FIKSI ILIMIAH: KEDATANGAN ALIEN HUMANOID DI INDONESIA

 

Bab 1: Kedatangan Makhluk Bayangan

Pada suatu malam yang tenang di tahun 2026, sebuah pesawat misterius dengan desain organik dan futuristik mendarat dengan tenang di sekitar kawasan hutan Gunung Salak. Tidak ada ledakan atau kerusakan, hanya keheningan yang menyelimutinya. Dari dalam kapal itu, keluarlah sosok tinggi, kurus, dengan tubuh berbalut jubah hitam. Matanya berkilau dengan cahaya hijau, sementara tangan-tangan berselaput dan berkilau dengan energi psionik. Zeratul, salah satu pemimpin legendaris Protoss, telah datang ke Bumi.

“Planet ini... menarik, tapi penuh paradoks,” gumam Zeratul dengan suaranya yang dalam dan berbisik.
Sistem AI di dalam otaknya menyerap informasi dari setiap jaringan digital yang ditemuinya, termasuk berita-berita lokal Indonesia. Zeratul kini memahami bahasa dan masalah bangsa ini secara instan—mulai dari korupsi dalam tubuh KPK, kasus Ferdi Sambo, hingga merosotnya kualitas pendidikan dan kegagalan meritokrasi.


Bab 2: Pertemuan di Ibu Kota

Zeratul muncul di Jakarta, berjalan di antara manusia yang terkejut dengan keberadaan sosok alien misterius. Namun, kekuatannya untuk berpindah melalui bayangan membuat sebagian besar orang hanya merasa dia adalah kilasan tak nyata, seperti mimpi buruk di sudut mata. Hingga akhirnya dia tiba di Istana Negara, tepat di depan para penjaga yang membeku melihat sosok makhluk misterius berdiri tegap di pintu masuk.

Sebelum ada yang sempat bergerak, Zeratul berkata dengan tenang dalam bahasa Indonesia yang fasih:
“Aku ingin bertemu dengan pemimpin kalian.”

Presiden dan para pejabat tinggi yang awalnya cemas akhirnya mengadakan pertemuan tertutup dengan Zeratul di sebuah ruang konferensi rahasia. Mereka berharap makhluk ini datang membawa teknologi atau kekuatan baru yang bisa mereka manfaatkan.

“Salam, Zeratul,” ujar presiden dengan formalitas canggung. “Selamat datang di Indonesia. Apa yang bisa kami bantu?”

Zeratul menatap presiden dengan matanya yang bersinar redup. “Bukan aku yang membutuhkan bantuan. Kalianlah yang membutuhkannya.” Suaranya terdengar seperti bergema di dalam pikiran setiap orang di ruangan itu. “Negeri ini penuh dengan potensi, namun kalian menghancurkannya sendiri.”


Bab 3: Dialog dengan Kegelapan

Di ruang itu, Zeratul berbicara dengan para pejabat mengenai korupsi, sistem rusak, dan pemimpin-pemimpin yang gagal. Setiap kalimatnya menusuk langsung ke inti masalah. Para pejabat mulai merasa tidak nyaman, terutama ketika Zeratul menyebutkan nama-nama dan detail kasus korupsi yang seharusnya hanya diketahui kalangan dalam.

“Kasus Ferdi Sambo... kalian biarkan hukum dipermainkan oleh orang yang seharusnya menjaganya. KPK... lembaga yang seharusnya menjadi benteng melawan korupsi, kalian jadikan boneka.” Zeratul berdiri tanpa emosi, namun setiap kata seperti pisau yang memotong kebohongan mereka.

Presiden berusaha tersenyum, menyembunyikan kegugupannya. “Ini masalah kompleks, Tuan Zeratul. Kami sedang mencoba memperbaikinya, tetapi—”

Zeratul mengangkat tangannya, menghentikan presiden. “Aku telah melihat kekaisaran jatuh karena arogansi dan korupsi. Jangan berikan alasan padaku.” Cahaya hijau di matanya berpendar lebih terang. “Kalian tidak mencoba memperbaiki. Kalian menjaga agar semuanya tetap sama.”


Bab 4: Kunjungan ke Pinggiran

Setelah pertemuan itu, Zeratul memutuskan untuk bertemu dengan rakyat biasa. Ia menyusup dalam kegelapan menuju pasar, perkampungan, dan sekolah-sekolah di pinggiran Jakarta. Di sana, ia bertemu dengan orang-orang seperti Budi, seorang guru muda yang frustrasi dengan sistem pendidikan.

“Kami ingin membuat perubahan, tapi sulit, Pak,” keluh Budi, tidak sadar bahwa sosok di depannya adalah alien. “Yang pintar nggak bisa maju karena nggak ada koneksi. Yang kerja keras malah dimanfaatkan. Meritokrasi? Itu cuma slogan.”

Zeratul menatap Budi dengan tenang. “Kalian telah dikecewakan oleh mereka yang seharusnya memimpin.”

Budi mengangguk, suaranya penuh kelelahan. “Setiap kali kami mencoba melawan, orang-orang di atas itu lebih kuat. Kalau ada yang jujur, mereka dihancurkan. Habis sudah harapan kami.”

Zeratul memejamkan mata sejenak, seolah merenung dalam-dalam. “Di dunia kami, aku pernah melihat kegelapan yang hampir menelan seluruh peradaban. Tapi harapan tetap hidup, meski hanya dalam diri segelintir orang.” Ia menatap langsung ke mata Budi. “Kalian harus menjadi cahaya dalam kegelapan ini. Tidak ada makhluk dari luar yang bisa menyelamatkan kalian selain diri kalian sendiri.”


Bab 5: Pesan Terakhir di Monas

Pada malam berikutnya, Zeratul berdiri di puncak Monumen Nasional, memandangi kerlap-kerlip lampu Jakarta. Di hadapannya, ribuan orang berkumpul setelah mendengar berita tentang sosok alien misterius yang datang ke Indonesia.

Zeratul berbicara dengan suara yang bergema di dalam pikiran semua orang di alun-alun itu.

“Indonesia adalah bangsa besar dengan sejarah panjang dan budaya yang kaya. Namun, kalian telah membiarkan pemimpin yang buruk menghancurkan masa depan kalian.”

Orang-orang terdiam, mendengarkan setiap kata dari makhluk asing ini.

“Tidak ada teknologi atau kekuatan dari luar yang bisa memperbaiki keadaan kalian. Jika kalian ingin perubahan, maka kalian harus berani berdiri melawan ketidakadilan. Berhenti menunggu seseorang menyelamatkan kalian.”

Zeratul memandang ke arah kerumunan untuk terakhir kalinya. “Aku telah melihat peradaban yang hampir musnah, tapi mereka bertahan karena ada orang-orang yang berani melawan, meski peluang sangat kecil.” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Kalian harus menjadi cahaya bagi diri kalian sendiri. Karena di tengah kegelapan, hanya mereka yang berani melawan yang akan menemukan jalan.”


Epilog: Bayangan yang Tertinggal

Setelah Zeratul pergi, pidatonya menjadi sumber inspirasi bagi banyak anak muda Indonesia. Di media sosial, pesan tentang keberanian dan perubahan menyebar dengan cepat. Gerakan-gerakan rakyat mulai muncul, menuntut reformasi hukum, pendidikan, dan pemerintahan.

Namun, perubahan tidak datang dengan mudah. Para elite politik berusaha mempertahankan kekuasaan mereka, dan beberapa aktivis yang mencoba melawan malah dijebloskan ke penjara. Namun, sesuatu telah berubah di hati rakyat: mereka tidak lagi takut.

Di antara kerumunan demonstrasi di hari-hari berikutnya, seseorang menuliskan pesan di spanduk besar: “Di tengah kegelapan, kami akan menemukan jalan.”

Meskipun Zeratul telah pergi, bayangannya tetap tinggal—bukan sebagai sosok fisik, tetapi sebagai simbol harapan dan perlawanan. Dan di Indonesia yang masih berjuang dengan korupsi dan ketidakadilan, harapan mulai tumbuh. Lambat tapi pasti, rakyat mulai percaya bahwa perubahan bisa datang, asalkan mereka berani untuk melawan kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar