"Dunia di Bawah Tiga Matahari"
Langit Berlin cerah dengan tiga matahari terpajang di bendera dunia: Swastika Jerman, Matahari Terbit Jepang, dan Fasces Italia. Dunia, setelah kemenangan Poros dalam Perang Dunia II, adalah tatanan baru yang menggabungkan teknologi, tirani, dan kontrol ketat atas manusia. Pada tahun 1995, 50 tahun setelah kemenangan itu, wilayah-wilayah dunia terbagi ke dalam tiga kekaisaran besar: Kekaisaran Jerman Raya, Kekaisaran Jepang di Asia dan Pasifik, dan Kekaisaran Romawi Baru di Eropa Selatan dan Afrika Utara.
Di sebuah gedung pemerintahan di pusat Berlin, seorang pejabat tinggi Gestapo bernama Reinhard Müller duduk di balik meja marmernya, menatap peta dunia elektronik yang baru saja diperbarui.
“Asia Tenggara melaporkan peningkatan produksi pangan sebesar 20 persen, Herr Müller,” lapor seorang letnan muda sambil memberi hormat kaku. “Jepang senang.”
“Bagus,” gumam Müller sambil menyalakan sebatang rokok. “Selama mereka senang, kita aman. Tapi pastikan perbatasan tetap dijaga. Aku tidak mau melihat ada pengaruh ideologis dari perlawanan bawah tanah lagi.”
Letnan itu mengangguk dan pergi. Müller menghela napas dalam-dalam. Dunia mungkin terlihat stabil, tapi ada riak-riak kegelisahan di mana-mana.
Sementara itu, di Tokyo, seorang ilmuwan bernama Takashi Nakamura berdiskusi dengan koleganya tentang eksperimen baru yang didanai oleh Kekaisaran.
“Kita benar-benar akan menguji mesin waktu ini?” tanya Nakamura, menatap koleganya dengan mata ragu.
“Kita tidak punya pilihan,” jawab Dr. Hiroshi. “Mereka ingin memastikan bahwa setiap titik dalam sejarah yang berpotensi meruntuhkan kemenangan kita bisa dihapus.”
“Bagaimana kalau eksperimen ini menciptakan dampak tak terduga? Kita bermain dengan waktu,” protes Nakamura.
Hiroshi menatap rekannya dingin. “Lebih baik berurusan dengan ketidakpastian alam semesta daripada menghadapi kemurkaan Kaisar.”
Di Roma, Benito Romano, cucu dari Benito Mussolini, memimpin rapat besar di Colosseum yang telah diubah menjadi markas pemerintahan.
“Kekaisaran Italia harus lebih tegas!” serunya kepada para pejabat tinggi di sekelilingnya. “Jerman terus mendominasi, dan Jepang semakin agresif. Sudah waktunya Afrika menjadi pusat kekuasaan kita.”
Seorang pejabat lain, Marconi, menyela, “Tapi rakyat mulai lelah dengan perang. Gerakan perlawanan di Mesir dan Aljazair semakin kuat.”
Romano menyipitkan mata. “Rakyat tidak butuh kebebasan. Mereka butuh arah. Dan arah itu adalah kejayaan Kekaisaran.”
Butterfly Effect Mulai Terasa
Pada tahun 1995, teknologi telah berkembang pesat berkat eksperimen brutal dan eksploitasi tanpa batas. Namun, dunia ini adalah tempat yang dingin dan penuh ketakutan. Setiap orang diawasi; setiap tindakan dihitung. Gerakan perlawanan kecil-kecilan terjadi di bawah bayang-bayang. Para filsuf dan seniman telah lama dibungkam atau dihilangkan, menggantikan ekspresi bebas dengan propaganda.
Di sebuah apartemen tersembunyi di Paris, yang kini berada di bawah kendali Jerman, seorang pemuda bernama Pierre bersama temannya Aisha merencanakan tindakan perlawanan. Mereka tahu bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan mungkin tidak berarti di dunia sebesar ini, tapi tetap saja, mereka tidak bisa diam.
“Kita harus meretas jaringan kontrol pusat mereka,” bisik Pierre.
“Kita akan mati kalau ketahuan,” jawab Aisha.
Pierre menatapnya. “Dunia ini sudah mati tanpa harapan. Kalau kita tidak mencoba, kita sama saja dengan mesin-mesin mereka.”
Titik Balik di Tahun 2045
Pada tahun 2045, perlawanan dari berbagai belahan dunia mulai terkoordinasi. Di Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Afrika, kolaborasi antar-gerakan terjadi secara diam-diam. Di masa depan yang dipenuhi dengan ketakutan, bahkan satu pesan rahasia bisa menciptakan percikan revolusi.
Di sebuah bunker bawah tanah di Rio de Janeiro, seorang pemimpin perlawanan berbicara kepada pasukan kecilnya.
“Hari ini kita serang pangkalan Jepang di Pasifik. Kalau mereka kehilangan kendali di sana, mereka akan mulai retak.”
Namun, semua upaya ini tidaklah cukup untuk menggulingkan kekuasaan. Kekuatan gabungan Jerman, Italia, dan Jepang terlalu kuat. Tapi butterfly effect terus bergulir: semakin keras kekuasaan menekan, semakin banyak titik-titik pemberontakan muncul.
Pada akhirnya, mungkin kekuasaan ini tidak akan runtuh karena satu pertempuran besar, tapi karena seribu pemberontakan kecil. Dan di balik setiap pemberontakan itu, selalu ada satu keyakinan: bahwa dunia tanpa kebebasan bukanlah dunia yang layak untuk dihuni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar