FIKSI ILMIAH-FANTASI : MESIN PENGHANCUR MANUSIA TOKSIK

Jalan Tol Berujung Maut

Di tengah riuhnya kota Jakarta, tepat di samping jalan tol utama, berdiri megah sebuah bangunan baru dengan gerbang tinggi bertuliskan "Tol Khusus Sepeda Motor." Setelah bertahun-tahun wacana, pemerintah akhirnya meluncurkan jalan tol ini, dengan maksud untuk memperlancar mobilitas bagi pengguna sepeda motor yang terus meningkat setiap tahun. Namun, di balik alasan populis yang diumumkan, terdapat tujuan yang jauh lebih suram.

Program ini, yang diberi nama "Rencana Tol Bervisi", adalah upaya pemerintah untuk "meningkatkan kualitas hidup masyarakat" dengan cara yang tidak terduga: menciptakan kondisi berkendara berbahaya di jalan tol yang dirancang khusus untuk sepeda motor, yang memungkinkan kecepatan tinggi, namun tanpa pagar pembatas atau regulasi kecepatan yang ketat. Namun, di balik segala gemerlap media dan pidato tentang infrastruktur, terdapat kehadiran mesin misterius yang ditempatkan di ujung jalur tol. Sebuah mesin grinder raksasa yang diberi nama "Alat Penjaga Keberlangsungan Negara"—sebuah alat yang tidak hanya mengolah limbah, tetapi juga siap menghancurkan segala yang mendekat tanpa ampun.


Di dalam kantor pusat, Menteri Perekonomian, Pak Darmawan, tengah berbincang dengan Ketua Pelaksana Proyek, Bu Amira, sambil menyeruput kopi.

"Bu Amira, tolong pastikan semua mesin grinder itu siap beroperasi di setiap ujung tol, ya. Kita harus memastikan bahwa proyek ini berjalan dengan baik. Tingkatkan juga promosi untuk jalur ini, berikan iming-iming bahwa tol ini benar-benar menguntungkan rakyat kecil," kata Darmawan dengan nada tenang namun tegas.

Bu Amira mengangguk sambil tersenyum sinis. "Tentu, Pak Darmawan. Saya sudah menyebarkan instruksi ke semua wilayah. Dalam satu atau dua bulan, kita pasti sudah melihat hasilnya. Perubahan ini adalah langkah yang berani, tetapi Anda benar, kita membutuhkan perubahan ekstrem untuk meningkatkan produktivitas."

Bagi pemerintah, proyek ini memiliki dua lapisan tujuan: membebaskan jalanan kota dari pengendara yang ceroboh sekaligus menghemat anggaran negara dari biaya pemakaman. Proyek ini dikampanyekan sebagai "wujud nyata modernisasi," meskipun sebenarnya menjadi perangkap bagi masyarakat. Aliran uang yang biasanya dialokasikan untuk pemakaman kini dapat digunakan untuk sektor pendidikan, riset, dan pemberdayaan SDM berkualitas. Namun, konsep ini hanya dipahami oleh segelintir elit pemerintahan, dan rakyat masih menyambutnya sebagai inovasi transportasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.


Setahun setelah jalan tol motor itu beroperasi, angka kecelakaan meningkat tajam. Setiap hari, puluhan hingga ratusan pengendara motor terluka parah atau kehilangan nyawa. Di ujung tol, mesin grinder berfungsi sebagai "solusi cepat" untuk mengelola jasad para korban kecelakaan yang tak tertolong.

Di pinggiran tol, Hadi, seorang teknisi tol, menyaksikan sebuah sepeda motor tergelincir dan akhirnya meluncur ke arah mesin grinder dengan kecepatan yang mengerikan. Dalam sekejap, tubuh sang pengendara tersedot dan musnah menjadi abu. Hadi bergidik setiap kali melihat kejadian seperti itu, tapi ia tidak memiliki kuasa apa pun. Yang ia tahu, ia dipekerjakan untuk "menjaga" mesin itu tetap berfungsi.

Di suatu malam, Hadi bertanya kepada rekannya, Dimas, yang bertugas di pos yang sama. "Mas Dimas, apa nggak aneh, sih, kalau kita sebenarnya disuruh menjaga mesin yang—well, menghancurkan orang-orang seperti ini? Bukannya ini lebih kejam daripada apa pun yang pernah aku bayangkan?"

Dimas mengangkat bahu, tampak tidak terlalu peduli. "Begini, Hadi. Pemerintah pasti punya alasan. Mereka kan tahu, negara ini butuh SDM yang kuat, yang bisa kerja dan punya masa depan. Kalau mereka yang ceroboh malah mati di jalan, itu kan risiko mereka sendiri. Lagi pula, kita digaji untuk ini. Fokus saja pada pekerjaan kita, bro."


Sementara itu, di rumah, seorang ibu bernama Bu Siti mengusap punggung anaknya yang masih kecil. Ia kehilangan suaminya dalam sebuah kecelakaan di jalan tol motor itu hanya dua bulan yang lalu. Di televisi, tayangan berita menampilkan angka pertumbuhan ekonomi yang meningkat drastis hingga 8%. Penghasilan negara melambung tinggi berkat penghematan biaya pemakaman dan redistribusi anggaran ke sektor yang lebih produktif. Namun, Bu Siti merasa hampa melihat semua itu.

Suatu hari, Bu Siti duduk di ruang tamu, berbicara pada kakaknya, Pak Ahmad, yang juga bekerja sebagai pengamat kebijakan sosial. "Mas Ahmad, apakah benar jalan tol ini untuk kebaikan kita? Apa ini yang namanya pembangunan?"

Pak Ahmad menggelengkan kepala dengan wajah murung. "Tidak, Siti. Ini cara yang sinis untuk mengendalikan penduduk. Pemerintah seolah-olah mendorong kita agar saling sikut, saling berkompetisi dalam cara yang berbahaya. Setiap kecelakaan yang terjadi malah memberi 'keuntungan' buat mereka, karena itu mengurangi populasi yang dianggap 'beban'. Ini bukan pembangunan, ini pengurangan populasi terselubung."

Bu Siti menatap lantai, matanya penuh dengan kesedihan dan kemarahan. "Apakah kita semua hanya angka? Hanya statistik yang bisa diubah demi keuntungan?"


Sepuluh tahun kemudian, jalan tol khusus motor itu terus beroperasi dengan jumlah korban yang terus meningkat, namun ekonomi Indonesia tampak bersinar di atas kertas. Dalam rapat kabinet, Pak Darmawan tersenyum puas sambil membagikan laporan kepada para menteri. "Lihatlah data ini. Pengurangan pengeluaran di sektor pemakaman memungkinkan kita untuk menambah anggaran pendidikan hingga 20% lebih tinggi. Dan angka-angka ini adalah bukti nyata bahwa strategi kita berhasil. Populasi yang lebih tangguh dan disiplin kini mendominasi pasar tenaga kerja."

Namun, di sisi lain, rakyat mulai menyadari bahwa mereka hidup dalam ketakutan setiap kali berkendara di jalan tol motor. Rakyat kecil yang dulunya melihat tol ini sebagai kemajuan kini menyadari bahwa jalan ini hanyalah jebakan. Mereka merasa dimanipulasi, dan kabar soal keberadaan mesin grinder di ujung tol mulai menjadi rahasia umum yang mengusik hati banyak orang.

Di pinggiran kota, Bu Siti yang sekarang memimpin sebuah kelompok sosial, menyusun strategi untuk mengadvokasi perubahan. Mereka berusaha menyuarakan suara rakyat, namun setiap upaya mereka dipadamkan dengan propaganda pemerintah yang semakin kuat.

"Kita harus berhenti mempercayai mereka, saudara-saudara!" seru Bu Siti di hadapan anggota kelompoknya. "Kita harus melawan, karena kita bukan sekadar angka. Kita adalah manusia yang punya hak untuk hidup layak!"

Suara mereka yang makin lantang menarik perhatian banyak orang, memunculkan kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah dibangun di atas pengorbanan yang tidak adil.


Sementara pemerintah berusaha menutupi pemberontakan ini dengan propaganda tentang keberhasilan ekonomi, mereka tidak dapat mengabaikan bahwa rakyat mulai melihat kebenaran di balik program "Tol Bervisi." Perlahan namun pasti, gerakan rakyat kecil tumbuh, membentuk komunitas-komunitas yang mendidik diri sendiri untuk menentang aturan yang merugikan.

Di balik kaca kantornya yang besar, Pak Darmawan menatap jalan tol motor itu. Pandangannya tampak kosong, menyadari bahwa mungkin dalam mengejar ekonomi yang 'sempurna', ia telah menciptakan mimpi buruk bagi rakyatnya.

"Seandainya kita dulu memilih jalan yang berbeda, mungkin ini semua tidak perlu terjadi," gumamnya lirih, menyadari bahwa rakyat yang ia anggap lemah kini tumbuh kuat dalam persatuan.

Di Balik Standar Ganda

Di tengah panasnya protes internasional terhadap kebijakan kontroversial Indonesia, dunia terpecah. Program "Tol Khusus Motor" yang diterapkan Indonesia, lengkap dengan mesin grinder di ujung jalan, menjadi perhatian publik global. Banyak yang mengutuk tindakan ini sebagai pelanggaran HAM yang terang-terangan. Protes keras muncul dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, yang dengan lantang menyerukan bahwa tindakan ini mencederai prinsip kemanusiaan.

Namun, di balik layar, situasinya jauh lebih kompleks. Di negara-negara yang mengkritik itu, ada isu-isu domestik yang membara, terutama terkait gelombang besar imigran dan pengungsi dari Timur Tengah dan Amerika Latin. Di Amerika Serikat, tembok perbatasan yang sempat dibangun oleh Presiden Donald Trump telah dilanggar, dan ribuan imigran gelap berhasil menyeberang. Gelombang migrasi ini memicu kerusuhan, kejahatan meningkat tajam, dan stabilitas sosial pun terancam. Uni Eropa juga menghadapi situasi serupa, dengan pengungsi yang datang dari Timur Tengah dan Afrika terus membanjiri benua itu. Jepang dan Korea Selatan, meskipun lebih tertutup terhadap imigrasi, mulai merasa terancam oleh pergeseran global ini.


Di suatu kantor rahasia di Brussels, seorang perwakilan Uni Eropa, Pierre Dubois, tengah berbicara dengan seorang agen dari Timur Tengah.

"Kami tidak bisa lagi menangani arus masuk imigran ini," kata Pierre dengan nada frustasi. "Para politisi terus menekan kita untuk bertindak lebih manusiawi, tapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di lapangan. Jika ini terus berlangsung, kita akan melihat Eropa runtuh dari dalam."

Agen itu menatap Pierre dengan serius, lalu berkata, "Kami telah mendengar bahwa Indonesia menggunakan metode... yang cukup ekstrem untuk mengendalikan populasi. Itu mungkin bisa menjadi solusi bagi kita, Pierre. Bukankah sudah waktunya kita mempertimbangkan cara yang lebih tegas?"

Pierre terdiam sejenak, namun segera mengangguk. Ia tahu, meski ia menyebut Indonesia kejam, pada kenyataannya mereka mulai tertarik untuk menggunakan metode serupa. Alat yang disebut grinder itu, yang sebelumnya hanya ada dalam cerita fiksi, kini menjadi kenyataan di Indonesia, dan efektivitasnya tidak dapat dipungkiri.


Sementara itu, di sebuah kantor di Tokyo, Jepang, seorang pejabat kementerian dalam negeri berbicara dengan koleganya dari Korea Selatan.

"Lihatlah, Korea Selatan dan Jepang sebenarnya memiliki masalah yang sama. Kita butuh strategi untuk mengendalikan para imigran yang terus meningkat. Mungkin, metode yang digunakan Indonesia itu... bisa kita adaptasi," kata Tetsuo Sato, pejabat Jepang tersebut.

Rekannya dari Korea Selatan, Park Min-jun, tampak berpikir sejenak sebelum menanggapi. "Tetsuo-san, itu adalah langkah ekstrem. Tapi aku setuju bahwa kondisi sekarang menuntut cara yang tidak biasa. Apa menurutmu kita bisa mendapatkan mesin itu... secara rahasia?"

Tetsuo menatap Park dengan mata penuh kesungguhan. "Kita akan coba negosiasi dengan Yuri, pemilik hak paten grinder tersebut. Dia dikenal misterius, namun jika kita berhasil menjalin kerja sama dengannya, kita bisa mengimpor alat itu tanpa mencolok."


Beberapa minggu kemudian, di sebuah gedung pertemuan rahasia di Swiss, seorang pria bertubuh tegap, berambut abu-abu, dan mengenakan jas hitam duduk dengan tenang. Pria itu adalah Yuri, sang pemegang hak paten untuk mesin grinder. Di hadapannya duduk para perwakilan dari berbagai negara—Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan—yang secara diam-diam tertarik dengan alat yang telah ia ciptakan.

"Tuan-tuan, saya mengerti bahwa Anda semua tertarik untuk membeli grinder ini," kata Yuri dengan senyum dingin. "Mesin ini bukan sekadar penghancur benda mati. Ini adalah alat untuk menegakkan tatanan sosial, cara untuk memastikan stabilitas. Indonesia telah membuktikan efektivitasnya."

Seorang perwakilan Amerika Serikat, Mr. Jefferson, menyelipkan tangan di sakunya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Yuri, Anda tahu bahwa kami menghadapi tekanan besar karena isu HAM. Namun, kami benar-benar membutuhkan solusi untuk menangani masalah imigrasi yang semakin tak terkendali. Dengan mesin ini, kami berharap dapat memperbaiki situasi dalam negeri."

Yuri tertawa kecil. "Ironis, bukan? Di depan publik, Anda semua menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM. Namun, kini kalian berdiri di sini, di hadapan saya, meminta produk yang sama. Dunia ini penuh dengan standar ganda."

Perwakilan dari Uni Eropa menatap Yuri dengan tajam. "Kami tahu ini terkesan munafik. Tapi terkadang, untuk menyelamatkan sebuah negara, kami harus mengorbankan beberapa hal yang tidak populer."


Di ruang pertemuan PBB, Amerika Serikat, Israel, dan sekutu-sekutu mereka tengah menyusun resolusi untuk "menginvestigasi" kebijakan Indonesia terkait tol motor. Namun, di balik layar, mereka melobi PBB untuk tidak mengganggu "penegakan peraturan dalam negeri" Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Keputusan ini membuat banyak pihak terheran, namun desakan dari negara-negara adidaya membuat PBB tak berkutik.

Di sela-sela rapat, diplomat Indonesia, Bu Ratna, berbincang dengan diplomat Israel.

"Israel, kalian mendesak PBB untuk mengawasi kami, tetapi di saat yang sama, kalian melindungi kebijakan keras di dalam negeri. Apa kalian tidak merasa bahwa ini adalah standar ganda yang terang-terangan?"

Diplomat Israel itu tersenyum simpul. "Bu Ratna, ini bukan soal standar ganda. Ini soal melindungi stabilitas. Kita semua tahu bahwa terkadang, kita harus menampilkan satu wajah ke publik, dan wajah lainnya di balik layar. Mungkin Indonesia telah memberikan kami inspirasi."


Setahun kemudian, mesin grinder mulai diimplementasikan secara diam-diam di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Hanya sedikit yang tahu keberadaan mesin-mesin ini, namun efektivitasnya dalam "mengelola" imigran ilegal yang tertangkap mulai tampak dalam penurunan jumlah pendatang gelap. Para aktivis HAM mulai mengendus adanya kejanggalan, namun sulit bagi mereka untuk menemukan bukti konkret.

Di Tokyo dan Seoul, teknologi grinder juga mulai diadaptasi, meskipun diimplementasikan dengan lebih tersembunyi dan rapi. Bagi mereka, ini adalah "langkah pragmatis" untuk melindungi kesejahteraan rakyat.

Di Indonesia, Bu Siti, yang kini menjadi tokoh aktivis terkemuka, menonton siaran berita internasional yang membahas metode serupa yang mulai diterapkan di berbagai negara. Ia merasa marah, tetapi juga tidak heran. Dunia tampaknya lebih mementingkan stabilitas di atas nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini mereka gaungkan.

Di dalam rapat internal, Bu Siti berbicara kepada para anggota kelompoknya, "Kita tidak sendirian dalam menghadapi kebijakan yang mengerikan ini. Dunia kini menunjukkan wajah aslinya, bahwa mereka tidak lebih baik dari kita. Yang membedakan adalah mereka memiliki kekuatan untuk menutupi kejahatan mereka di balik propaganda yang manis."

Dalam sebuah pertemuan tertutup, Yuri duduk di ruangan gelap, menatap layar yang menampilkan berita tentang penggunaan mesinnya di seluruh dunia. Ia tersenyum puas, mengetahui bahwa ideologi pragmatisnya telah merasuki berbagai bangsa.

"Inilah dunia yang sejati," gumam Yuri. "Sebuah dunia yang tidak pernah benar-benar mengenal kata 'kemanusiaan' tanpa batas."

Dengan ini, Yuri merasa misinya untuk "menata ulang dunia" dengan visinya yang dingin telah berhasil.

Karma Berdarah di Tanah Air

Lima tahun setelah kebijakan tol motor maut dan mesin grinder diterapkan, Indonesia berada di ambang krisis baru. Ekonomi yang sebelumnya meroket kini jatuh dengan keras. Kasus megakorupsi besar-besaran terungkap; para oligarki, pejabat tinggi, hingga agen asing terlibat dalam skandal penggelapan dana yang menguras APBN hingga ribuan triliun rupiah. Laporan ini mengejutkan rakyat dan mempermalukan pemerintah yang sebelumnya bersikeras bahwa kebijakan keras mereka untuk "mengurangi beban" adalah demi kebaikan bangsa. Ketika ekonomi menukik, kepercayaan rakyat terjun bebas.

Namun, pemerintah tidak menyerah. Dalam usaha untuk membersihkan nama mereka, presiden langsung mengadakan pertemuan rahasia dengan para ahli teknologi di sebuah gedung tua di Jawa Timur.

"Kita butuh transparansi yang tak bisa ditembus," kata presiden dengan suara bergetar, matanya menatap para ilmuwan yang berkumpul. "Saya ingin blockchain. Bukan sistem yang mudah dimanipulasi atau dihancurkan. Ini harus menjadi tembok yang tak tertembus bagi para koruptor."

Para ilmuwan, yang dipimpin oleh seorang pria bernama Pak Rendra, mendengarkan dengan saksama. Mereka tahu tugas ini akan sulit, tapi juga peluang untuk menciptakan sejarah.

"Kami mengerti, Pak Presiden. Blockchain bisa bekerja. Dengan sistem desentralisasi dan transparansi, rakyat bisa memantau setiap transaksi dalam APBN. Tapi kita butuh jaminan keamanan dari para oligarki yang mungkin tak suka melihat transparansi ini," jelas Rendra, menatap tajam ke arah presiden.


Sementara itu, di sebuah rumah sederhana, Bu Siti terkejut saat menerima undangan dari istana. Beberapa tahun sebelumnya, suaminya tewas di tol motor maut, dan pemerintah tak pernah memberikan kompensasi yang memadai. Kini, dengan ajakan kolaborasi ini, Bu Siti tak langsung percaya. Namun, anak-anak dan keluarga mendorongnya untuk datang.

Di istana, presiden menyambut Bu Siti dengan tulus.

"Bu Siti, kami meminta maaf atas segala yang telah terjadi. Kami mengerti bahwa keputusan-keputusan kami di masa lalu mungkin telah menimbulkan banyak penderitaan bagi keluarga Anda. Namun kini, kami ingin meminta bantuan Anda untuk memimpin perjuangan melawan para koruptor ini. Negara sedang terluka parah."

Bu Siti, yang duduk diam, menatap presiden. "Anda meminta bantuan saya? Setelah apa yang kalian lakukan?"

Presiden menunduk. "Kami tahu kami salah, Bu. Kami juga menawarkan kompensasi berupa lahan ganti untung dari Pertamina, sebagai bentuk penebusan. Dan lebih dari itu, kami ingin Ibu memimpin perjuangan ini bersama rakyat. Para koruptor ini... tidak layak menerima belas kasihan kita."

Bu Siti berpikir sejenak, melihat peluang ini sebagai kesempatan untuk menebus luka yang ia rasakan bertahun-tahun. "Baik, Pak Presiden. Tapi ingat, ini bukan sekadar tentang kompensasi. Ini adalah perjuangan untuk masa depan yang lebih baik."


Dalam beberapa bulan, sistem blockchain yang dibangun oleh para ilmuwan di Jawa Timur mulai beroperasi. Setiap aliran dana yang mencurigakan langsung terdeteksi dan ditampilkan dalam data publik yang bisa diakses rakyat. Transparansi ini mengguncang para pejabat korup dan oligarki. Nama-nama besar terungkap, dan rakyat akhirnya mengetahui siapa yang telah merampok negara.

Di tengah gegap-gempita itu, pemerintah mengumumkan langkah drastis. Mereka memberikan izin kepada rakyat untuk menuntut keadilan langsung terhadap para pelaku korupsi yang terbukti. Tak hanya mengungkap, tetapi juga menangkap dan "menghukum" mereka dengan tangan sendiri, sebelum para tersangka dimasukkan ke mesin grinder sebagai hukuman akhir.


Di sebuah kawasan perumahan elit, seorang tokoh oligarki ternama, Pak Surya, sedang dikepung warga yang marah.

"Pak Surya! Apa yang kau lakukan dengan uang kami?" seorang warga berteriak sambil mengacungkan tangannya.

