FIKSI TRAGEDI: TRADISI SELF HARM SEBAGAI "JALAN KELUAR MASALAH"

 Plot novel ini akan berfokus pada karakter utama, Rafi, seorang pemuda yang hidup di dunia distopia di mana tradisi "ritual pembebasan" — ritual membentur-benturkan kepala sebagai cara melarikan diri dari realitas — telah menjadi solusi ekstrem atas berbagai macam tekanan hidup dan depresi. Sebagai satu dari sedikit yang menolak ritual tersebut, Rafi menyadari bahwa menghindari ritual bukan hanya tentang menjaga dirinya, tetapi tentang mempertahankan kemanusiaan yang semakin hilang di dunia yang kacau.


Bab 1: Dunia yang Datar

“Tidak bisa, Rafi. Kamu tidak bisa terus seperti ini.” Kata-kata Zahra, satu-satunya teman dekat Rafi, berputar di kepalanya.

Di dunia yang semakin sunyi oleh hilangnya orang-orang yang "terbebaskan", Rafi adalah anomali. Dalam masyarakat di mana psikologi dan psikiatri kini dianggap sebagai ilmu usang, orang lebih memilih tradisi yang, meskipun brutal, dianggap "efektif". Rafi memahami kegelapan yang menggerogoti jiwa manusia dalam realitas baru ini, tetapi dia tidak percaya bahwa menyerah adalah jawabannya.

Di tengah malam, dia berjalan melewati gang-gang kota yang tak lagi ramai. Sudut-sudut gelap dipenuhi poster-poster propaganda yang memuja “tradisi baru” ini sebagai sebuah cara menuju kedamaian abadi. Namun bagi Rafi, pemandangan itu adalah tanda kematian yang lambat bagi peradaban manusia.


Bab 2: Dialog di Bawah Langit Malam

“Aku tidak akan melakukannya, Zahra,” Rafi menatap gadis itu dengan pandangan tajam.

Zahra menghela napas panjang, “Rafi, aku tahu ini berat, tapi kamu lihat kan, tak ada lagi tempat bagi kita yang berjuang sendirian.”

“Mereka sudah salah sejak awal, Zahra. Membenturkan kepala seratus kali... itu bukan solusi! Itu hanya tindakan putus asa,” jawab Rafi dengan nada penuh emosi.

Zahra tersenyum pahit, “Dan kamu pikir apa yang akan terjadi padamu? Dunia ini sudah tidak peduli lagi. Mereka lebih memilih cara cepat mengakhiri rasa sakit mereka. Tidak ada yang peduli pada kita lagi.”


Bab 3: Kilas Balik ke Masa Normal

Dalam angan-angannya, Rafi teringat saat dunia masih “normal”. Rafi, yang dulu sempat kuliah di jurusan psikologi, mengingat betapa besar perdebatan yang terjadi kala itu. Ketika gelombang depresi global mulai meningkat tajam dan krisis kesehatan mental tak tertahankan, beberapa orang mulai mengekspresikan keputusasaan mereka dengan cara yang ekstrim. Psikologi dan psikiatri di seluruh dunia berusaha menemukan solusi terbaik, tetapi seiring waktu masyarakat beralih ke cara yang lebih "mudah" — tradisi benturan kepala yang kemudian berkembang menjadi ritual pembebasan.


Bab 4: Kesepian yang Tak Berujung

Rafi menemukan dirinya duduk di atap gedung, melihat ke arah langit malam yang gelap. Di bawah sana, sekelompok orang tengah bersiap untuk ritual mereka. Mereka berbaris dalam lingkaran, menyiapkan diri untuk menjalankan ritual yang kelak akan membawa mereka ke dalam “kedamaian” yang dijanjikan.

"Apa kau benar-benar ingin pergi bersama mereka?" tanya Zahra yang tiba-tiba muncul di sampingnya.

Rafi menggeleng, “Mereka memilih jalan pintas, Zahra. Aku tidak bisa melakukan itu. Bagiku, ada lebih dari sekadar menyerah dan hilang.”


Bab 5: Konfrontasi Akhir

Di akhir cerita, Rafi dan Zahra akhirnya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ritual tersebut berlangsung dari jarak dekat. Rafi hampir terbujuk ketika akhirnya, dengan penuh perjuangan, dia memutuskan untuk melawan arus. Dia menyadari bahwa dunia ini membutuhkan suara yang berani mempertanyakan jalan pintas yang diambil manusia, bahkan di saat semua orang memilih untuk diam dan menyerah.

Dengan narasi yang menggambarkan tekanan batin Rafi dan Zahra serta konflik internal di dalam diri mereka, novel ini akan menggali tema-tema kerapuhan jiwa manusia, perjuangan mempertahankan diri di dunia yang penuh tekanan, dan bagaimana menghadapi keputusasaan tanpa harus menempuh jalan pintas yang merusak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar