FIKSI TRAGEDI: APA JADINYA JIKA SELURUH MANUSIA DI DUNIA CENDERUNG TOKSIK?

 Bab 1: Dunia Tanpa Nama

Di dunia yang hancur ini, orang-orang tidak lagi memiliki identitas yang pasti. Tanpa negara atau peraturan, manusia hidup dalam komunitas kecil yang terbentuk sementara, hanya untuk berpisah lagi jika ada konflik atau perubahan kepentingan. Leo adalah satu dari sedikit orang yang masih memiliki nama, walaupun nama itu nyaris tidak berfungsi lagi di antara mereka yang hanya peduli pada insting dan keinginan sesaat.

Leo berjalan di antara reruntuhan kota yang dulunya dipenuhi gedung-gedung menjulang. Tanpa kepemimpinan dan peraturan, bangunan-bangunan itu ditinggalkan, hancur oleh ulah manusia yang hanya peduli pada diri sendiri.

“Tidak ada yang peduli lagi tentang sejarah atau masa depan,” gumam Leo sambil menendang batu di jalannya.


Bab 2: Percakapan dengan Karina

Suatu malam, Leo bertemu dengan Karina, seorang wanita yang juga terdampar di tengah dunia yang tak lagi memiliki aturan. Mereka duduk di bawah langit malam, memandang bintang tanpa ada rasa kagum atau inspirasi yang tersisa.

“Menurutmu, untuk apa kita masih hidup?” tanya Karina tanpa ekspresi.

Leo mendesah, “Mungkin karena kita terlalu takut untuk mati. Tak ada yang melarang kita, tapi kita hanya terus hidup begitu saja, tanpa tujuan.”

Karina tertawa kecil, suara tawanya serak. “Kita bebas, Leo, tapi rasanya malah seperti terjebak. Orang-orang hanya melakukan apa yang mereka mau, tapi apa itu benar-benar kebebasan?”

Leo diam sejenak, mengingat hari-harinya yang penuh konflik dengan orang-orang yang tidak bisa dia percayai.

“Kebebasan tanpa batas malah membuat kita tak bisa merasakan apa pun lagi. Apa gunanya melakukan segalanya, jika tak ada nilai dalam apa yang kita lakukan?” jawab Leo lirih.


Bab 3: Insting yang Membunuh

Dalam dunia ini, hubungan antar manusia tak lebih dari transaksi berdasarkan kepentingan pribadi. Teman hari ini bisa menjadi musuh besok, tanpa alasan. Leo menyaksikan banyak kelompok kecil yang terbentuk dan hancur hanya dalam hitungan hari, akibat konflik yang terus menerus.

Di suatu momen, Leo terlibat dalam konflik kecil dengan seorang pria yang menginginkan makanan yang ia dapatkan dari hasil perburuan. Tanpa pikir panjang, mereka saling menyerang, dan dalam beberapa detik pertarungan berakhir dengan Leo yang berdarah-darah dan berhasil mempertahankan makanannya.

Di tengah rasa sakit, Leo sadar, “Di dunia ini, aku hanya bisa bertahan. Tidak ada lagi rasa kemanusiaan, tidak ada rasa bersalah, hanya dorongan untuk menang atau mati.”


Bab 4: Ketiadaan Harapan

Leo bertemu dengan sekelompok orang yang hidup dari hasil menjarah bangunan-bangunan tua. Pemimpin mereka, seorang pria besar bernama Kano, menganggap hidup ini hanya soal siapa yang paling kuat dan paling cepat bertindak tanpa ampun.

“Di dunia ini, kelembutan adalah kelemahan,” kata Kano dengan suara keras, “Yang bertahan adalah yang siap menyerang kapan saja.”

Leo tidak sepenuhnya setuju, tapi di dunia tanpa aturan ini, suara hati tidak ada gunanya. Semua orang berusaha menjadi predator, memburu apa saja yang bisa mereka ambil, dan rasa keadilan sudah lama hilang.

“Apa kau tidak ingin menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?” tanya Leo kepada salah seorang anggota kelompok tersebut.

Orang itu menatapnya dengan tatapan kosong. “Lebih? Lebih dari hidup dan makan? Tak ada yang namanya ‘lebih’ di sini. Semua ini sudah cukup.”


Bab 5: Mimpi Tentang Dunia yang Berbeda

Setelah lelah berjuang tanpa tujuan, Leo mulai bermimpi tentang dunia di mana orang-orang hidup dengan rasa saling peduli. Namun, mimpinya dianggap sebagai kelemahan oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka yang mencoba mengingat kehidupan sebelumnya dianggap tidak realistis dan hanya mengganggu.

“Apa kau pikir kita bisa kembali ke masa lalu?” tanya Karina suatu malam setelah Leo menceritakan mimpinya.

Leo menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi aku percaya kalau kita bisa hidup tanpa saling merusak.”

Karina memandangnya dengan tatapan prihatin. “Kita terlahir di dunia yang hancur, Leo. Tak ada cara untuk memperbaiki sesuatu yang sudah mati.”


Bab 6: Pilihan Terakhir

Suatu hari, Leo menemukan catatan-catatan tua tentang kehidupan yang diatur dengan hukum, tentang negara yang menjaga kesejahteraan rakyat, dan masyarakat yang hidup bersama dalam damai. Catatan itu membuatnya bertanya-tanya apakah dunia ini bisa kembali seperti dulu.

Namun, setelah menyampaikan ide itu kepada orang-orang di sekitarnya, Leo malah dianggap sebagai ancaman. “Tidak ada yang mau diatur, Leo. Semua orang sudah terbiasa hidup bebas tanpa aturan. Apa kau ingin membatasi kebebasan mereka?” tanya Kano dengan nada mengancam.

Leo tahu bahwa keinginannya mungkin tidak bisa diwujudkan. Tapi, di dalam hatinya, ia menyadari bahwa hidup tanpa aturan hanyalah jalan menuju kehancuran yang lambat.


Bab 7: Melangkah ke Arah yang Berbeda

Di akhir cerita, Leo memilih untuk meninggalkan komunitas dan berjuang sendiri, mencari orang-orang lain yang mungkin memiliki impian yang sama. Dia berjalan tanpa tujuan, namun dengan keyakinan bahwa mungkin, suatu hari, dia akan menemukan sisa-sisa peradaban yang masih memiliki nilai, yang masih memiliki aturan, yang masih memegang kemanusiaan.

Di tengah kekacauan dunia yang kehilangan arah, Leo adalah satu-satunya yang memilih untuk bertahan bukan hanya demi hidup, tetapi demi tujuan dan harapan, meski kecil dan samar.


Novel ini akan mengeksplorasi keputusasaan manusia dalam dunia yang tanpa norma dan aturan, serta menggali bagaimana hidup dalam kebebasan mutlak bisa membawa kehancuran alih-alih kebahagiaan. Di akhir cerita, meski tidak ada janji bahwa dunia akan berubah, Leo membawa secercah harapan bahwa mungkin, masih ada kesempatan bagi manusia untuk kembali ke jalur yang bermakna dan beraturan.

FIKSI TRAGEDI: TRADISI SELF HARM SEBAGAI "JALAN KELUAR MASALAH"

 Plot novel ini akan berfokus pada karakter utama, Rafi, seorang pemuda yang hidup di dunia distopia di mana tradisi "ritual pembebasan" — ritual membentur-benturkan kepala sebagai cara melarikan diri dari realitas — telah menjadi solusi ekstrem atas berbagai macam tekanan hidup dan depresi. Sebagai satu dari sedikit yang menolak ritual tersebut, Rafi menyadari bahwa menghindari ritual bukan hanya tentang menjaga dirinya, tetapi tentang mempertahankan kemanusiaan yang semakin hilang di dunia yang kacau.


Bab 1: Dunia yang Datar

“Tidak bisa, Rafi. Kamu tidak bisa terus seperti ini.” Kata-kata Zahra, satu-satunya teman dekat Rafi, berputar di kepalanya.

Di dunia yang semakin sunyi oleh hilangnya orang-orang yang "terbebaskan", Rafi adalah anomali. Dalam masyarakat di mana psikologi dan psikiatri kini dianggap sebagai ilmu usang, orang lebih memilih tradisi yang, meskipun brutal, dianggap "efektif". Rafi memahami kegelapan yang menggerogoti jiwa manusia dalam realitas baru ini, tetapi dia tidak percaya bahwa menyerah adalah jawabannya.

Di tengah malam, dia berjalan melewati gang-gang kota yang tak lagi ramai. Sudut-sudut gelap dipenuhi poster-poster propaganda yang memuja “tradisi baru” ini sebagai sebuah cara menuju kedamaian abadi. Namun bagi Rafi, pemandangan itu adalah tanda kematian yang lambat bagi peradaban manusia.


Bab 2: Dialog di Bawah Langit Malam

“Aku tidak akan melakukannya, Zahra,” Rafi menatap gadis itu dengan pandangan tajam.

Zahra menghela napas panjang, “Rafi, aku tahu ini berat, tapi kamu lihat kan, tak ada lagi tempat bagi kita yang berjuang sendirian.”

“Mereka sudah salah sejak awal, Zahra. Membenturkan kepala seratus kali... itu bukan solusi! Itu hanya tindakan putus asa,” jawab Rafi dengan nada penuh emosi.

Zahra tersenyum pahit, “Dan kamu pikir apa yang akan terjadi padamu? Dunia ini sudah tidak peduli lagi. Mereka lebih memilih cara cepat mengakhiri rasa sakit mereka. Tidak ada yang peduli pada kita lagi.”


Bab 3: Kilas Balik ke Masa Normal

Dalam angan-angannya, Rafi teringat saat dunia masih “normal”. Rafi, yang dulu sempat kuliah di jurusan psikologi, mengingat betapa besar perdebatan yang terjadi kala itu. Ketika gelombang depresi global mulai meningkat tajam dan krisis kesehatan mental tak tertahankan, beberapa orang mulai mengekspresikan keputusasaan mereka dengan cara yang ekstrim. Psikologi dan psikiatri di seluruh dunia berusaha menemukan solusi terbaik, tetapi seiring waktu masyarakat beralih ke cara yang lebih "mudah" — tradisi benturan kepala yang kemudian berkembang menjadi ritual pembebasan.


Bab 4: Kesepian yang Tak Berujung

Rafi menemukan dirinya duduk di atap gedung, melihat ke arah langit malam yang gelap. Di bawah sana, sekelompok orang tengah bersiap untuk ritual mereka. Mereka berbaris dalam lingkaran, menyiapkan diri untuk menjalankan ritual yang kelak akan membawa mereka ke dalam “kedamaian” yang dijanjikan.

"Apa kau benar-benar ingin pergi bersama mereka?" tanya Zahra yang tiba-tiba muncul di sampingnya.

Rafi menggeleng, “Mereka memilih jalan pintas, Zahra. Aku tidak bisa melakukan itu. Bagiku, ada lebih dari sekadar menyerah dan hilang.”


Bab 5: Konfrontasi Akhir

Di akhir cerita, Rafi dan Zahra akhirnya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ritual tersebut berlangsung dari jarak dekat. Rafi hampir terbujuk ketika akhirnya, dengan penuh perjuangan, dia memutuskan untuk melawan arus. Dia menyadari bahwa dunia ini membutuhkan suara yang berani mempertanyakan jalan pintas yang diambil manusia, bahkan di saat semua orang memilih untuk diam dan menyerah.

Dengan narasi yang menggambarkan tekanan batin Rafi dan Zahra serta konflik internal di dalam diri mereka, novel ini akan menggali tema-tema kerapuhan jiwa manusia, perjuangan mempertahankan diri di dunia yang penuh tekanan, dan bagaimana menghadapi keputusasaan tanpa harus menempuh jalan pintas yang merusak.

FIKSI UTOPIA: APA JADINYA JIKA SELURUH MANUSIA DI DUNIA TIDAK MEMILIKI SIFAT TOKSIK?

 Bab 1: Fajar Kehidupan Harmonis

Dalam dunia yang tampak sempurna ini, manusia hidup tanpa kebencian, iri hati, atau rasa ingin tahu berlebihan. Setiap individu menghargai privasi satu sama lain, tidak pernah mengumbar informasi yang tidak perlu atau membuat orang lain merasa tak nyaman. Tak ada keriuhan atau gesekan kecil yang sering muncul di kehidupan sehari-hari.

"Hai, Naima! Bagaimana harimu?" tanya Emil dengan senyum hangat saat bertemu tetangganya di taman.

"Baik, terima kasih, Emil. Aku habis pulang dari pertemuan komunitas," jawab Naima dengan sopan. Tidak ada basa-basi berlebihan, tidak ada rasa ingin tahu yang melampaui batas.

Setiap orang berbicara hanya jika mereka benar-benar punya sesuatu yang berarti untuk disampaikan. Mereka tidak menghakimi, tidak menghakimi, dan yang terpenting—mereka mendengarkan. Dunia tanpa karakter toksik dan sifat-sifat yang mengganggu ini terasa tenang, layaknya alunan musik yang lembut.


Bab 2: Tantangan Kehidupan Tanpa Konflik

Seiring berjalannya waktu, ketenangan yang sempurna ini ternyata menimbulkan perasaan kosong dalam diri beberapa individu. Anak-anak tumbuh tanpa cerita-cerita tantangan atau kisah-kisah perjuangan. Hidup berjalan monoton, dan kesempurnaan yang harmonis ini menciptakan sebuah ketiadaan: ketiadaan perbedaan pendapat, ketiadaan pertengkaran, bahkan ketiadaan pertanyaan besar yang dulu memacu perubahan.

"Apa kau pernah merasa… seolah ada yang hilang?" tanya Naima pada Emil saat mereka kembali duduk di taman yang sama.

Emil mengangguk, mencoba merangkai kata-kata untuk perasaannya sendiri. "Kadang-kadang aku merasa kita ini seperti potongan-potongan teka-teki yang sudah tersusun rapi sejak awal. Tak ada hal yang perlu dipecahkan, tak ada yang butuh diperjuangkan."

Naima mengangguk pelan. "Bukankah itu yang kita inginkan selama ini? Dunia yang penuh kedamaian, tanpa konflik?"

Namun, di balik semua kebaikan itu, mereka mulai bertanya-tanya, apakah manusia benar-benar menemukan makna hidup jika semua berjalan begitu sempurna?


Bab 3: Diskusi yang Mengubah Perspektif

Di kota kecil mereka, sekelompok masyarakat mengadakan diskusi. Dalam ruangan yang terang benderang, mereka duduk melingkar, berbicara dengan nada rendah dan penuh hormat. Tidak ada debat panas, hanya dialog yang tenang dan mendalam.

"Apakah kita bisa berkembang tanpa konflik?" tanya seorang pria tua, wajahnya memancarkan kebijaksanaan dari perjalanan panjang hidupnya.

Seorang pemuda di seberangnya menjawab, "Mungkin bukan konflik yang kita perlukan, tapi lebih banyak pertanyaan, lebih banyak rasa ingin tahu yang membangun."

Naima angkat bicara, "Bagaimana jika kita mulai mendorong setiap orang untuk lebih berani mempertanyakan sesuatu? Bukan untuk membuat perpecahan, tetapi untuk memulai percakapan yang lebih mendalam, yang mungkin bisa memberi kita makna."

Mereka semua mengangguk setuju. Diskusi yang biasa-biasa saja itu mulai memunculkan gagasan yang baru—mungkin sudah waktunya untuk tidak hanya menerima, tetapi juga mempertanyakan.


Bab 4: Pencarian Makna dalam Harmoni

Mereka mulai menerapkan gagasan baru di komunitas mereka. Para anggota masyarakat mendorong satu sama lain untuk mengutarakan pendapat dan keinginan mereka dengan lebih berani, tanpa harus merasa khawatir melukai orang lain. Mereka menantang satu sama lain dengan pertanyaan yang tidak nyaman tetapi penuh arti.

"Menurutmu, apa yang bisa kita lakukan untuk membuat hidup lebih berwarna?" tanya Naima pada Emil suatu hari.

Emil berpikir sejenak. "Mungkin dengan mengekspresikan diri kita lebih bebas. Selama ini, kita hanya mengikuti aturan dan norma tanpa benar-benar mencoba memahami jati diri kita."

Perubahan itu perlahan-lahan menghidupkan percakapan baru di komunitas mereka. Orang-orang mulai tertarik pada seni, musik, puisi—mereka menggali perasaan-perasaan yang sebelumnya jarang mereka akui, baik kesedihan, kebahagiaan, maupun keraguan.


Bab 5: Harmoni yang Bertransformasi

Beberapa bulan berlalu, dan masyarakat di kota kecil itu telah berubah. Mereka tidak lagi takut menyuarakan ide-ide yang berbeda atau mempertanyakan tradisi yang ada. Meski tetap menghormati satu sama lain, mereka menemukan arti baru dalam keberagaman perspektif.

"Siapa sangka bahwa keberanian untuk mempertanyakan sesuatu bisa memberi hidup yang lebih berarti?" ujar Naima kepada Emil sambil menatap langit yang cerah.

Emil tersenyum, "Mungkin bukan ketenangan tanpa konflik yang kita butuhkan, tapi keseimbangan antara harmoni dan kebebasan untuk bertanya."

Mereka tak lagi hidup dalam ketenangan yang kaku, melainkan dalam harmoni yang hidup—dunia yang penuh kedamaian, namun juga dipenuhi oleh rasa ingin tahu dan pemahaman mendalam. Dunia ini tidak lagi tanpa keburukan, tetapi setiap individu kini memahami bahwa keburukan atau ketidaksempurnaan adalah elemen penting untuk menemukan arti dari kehidupan itu sendiri.


Epilog: Dunia yang Berkembang

Di kota yang pernah terasa sempurna namun kosong ini, mereka mulai menemukan makna baru. Kebaikan tak lagi berarti penyeragaman. Perbedaan menjadi sumber kekayaan. Mereka belajar bahwa untuk benar-benar hidup, manusia perlu memahami kedalaman rasa dan keindahan perbedaan.

Kini, mereka menciptakan dunia yang jauh lebih hidup—sebuah dunia yang memahami bahwa harmoni bukanlah ketiadaan keburukan, melainkan keberanian untuk menerima, memahami, dan berkembang dari ketidaksempurnaan.

CERITA FIKSI: PERJUANGAN HIDUP ALA MENTALITAS TIMNAS JERMAN

Fahmi memulai hidupnya sebagai seorang anak pemalu yang lebih sering berada di sudut kelas daripada menjadi pusat perhatian. Sejak kecil, dia terbiasa berada di posisi yang kurang diuntungkan. Di taman kanak-kanak, Fahmi merasa sulit untuk mengikuti kegiatan yang membutuhkan kecepatan, kekuatan, dan keterampilan motorik yang baik. Sementara teman-temannya dengan cepat memahami pelajaran atau bermain dengan lincah di taman bermain, Fahmi sering tersandung atau tertinggal di belakang. Dalam kebisuannya, Fahmi merasakan keinginan yang membara untuk tak menyerah, mirip seperti timnas Jerman yang selalu memiliki mental baja di lapangan.

Menginjak bangku sekolah dasar, Fahmi menghadapi berbagai ejekan dan perlakuan tak adil dari teman-temannya. Dengan mentalitas tim Jerman, Fahmi tidak memilih untuk menyerang balik, tapi ia terus bertahan meski fisiknya tidak kuat dan kepercayaan dirinya terguncang. Dia sadar bahwa layaknya sebuah tim yang tak ingin kehilangan konsentrasi, ia perlu menjaga ketenangan dalam dirinya, meskipun banyak hal yang tidak berpihak padanya. Fahmi mengalihkan fokusnya dari keterampilan motorik yang buruk dengan mencoba meningkatkan kemampuannya dalam hal lain, sedikit demi sedikit, ia berusaha memahami pelajaran yang dirasa paling mudah baginya.

Di masa SMP dan SMA, Fahmi mulai memahami bahwa tidak semua pertandingan dapat dimenangkan dengan hasil instan. Seperti tim Jerman yang memiliki visi jangka panjang dalam membangun kekuatan, Fahmi mulai melatih dirinya agar tidak menyerah pada kegagalan akademik dan pergaulan. Meski sering mendapatkan nilai buruk, ia tidak lagi menjadikannya beban utama, tetapi langkah untuk memperbaiki dirinya. Dia menyadari bahwa keuletan adalah kunci dari setiap kemenangan. Setiap kali gagal, Fahmi belajar untuk tidak meratapi kekurangan, tapi mencari cara bagaimana menghadapi tantangan yang ada, layaknya pemain yang terus berlatih keras di sela-sela pertandingan besar.

Memasuki usia dewasa, Fahmi telah memahami bahwa kunci utama dari perjuangannya adalah ketekunan dan kemampuan untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Berkat perjalanan panjangnya, Fahmi belajar bersikap seperti tim Jerman: disiplin, konsisten, dan tidak mudah menyerah. Meski dalam kehidupan ia tidak selalu mendapat kemenangan instan, ia tetap melangkah maju dengan kepala tegak. Berkat ketekunannya, Fahmi mulai menemukan tempat yang lebih baik di masyarakat. Meski ia tak menjadi tokoh besar atau pemenang dalam segala hal, ia berhasil menjadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi segala bentuk tantangan hidup, dengan keteguhan hati yang ia bangun dari waktu ke waktu.

Bab 1: Awal yang Sulit

Suatu hari di taman kanak-kanak, Fahmi duduk sendirian di pojok ruangan, memegang mainan yang ia temukan di lantai.

"Fahmi, ayo ikut main sama kita!" panggil Tia, salah satu teman sekelasnya.

Fahmi ragu sejenak, lalu menjawab lirih, "Iya, tapi… aku nggak jago main petak umpet."

"Ayolah, nggak apa-apa! Kita cuma main seru-seruan, kok," balas Tia dengan senyum.

Namun saat Fahmi ikut bermain, tubuhnya yang kikuk sering membuatnya tersandung dan terjatuh, sehingga akhirnya ia duduk di pojok kelas lagi, menonton teman-temannya bermain. "Kenapa sih aku selalu jatuh?" gumamnya pelan.


Bab 2: Ejekan dan Kesepian di Sekolah Dasar

Di sekolah dasar, Fahmi masih sering merasa tertinggal. Suatu hari di tengah kelas olahraga, Roni, teman sekelasnya, berbisik pada teman-teman yang lain sambil menunjuk ke arah Fahmi, "Lihat tuh si Fahmi, larinya pelan banget. Pasti nggak bisa menang."

Fahmi mendengarnya, namun hanya terdiam. Ia menggenggam erat tali sepatunya dan bergumam pada dirinya sendiri, "Suatu saat nanti, aku akan coba lebih baik lagi."

Saat istirahat, Dinda mendekatinya, "Kamu nggak apa-apa, Fahmi? Mereka memang sering ngejek siapa aja yang beda."

Fahmi tersenyum tipis, meski hatinya sakit. "Iya, nggak apa-apa kok. Aku udah terbiasa," jawabnya pelan.


Bab 3: Mencari Keberanian di SMP

Di SMP, Fahmi semakin tertutup dan sering duduk sendirian. Suatu sore, di perpustakaan, Andre, salah satu teman sekelasnya, mencoba mengajaknya bicara.

"Fahmi, kamu pernah kepikiran buat ngelawan mereka?" tanya Andre sambil berbisik.

Fahmi menggeleng, "Aku… nggak bisa. Aku takut kalau malah jadi tambah parah."

Andre mengangguk, memahami. "Ya, kadang, nggak semua orang harus melawan. Tapi kamu tahu nggak, kamu lebih kuat dari yang kamu kira."

Fahmi tersenyum tipis, seolah mendengar kata-kata itu membuatnya sedikit lega. "Terima kasih, Andre. Aku… aku akan coba percaya sama diriku sendiri."


Bab 4: Terjatuh dan Bangkit di SMA

Ketika Fahmi duduk di bangku SMA, ia tetap mengalami ejekan dan sering menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Suatu hari, ketika nilai ulangan matematika dibagikan, salah satu teman di kelasnya, Rudi, mengomentari hasil Fahmi.

"Lihat nih, si Fahmi nilainya jelek lagi," kata Rudi, tertawa sambil menunjuk angka merah di kertas ulangan Fahmi.

Fahmi menunduk, menahan rasa malu dan kecewa. Namun, di luar kelas, Sari, teman sekelas yang lain, mendekatinya. "Fahmi, kalau mau, aku bisa bantu kamu belajar, kok. Kita bisa pelan-pelan aja."

Fahmi terkejut, matanya berbinar penuh harap. "Beneran, Sari? Aku… aku takut kalau malah ganggu kamu."

"Nggak usah takut," jawab Sari sambil tersenyum. "Kita kan sama-sama mau belajar."


Bab 5: Perjuangan di Masa Dewasa

Setelah lulus, Fahmi mendapatkan pekerjaan di toko dan terus mencoba bertahan. Meski sering merasa rendah diri, ia selalu berusaha bekerja sebaik mungkin. Suatu hari, Fahmi bertemu dengan temannya, Budi, yang melihat perubahan dalam dirinya.

"Fahmi, kamu sekarang kelihatan lebih tegar ya. Aku ingat dulu waktu kita SMA, kamu sering banget diem kalau diejek orang," kata Budi.

Fahmi mengangguk, tersenyum tipis. "Aku… belajar dari perjalanan hidup. Dulu aku pikir aku nggak bisa apa-apa, tapi ternyata, selama aku masih mau mencoba, aku bisa menemukan jalan."

Budi menepuk bahunya dengan bangga. "Hebat, Fahmi. Kamu kayak pemain tim kuat yang terus maju meski kalah, dan akhirnya bisa bertahan."

Fahmi tersenyum lebar, merasa lebih percaya diri. "Aku masih banyak belajar, Bud, tapi sekarang aku tahu kalau aku bisa bertahan. Dan itu sudah lebih dari cukup."


Epilog: Langkah Kecil yang Bermakna

Dari perjalanan panjang itu, Fahmi belajar bahwa hidup adalah tentang keteguhan hati, bahkan saat semua terasa sulit. Meski ia masih sering merasa takut dan ragu, ia tahu bahwa setiap langkah kecil yang ia ambil akan membawanya semakin dekat pada kekuatan yang selama ini ia cari dalam dirinya.

FIKSI OLAHRAGA-KOMEDI: JOGET PARGOY PEMAIN BOLA 'BEBAL' DISIPLIN

Berita bahwa FIFA memberi lampu hijau pada metode hukuman sosial untuk pemain tak disiplin menyebar dengan cepat di kalangan klub-klub sepak bola Eropa. Barcelona, Juventus, AC Milan, Atletico Madrid, Manchester United, dan Arsenal menjadi yang pertama menyatakan minat untuk menerapkannya. Dengan target besar untuk kembali berprestasi di Liga Champions, para pelatih dari klub-klub ini merasa cara baru ini adalah satu-satunya solusi agar pemain-pemain mereka bisa lebih disiplin di latihan dan pertandingan.

Pertemuan Klub Eropa: Metode Hukuman Sosial

Di sebuah ruang konferensi eksklusif di markas UEFA di Swiss, para pelatih klub berkumpul. Antonio Conte dari Juventus, Xavi Hernandez dari Barcelona, dan Erik ten Hag dari Manchester United duduk berdampingan. Masing-masing terlihat antusias namun juga ragu membicarakan cara ini dalam konteks sepak bola profesional.

Conte membuka diskusi dengan penuh semangat. "Baiklah, kita semua tahu bahwa masalah kedisiplinan ini sudah sampai pada titik yang kritis. Jika kita ingin mengalahkan tim-tim besar seperti Bayern atau City, kita harus melakukan sesuatu yang lebih ekstrem.”

Xavi mengangguk setuju. "Di Barcelona, sudah terlalu lama kita lihat pemain-pemain yang malas saat latihan, dan hasilnya… kita tersingkir di fase grup! Hukuman ini, meski tidak konvensional, bisa jadi membuat mereka lebih termotivasi."

Erik ten Hag tertawa kecil. "Aku bayangkan wajah Rashford atau Bruno kalau harus joget TikTok di depan ribuan fans di stadion setelah telat latihan. Mungkin ini justru bisa jadi penyemangat! Di Ajax dulu, disiplin adalah segalanya, dan aku ingin pemain-pemain di United merasakannya juga."

Sementara para pelatih berdiskusi, seorang perwakilan dari FIFA, Mr. Hernandez, memaparkan pandangannya, "FIFA mendukung metode ini, asalkan tidak melanggar hak asasi dan tetap dalam batasan sosial yang dapat diterima. Kami akan menyiapkan protokol khusus bagi para pemain yang melanggar kedisiplinan, termasuk persetujuan untuk menyebarkan video hukuman mereka jika diperlukan."


Hukuman Sosial Pertama di Lapangan

Keesokan harinya, Juventus mengumumkan bahwa hukuman sosial akan diterapkan pada latihan berikutnya. Beberapa pemain yang dianggap kurang disiplin langsung diberi peringatan tegas. Paulo Dybala dan beberapa pemain lainnya yang sering datang terlambat mulai cemas mendengar kabar itu.

Di markas latihan Juventus, para pemain yang tidak disiplin dikumpulkan di tengah lapangan. Antonio Conte berbicara dengan suara lantang.

"Baik, kalian yang kemarin datang terlambat atau bermain tanpa semangat, sekarang saatnya menerima konsekuensinya! Mulai sekarang, setiap pemain yang tidak disiplin harus joget pargoy di depan tim dan akan direkam untuk ditunjukkan ke fans kita!" ujarnya sambil menunjuk para pemain satu per satu.

Dybala, yang terlihat malu, menatap Conte dengan wajah cemas. "Pak, ini beneran harus, ya? Pargoy? Di depan teman-teman?"

Conte tersenyum dengan tajam. "Iya, dan jangan pikir ini hanya untuk lelucon. Kita ingin kalian tahu bahwa disiplin itu yang utama. Kalau kau tak bisa joget pargoy sekarang, bagaimana bisa kau angkat trofi di Liga Champions nanti?"

Pemain lainnya menahan tawa sambil menyaksikan Dybala bergerak kikuk, mencoba mengikuti gerakan pargoy yang diinstruksikan oleh Conte. Rekaman video ini dengan cepat diunggah ke akun media sosial Juventus, dan, tak lama setelah itu, video tersebut menjadi viral.


Reaksi di Klub-klub Eropa

Di Spanyol, Atletico Madrid juga menerapkan hukuman sosial serupa. Para pemain yang sering menunjukkan performa buruk saat latihan seperti Joao Felix dan Antoine Griezmann diminta untuk menjalani sanksi joget pargoy di depan rekan-rekan tim mereka.

Di Inggris, Manchester United mulai memberlakukan aturan baru ini setelah melihat dampak positifnya. Rashford, yang telat datang latihan dua kali berturut-turut, tak punya pilihan selain mengikuti aturan tersebut. Rekannya, Bruno Fernandes, menahan tawa sambil menyaksikan Rashford yang canggung bergoyang mengikuti irama musik.

Rashford menggerutu pelan. "Ya ampun, ini benar-benar menghancurkan harga diri..."

Erik ten Hag menepuk pundaknya sambil tertawa. "Nah, ingat ini saat kamu ingin telat latihan lagi, Rashford. Kalau kau tak bisa serius di latihan, jangan harap kita bisa menaklukkan tim besar seperti City."

Sanksi sosial ini tidak hanya diterapkan pada klub-klub Eropa. Tim nasional Amerika Selatan, seperti Argentina dan Brasil, juga mulai mempertimbangkan hukuman serupa untuk para pemain yang sering melanggar disiplin di kamp pelatihan timnas. Neymar, yang terkenal dengan gaya hidupnya di luar lapangan, bahkan diberi peringatan keras oleh pelatih Brasil.


Reaksi dari Para Pemain dan Dampaknya di Lapangan

Sejak metode hukuman ini diterapkan, hasilnya mulai terlihat. Para pemain yang biasanya sering datang terlambat, malas saat latihan, atau bermain asal-asalan, kini lebih termotivasi. Mereka tak ingin dipermalukan di depan tim atau, lebih parah lagi, di hadapan para penggemar.

Di markas latihan Manchester United, Bruno Fernandes, yang dulu kadang-kadang bersikap malas, kini menjadi lebih rajin. Bahkan, para pemain veteran seperti Giroud di AC Milan dan Morata di Atletico Madrid mulai mengakui bahwa hukuman sosial ini membuat suasana latihan semakin disiplin.

Giroud, dalam sebuah wawancara, berkata, "Sebenarnya saya sempat skeptis dengan hukuman ini, tapi saya melihat efeknya pada pemain-pemain yang biasanya kurang disiplin. Mereka jadi lebih serius. Bukan hanya karena takut dipermalukan, tapi karena mereka sadar bahwa ini adalah untuk kebaikan tim."

Bahkan di liga-liga nasional, pengaruh dari hukuman sosial ini mulai terasa. Pemain-pemain muda yang sebelumnya sering bermain seenaknya kini lebih bersemangat, dengan harapan agar bisa menjadi bagian dari tim yang berhasil menaklukkan raksasa Eropa.


Reaksi dari Fans dan Media

Media massa dan penggemar sepak bola di seluruh dunia menyambut baik langkah ini. Di berbagai negara, khususnya di Italia, Spanyol, dan Inggris, banyak penggemar yang merasa puas melihat pemain-pemain yang sering tidak disiplin akhirnya diberi hukuman yang setimpal. Para fans pun menyadari bahwa kedisiplinan pemain bisa menjadi kunci bagi kebangkitan klub-klub kesayangan mereka.

Di kanal Twitter Juventus, seorang penggemar berkomentar, "Akhirnya! Dybala jadi rajin latihan gara-gara takut pargoy lagi! Ini yang kita butuhkan!"

Sementara itu, di Inggris, seorang penggemar Arsenal mengunggah video humor berisi montase para pemain yang melakukan joget pargoy. "Kalau saja ini diterapkan sejak dulu, mungkin kita sudah punya lebih banyak trofi! 😂 #DisiplinPargoy"

Media pun banyak mengangkat kisah ini, menyoroti dampaknya yang positif. The Guardian menulis, "Hukuman Sosial: Senjata Baru Klub-klub Eropa untuk Mendisiplinkan Pemain."


Semangat Baru Menuju Liga Champions

Seiring berjalannya waktu, klub-klub yang menerapkan metode ini mulai menunjukkan perubahan signifikan di lapangan. Barcelona berhasil lolos ke babak 16 besar Liga Champions, Juventus mampu mengalahkan klub-klub besar, dan Manchester United mulai menunjukkan performa yang jauh lebih konsisten.

Para pemain, yang awalnya merasa aneh dengan hukuman ini, kini mulai terbiasa dan menghargainya. Mereka sadar bahwa kedisiplinan adalah kunci untuk mencapai prestasi. Dengan rasa percaya diri baru dan semangat yang diperbarui, klub-klub "pesakitan" ini bersiap menghadapi musim Liga Champions berikutnya dengan ambisi menghancurkan tim-tim raksasa.

Di dunia sepak bola yang terus berkembang, siapa yang menyangka bahwa joget pargoy bisa menjadi rahasia kesuksesan baru?

FIKSI SOSIO-POLITIK DAN KOMEDI: HUKUMAN "ALAY" TERPIDANA KKN

 Prolog

Goncangan ekonomi mengguncang Indonesia bagai gempa bertubi-tubi yang tak ada hentinya. Dalam satu dekade, segala sektor terguncang: ribuan karyawan kehilangan pekerjaan, kredit macet menumpuk seperti sampah, dan daya beli masyarakat menurun drastis. Indonesia, dengan sejarah panjang perlawanan dan kebangkitan, kini dihadapkan pada situasi krisis di mana kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi semakin tak terkendali. Akhirnya, puncak dari situasi ini datang ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibubarkan, memberi sinyal bahwa sistem hukum tradisional sudah tidak bisa lagi menangani para penggarong negara.

Ketika presiden baru mulai menjabat, ia membawa gebrakan yang tak pernah terbayangkan. Dalam sidang luar biasa, di depan seluruh anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif, diputuskan bahwa pelaku KKN tidak akan hanya dihukum dengan penjara atau denda—mereka akan menghadapi hukuman sosial paling memalukan: joget pargoy di depan publik, disaksikan seluruh masyarakat Indonesia, dengan jaminan transparansi teknologi blockchain untuk memastikan tak ada salah tangkap.


Bab 1: Keputusan yang Menggegerkan

Di sebuah rapat kabinet yang berlangsung tertutup, suara riuh rendah mulai memenuhi ruang. Menteri Hukum dan HAM, Pak Heru, masih terdiam, menahan senyum sembari menatap layar presentasi yang menampilkan konsep sanksi "Joget Pargoy untuk Koruptor".

"Kita serius ini, Pak?" tanya seorang menteri dengan nada setengah bercanda, setengah ketakutan.

Presiden tersenyum, penuh percaya diri. "Ya, kita serius. Mereka yang berani menyalahgunakan kekuasaan dan merugikan rakyat, mereka yang terlibat KKN, akan kita permalukan di depan seluruh bangsa. Biar rakyat tahu dan merasakan keadilan."

Pak Heru angkat bicara, suaranya tegas, "Jadi, Pak Presiden, bagaimana kita mengimplementasikan sanksi ini secara efektif dan transparan?"

"Saya sudah pikirkan itu, Pak Heru. Kita akan pakai blockchain sebagai sarana transparansi data, agar semua yang menyaksikan bisa tahu siapa saja yang tertangkap tanpa salah tangkap. Dan saya ingin ada bukti fisik: mereka semua wajib joget dengan pakaian yang sudah kita tentukan." Presiden menekan kata-katanya penuh semangat.

"Apa enggak terlalu ekstrem, Pak? Masa yang laki-laki cuma pakai celana dalam, dan perempuan pakai daster bekas?" sela Bu Lisa, Menteri Sosial, dengan wajah ragu-ragu.

"Bukannya ekstrem, Bu Lisa. Ini biar mereka tahu rasa. Terlalu lama para koruptor itu hidup enak dengan uang rakyat. Saatnya kita buat mereka merasa malu."

Semua mata tertuju pada Presiden, hingga akhirnya mereka semua mulai memahami maksudnya: memberantas korupsi dengan cara yang unik, menyentuh sisi psikologis para pelaku, sambil memberi hiburan bagi rakyat yang selama ini dikecewakan.


Bab 2: Joget di Lapangan Monas

Hari eksekusi tiba. Lapangan Monas dibanjiri penonton yang penasaran. Wartawan, influencer, dan masyarakat dari segala penjuru berdatangan dengan ponsel siap merekam momen langka ini. Deretan pelaku KKN sudah berdiri di tengah lapangan. Laki-laki dengan celana dalam hitam polos tanpa atasan, sementara yang perempuan mengenakan daster kumal bekas, layaknya baju yang baru saja diambil dari tempat sampah.

"Pak, ini beneran kita harus joget pargoy di sini?" tanya salah satu koruptor, Pak Bambang, sambil memandang sipir yang menjaganya dengan wajah ketakutan.

Sipir itu hanya mengangguk singkat. "Bapak sudah tahu konsekuensinya. Ini sudah keputusan resmi."

Salah satu terdakwa lainnya, Bu Murni, yang selama ini dikenal sebagai mantan pejabat, menggeleng dengan pasrah. "Ya ampun, harga diri saya lebih baik hancur di sini daripada terpenjara bertahun-tahun. Tapi, masak saya harus joget pargoy di daster begini?" katanya sambil menarik dasternya yang belel.

Akhirnya, lagu pargoy dari TikTok diputar. Musik pun menggelegar, menandakan dimulainya sanksi tersebut. Para koruptor mulai bergoyang, walau canggung, dengan gerakan yang kikuk namun terpaksa. Penonton bersorak riuh, mencemooh, dan beberapa bahkan tertawa terbahak-bahak melihat mantan pejabat dan tokoh-tokoh yang dulunya dihormati kini beraksi dengan sangat memalukan.

"Kami tonton di YouTube nanti, ya! Jangan khawatir, Pak, Bu! Viral kok!" seru seorang penonton sambil merekam dengan ponselnya.

Setelah beberapa menit, salah satu dari mereka, Pak Haris, berhenti dan berbisik ke penjaga, "Pak, tolonglah. Saya malu. Boleh enggak berhenti sebentar?"

Penjaga hanya menggeleng tegas. "Bapak baru boleh berhenti kalau durasi hukuman joget selesai, Pak. Ini sudah diatur di blockchain, transparan. Nanti ketahuan kalau Bapak curang!"


Bab 3: Dampak di Tengah Masyarakat

Sejak kejadian itu, publik mulai merasakan perubahan. Video joget pargoy mantan pejabat korup tersebar luas di media sosial, mulai dari Instagram hingga Facebook, disertai caption yang penuh sindiran. Ternyata, rasa malu itu jauh lebih menghancurkan dibandingkan sekedar hukuman fisik. Tak butuh waktu lama, jumlah kasus KKN menurun drastis. Para pejabat yang tadinya berniat memanipulasi dana proyek jadi berpikir ulang.

Di sebuah warung kopi, dua orang lelaki berbincang sambil tertawa melihat video-video tersebut di ponsel mereka.

"Kalau begini terus, korupsi bakalan turun drastis nih! Hahaha! Saya jadi enggak sabar nunggu siapa lagi yang bakal joget pargoy di Monas!" kata salah satu dari mereka sambil tertawa terbahak-bahak.


Bab 4: Resah Pejabat dan Pembelajaran Bagi Generasi Muda

Sementara itu, di gedung parlemen, para pejabat mulai merasa was-was. Mereka tahu, dengan blockchain sebagai saksi, tidak akan ada ampun bagi mereka yang coba-coba menyelewengkan dana negara. Kini, mereka lebih berhati-hati, sadar bahwa mereka bukan hanya akan dihukum, tetapi juga dipermalukan di hadapan rakyat.

Di sekolah-sekolah, guru-guru menjadikan sanksi joget pargoy ini sebagai pelajaran bagi siswa. "Jadi anak-anak, itulah akibatnya kalau kalian curang dan korupsi. Belajar yang benar, jangan menipu seperti mereka yang sudah kena sanksi."

Anak-anak mendengarkan dengan mata berbinar, sebagian menahan tawa. Mereka tahu bahwa ini adalah zaman baru, zaman di mana para koruptor tidak hanya dihukum tetapi juga menjadi bahan lelucon nasional.

Bab 5: Reaksi Dunia Internasional

Sejak sanksi joget pargoy diberlakukan di Indonesia, berita tentang hukuman ini tersebar ke seluruh dunia. Berbagai media internasional mengangkat kisah tersebut dengan berbagai opini dan spekulasi. Di Amerika Serikat, Eropa, hingga Asia, orang-orang membicarakan keputusan tak biasa Indonesia dalam menghukum pelaku korupsi.

New York Times menurunkan berita utama dengan judul provokatif: "Indonesia Memerangi Korupsi dengan Joget Pargoy: Efektifkah Hukuman Sosial Sebagai Cara Baru Menegakkan Keadilan?"

Di sebuah ruang sidang PBB, diskusi tentang inovasi sanksi sosial ini bahkan menjadi topik serius di antara para diplomat dari berbagai negara. Di tengah rapat, seorang diplomat Amerika, Tom Richards, menyuarakan pendapatnya.

"Saya rasa, ini... ya... mengejutkan tapi menarik. Di Indonesia, hukuman sosial bisa diterapkan langsung kepada para pelaku korupsi, bahkan mendapat dukungan masyarakat luas. Mungkin, cara ini efektif sebagai alternatif yang unik," kata Tom sambil melirik rekannya dari Prancis, Marie, yang tertawa kecil.

Marie mengangguk setuju. "Sebenarnya, di beberapa negara maju, terutama di Eropa, kita menghadapi tantangan yang mungkin tak jauh berbeda. Tapi, kasusnya lebih ke arah liberalisasi sosial. Banyak anak muda, anak-anak bahkan, terpapar propaganda yang... katakanlah, terlalu dewasa untuk mereka. Ada propaganda feminisme radikal, hingga isu LGBT yang kadang berlebihan, sampai anak-anak jadi bingung memahami identitas mereka," kata Marie dengan nada prihatin.

"Dan di Amerika," lanjutnya, "kita pun menghadapi masalah disiplin di sekolah. Khususnya di wilayah-wilayah yang liberal, banyak anak merasa bisa berbuat semaunya sendiri, memanfaatkan ide ‘hak asasi’ untuk mengabaikan disiplin sekolah."

Seorang diplomat Jepang, Kenji Tanaka, tertawa pelan sambil menimpali, "Jadi, bagaimana? Mungkin kita sebaiknya meminta anak-anak dan remaja yang nakal atau indisipliner di sekolah untuk joget pargoy seperti di Indonesia? Tapi, rasanya aneh melihat anak-anak atau remaja Amerika atau Jepang joget TikTok di tengah jalan sebagai bentuk hukuman," ucapnya dengan nada sarkastis.

Bab 6: Pertimbangan Serius di AS dan Eropa

Sementara itu, di Washington D.C., pihak Kongres Amerika Serikat pun tak ketinggalan membahas fenomena ini. Dalam rapat komite khusus, sejumlah anggota Kongres mulai berdiskusi tentang kemungkinan menerapkan hukuman sosial serupa, meski dengan format yang lebih relevan bagi masyarakat Amerika.

Senator Carol Wilson, dari Partai Republik, membuka diskusi. "Rekan-rekan, kita sudah tahu Indonesia punya cara yang cukup berani dalam menghukum pelaku korupsi. Tapi ini menarik! Mereka tidak hanya dihukum secara legal, tapi juga sosial. Bayangkan jika di negara kita, siswa yang indisipliner juga mendapat hukuman sosial, atau pelaku kekerasan seksual diekspos secara terbuka.”

Seorang anggota Kongres dari Partai Demokrat, John Miller, tampak skeptis. "Ya, tapi ini Amerika. Kita harus mempertimbangkan hak asasi. Jika kita menerapkan hukuman publik seperti itu, bisa jadi kita melanggar privasi pelaku."

"Tapi, John," jawab Carol tegas, "hak asasi itu memang penting, tapi lihat yang terjadi! Di sekolah-sekolah kita, terutama di negara bagian yang lebih liberal, para guru kewalahan. Anak-anak menolak disiplin dengan dalih hak asasi. Saya pikir, sebaiknya kita pertimbangkan cara baru yang lebih mengikat secara sosial. Jangan sampai anak-anak kita menjadi tidak terkendali."

John mengangguk perlahan. "Mungkin kau benar. Namun, aku masih tidak yakin apakah publik kita siap untuk melihat sanksi-sanksi seperti ini. Sebagai bangsa, kita harus berhati-hati agar tidak kehilangan keseimbangan."


Bab 7: Perdebatan di Uni Eropa

Sementara itu, di Uni Eropa, para pemimpin mulai mempertimbangkan sanksi sosial dengan sudut pandang yang berbeda. Di ruang parlemen Eropa, diskusi tentang langkah Indonesia berkembang menjadi topik yang lebih luas: bagaimana mempertahankan identitas dan prinsip moral di tengah perubahan yang cepat.

Di tengah diskusi, seorang politisi dari Jerman, Frau Schmidt, mengemukakan pendapatnya. "Saya kira, menarik bila Indonesia berani menegakkan keadilan dengan cara yang unik ini. Kita di Eropa sering merasa terlalu terbatas dengan prinsip hak asasi, hingga lupa bagaimana mendisiplinkan pelaku kriminal dengan cara yang dapat memberikan efek jera. Lihatlah, generasi muda kita semakin bingung memahami batasan sosial, khususnya terkait isu-isu gender."

Anggota parlemen dari Swedia, Lars Karlsson, setuju. "Saya setuju dengan Anda, Frau Schmidt. Banyak anak muda yang terlalu cepat dipaksa memahami hal-hal dewasa, hingga mereka akhirnya kehilangan masa kecil. Fenomena ini hampir seperti kasus korupsi; sama-sama merusak, hanya saja dalam konteks sosial yang berbeda. Tapi kalau kita menerapkan hukuman joget pargoy, saya khawatir media massa Eropa tidak akan menerima dengan baik."


Bab 8: Indonesia, Pemimpin Alternatif di Tengah Krisis Global

Kembali ke Jakarta, pemerintah Indonesia akhirnya menyadari bahwa metode hukuman sosial ini tidak hanya efektif di dalam negeri, tetapi juga menarik perhatian dunia. Presiden baru Indonesia kemudian mengadakan konferensi pers untuk membahas respons internasional yang kian memanas.

“Kami bangga bisa membawa alternatif baru dalam pemberantasan korupsi. Tapi saya juga berharap metode ini menjadi inspirasi bagi negara lain untuk melihat keadilan dari sisi yang lebih manusiawi,” katanya sambil tersenyum penuh percaya diri di hadapan wartawan.

Seorang wartawan internasional bertanya, “Apakah Anda tidak khawatir sanksi ini terlalu keras atau mungkin melanggar hak asasi manusia?”

Presiden menjawab dengan tenang, "Hak asasi manusia tentu penting, tetapi tanggung jawab sosial juga tidak kalah pentingnya. Mereka yang merugikan rakyat harus siap mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, bukan hanya dengan hukuman, tapi juga dengan mempertaruhkan harga diri."


Bab 9: Fenomena Baru di Dunia Liberal

Seiring waktu, negara-negara maju mulai mempertimbangkan berbagai modifikasi dari sanksi sosial Indonesia ini. Di Amerika, beberapa sekolah memutuskan untuk memberlakukan hukuman sosial bagi siswa yang melanggar disiplin. Para siswa yang nakal dipanggil ke depan kelas untuk "bertanggung jawab" di depan rekan-rekannya, meski dalam bentuk yang tidak se-ekstrem joget pargoy.

Di Inggris, parlemen menyusun undang-undang baru yang mengatur pengawasan propaganda sosial kepada anak-anak di bawah umur. Isu-isu sosial mulai dibahas dengan lebih hati-hati, menghindari pemaksaan konsep-konsep dewasa pada anak-anak yang belum siap.

Epilog

Indonesia kini menjadi pionir dalam keadilan sosial yang kreatif, menjadi contoh unik bagi negara-negara lain. Masyarakat internasional, baik dari Timur maupun Barat, mulai menyadari bahwa terkadang, keadilan tidak harus selalu dalam bentuk hukuman fisik atau denda. Kadang, rasa malu dan harga diri adalah aspek yang paling berharga—dan paling ampuh—dalam memberi efek jera pada mereka yang berbuat salah.

FIKSI SOSIO-POLITIK: APA JADINYA KALAU PECANDU JUDI ONLINE JADI RELAWAN PASUKAN DI PALESTINA?

 Bab 1: Dalam Keputusan yang Tak Terduga

Di tengah krisis ekonomi yang semakin mencekik, Indonesia terhuyung-huyung mencoba menyelamatkan APBN yang hampir remuk. Menteri Keuangan berkali-kali mengumumkan pembatasan anggaran dan peningkatan pajak, tapi efeknya tak cukup menyelamatkan pundi-pundi negara. Di sisi lain, Palestina kini berperang bukan hanya dengan Israel, tetapi dengan NATO yang mendukung penuh pasukan Zionis. Dalam keadaan seperti ini, Indonesia memutuskan sebuah kebijakan kontroversial—sebuah jawaban radikal atas masalah perjudian online yang merajalela.

Dengan ancaman defisit mencapai 50%, kabinet presiden yang baru saja terpilih dalam pemilu penuh intrik mengambil langkah drastis. Keputusan yang mencengangkan ini disahkan lewat sidang paripurna khusus yang hanya dihadiri oleh segelintir anggota DPR yang masih dipercaya publik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemerintah memutuskan mengirim para pelaku judi online ke medan perang sebagai pasukan sukarelawan untuk membantu Palestina. Bukan hanya pengguna, namun juga bandar, perantara, bahkan pejabat yang terlilit skandal judi kini menghadapi satu hukuman yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

“Ini tidak benar, Pak!” suara seseorang bergetar dalam ruangan sidang kabinet yang senyap.

“Saya tidak peduli lagi benar atau salah, kita sudah kehabisan pilihan,” balas presiden dengan tatapan tajam pada Kepala Badan Intelijen yang semula menentang keputusan ini.

“Tapi… Pak Presiden, ini adalah tindakan yang belum pernah dilakukan negara mana pun,” Menteri Pertahanan menggeleng tak percaya.

“Tepat. Dan itulah mengapa kita melakukannya,” jawab presiden singkat, sebelum lanjut berbicara dengan nada lebih tenang. “Lihat statistiknya. Delapan puluh lima persen! Hampir seluruh rakyat kecanduan judi, bahkan dana negara yang terkuras tak sedikit disedot ke luar negeri oleh para bandar itu. Mereka menghancurkan ekonomi kita. Dan sekarang, kita akan kirim mereka untuk berjuang di tempat di mana mereka benar-benar harus memilih hidup atau mati—ini satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk menebus dosa.”

Pada malam hari setelah keputusan itu ditandatangani, Badan Siber Negara bekerja tanpa henti untuk mengidentifikasi para pemain judi dengan algoritma blockchain yang baru saja dirilis. Orang-orang panik, tak sedikit dari mereka yang ketakutan. Tetapi mereka yang tertangkap tak akan lagi diadili di pengadilan negeri atau dijebloskan ke penjara. Satu demi satu, mereka dijemput, dimasukkan ke dalam truk militer, dan dilarang membawa apapun selain pakaian di badan mereka. Tanpa kompensasi, tanpa janji apa pun.

“Tapi… kami bisa bayar denda, Pak! Ini pasti bisa dibicarakan, kan?” teriak salah satu pelaku, seorang pemuda yang baru berumur dua puluh lima tahun, ketika dirinya digiring masuk ke dalam truk dengan tangan terborgol.

“Tidak ada negosiasi lagi,” jawab petugas TNI dingin, sembari menyentak tangannya agar bergerak lebih cepat.

“Lawan, apa yang kau harapkan mereka lakukan padamu?” seorang pelaku lainnya berkata sinis, terlihat lebih tua dengan janggut tak terurus. “Mereka sudah menganggap kita tak punya nilai apa-apa di sini. Kita dikirim ke Palestina untuk mati demi negara yang hancur ini.”

Tanpa pelatihan, tanpa perlengkapan perang yang layak, ratusan dari mereka akhirnya dikirim ke Palestina. Mereka tiba di tanah yang dipenuhi puing-puing, bertemu langsung dengan para pejuang Palestina yang tak lagi melihat kehadiran mereka sebagai sebuah bantuan, melainkan sebagai sebuah ironi. Namun, seiring waktu, mereka yang awalnya tak terlatih dan tertekan mulai mengenal betapa nyatanya perang itu. Mereka menyaksikan pertempuran yang nyata, berhadapan langsung dengan musuh yang jauh lebih berpengalaman. Tetapi di sisi lain, pengalaman mengerikan ini justru menggugah sesuatu dalam diri mereka, sebuah keberanian yang tersembunyi.

“Kenapa kau melakukannya?” tanya seorang sukarelawan lokal Palestina ketika mereka bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, menghadapi suara tembakan yang semakin dekat.

“Awalnya… karena aku dipaksa. Tapi… sekarang aku tahu ini juga untuk kelangsungan hidup keluargaku di sana,” jawab salah satu pemain judi online yang kini menjadi pasukan berani mati.

Dari sini, cerita bergulir dengan semakin banyak pelaku yang menemukan makna baru dalam perjuangan mereka di Palestina, memahami kematian, dan rasa bertanggung jawab yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Di Indonesia, dampak ekonomi dari hukuman ini mulai terasa. APBN perlahan pulih, perekonomian menguat, bahkan harga properti dan nilai tukar rupiah melonjak drastis di tengah penindakan ketat yang terus berlanjut di bawah radar blockchain negara.

Bab demi bab berikutnya menggambarkan dilema psikologis, perjuangan fisik, dan dinamika politik antara Palestina, Indonesia, dan negara-negara besar yang mulai mengendus langkah radikal ini sebagai ancaman atau kesempatan baru.

Bab 2: Pintu Gerbang Perang

Perjalanan menuju Palestina bukanlah sekadar sebuah penerbangan panjang. Bagi para mantan pelaku judi online yang sekarang disebut "sukarelawan", perjalanan ini adalah pergeseran antara hidup yang penuh kemudahan dan kenyamanan ke dalam dunia yang berlumuran darah dan kematian. Saat mereka tiba di kamp pelatihan di perbatasan Palestina, terik matahari Timur Tengah yang menyengat menyambut mereka. Udara dipenuhi bau mesiu dan tanah, jauh dari kehidupan bebas yang dulu mereka kenal.

Di sepanjang jalan menuju kamp, wajah-wajah asing memperhatikan mereka, sebagian dengan tatapan curiga, sebagian lagi dengan keheranan dan ketidakpercayaan. Mereka sadar, para warga lokal pun tidak tahu apakah pasukan dari Indonesia ini datang sebagai penyelamat atau sebagai pengganggu.

“Kalian datang dari mana?” tanya seorang pria tua Palestina dalam bahasa Inggris yang patah-patah, wajahnya menunjukkan kelelahan hidup bertahun-tahun dalam zona perang.

Salah seorang pria Indonesia yang baru saja tertangkap karena berjudi, bernama Roni, hanya bisa menatap pria tua itu dengan bingung. Bahasa Inggrisnya pun tak jauh lebih baik.

“Indonesia,” jawab Roni singkat, sebelum menunjuk beberapa rekannya yang sama-sama terdiam. “Kami… diperintahkan datang ke sini. Untuk membantu kalian.”

Pria tua itu mengangguk perlahan, wajahnya kaku. “Bantuan datang dan pergi. Tapi mati tetap di sini,” katanya lirih sebelum melangkah menjauh, meninggalkan Roni dan kelompoknya dalam keheningan yang mencekam.

Setibanya di kamp, para sukarelawan Indonesia langsung dihadapkan pada kenyataan brutal: pelatihan intensif tanpa ampun, tanpa henti, yang dikepalai oleh tentara Palestina dan segelintir pejuang asing yang sudah berpengalaman di medan perang. Mereka tak punya waktu untuk merenung atau menyesali pilihan hidup yang membawa mereka ke tempat ini. Satu-satunya tujuan mereka sekarang hanyalah bertahan hidup, sesederhana itu.

“Kalian pikir ini semacam hukuman saja? Lupakan itu,” suara serak seorang instruktur Palestina membahana di tengah lapangan pelatihan. "Ini bukan soal hukuman atau pengampunan. Ini tentang hidup dan mati. Jika kalian tak mau mati besok, belajarlah hari ini.”

Beberapa pria dalam kelompok itu saling pandang, jelas ketakutan.

“Pak, kami tidak pernah mengangkat senjata seumur hidup kami,” ujar Toni, seorang mantan bandar judi yang sekarang dipaksa memakai seragam militer. “Kami... hanya ingin hidup tenang. Kami dipaksa ke sini.”

“Selamat datang di dunia nyata,” jawab instruktur dengan suara dingin. “Di sini, hanya ada satu cara keluar: lewat peti mati atau lewat kemenangan. Jadi, jika kalian tak ingin mati besok, lebih baik dengarkan aku baik-baik.”

Malamnya, kelelahan mulai terasa di tubuh para sukarelawan. Beberapa dari mereka berbaring di atas tanah keras dengan tubuh lelah, memandang langit yang gelap. Rasa rindu akan kehidupan lama, yang serba bebas dan penuh kenikmatan duniawi, mulai menggoda. Namun, apa gunanya semua itu kini? Jalan untuk kembali sudah tertutup rapat.

“Apa menurutmu kita akan bertahan di sini?” tanya Agus, salah seorang pemain judi online yang terkenal dengan keberuntungannya, sembari memandang langit penuh bintang.

Roni menghela napas panjang. “Entahlah, Gus. Sejujurnya, aku bahkan tidak yakin kita akan selamat dalam seminggu pertama. Tapi…,” ia terdiam sejenak, menelan ludah sebelum melanjutkan, “sekarang aku mengerti. Hidup ini bukan sekadar soal keberuntungan. Kita di sini karena pilihan kita sendiri.”

“Pilihan?” Agus menyeringai pahit. “Maksudmu, karena kita bodoh memilih jalan judi itu?”

Roni mengangguk, mencoba menahan rasa bersalah yang terpendam dalam dadanya. “Mungkin kita memang pantas dihukum. Tapi di sini, setidaknya kita bisa mati untuk sesuatu yang lebih besar dari kita. Bukan sekadar mengejar uang kotor.”

Perlahan, semangat bertarung mulai muncul dalam diri mereka, seolah ada dorongan baru yang menggantikan ketakutan akan kematian. Para sukarelawan dari Indonesia ini—yang tadinya hanya berjudi dengan hidup mereka sendiri—kini dihadapkan pada pilihan sederhana namun penuh arti: mati tanpa makna atau berjuang dengan kehormatan.

“Besok, kita akan dihadapkan dengan kelompok Zionis di front depan,” kata komandan mereka, seorang pejuang veteran yang sudah kehilangan banyak sahabat di medan perang. “Kalian sudah belajar dasar-dasarnya. Ini bukan soal siapa yang paling ahli, tapi siapa yang paling siap bertahan. Ingat ini: kalian bukan hanya bertempur untuk Palestina. Kalian juga bertempur untuk bangsa kalian sendiri.”

Di kejauhan, gema suara ledakan dan tembakan menggema di malam sunyi. Tanah Palestina telah menjadi saksi banyak darah yang tumpah, dan kini, darah dari negeri seberang pun turut akan membasahinya. Para sukarelawan itu perlahan sadar, apa yang mereka lakukan di sini lebih dari sekadar hukuman; ini adalah perjuangan mereka untuk sebuah makna, sebuah penebusan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.


Dengan bab ini, konflik internal dan eksternal mulai terlihat jelas. Setiap karakter perlahan menemukan jati diri baru dalam keadaan yang penuh tekanan dan ancaman nyata. Bab berikutnya akan mulai membawa mereka dalam pertempuran-pertempuran langsung, dan menyaksikan bagaimana pengalaman ini mengubah mereka dari pelaku yang lemah menjadi pejuang yang tangguh.

Bab 3: Matahari Baru di Nusantara

Di Indonesia, dampak dari keputusan mengirim para pelaku judi online sebagai sukarelawan perang mulai terasa. Dalam kurun waktu satu tahun sejak program ini dilaksanakan, jumlah populasi perlahan mengalami penurunan—bukan secara drastis, namun cukup signifikan untuk mengubah beberapa aspek kehidupan masyarakat. Fenomena ini mengubah wajah bangsa dalam cara yang tak terduga. Ratusan hingga ribuan dari mereka yang dulunya hidup di tepi kemakmuran semu, ketergantungan judi, dan kebiasaan hidup instan, kini telah gugur di medan perang Palestina.

Banyak orang Indonesia yang awalnya mengecam kebijakan tersebut, namun mulai menyadari adanya keuntungan sosial yang tak pernah mereka bayangkan. Lapangan kerja perlahan terbuka, kompetisi untuk memperoleh posisi pekerjaan juga menjadi lebih kondusif dan merata. Bonus demografi yang selama ini menjadi momok akhirnya terkendali. Sekarang, SDM yang tersisa di dalam negeri adalah mereka yang memang memiliki kualitas tinggi dan berorientasi pada pengembangan diri.

“Aku masih tidak percaya pemerintah seberani itu, mengirim para penjudi ke medan perang,” ujar Ridho, seorang dosen sosiologi di sebuah universitas negeri, kepada koleganya di kantin kampus.

“Yah, jika dipikir-pikir, itu satu-satunya cara yang realistis, bukan?” balas Maria, seorang peneliti sosial yang baru saja kembali dari riset lapangan. “Sistem penjara kita sudah penuh, dan ketergantungan pada judi online benar-benar menjadi racun dalam masyarakat. Jika tidak dikendalikan, generasi muda kita bisa hancur lebih dalam lagi.”

Ridho mengangguk setuju. “Tapi sekarang lihatlah hasilnya. Persaingan kerja menurun, lapangan kerja terbuka lebar, dan masyarakat mulai lebih menghargai pekerjaan produktif daripada mengejar uang cepat.”

Maria tersenyum kecil. “Yang tersisa sekarang adalah mereka yang mau bekerja keras, mengasah keterampilan, dan berkontribusi pada masyarakat. Tanpa kita sadari, pemerintah sudah melakukan seleksi alam tersendiri.”

Di tahun-tahun sebelumnya, Indonesia telah menghadapi tantangan besar akibat ledakan jumlah penduduk yang mayoritas merupakan tenaga kerja tanpa keahlian. Mereka yang dulu berbondong-bondong mencari pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif sekarang perlahan menghilang. Jumlah populasi Indonesia menjadi lebih terkendali. Mereka yang dulu memiliki kebiasaan buruk dan hidup dalam bayang-bayang ketergantungan pada judi online—yang dulunya mencapai hampir 85% dari penduduk—perlahan terhapus dari statistik. Apa yang dulu terlihat seperti hukuman, kini mulai dilihat sebagai solusi sosial.

“Apa kamu tahu, aku baru dapat promosi di perusahaan,” ujar Dedi, seorang pekerja muda yang tadinya sempat ragu dengan masa depannya di dunia kerja. “Setahun yang lalu, aku bahkan tak bisa membayangkan ini terjadi. Persaingan kerja begitu ketat, dan banyak dari mereka yang hanya memanfaatkan koneksi daripada kemampuan.”

“Selamat, Ded! Tapi memang, sekarang kesempatan itu semakin adil. Mereka yang mau bekerja keras dan memiliki keterampilan, akhirnya mulai diperhatikan,” balas Arif, sahabatnya yang kini bekerja di sektor teknologi. “Kalau bukan karena kebijakan pemerintah waktu itu, mungkin kita masih sibuk bersaing dengan mereka yang hanya mengejar uang instan.”

Dedi mengangguk, matanya berbinar penuh harapan. “Ya, dan lebih dari itu, lingkungan kerja kita sekarang juga jauh lebih sehat. Toxic people sudah banyak yang tersaring. Perusahaan juga jadi lebih selektif mencari mereka yang punya integritas.”

Bonus demografi yang tadinya menjadi pisau bermata dua bagi Indonesia, kini berada di titik yang lebih stabil. Para pakar ekonomi dan sosiologi menyebutkan bahwa ini adalah salah satu masa emas dalam sejarah sosial-ekonomi Indonesia. Hilangnya generasi yang terjebak dalam perjudian online memberikan kesempatan bagi generasi muda lainnya yang berorientasi pada kemajuan. Jumlah pelaku judi yang gugur di medan perang telah mengurangi beban pada pemerintah, dan pada akhirnya, membuka peluang bagi pengembangan sumber daya manusia berkualitas di dalam negeri.

“Jadi, ini adalah dampak dari apa yang disebut oleh beberapa orang sebagai ‘bersih-bersih generasi’?” tanya seorang mahasiswa dalam kelas Ridho.

Ridho tersenyum samar, meluruskan kacamata di wajahnya. “Bisa dikatakan demikian, meskipun mungkin ini adalah dampak yang tidak langsung. Kehilangan sejumlah besar populasi dari lapisan masyarakat yang terjebak dalam lingkaran negatif membawa perubahan signifikan.”

“Tapi, Pak,” seorang mahasiswa lain menyela, “Apakah ini tidak kejam? Bukankah mereka juga manusia yang punya hak hidup?”

Ridho mengangguk perlahan, merespons dengan bijak. “Betul, mereka juga manusia. Namun, kebijakan radikal seperti ini kadang diperlukan ketika negara menghadapi krisis besar. Dan yang pasti, ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua: bagaimana kita hidup, pilihan yang kita buat, semua memiliki konsekuensi. Tidak ada yang lepas dari tanggung jawab atas pilihan hidup.”

Kini, Indonesia menikmati efek samping dari kebijakan keras tersebut. Peluang kerja meningkat, kesejahteraan meningkat, dan masyarakat mulai merasakan stabilitas sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada lagi generasi yang sibuk mengejar uang instan. Sebaliknya, masyarakat mulai belajar untuk menghargai kerja keras, keterampilan, dan integritas dalam pekerjaan mereka.

“Aku hanya berharap perubahan ini bertahan lama,” ujar Maria kepada Ridho ketika mereka berjalan pulang dari kampus. “Kita sudah melalui banyak hal sebagai bangsa. Jika ini adalah kesempatan kita untuk benar-benar bangkit, maka kita harus menjaganya.”

Ridho mengangguk sambil melihat ke langit. “Benar, Maria. Kita sudah kehilangan banyak orang untuk mencapai titik ini. Kini, terserah pada kita semua untuk menjaga apa yang tersisa, agar masa depan kita tak kembali terjebak pada lingkaran yang sama.”

Perubahan ini membawa Indonesia ke dalam era baru. Perekonomian perlahan tumbuh stabil, masyarakat mulai membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya integritas dan kualitas hidup. Tidak ada lagi masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada janji-janji kekayaan instan. Dan tanpa disadari, bonus demografi yang tadinya menjadi beban kini berubah menjadi anugerah: sebuah generasi yang lebih siap, lebih terdidik, dan penuh harapan untuk membangun masa depan bangsa.

Di luar sana, dunia mulai melihat Indonesia dengan pandangan berbeda. Kini, negeri ini bukan lagi sekadar negara berkembang yang kewalahan dengan ledakan penduduk. Indonesia kini berdiri dengan gagah, dengan generasi baru yang penuh potensi—siap menatap dunia dengan kepala tegak, meninggalkan masa lalu yang penuh ketergantungan, dan melangkah ke masa depan dengan optimisme yang belum pernah ada sebelumnya.


Bab ini memberikan gambaran jelas tentang dampak sosial-ekonomi dari kebijakan pemerintah yang radikal. Generasi yang tersaring melalui seleksi alam ini memberikan peluang pada Indonesia untuk membangun SDM berkualitas dan mengatasi tantangan bonus demografi.

Bab 4: Kerjasama yang Tak Terduga

Tahun demi tahun, konflik di Timur Tengah dan negara-negara yang menjadi basis ISIS semakin berlarut-larut. Di tengah situasi tersebut, NATO menghadapi tantangan serius. Kekurangan tenaga sukarelawan menjadi masalah besar bagi aliansi militer ini. Negara-negara anggota NATO yang selama ini mengandalkan angkatan militernya kini mulai kehilangan daya dukung dari rakyat sipil, yang lebih memilih untuk mengejar karier di dunia bisnis dan investasi ketimbang mempertaruhkan nyawa mereka di medan perang. Di sisi lain, konflik di Suriah, Libya, Yaman, dan negara-negara lainnya terus berkobar tanpa tanda-tanda mereda.

"Situasinya semakin sulit," ujar Jenderal Hawkins, salah satu komandan tertinggi NATO, dalam sebuah pertemuan di Brussels. “Kita tak lagi memiliki tenaga cadangan yang cukup. Pasukan kita tersebar di terlalu banyak wilayah konflik.”

“Tidak ada pilihan lain, Jenderal,” kata Anna Johnson, seorang pejabat diplomasi NATO. “Kita harus bekerja sama dengan negara-negara yang memiliki ledakan penduduk besar. Jika kita bisa memanfaatkan mereka untuk mendukung operasi kita, setidaknya beban ini bisa berkurang.”

Jenderal Hawkins menggelengkan kepala dengan pandangan cemas. “Indonesia, India, Pakistan, dan Bangladesh. Itulah negara-negara dengan ledakan penduduk terbesar. Tapi kita tahu sendiri, SDM mereka masih berada di level rendah dan banyak dari mereka menjadi beban negara.”

“Namun, bukankah itu justru peluang?” kata Anna dengan nada tenang namun penuh keyakinan. “Negara-negara itu memiliki populasi yang sangat besar dengan tingkat pengangguran tinggi. Jika mereka sepakat mengirimkan rakyat mereka, itu akan menjadi win-win solution. Mereka bisa mengurangi beban ekonomi, sementara kita mendapatkan tambahan pasukan di lapangan.”

Hawkins terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Baik, kita coba mengadakan perundingan dengan mereka. Beri tahu PBB, meskipun saya yakin, mereka mungkin hanya akan—"

“—tepok jidat,” Anna menyelesaikan kalimatnya dengan senyum miring. "Betul, Jenderal. PBB mungkin akan melihat ini sebagai tindakan kontroversial, tetapi situasi saat ini benar-benar mendesak."

Beberapa bulan kemudian, delegasi NATO bertemu dengan perwakilan dari Indonesia, India, Pakistan, dan Bangladesh dalam sebuah konferensi internasional. Di ruang konferensi yang megah, para pemimpin negara-negara tersebut mendengarkan usulan kerja sama militer dari NATO dengan penuh perhatian. Namun, tidak semua pemimpin memiliki pandangan yang sama.

“Mengirimkan rakyat kami yang berpotensi menjadi beban negara mungkin akan membantu kami dalam jangka pendek,” kata Menteri Pertahanan Indonesia, Andi Wirawan, “tetapi dampaknya pada citra negara kami akan besar. Dunia akan melihat kami sebagai negara yang mengorbankan rakyat untuk perang yang bukan milik kami.”

Perwakilan NATO, Jenderal Hawkins, tersenyum diplomatis. “Kami memahami kekhawatiran Anda, Tuan Andi. Namun, lihatlah ini sebagai kesempatan. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya soal mengurangi beban, tapi juga memberikan pelatihan militer dan kedisiplinan kepada mereka yang kurang produktif. Mereka bisa pulang sebagai warga yang lebih terlatih.”

Andi terdiam, mempertimbangkan argumen tersebut. “Kami juga tahu bahwa banyak dari rakyat kami yang terjebak dalam perjudian online, menguras APBN, dan tidak memberikan kontribusi berarti pada masyarakat. Tapi, ini bukan langkah yang mudah untuk kami ambil.”

Perdana Menteri India, yang berada di sisi kiri meja konferensi, menimpali. “Sama dengan Indonesia, kami pun punya banyak populasi yang kesulitan mendapat pekerjaan. Jika kerja sama ini dapat mengurangi pengangguran dan menciptakan SDM yang lebih terlatih, kami bisa pertimbangkan.”

Di seberang meja, delegasi PBB yang hadir sebagai pengamat hanya bisa terdiam, tampak canggung dengan perdebatan ini. Seorang pejabat PBB, yang duduk di pojok, tampak tak nyaman dengan diskusi tersebut dan berbisik kepada rekannya, “PBB hanya bisa tepok jidat melihat situasi ini. Dunia benar-benar sudah berubah.”

Akhirnya, setelah diskusi panjang dan negosiasi yang intens, negara-negara dengan populasi besar itu setuju untuk mengirimkan sebagian rakyatnya yang dianggap sebagai beban negara sebagai sukarelawan untuk mendukung operasi NATO. Di Indonesia, keputusan ini kembali menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat mengecam langkah tersebut, namun sebagian lainnya melihatnya sebagai cara untuk mengatasi permasalahan populasi dan pengangguran yang mengganggu stabilitas sosial.

Di sebuah warung kopi di Jakarta, dua orang pria tengah berdiskusi tentang keputusan terbaru pemerintah.

“Jadi, pemerintah mau mengirim orang-orang yang main judi online ke medan perang?” tanya Reza sambil mengaduk kopi hitamnya. “Gila, ya. Negara kita benar-benar main keras sekarang.”

“Bukan hanya pemain judi,” jawab Rahmat, temannya. “Ini berlaku untuk semua orang yang dianggap kurang produktif dan membebani ekonomi. Kalau mereka mau jadi sukarelawan, mereka dapat pelatihan, kalau nggak ya... mungkin mereka tetap disanksi.”

Reza menghela napas, seakan-akan masih tak percaya. “Dulu kita dikirim ke luar negeri untuk belajar dan membangun negara, sekarang dikirim ke luar negeri untuk bertempur demi NATO. Dunia memang sudah gila.”

Sementara itu, di negara-negara NATO, berita tentang kerja sama ini menuai respons beragam. Banyak warga sipil mulai merasa lega bahwa mereka tidak lagi harus menjadi sukarelawan di medan perang, dan sebagian dari mereka mulai melihat ini sebagai kesempatan bagi NATO untuk mengatasi kekurangan tenaga. Para politisi NATO berdalih bahwa langkah ini adalah jalan keluar paling realistis di tengah konflik global yang semakin kompleks.

Di sisi lain, keputusan ini menciptakan jurang baru dalam komunitas internasional. PBB mulai khawatir dengan dampak sosial dari kebijakan ini, terutama mengingat bahwa para "sukarelawan" tersebut berasal dari negara-negara berkembang yang sering kali tidak memiliki pilihan hidup yang lebih baik.

Dalam pertemuan PBB yang diadakan beberapa waktu setelah kebijakan ini dilaksanakan, seorang perwakilan dari LSM internasional angkat bicara dengan nada pedas. “Apakah kita sekarang hanya akan memanfaatkan negara-negara berkembang sebagai sumber tenaga murah di medan perang? Ini jelas bentuk eksploitasi!”

Seorang diplomat dari Indonesia, yang hadir di pertemuan tersebut, segera menanggapi. “Negara kami memiliki hak untuk membuat keputusan terbaik bagi rakyatnya. Kita menghadapi krisis populasi dan beban ekonomi yang berat. Kebijakan ini adalah jalan yang kami tempuh untuk mengatasi masalah tersebut. Dan saya yakin, mereka yang menjadi sukarelawan akan mendapat pelatihan dan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka.”

Pertemuan itu memanas, namun pada akhirnya, PBB tetap tidak memiliki otoritas untuk mengubah keputusan yang sudah diambil. Negara-negara berkembang yang bekerja sama dengan NATO meneruskan kebijakan mereka, dan para "sukarelawan" pun mulai diberangkatkan ke berbagai zona konflik di Timur Tengah.

Di Indonesia, para sukarelawan dari kelas pekerja rendah yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan perjudian online mulai digiring menuju pelatihan militer. Bagi mereka, kesempatan ini adalah jalan baru dalam hidup, meskipun penuh risiko. Sementara itu, masyarakat dunia menyaksikan langkah-langkah yang diambil negara-negara ini dengan campuran rasa takut, kagum, dan skeptisisme.

Pada akhirnya, dunia terus berubah, dan kebijakan kontroversial ini menjadi cerminan dari era baru: sebuah zaman di mana krisis ekonomi dan ledakan penduduk tak lagi sekadar masalah, tetapi juga menjadi sumber kekuatan dalam percaturan geopolitik global.

FIKSI ILMIAH-FANTASI : MESIN PENGHANCUR MANUSIA TOKSIK

Jalan Tol Berujung Maut

Di tengah riuhnya kota Jakarta, tepat di samping jalan tol utama, berdiri megah sebuah bangunan baru dengan gerbang tinggi bertuliskan "Tol Khusus Sepeda Motor." Setelah bertahun-tahun wacana, pemerintah akhirnya meluncurkan jalan tol ini, dengan maksud untuk memperlancar mobilitas bagi pengguna sepeda motor yang terus meningkat setiap tahun. Namun, di balik alasan populis yang diumumkan, terdapat tujuan yang jauh lebih suram.

Program ini, yang diberi nama "Rencana Tol Bervisi", adalah upaya pemerintah untuk "meningkatkan kualitas hidup masyarakat" dengan cara yang tidak terduga: menciptakan kondisi berkendara berbahaya di jalan tol yang dirancang khusus untuk sepeda motor, yang memungkinkan kecepatan tinggi, namun tanpa pagar pembatas atau regulasi kecepatan yang ketat. Namun, di balik segala gemerlap media dan pidato tentang infrastruktur, terdapat kehadiran mesin misterius yang ditempatkan di ujung jalur tol. Sebuah mesin grinder raksasa yang diberi nama "Alat Penjaga Keberlangsungan Negara"—sebuah alat yang tidak hanya mengolah limbah, tetapi juga siap menghancurkan segala yang mendekat tanpa ampun.


Di dalam kantor pusat, Menteri Perekonomian, Pak Darmawan, tengah berbincang dengan Ketua Pelaksana Proyek, Bu Amira, sambil menyeruput kopi.

"Bu Amira, tolong pastikan semua mesin grinder itu siap beroperasi di setiap ujung tol, ya. Kita harus memastikan bahwa proyek ini berjalan dengan baik. Tingkatkan juga promosi untuk jalur ini, berikan iming-iming bahwa tol ini benar-benar menguntungkan rakyat kecil," kata Darmawan dengan nada tenang namun tegas.

Bu Amira mengangguk sambil tersenyum sinis. "Tentu, Pak Darmawan. Saya sudah menyebarkan instruksi ke semua wilayah. Dalam satu atau dua bulan, kita pasti sudah melihat hasilnya. Perubahan ini adalah langkah yang berani, tetapi Anda benar, kita membutuhkan perubahan ekstrem untuk meningkatkan produktivitas."

Bagi pemerintah, proyek ini memiliki dua lapisan tujuan: membebaskan jalanan kota dari pengendara yang ceroboh sekaligus menghemat anggaran negara dari biaya pemakaman. Proyek ini dikampanyekan sebagai "wujud nyata modernisasi," meskipun sebenarnya menjadi perangkap bagi masyarakat. Aliran uang yang biasanya dialokasikan untuk pemakaman kini dapat digunakan untuk sektor pendidikan, riset, dan pemberdayaan SDM berkualitas. Namun, konsep ini hanya dipahami oleh segelintir elit pemerintahan, dan rakyat masih menyambutnya sebagai inovasi transportasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.


Setahun setelah jalan tol motor itu beroperasi, angka kecelakaan meningkat tajam. Setiap hari, puluhan hingga ratusan pengendara motor terluka parah atau kehilangan nyawa. Di ujung tol, mesin grinder berfungsi sebagai "solusi cepat" untuk mengelola jasad para korban kecelakaan yang tak tertolong.

Di pinggiran tol, Hadi, seorang teknisi tol, menyaksikan sebuah sepeda motor tergelincir dan akhirnya meluncur ke arah mesin grinder dengan kecepatan yang mengerikan. Dalam sekejap, tubuh sang pengendara tersedot dan musnah menjadi abu. Hadi bergidik setiap kali melihat kejadian seperti itu, tapi ia tidak memiliki kuasa apa pun. Yang ia tahu, ia dipekerjakan untuk "menjaga" mesin itu tetap berfungsi.

Di suatu malam, Hadi bertanya kepada rekannya, Dimas, yang bertugas di pos yang sama. "Mas Dimas, apa nggak aneh, sih, kalau kita sebenarnya disuruh menjaga mesin yang—well, menghancurkan orang-orang seperti ini? Bukannya ini lebih kejam daripada apa pun yang pernah aku bayangkan?"

Dimas mengangkat bahu, tampak tidak terlalu peduli. "Begini, Hadi. Pemerintah pasti punya alasan. Mereka kan tahu, negara ini butuh SDM yang kuat, yang bisa kerja dan punya masa depan. Kalau mereka yang ceroboh malah mati di jalan, itu kan risiko mereka sendiri. Lagi pula, kita digaji untuk ini. Fokus saja pada pekerjaan kita, bro."


Sementara itu, di rumah, seorang ibu bernama Bu Siti mengusap punggung anaknya yang masih kecil. Ia kehilangan suaminya dalam sebuah kecelakaan di jalan tol motor itu hanya dua bulan yang lalu. Di televisi, tayangan berita menampilkan angka pertumbuhan ekonomi yang meningkat drastis hingga 8%. Penghasilan negara melambung tinggi berkat penghematan biaya pemakaman dan redistribusi anggaran ke sektor yang lebih produktif. Namun, Bu Siti merasa hampa melihat semua itu.

Suatu hari, Bu Siti duduk di ruang tamu, berbicara pada kakaknya, Pak Ahmad, yang juga bekerja sebagai pengamat kebijakan sosial. "Mas Ahmad, apakah benar jalan tol ini untuk kebaikan kita? Apa ini yang namanya pembangunan?"

Pak Ahmad menggelengkan kepala dengan wajah murung. "Tidak, Siti. Ini cara yang sinis untuk mengendalikan penduduk. Pemerintah seolah-olah mendorong kita agar saling sikut, saling berkompetisi dalam cara yang berbahaya. Setiap kecelakaan yang terjadi malah memberi 'keuntungan' buat mereka, karena itu mengurangi populasi yang dianggap 'beban'. Ini bukan pembangunan, ini pengurangan populasi terselubung."

Bu Siti menatap lantai, matanya penuh dengan kesedihan dan kemarahan. "Apakah kita semua hanya angka? Hanya statistik yang bisa diubah demi keuntungan?"


Sepuluh tahun kemudian, jalan tol khusus motor itu terus beroperasi dengan jumlah korban yang terus meningkat, namun ekonomi Indonesia tampak bersinar di atas kertas. Dalam rapat kabinet, Pak Darmawan tersenyum puas sambil membagikan laporan kepada para menteri. "Lihatlah data ini. Pengurangan pengeluaran di sektor pemakaman memungkinkan kita untuk menambah anggaran pendidikan hingga 20% lebih tinggi. Dan angka-angka ini adalah bukti nyata bahwa strategi kita berhasil. Populasi yang lebih tangguh dan disiplin kini mendominasi pasar tenaga kerja."

Namun, di sisi lain, rakyat mulai menyadari bahwa mereka hidup dalam ketakutan setiap kali berkendara di jalan tol motor. Rakyat kecil yang dulunya melihat tol ini sebagai kemajuan kini menyadari bahwa jalan ini hanyalah jebakan. Mereka merasa dimanipulasi, dan kabar soal keberadaan mesin grinder di ujung tol mulai menjadi rahasia umum yang mengusik hati banyak orang.

Di pinggiran kota, Bu Siti yang sekarang memimpin sebuah kelompok sosial, menyusun strategi untuk mengadvokasi perubahan. Mereka berusaha menyuarakan suara rakyat, namun setiap upaya mereka dipadamkan dengan propaganda pemerintah yang semakin kuat.

"Kita harus berhenti mempercayai mereka, saudara-saudara!" seru Bu Siti di hadapan anggota kelompoknya. "Kita harus melawan, karena kita bukan sekadar angka. Kita adalah manusia yang punya hak untuk hidup layak!"

Suara mereka yang makin lantang menarik perhatian banyak orang, memunculkan kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah dibangun di atas pengorbanan yang tidak adil.


Sementara pemerintah berusaha menutupi pemberontakan ini dengan propaganda tentang keberhasilan ekonomi, mereka tidak dapat mengabaikan bahwa rakyat mulai melihat kebenaran di balik program "Tol Bervisi." Perlahan namun pasti, gerakan rakyat kecil tumbuh, membentuk komunitas-komunitas yang mendidik diri sendiri untuk menentang aturan yang merugikan.

Di balik kaca kantornya yang besar, Pak Darmawan menatap jalan tol motor itu. Pandangannya tampak kosong, menyadari bahwa mungkin dalam mengejar ekonomi yang 'sempurna', ia telah menciptakan mimpi buruk bagi rakyatnya.

"Seandainya kita dulu memilih jalan yang berbeda, mungkin ini semua tidak perlu terjadi," gumamnya lirih, menyadari bahwa rakyat yang ia anggap lemah kini tumbuh kuat dalam persatuan.

Di Balik Standar Ganda

Di tengah panasnya protes internasional terhadap kebijakan kontroversial Indonesia, dunia terpecah. Program "Tol Khusus Motor" yang diterapkan Indonesia, lengkap dengan mesin grinder di ujung jalan, menjadi perhatian publik global. Banyak yang mengutuk tindakan ini sebagai pelanggaran HAM yang terang-terangan. Protes keras muncul dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, yang dengan lantang menyerukan bahwa tindakan ini mencederai prinsip kemanusiaan.

Namun, di balik layar, situasinya jauh lebih kompleks. Di negara-negara yang mengkritik itu, ada isu-isu domestik yang membara, terutama terkait gelombang besar imigran dan pengungsi dari Timur Tengah dan Amerika Latin. Di Amerika Serikat, tembok perbatasan yang sempat dibangun oleh Presiden Donald Trump telah dilanggar, dan ribuan imigran gelap berhasil menyeberang. Gelombang migrasi ini memicu kerusuhan, kejahatan meningkat tajam, dan stabilitas sosial pun terancam. Uni Eropa juga menghadapi situasi serupa, dengan pengungsi yang datang dari Timur Tengah dan Afrika terus membanjiri benua itu. Jepang dan Korea Selatan, meskipun lebih tertutup terhadap imigrasi, mulai merasa terancam oleh pergeseran global ini.


Di suatu kantor rahasia di Brussels, seorang perwakilan Uni Eropa, Pierre Dubois, tengah berbicara dengan seorang agen dari Timur Tengah.

"Kami tidak bisa lagi menangani arus masuk imigran ini," kata Pierre dengan nada frustasi. "Para politisi terus menekan kita untuk bertindak lebih manusiawi, tapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di lapangan. Jika ini terus berlangsung, kita akan melihat Eropa runtuh dari dalam."

Agen itu menatap Pierre dengan serius, lalu berkata, "Kami telah mendengar bahwa Indonesia menggunakan metode... yang cukup ekstrem untuk mengendalikan populasi. Itu mungkin bisa menjadi solusi bagi kita, Pierre. Bukankah sudah waktunya kita mempertimbangkan cara yang lebih tegas?"

Pierre terdiam sejenak, namun segera mengangguk. Ia tahu, meski ia menyebut Indonesia kejam, pada kenyataannya mereka mulai tertarik untuk menggunakan metode serupa. Alat yang disebut grinder itu, yang sebelumnya hanya ada dalam cerita fiksi, kini menjadi kenyataan di Indonesia, dan efektivitasnya tidak dapat dipungkiri.


Sementara itu, di sebuah kantor di Tokyo, Jepang, seorang pejabat kementerian dalam negeri berbicara dengan koleganya dari Korea Selatan.

"Lihatlah, Korea Selatan dan Jepang sebenarnya memiliki masalah yang sama. Kita butuh strategi untuk mengendalikan para imigran yang terus meningkat. Mungkin, metode yang digunakan Indonesia itu... bisa kita adaptasi," kata Tetsuo Sato, pejabat Jepang tersebut.

Rekannya dari Korea Selatan, Park Min-jun, tampak berpikir sejenak sebelum menanggapi. "Tetsuo-san, itu adalah langkah ekstrem. Tapi aku setuju bahwa kondisi sekarang menuntut cara yang tidak biasa. Apa menurutmu kita bisa mendapatkan mesin itu... secara rahasia?"

Tetsuo menatap Park dengan mata penuh kesungguhan. "Kita akan coba negosiasi dengan Yuri, pemilik hak paten grinder tersebut. Dia dikenal misterius, namun jika kita berhasil menjalin kerja sama dengannya, kita bisa mengimpor alat itu tanpa mencolok."


Beberapa minggu kemudian, di sebuah gedung pertemuan rahasia di Swiss, seorang pria bertubuh tegap, berambut abu-abu, dan mengenakan jas hitam duduk dengan tenang. Pria itu adalah Yuri, sang pemegang hak paten untuk mesin grinder. Di hadapannya duduk para perwakilan dari berbagai negara—Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan—yang secara diam-diam tertarik dengan alat yang telah ia ciptakan.

"Tuan-tuan, saya mengerti bahwa Anda semua tertarik untuk membeli grinder ini," kata Yuri dengan senyum dingin. "Mesin ini bukan sekadar penghancur benda mati. Ini adalah alat untuk menegakkan tatanan sosial, cara untuk memastikan stabilitas. Indonesia telah membuktikan efektivitasnya."

Seorang perwakilan Amerika Serikat, Mr. Jefferson, menyelipkan tangan di sakunya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Yuri, Anda tahu bahwa kami menghadapi tekanan besar karena isu HAM. Namun, kami benar-benar membutuhkan solusi untuk menangani masalah imigrasi yang semakin tak terkendali. Dengan mesin ini, kami berharap dapat memperbaiki situasi dalam negeri."

Yuri tertawa kecil. "Ironis, bukan? Di depan publik, Anda semua menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM. Namun, kini kalian berdiri di sini, di hadapan saya, meminta produk yang sama. Dunia ini penuh dengan standar ganda."

Perwakilan dari Uni Eropa menatap Yuri dengan tajam. "Kami tahu ini terkesan munafik. Tapi terkadang, untuk menyelamatkan sebuah negara, kami harus mengorbankan beberapa hal yang tidak populer."


Di ruang pertemuan PBB, Amerika Serikat, Israel, dan sekutu-sekutu mereka tengah menyusun resolusi untuk "menginvestigasi" kebijakan Indonesia terkait tol motor. Namun, di balik layar, mereka melobi PBB untuk tidak mengganggu "penegakan peraturan dalam negeri" Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Keputusan ini membuat banyak pihak terheran, namun desakan dari negara-negara adidaya membuat PBB tak berkutik.

Di sela-sela rapat, diplomat Indonesia, Bu Ratna, berbincang dengan diplomat Israel.

"Israel, kalian mendesak PBB untuk mengawasi kami, tetapi di saat yang sama, kalian melindungi kebijakan keras di dalam negeri. Apa kalian tidak merasa bahwa ini adalah standar ganda yang terang-terangan?"

Diplomat Israel itu tersenyum simpul. "Bu Ratna, ini bukan soal standar ganda. Ini soal melindungi stabilitas. Kita semua tahu bahwa terkadang, kita harus menampilkan satu wajah ke publik, dan wajah lainnya di balik layar. Mungkin Indonesia telah memberikan kami inspirasi."


Setahun kemudian, mesin grinder mulai diimplementasikan secara diam-diam di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Hanya sedikit yang tahu keberadaan mesin-mesin ini, namun efektivitasnya dalam "mengelola" imigran ilegal yang tertangkap mulai tampak dalam penurunan jumlah pendatang gelap. Para aktivis HAM mulai mengendus adanya kejanggalan, namun sulit bagi mereka untuk menemukan bukti konkret.

Di Tokyo dan Seoul, teknologi grinder juga mulai diadaptasi, meskipun diimplementasikan dengan lebih tersembunyi dan rapi. Bagi mereka, ini adalah "langkah pragmatis" untuk melindungi kesejahteraan rakyat.

Di Indonesia, Bu Siti, yang kini menjadi tokoh aktivis terkemuka, menonton siaran berita internasional yang membahas metode serupa yang mulai diterapkan di berbagai negara. Ia merasa marah, tetapi juga tidak heran. Dunia tampaknya lebih mementingkan stabilitas di atas nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini mereka gaungkan.

Di dalam rapat internal, Bu Siti berbicara kepada para anggota kelompoknya, "Kita tidak sendirian dalam menghadapi kebijakan yang mengerikan ini. Dunia kini menunjukkan wajah aslinya, bahwa mereka tidak lebih baik dari kita. Yang membedakan adalah mereka memiliki kekuatan untuk menutupi kejahatan mereka di balik propaganda yang manis."

Dalam sebuah pertemuan tertutup, Yuri duduk di ruangan gelap, menatap layar yang menampilkan berita tentang penggunaan mesinnya di seluruh dunia. Ia tersenyum puas, mengetahui bahwa ideologi pragmatisnya telah merasuki berbagai bangsa.

"Inilah dunia yang sejati," gumam Yuri. "Sebuah dunia yang tidak pernah benar-benar mengenal kata 'kemanusiaan' tanpa batas."

Dengan ini, Yuri merasa misinya untuk "menata ulang dunia" dengan visinya yang dingin telah berhasil.

Karma Berdarah di Tanah Air

Lima tahun setelah kebijakan tol motor maut dan mesin grinder diterapkan, Indonesia berada di ambang krisis baru. Ekonomi yang sebelumnya meroket kini jatuh dengan keras. Kasus megakorupsi besar-besaran terungkap; para oligarki, pejabat tinggi, hingga agen asing terlibat dalam skandal penggelapan dana yang menguras APBN hingga ribuan triliun rupiah. Laporan ini mengejutkan rakyat dan mempermalukan pemerintah yang sebelumnya bersikeras bahwa kebijakan keras mereka untuk "mengurangi beban" adalah demi kebaikan bangsa. Ketika ekonomi menukik, kepercayaan rakyat terjun bebas.

Namun, pemerintah tidak menyerah. Dalam usaha untuk membersihkan nama mereka, presiden langsung mengadakan pertemuan rahasia dengan para ahli teknologi di sebuah gedung tua di Jawa Timur.

"Kita butuh transparansi yang tak bisa ditembus," kata presiden dengan suara bergetar, matanya menatap para ilmuwan yang berkumpul. "Saya ingin blockchain. Bukan sistem yang mudah dimanipulasi atau dihancurkan. Ini harus menjadi tembok yang tak tertembus bagi para koruptor."

Para ilmuwan, yang dipimpin oleh seorang pria bernama Pak Rendra, mendengarkan dengan saksama. Mereka tahu tugas ini akan sulit, tapi juga peluang untuk menciptakan sejarah.

"Kami mengerti, Pak Presiden. Blockchain bisa bekerja. Dengan sistem desentralisasi dan transparansi, rakyat bisa memantau setiap transaksi dalam APBN. Tapi kita butuh jaminan keamanan dari para oligarki yang mungkin tak suka melihat transparansi ini," jelas Rendra, menatap tajam ke arah presiden.


Sementara itu, di sebuah rumah sederhana, Bu Siti terkejut saat menerima undangan dari istana. Beberapa tahun sebelumnya, suaminya tewas di tol motor maut, dan pemerintah tak pernah memberikan kompensasi yang memadai. Kini, dengan ajakan kolaborasi ini, Bu Siti tak langsung percaya. Namun, anak-anak dan keluarga mendorongnya untuk datang.

Di istana, presiden menyambut Bu Siti dengan tulus.

"Bu Siti, kami meminta maaf atas segala yang telah terjadi. Kami mengerti bahwa keputusan-keputusan kami di masa lalu mungkin telah menimbulkan banyak penderitaan bagi keluarga Anda. Namun kini, kami ingin meminta bantuan Anda untuk memimpin perjuangan melawan para koruptor ini. Negara sedang terluka parah."

Bu Siti, yang duduk diam, menatap presiden. "Anda meminta bantuan saya? Setelah apa yang kalian lakukan?"

Presiden menunduk. "Kami tahu kami salah, Bu. Kami juga menawarkan kompensasi berupa lahan ganti untung dari Pertamina, sebagai bentuk penebusan. Dan lebih dari itu, kami ingin Ibu memimpin perjuangan ini bersama rakyat. Para koruptor ini... tidak layak menerima belas kasihan kita."

Bu Siti berpikir sejenak, melihat peluang ini sebagai kesempatan untuk menebus luka yang ia rasakan bertahun-tahun. "Baik, Pak Presiden. Tapi ingat, ini bukan sekadar tentang kompensasi. Ini adalah perjuangan untuk masa depan yang lebih baik."


Dalam beberapa bulan, sistem blockchain yang dibangun oleh para ilmuwan di Jawa Timur mulai beroperasi. Setiap aliran dana yang mencurigakan langsung terdeteksi dan ditampilkan dalam data publik yang bisa diakses rakyat. Transparansi ini mengguncang para pejabat korup dan oligarki. Nama-nama besar terungkap, dan rakyat akhirnya mengetahui siapa yang telah merampok negara.

Di tengah gegap-gempita itu, pemerintah mengumumkan langkah drastis. Mereka memberikan izin kepada rakyat untuk menuntut keadilan langsung terhadap para pelaku korupsi yang terbukti. Tak hanya mengungkap, tetapi juga menangkap dan "menghukum" mereka dengan tangan sendiri, sebelum para tersangka dimasukkan ke mesin grinder sebagai hukuman akhir.


Di sebuah kawasan perumahan elit, seorang tokoh oligarki ternama, Pak Surya, sedang dikepung warga yang marah.

"Pak Surya! Apa yang kau lakukan dengan uang kami?" seorang warga berteriak sambil mengacungkan tangannya.

Pak Surya yang panik hanya bisa mundur. "Saya... saya bisa jelaskan... ini hanya salah paham!"

Namun, tak ada lagi yang mau mendengarkan. Para warga mulai merangsek maju, menyeretnya keluar dari mobil mewahnya. Wajahnya mulai babak belur saat mereka memukulinya tanpa ampun.

Di sebuah ruang yang berbeda, Bu Siti menyaksikan apa yang terjadi melalui layar besar yang menampilkan secara langsung penangkapan para pejabat korup. Air matanya menetes, tapi bukan karena belas kasihan. Ini adalah rasa lega yang telah lama ia tunggu-tunggu. Suaminya yang dahulu menjadi korban kebijakan tol maut, kini seolah mendapatkan pembalasan melalui perjuangan rakyat.

Seorang asisten istana menghampirinya, "Bu, presiden ingin tahu apakah Anda akan bergabung dengan rombongan yang menangkap para pelaku korupsi besar di gedung DPR nanti."

Bu Siti menghela napas, lalu menjawab dengan tegas, "Tentu. Ini adalah tanggung jawab saya kepada mereka yang telah pergi tanpa keadilan."


Pada hari yang telah ditentukan, ribuan rakyat berkumpul di depan gedung DPR, meneriakkan nama-nama koruptor yang selama ini bersembunyi di balik jabatan. Ketika para koruptor digiring keluar gedung satu per satu, rakyat tak segan-segan untuk melampiaskan amarah mereka. Para koruptor yang babak belur dilempar ke dalam mesin grinder yang sudah menunggu. Suara jeritan dan erangan memenuhi udara, namun rakyat tetap bersorak penuh kemenangan.

Presiden, yang menyaksikan dari kejauhan, hanya bisa bergumam lirih. "Mungkin ini harga yang harus kami bayar untuk kesalahan kami di masa lalu. Biarlah rakyat sendiri yang menjadi hakim bagi mereka yang telah merusak negara."

Sementara itu, Bu Siti berdiri di barisan paling depan, menyaksikan setiap detik yang terjadi. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa keadilan telah ditegakkan, meski dengan cara yang tak biasa.


Dengan berjalannya waktu, ekonomi Indonesia perlahan pulih, namun dengan bekas luka yang tak mudah hilang. Kebijakan ini menjadi bahan diskusi internasional, bahkan PBB menolak memberikan sanksi terhadap Indonesia karena tekanan dari rakyat yang mendukung penuh kebijakan ini. Meski banyak yang mengutuknya sebagai tindakan barbar, rakyat melihat ini sebagai cara untuk membersihkan negeri dari mereka yang telah mencederai harapan.

Bu Siti menjadi sosok yang disegani, memimpin perjuangan rakyat melawan segala bentuk ketidakadilan yang tersisa. Dan ketika dunia melihat pada Indonesia dengan rasa ngeri dan penasaran, Bu Siti tahu, bahwa ini adalah perjalanan panjang yang telah membayar harga yang mahal untuk sebuah keadilan yang selama ini tak tergapai.

Yuri, sang pencipta mesin grinder yang kini menjadi simbol ketegasan Indonesia, menyaksikan semua ini dari markasnya. Sambil tersenyum dingin, ia berpikir bahwa alat buatannya bukan hanya sekadar mesin penghancur, tapi juga mesin yang mengubah sejarah.

Hukum Besi di Dunia yang Kacau

Dunia Barat dalam kekacauan besar. Negara-negara maju yang selama ini menjadi simbol HAM dan kebebasan menghadapi serangkaian krisis yang tak terduga, dimulai dengan krisis imigrasi besar-besaran yang kini menjadi sumber konflik internal di Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Korea Selatan. Aksi terorisme kian menjadi, dan pemberitaan menjadi suram saat bom nyaris meledak di Vatikan, membahayakan nyawa Paus. Gelombang protes yang menuntut tindakan keras terhadap imigran ilegal semakin menguat. Partai-partai sayap kanan di Eropa dan Amerika tak lagi sekadar memprotes; mereka kini mendesak tindakan radikal dan menuntut penerapan hukum keras yang selama ini dicontohkan oleh negara-negara Asia yang sebelumnya dianggap "kejam" oleh Barat.

Di tengah seruan massa yang mendukung kekerasan, muncul sebuah sosok yang dikenal dengan gaya penyelesaian masalahnya yang tanpa kompromi. Sosok ini bukanlah politisi atau pejuang hak asasi manusia; ia adalah Yuri, penemu mesin grinder yang dipopulerkan di Indonesia untuk “membersihkan” pelanggar berat hukum. Dengan mata tajam dan senyum licik, Yuri menyaksikan dari jauh saat dunia Barat terjebak dalam kemunafikan mereka sendiri. Ketika negara-negara ini diam-diam menghubunginya untuk membeli teknologi grinder, Yuri tahu bahwa dunia telah benar-benar berubah.


Di ruang bawah tanah sebuah gedung pemerintahan di Washington D.C., sekelompok pejabat Amerika berkumpul dalam suasana yang tegang.

"Apakah kalian gila? Mesin itu adalah pelanggaran HAM yang brutal!" salah satu anggota parlemen memprotes dengan keras.

Namun, kepala biro imigrasi yang duduk di meja ujung balas menatapnya dengan tajam. "Kita tidak punya pilihan lagi. Kita kehilangan kendali. Setiap hari ada ribuan imigran ilegal yang masuk. Para penjahat itu tidak hanya membawa kekacauan, tetapi juga narkoba yang telah menelan ribuan nyawa anak-anak bangsa kita. Dan bom di Vatikan hampir saja membuat Paus tewas!"

Para anggota parlemen terdiam, wajah mereka tegang. Krisis ini terlalu parah. Dan yang lebih buruk, rakyat telah mulai mendukung langkah-langkah kekerasan untuk mengatasi masalah tersebut.

Di antara mereka, seorang perwakilan dari CIA berbicara, "Yuri telah memberi tahu kita tentang sistem yang dapat mempercepat penyelesaian ini. Teknologi grinder yang dia jual bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk menyaring siapa saja yang layak berada di tanah ini."

Para hadirin berpandangan satu sama lain. Ini adalah pilihan terakhir. Setiap negara maju, dari Amerika Serikat hingga negara-negara Eropa, bahkan Jepang dan Korea Selatan, diam-diam mulai mengadopsi sistem yang mirip dengan metode grinder, mengabaikan segala bentuk protes atas hak asasi manusia.


Sementara itu, di ruang kerjanya, Yuri menerima panggilan dari salah satu pejabat di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia sudah menduga bahwa organisasi tersebut akan mencium aroma kebijakan keras yang sedang diadopsi negara-negara Barat. Namun, Yuri tahu PBB sendiri tak punya daya, bukan jika seluruh dunia sudah mulai sepakat.

"Yuri," suara di ujung telepon itu terdengar penuh tekanan. "Anda menyadari apa yang Anda lakukan? Ini akan memicu kontroversi besar di seluruh dunia."

Yuri tersenyum sinis. "Mungkin memang saatnya dunia kembali ke realitas. Kalian selama ini berpura-pura bersikap mulia, tapi ketika masalah semakin parah, kalian tahu tidak ada solusi yang lunak. Dunia yang semakin modern hanya menyembunyikan penyakit-penyakit moral di balik kemewahan. Mesin saya hanya akan membuang limbah yang sudah meracuni dunia."

"...Kita tahu ada standar yang harus kita jaga, Yuri," balas suara itu dengan nada getir.

"Apakah Anda tidak sadar? Dunia hanya memakai kata 'standar' sebagai tameng munafik. Sekarang, lihatlah bagaimana mereka semua kembali kepada saya. Ketika segala cara gagal, mereka kembali mencari tangan yang kotor untuk membersihkan kotoran mereka. Itu adalah hukum alam," jawab Yuri dingin.


Dua bulan setelah itu, peraturan baru mulai diterapkan di Amerika Serikat. Di bawah tekanan besar dari rakyat yang marah, para pejabat tak segan-segan mengimplementasikan kebijakan keras terhadap para imigran ilegal dan penjahat narkoba. Kasus kematian akibat penegakan hukum yang brutal meningkat, tapi masyarakat semakin terbiasa, seolah sudah hilang simpati. Eropa Barat dan Jepang tak ketinggalan; mereka mengikuti dengan metode yang sama.

Yuri menyaksikan semua ini dengan kepuasan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa inilah era baru yang ia impikan—sebuah era yang tidak lagi bersandiwara. Ia tak pernah mengharapkan dunia berubah dengan mulus. Dunia ini, dalam pandangannya, sudah lama terkontaminasi oleh kelalaian dan kelicikan manusia sendiri.

Di depan para investor dan pemimpin negara yang datang ke markasnya, Yuri berbicara dengan lantang, "Saya hanya menciptakan alat. Bagaimana kalian menggunakannya, itu adalah urusan kalian. Tetapi satu hal yang pasti, di dunia ini, yang lemah tidak akan bertahan. Jadi, kalian adalah penentu nasibnya."

Wajah-wajah yang ada di hadapannya tampak serius, mungkin bahkan ngeri. Namun, mereka tak berkata apa-apa. Mereka tahu bahwa apa yang Yuri katakan benar. Di dunia yang semakin kacau, moralitas dan belas kasihan menjadi barang mewah yang tak lagi relevan.


CATATAN PENTING!

Karakter Yuri dari Red Alert 2 memiliki beberapa kemiripan dengan karakter Thanos dari Avengers, meskipun mereka berasal dari dunia fiksi yang sangat berbeda dan memiliki motivasi yang sedikit berbeda pula. Berikut adalah beberapa aspek yang mirip antara keduanya:

  1. Pandangan Dunia Sinis dan Irasionalitas pada Manusia:

    • Yuri memiliki pandangan yang sangat sinis tentang manusia. Ia menganggap dunia modern penuh dengan kepalsuan dan kebobrokan moral, dan melihat dirinya sebagai pemurni yang "dibutuhkan" untuk membawa dunia kembali ke keseimbangan dengan cara-cara yang brutal.
    • Thanos dalam Avengers juga memiliki pandangan bahwa alam semesta terlalu penuh dengan makhluk hidup yang serakah dan tak terkontrol. Untuknya, pengurangan separuh populasi adalah satu-satunya jalan keluar untuk mencegah kehancuran total. Keduanya berpikir bahwa hanya metode ekstrem yang akan berhasil.
  2. Keinginan untuk Membawa Keseimbangan dengan Cara Ekstrem:

    • Yuri ingin "membersihkan" dunia dari apa yang ia anggap sebagai "limbah manusia," menggunakan mesin grinder untuk menyingkirkan mereka yang tidak layak menurut versinya. Ia tidak mempermasalahkan pandangan HAM, bahkan justru menikmati bagaimana sistemnya ini akhirnya diikuti oleh banyak negara lain yang dulu menentangnya.
    • Thanos, meskipun caranya berbeda, juga menggunakan metode drastis—membunuh setengah dari populasi. Ia percaya tindakan tersebut adalah satu-satunya jalan untuk menciptakan keseimbangan alam semesta dan memastikan kelangsungan hidup generasi berikutnya.
  3. Rasa Kepemilikan Terhadap Solusi Mereka:

    • Yuri memiliki keyakinan bahwa teknologinya, seperti grinder, adalah solusi sempurna bagi masalah dunia yang sudah tidak bisa lagi ditangani dengan cara-cara lembut. Baginya, apa yang ia ciptakan adalah solusi yang tak hanya efektif tetapi juga final, dan ia yakin ini adalah satu-satunya pilihan.
    • Thanos memiliki pandangan serupa tentang "rencana akhir" - penghancuran separuh kehidupan di alam semesta adalah satu-satunya cara yang benar menurutnya. Ia tak ragu bahwa misinya ini adalah takdirnya dan merasa memiliki hak untuk melaksanakannya, tak peduli bahwa dunia lainnya mungkin tidak setuju.
  4. Status Mereka sebagai 'Penyelamat yang Dipaksakan':

    • Yuri melihat dirinya sebagai sosok yang mengatasi masalah umat manusia dengan cara yang tidak akan dimengerti orang lain. Baginya, apa yang ia lakukan adalah "penyelamatan" bagi yang tersisa, meskipun rakyat hanya melihatnya sebagai pelaku kejahatan.
    • Thanos juga memiliki delusi serupa, bahwa ia adalah penyelamat yang diperlukan untuk memastikan kesejahteraan jangka panjang. Bahkan, ia merasa seperti pahlawan dalam misinya, meskipun ia sadar bahwa banyak yang menganggapnya sebagai penjahat.

Secara keseluruhan, Yuri dan Thanos sama-sama menggambarkan tokoh antagonis dengan kompleksitas motivasi moralitas abu-abu, dimana mereka benar-benar percaya bahwa jalan yang ekstrem adalah solusi untuk masalah besar. Mereka adalah karakter yang mengaburkan batas antara kebenaran dan kegilaan, dengan keduanya merasa terisolasi dari dunia yang tak memahami atau bahkan menentang visi mereka untuk "keseimbangan."