Pak Surya yang panik hanya bisa mundur. "Saya... saya bisa jelaskan... ini hanya salah paham!"

Namun, tak ada lagi yang mau mendengarkan. Para warga mulai merangsek maju, menyeretnya keluar dari mobil mewahnya. Wajahnya mulai babak belur saat mereka memukulinya tanpa ampun.

Di sebuah ruang yang berbeda, Bu Siti menyaksikan apa yang terjadi melalui layar besar yang menampilkan secara langsung penangkapan para pejabat korup. Air matanya menetes, tapi bukan karena belas kasihan. Ini adalah rasa lega yang telah lama ia tunggu-tunggu. Suaminya yang dahulu menjadi korban kebijakan tol maut, kini seolah mendapatkan pembalasan melalui perjuangan rakyat.

Seorang asisten istana menghampirinya, "Bu, presiden ingin tahu apakah Anda akan bergabung dengan rombongan yang menangkap para pelaku korupsi besar di gedung DPR nanti."

Bu Siti menghela napas, lalu menjawab dengan tegas, "Tentu. Ini adalah tanggung jawab saya kepada mereka yang telah pergi tanpa keadilan."


Pada hari yang telah ditentukan, ribuan rakyat berkumpul di depan gedung DPR, meneriakkan nama-nama koruptor yang selama ini bersembunyi di balik jabatan. Ketika para koruptor digiring keluar gedung satu per satu, rakyat tak segan-segan untuk melampiaskan amarah mereka. Para koruptor yang babak belur dilempar ke dalam mesin grinder yang sudah menunggu. Suara jeritan dan erangan memenuhi udara, namun rakyat tetap bersorak penuh kemenangan.

Presiden, yang menyaksikan dari kejauhan, hanya bisa bergumam lirih. "Mungkin ini harga yang harus kami bayar untuk kesalahan kami di masa lalu. Biarlah rakyat sendiri yang menjadi hakim bagi mereka yang telah merusak negara."

Sementara itu, Bu Siti berdiri di barisan paling depan, menyaksikan setiap detik yang terjadi. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa keadilan telah ditegakkan, meski dengan cara yang tak biasa.


Dengan berjalannya waktu, ekonomi Indonesia perlahan pulih, namun dengan bekas luka yang tak mudah hilang. Kebijakan ini menjadi bahan diskusi internasional, bahkan PBB menolak memberikan sanksi terhadap Indonesia karena tekanan dari rakyat yang mendukung penuh kebijakan ini. Meski banyak yang mengutuknya sebagai tindakan barbar, rakyat melihat ini sebagai cara untuk membersihkan negeri dari mereka yang telah mencederai harapan.

Bu Siti menjadi sosok yang disegani, memimpin perjuangan rakyat melawan segala bentuk ketidakadilan yang tersisa. Dan ketika dunia melihat pada Indonesia dengan rasa ngeri dan penasaran, Bu Siti tahu, bahwa ini adalah perjalanan panjang yang telah membayar harga yang mahal untuk sebuah keadilan yang selama ini tak tergapai.

Yuri, sang pencipta mesin grinder yang kini menjadi simbol ketegasan Indonesia, menyaksikan semua ini dari markasnya. Sambil tersenyum dingin, ia berpikir bahwa alat buatannya bukan hanya sekadar mesin penghancur, tapi juga mesin yang mengubah sejarah.

Hukum Besi di Dunia yang Kacau

Dunia Barat dalam kekacauan besar. Negara-negara maju yang selama ini menjadi simbol HAM dan kebebasan menghadapi serangkaian krisis yang tak terduga, dimulai dengan krisis imigrasi besar-besaran yang kini menjadi sumber konflik internal di Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Korea Selatan. Aksi terorisme kian menjadi, dan pemberitaan menjadi suram saat bom nyaris meledak di Vatikan, membahayakan nyawa Paus. Gelombang protes yang menuntut tindakan keras terhadap imigran ilegal semakin menguat. Partai-partai sayap kanan di Eropa dan Amerika tak lagi sekadar memprotes; mereka kini mendesak tindakan radikal dan menuntut penerapan hukum keras yang selama ini dicontohkan oleh negara-negara Asia yang sebelumnya dianggap "kejam" oleh Barat.

Di tengah seruan massa yang mendukung kekerasan, muncul sebuah sosok yang dikenal dengan gaya penyelesaian masalahnya yang tanpa kompromi. Sosok ini bukanlah politisi atau pejuang hak asasi manusia; ia adalah Yuri, penemu mesin grinder yang dipopulerkan di Indonesia untuk “membersihkan” pelanggar berat hukum. Dengan mata tajam dan senyum licik, Yuri menyaksikan dari jauh saat dunia Barat terjebak dalam kemunafikan mereka sendiri. Ketika negara-negara ini diam-diam menghubunginya untuk membeli teknologi grinder, Yuri tahu bahwa dunia telah benar-benar berubah.


Di ruang bawah tanah sebuah gedung pemerintahan di Washington D.C., sekelompok pejabat Amerika berkumpul dalam suasana yang tegang.

"Apakah kalian gila? Mesin itu adalah pelanggaran HAM yang brutal!" salah satu anggota parlemen memprotes dengan keras.

Namun, kepala biro imigrasi yang duduk di meja ujung balas menatapnya dengan tajam. "Kita tidak punya pilihan lagi. Kita kehilangan kendali. Setiap hari ada ribuan imigran ilegal yang masuk. Para penjahat itu tidak hanya membawa kekacauan, tetapi juga narkoba yang telah menelan ribuan nyawa anak-anak bangsa kita. Dan bom di Vatikan hampir saja membuat Paus tewas!"

Para anggota parlemen terdiam, wajah mereka tegang. Krisis ini terlalu parah. Dan yang lebih buruk, rakyat telah mulai mendukung langkah-langkah kekerasan untuk mengatasi masalah tersebut.

Di antara mereka, seorang perwakilan dari CIA berbicara, "Yuri telah memberi tahu kita tentang sistem yang dapat mempercepat penyelesaian ini. Teknologi grinder yang dia jual bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk menyaring siapa saja yang layak berada di tanah ini."

Para hadirin berpandangan satu sama lain. Ini adalah pilihan terakhir. Setiap negara maju, dari Amerika Serikat hingga negara-negara Eropa, bahkan Jepang dan Korea Selatan, diam-diam mulai mengadopsi sistem yang mirip dengan metode grinder, mengabaikan segala bentuk protes atas hak asasi manusia.


Sementara itu, di ruang kerjanya, Yuri menerima panggilan dari salah satu pejabat di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia sudah menduga bahwa organisasi tersebut akan mencium aroma kebijakan keras yang sedang diadopsi negara-negara Barat. Namun, Yuri tahu PBB sendiri tak punya daya, bukan jika seluruh dunia sudah mulai sepakat.

"Yuri," suara di ujung telepon itu terdengar penuh tekanan. "Anda menyadari apa yang Anda lakukan? Ini akan memicu kontroversi besar di seluruh dunia."

Yuri tersenyum sinis. "Mungkin memang saatnya dunia kembali ke realitas. Kalian selama ini berpura-pura bersikap mulia, tapi ketika masalah semakin parah, kalian tahu tidak ada solusi yang lunak. Dunia yang semakin modern hanya menyembunyikan penyakit-penyakit moral di balik kemewahan. Mesin saya hanya akan membuang limbah yang sudah meracuni dunia."

"...Kita tahu ada standar yang harus kita jaga, Yuri," balas suara itu dengan nada getir.

"Apakah Anda tidak sadar? Dunia hanya memakai kata 'standar' sebagai tameng munafik. Sekarang, lihatlah bagaimana mereka semua kembali kepada saya. Ketika segala cara gagal, mereka kembali mencari tangan yang kotor untuk membersihkan kotoran mereka. Itu adalah hukum alam," jawab Yuri dingin.


Dua bulan setelah itu, peraturan baru mulai diterapkan di Amerika Serikat. Di bawah tekanan besar dari rakyat yang marah, para pejabat tak segan-segan mengimplementasikan kebijakan keras terhadap para imigran ilegal dan penjahat narkoba. Kasus kematian akibat penegakan hukum yang brutal meningkat, tapi masyarakat semakin terbiasa, seolah sudah hilang simpati. Eropa Barat dan Jepang tak ketinggalan; mereka mengikuti dengan metode yang sama.

Yuri menyaksikan semua ini dengan kepuasan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa inilah era baru yang ia impikan—sebuah era yang tidak lagi bersandiwara. Ia tak pernah mengharapkan dunia berubah dengan mulus. Dunia ini, dalam pandangannya, sudah lama terkontaminasi oleh kelalaian dan kelicikan manusia sendiri.

Di depan para investor dan pemimpin negara yang datang ke markasnya, Yuri berbicara dengan lantang, "Saya hanya menciptakan alat. Bagaimana kalian menggunakannya, itu adalah urusan kalian. Tetapi satu hal yang pasti, di dunia ini, yang lemah tidak akan bertahan. Jadi, kalian adalah penentu nasibnya."

Wajah-wajah yang ada di hadapannya tampak serius, mungkin bahkan ngeri. Namun, mereka tak berkata apa-apa. Mereka tahu bahwa apa yang Yuri katakan benar. Di dunia yang semakin kacau, moralitas dan belas kasihan menjadi barang mewah yang tak lagi relevan.


CATATAN PENTING!

Karakter Yuri dari Red Alert 2 memiliki beberapa kemiripan dengan karakter Thanos dari Avengers, meskipun mereka berasal dari dunia fiksi yang sangat berbeda dan memiliki motivasi yang sedikit berbeda pula. Berikut adalah beberapa aspek yang mirip antara keduanya:

  1. Pandangan Dunia Sinis dan Irasionalitas pada Manusia:

    • Yuri memiliki pandangan yang sangat sinis tentang manusia. Ia menganggap dunia modern penuh dengan kepalsuan dan kebobrokan moral, dan melihat dirinya sebagai pemurni yang "dibutuhkan" untuk membawa dunia kembali ke keseimbangan dengan cara-cara yang brutal.
    • Thanos dalam Avengers juga memiliki pandangan bahwa alam semesta terlalu penuh dengan makhluk hidup yang serakah dan tak terkontrol. Untuknya, pengurangan separuh populasi adalah satu-satunya jalan keluar untuk mencegah kehancuran total. Keduanya berpikir bahwa hanya metode ekstrem yang akan berhasil.
  2. Keinginan untuk Membawa Keseimbangan dengan Cara Ekstrem:

    • Yuri ingin "membersihkan" dunia dari apa yang ia anggap sebagai "limbah manusia," menggunakan mesin grinder untuk menyingkirkan mereka yang tidak layak menurut versinya. Ia tidak mempermasalahkan pandangan HAM, bahkan justru menikmati bagaimana sistemnya ini akhirnya diikuti oleh banyak negara lain yang dulu menentangnya.
    • Thanos, meskipun caranya berbeda, juga menggunakan metode drastis—membunuh setengah dari populasi. Ia percaya tindakan tersebut adalah satu-satunya jalan untuk menciptakan keseimbangan alam semesta dan memastikan kelangsungan hidup generasi berikutnya.
  3. Rasa Kepemilikan Terhadap Solusi Mereka:

    • Yuri memiliki keyakinan bahwa teknologinya, seperti grinder, adalah solusi sempurna bagi masalah dunia yang sudah tidak bisa lagi ditangani dengan cara-cara lembut. Baginya, apa yang ia ciptakan adalah solusi yang tak hanya efektif tetapi juga final, dan ia yakin ini adalah satu-satunya pilihan.
    • Thanos memiliki pandangan serupa tentang "rencana akhir" - penghancuran separuh kehidupan di alam semesta adalah satu-satunya cara yang benar menurutnya. Ia tak ragu bahwa misinya ini adalah takdirnya dan merasa memiliki hak untuk melaksanakannya, tak peduli bahwa dunia lainnya mungkin tidak setuju.
  4. Status Mereka sebagai 'Penyelamat yang Dipaksakan':

    • Yuri melihat dirinya sebagai sosok yang mengatasi masalah umat manusia dengan cara yang tidak akan dimengerti orang lain. Baginya, apa yang ia lakukan adalah "penyelamatan" bagi yang tersisa, meskipun rakyat hanya melihatnya sebagai pelaku kejahatan.
    • Thanos juga memiliki delusi serupa, bahwa ia adalah penyelamat yang diperlukan untuk memastikan kesejahteraan jangka panjang. Bahkan, ia merasa seperti pahlawan dalam misinya, meskipun ia sadar bahwa banyak yang menganggapnya sebagai penjahat.

Secara keseluruhan, Yuri dan Thanos sama-sama menggambarkan tokoh antagonis dengan kompleksitas motivasi moralitas abu-abu, dimana mereka benar-benar percaya bahwa jalan yang ekstrem adalah solusi untuk masalah besar. Mereka adalah karakter yang mengaburkan batas antara kebenaran dan kegilaan, dengan keduanya merasa terisolasi dari dunia yang tak memahami atau bahkan menentang visi mereka untuk "keseimbangan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar