Tahun 2032: Peluncuran ChronoBook di Indonesia
Perangkat mesin waktu ChronoBook akhirnya masuk ke pasar Indonesia. Tanpa ada regulasi ketat dari pemerintah, siapa pun bisa membeli dan menggunakan teknologi canggih itu. Perangkat ini tersedia di e-commerce, toko elektronik, dan bahkan dijual oleh pedagang kaki lima. Harganya terjangkau, hanya setara dengan smartphone kelas menengah. Promosinya pun bombastis: “Ubah kesalahanmu! Kembali ke masa lalu dan perbaiki hidupmu!”
Namun, dengan tingkat literasi teknologi dan kesadaran masyarakat yang masih rendah, ancaman tak terlihat mulai mengintai.
Dialog di Warung Kopi, Jakarta
“Gue nyesel banget kemarin nggak ngejawab pertanyaan dosen dengan bener,” keluh Dimas kepada teman-temannya di warung kopi.
“Ya udah, pakai aja ChronoBook,” saran Rizky sambil menyeruput kopi hitamnya. “Tinggal balik sehari ke belakang, lo bisa jawab ulang tuh.”
Dimas mengeluarkan ChronoBook dari tasnya, perangkat itu terlihat seperti laptop kecil dengan layar sentuh berwarna biru. Ia menekan beberapa tombol dan mengatur waktunya kembali ke satu hari yang lalu. Dalam sekejap, tubuh Dimas bergetar, dan ia menghilang dari tempat duduknya. Tak sampai semenit, Dimas kembali muncul dengan wajah sumringah.
“Berhasil, bro! Gue jawab ulang tadi, dosen langsung ngasih nilai A!”
Rizky tertawa. “Gila, enak banget, ya. Ini mesin kayak cheat dalam hidup!”
Namun, di sudut ruangan, seorang pria tua bernama Pak Joko hanya menggelengkan kepala. “Kalian pikir ini mainan? Hati-hati. Sekali kalian ubah masa lalu, masa depan bisa berantakan.”
Efek Jangka Pendek: Kekacauan Waktu di Masyarakat
Tidak lama setelah ChronoBook dipasarkan, masyarakat mulai menggunakannya tanpa kendali. Pelajar yang gagal ujian kembali ke masa lalu untuk memperbaiki nilai mereka. Pedagang yang mengalami kerugian menggunakan mesin itu untuk menghindari transaksi yang merugikan. Bahkan, pasangan suami-istri menggunakan ChronoBook untuk mencegah pertengkaran atau kebohongan yang pernah terjadi.
Namun, semakin banyak orang mengubah masa lalu, semakin kacau masa depan. Transaksi bisnis yang seharusnya terjadi tiba-tiba lenyap dari catatan. Kesepakatan penting yang sudah diambil hilang tanpa jejak. Orang-orang mulai mengalami kebingungan karena peristiwa yang mereka ingat tidak lagi sama dengan realitas di sekitar mereka.
Dialog di Kantor Pemerintah, 2035
Di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, para pejabat bingung mencari solusi. Menteri Kominfo, Ibu Ratna, terlihat frustrasi sambil membaca laporan.
“Ini sudah tidak bisa dibiarkan,” katanya kepada timnya. “Setiap orang mengubah waktu sesuka hati. Bisnis kacau, catatan pemerintah tidak konsisten, dan bahkan ada orang yang kembali ke masa lalu untuk menghindari pernikahan mereka!”
Seorang pejabat lain menambahkan, “Kami bahkan tidak bisa melacak siapa yang melakukan perubahan. Semua orang punya ChronoBook. Kita harus segera bikin regulasi.”
Ratna menghela napas. “Terlambat. Kacaunya sudah di luar kendali.”
Narasi: Efek Domino yang Tidak Terkendali
Tahun demi tahun, kekacauan semakin memuncak. Para politisi menggunakan ChronoBook untuk memutar ulang kampanye dan memperbaiki kesalahan yang merugikan mereka. Pejabat korup menghapus bukti kejahatan mereka di masa lalu. Orang-orang yang meninggal dalam kecelakaan atau bencana tiba-tiba kembali hidup, tetapi dengan memori yang tidak sinkron dengan realitas yang ada.
Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap peristiwa sejarah. Pilihan-pilihan politik, keputusan bisnis, dan bahkan hubungan pribadi menjadi tidak bisa dipercaya karena bisa saja diubah kapan saja. Institusi-institusi mulai runtuh, karena semua catatan dan dokumen menjadi tidak relevan dalam dunia yang terus-menerus berubah.
Dialog di Bandung, Tahun 2045
Di sebuah kamar kos sederhana, seorang pemuda bernama Rian berbicara dengan temannya, Siska. Wajah Rian terlihat penuh kecemasan.
“Siska, gue nyoba balikin waktu buat ngehindarin kecelakaan adik gue kemarin. Tapi malah jadi kacau. Sekarang dia nggak pernah lahir…”
Siska menatapnya dengan prihatin. “Gue udah bilang, Ri. Ini nggak main-main. Lo pikir lo bisa ngeperbaiki segalanya, tapi ternyata ada harga yang harus dibayar.”
“Terus gue harus gimana? Gue nggak bisa hidup dengan rasa bersalah ini.”
Siska menggenggam tangan Rian. “Kadang-kadang, kita harus terima apa yang udah terjadi. Masa lalu itu nggak seharusnya diubah.”
2050: Kehancuran Sosial dan Ekonomi
Pada tahun 2050, efek penggunaan ChronoBook sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Pemerintah kehilangan kendali penuh atas catatan kependudukan dan administrasi. Identitas orang-orang berubah tanpa henti, dan peristiwa-peristiwa penting tidak bisa lagi dipastikan kebenarannya. Sistem ekonomi runtuh karena setiap transaksi bisa diubah kapan saja.
Masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang hidup dengan “versi” realitas masing-masing. Mereka tidak lagi mempercayai apa pun—bahkan waktu itu sendiri. Sementara itu, beberapa orang memilih untuk terus-menerus menggunakan ChronoBook, terjebak dalam lingkaran tanpa akhir, selalu mencoba memperbaiki sesuatu tetapi malah membuat keadaan semakin buruk.
Dialog Terakhir di Tahun 2080
Di sisa-sisa Jakarta yang kacau, seorang pria tua bernama Pak Joko berbicara dengan seorang anak muda yang kebingungan.
“Pak, kenapa semua jadi kayak gini? Apa nggak ada cara buat balikin semuanya?”
Pak Joko tersenyum lemah. “Semuanya berubah karena kita terlalu serakah. Kita pikir kita bisa memperbaiki kesalahan kita dengan mengubah masa lalu. Tapi kenyataannya, hidup itu nggak sempurna. Kesalahan harus diterima, bukan dihindari.”
Anak muda itu terdiam. “Jadi, kita nggak bisa ngapa-ngapain lagi?”
Pak Joko mengangguk. “Kadang, satu-satunya cara buat maju adalah dengan berhenti berusaha kembali.”
Epilog: Dunia Tanpa Arah
ChronoBook, yang dulunya dianggap sebagai anugerah teknologi, kini menjadi simbol kehancuran. Dunia tidak lagi memiliki arah atau masa depan, karena masa lalu terus-menerus diubah.
Di suatu tempat, di pojok toko elektronik yang berdebu, tersisa satu ChronoBook tua yang tak terpakai. Seorang anak kecil melihatnya, menatap layar birunya dengan rasa penasaran, dan bertanya dalam hati: “Apa yang akan terjadi kalau aku menekan tombol ini?”
Dunia diam, menunggu kemungkinan baru—entah untuk berubah lagi atau akhirnya berhenti berubah selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar