Bab 1: Dunia Tanpa Nama
Di dunia yang hancur ini, orang-orang tidak lagi memiliki identitas yang pasti. Tanpa negara atau peraturan, manusia hidup dalam komunitas kecil yang terbentuk sementara, hanya untuk berpisah lagi jika ada konflik atau perubahan kepentingan. Leo adalah satu dari sedikit orang yang masih memiliki nama, walaupun nama itu nyaris tidak berfungsi lagi di antara mereka yang hanya peduli pada insting dan keinginan sesaat.
Leo berjalan di antara reruntuhan kota yang dulunya dipenuhi gedung-gedung menjulang. Tanpa kepemimpinan dan peraturan, bangunan-bangunan itu ditinggalkan, hancur oleh ulah manusia yang hanya peduli pada diri sendiri.
“Tidak ada yang peduli lagi tentang sejarah atau masa depan,” gumam Leo sambil menendang batu di jalannya.
Bab 2: Percakapan dengan Karina
Suatu malam, Leo bertemu dengan Karina, seorang wanita yang juga terdampar di tengah dunia yang tak lagi memiliki aturan. Mereka duduk di bawah langit malam, memandang bintang tanpa ada rasa kagum atau inspirasi yang tersisa.
“Menurutmu, untuk apa kita masih hidup?” tanya Karina tanpa ekspresi.
Leo mendesah, “Mungkin karena kita terlalu takut untuk mati. Tak ada yang melarang kita, tapi kita hanya terus hidup begitu saja, tanpa tujuan.”
Karina tertawa kecil, suara tawanya serak. “Kita bebas, Leo, tapi rasanya malah seperti terjebak. Orang-orang hanya melakukan apa yang mereka mau, tapi apa itu benar-benar kebebasan?”
Leo diam sejenak, mengingat hari-harinya yang penuh konflik dengan orang-orang yang tidak bisa dia percayai.
“Kebebasan tanpa batas malah membuat kita tak bisa merasakan apa pun lagi. Apa gunanya melakukan segalanya, jika tak ada nilai dalam apa yang kita lakukan?” jawab Leo lirih.
Bab 3: Insting yang Membunuh
Dalam dunia ini, hubungan antar manusia tak lebih dari transaksi berdasarkan kepentingan pribadi. Teman hari ini bisa menjadi musuh besok, tanpa alasan. Leo menyaksikan banyak kelompok kecil yang terbentuk dan hancur hanya dalam hitungan hari, akibat konflik yang terus menerus.
Di suatu momen, Leo terlibat dalam konflik kecil dengan seorang pria yang menginginkan makanan yang ia dapatkan dari hasil perburuan. Tanpa pikir panjang, mereka saling menyerang, dan dalam beberapa detik pertarungan berakhir dengan Leo yang berdarah-darah dan berhasil mempertahankan makanannya.
Di tengah rasa sakit, Leo sadar, “Di dunia ini, aku hanya bisa bertahan. Tidak ada lagi rasa kemanusiaan, tidak ada rasa bersalah, hanya dorongan untuk menang atau mati.”
Bab 4: Ketiadaan Harapan
Leo bertemu dengan sekelompok orang yang hidup dari hasil menjarah bangunan-bangunan tua. Pemimpin mereka, seorang pria besar bernama Kano, menganggap hidup ini hanya soal siapa yang paling kuat dan paling cepat bertindak tanpa ampun.
“Di dunia ini, kelembutan adalah kelemahan,” kata Kano dengan suara keras, “Yang bertahan adalah yang siap menyerang kapan saja.”
Leo tidak sepenuhnya setuju, tapi di dunia tanpa aturan ini, suara hati tidak ada gunanya. Semua orang berusaha menjadi predator, memburu apa saja yang bisa mereka ambil, dan rasa keadilan sudah lama hilang.
“Apa kau tidak ingin menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?” tanya Leo kepada salah seorang anggota kelompok tersebut.
Orang itu menatapnya dengan tatapan kosong. “Lebih? Lebih dari hidup dan makan? Tak ada yang namanya ‘lebih’ di sini. Semua ini sudah cukup.”
Bab 5: Mimpi Tentang Dunia yang Berbeda
Setelah lelah berjuang tanpa tujuan, Leo mulai bermimpi tentang dunia di mana orang-orang hidup dengan rasa saling peduli. Namun, mimpinya dianggap sebagai kelemahan oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka yang mencoba mengingat kehidupan sebelumnya dianggap tidak realistis dan hanya mengganggu.
“Apa kau pikir kita bisa kembali ke masa lalu?” tanya Karina suatu malam setelah Leo menceritakan mimpinya.
Leo menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi aku percaya kalau kita bisa hidup tanpa saling merusak.”
Karina memandangnya dengan tatapan prihatin. “Kita terlahir di dunia yang hancur, Leo. Tak ada cara untuk memperbaiki sesuatu yang sudah mati.”
Bab 6: Pilihan Terakhir
Suatu hari, Leo menemukan catatan-catatan tua tentang kehidupan yang diatur dengan hukum, tentang negara yang menjaga kesejahteraan rakyat, dan masyarakat yang hidup bersama dalam damai. Catatan itu membuatnya bertanya-tanya apakah dunia ini bisa kembali seperti dulu.
Namun, setelah menyampaikan ide itu kepada orang-orang di sekitarnya, Leo malah dianggap sebagai ancaman. “Tidak ada yang mau diatur, Leo. Semua orang sudah terbiasa hidup bebas tanpa aturan. Apa kau ingin membatasi kebebasan mereka?” tanya Kano dengan nada mengancam.
Leo tahu bahwa keinginannya mungkin tidak bisa diwujudkan. Tapi, di dalam hatinya, ia menyadari bahwa hidup tanpa aturan hanyalah jalan menuju kehancuran yang lambat.
Bab 7: Melangkah ke Arah yang Berbeda
Di akhir cerita, Leo memilih untuk meninggalkan komunitas dan berjuang sendiri, mencari orang-orang lain yang mungkin memiliki impian yang sama. Dia berjalan tanpa tujuan, namun dengan keyakinan bahwa mungkin, suatu hari, dia akan menemukan sisa-sisa peradaban yang masih memiliki nilai, yang masih memiliki aturan, yang masih memegang kemanusiaan.
Di tengah kekacauan dunia yang kehilangan arah, Leo adalah satu-satunya yang memilih untuk bertahan bukan hanya demi hidup, tetapi demi tujuan dan harapan, meski kecil dan samar.
Novel ini akan mengeksplorasi keputusasaan manusia dalam dunia yang tanpa norma dan aturan, serta menggali bagaimana hidup dalam kebebasan mutlak bisa membawa kehancuran alih-alih kebahagiaan. Di akhir cerita, meski tidak ada janji bahwa dunia akan berubah, Leo membawa secercah harapan bahwa mungkin, masih ada kesempatan bagi manusia untuk kembali ke jalur yang bermakna dan beraturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar