnya. “Kehidupan abadi bukan berkah. Ini kutukan.”

Mira mengangguk. “Jika kita biarkan, dunia akan terus terjebak dalam kekacauan.”

Dengan hati-hati, mereka menutup mulut gua dan menghancurkan sumber airnya. Saat pintu gua tertutup rapat, Rama merasa seolah-olah beban berat terangkat dari pundaknya.


Epilog: Harapan dalam Keterbatasan

Dengan hilangnya sumber air abadi, dunia perlahan berubah. Mereka yang telah meminum air itu mulai merasakan efek tubuh menua kembali. Kehidupan kembali berjalan seperti semula—dengan keterbatasan, kematian, dan kesempatan baru bagi setiap generasi.

Rama, meskipun masih abadi, akhirnya menemukan kedamaian. Ia memutuskan untuk menjalani hidup dengan cara yang berbeda, membantu orang lain memahami bahwa kehidupan adalah tentang makna, bukan tentang lamanya.

Pada suatu hari, ia berkata kepada Mira, “Aku mungkin akan hidup lebih lama dari siapa pun, tapi akhirnya aku paham. Hidup itu berarti justru karena ada akhirnya.”

Dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, Rama tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar