Bab 1: Kontak Pertama
Pada suatu malam di tahun 2025, sebuah objek raksasa dengan bentuk elegan seperti kapal selam raksasa mendarat dengan mulus di Samudra Pasifik. Kapal itu bersinar dengan warna biru keemasan, dan tampak lebih seperti karya seni daripada mesin perang. Tak lama setelah itu, siaran di seluruh dunia terganggu oleh pesan telepati yang terdengar dalam setiap bahasa manusia.
“Salam dari Protoss, bangsa kuno dari Aiur,” suara dalam pikiran semua orang begitu jelas dan mendalam. “Kami datang dengan damai. Kami mencari sumber daya untuk keberlangsungan peradaban kami. Dalam kebaikan, kami akan menukar teknologi yang melampaui batas imajinasi kalian.”
Berita kontak pertama ini menggemparkan dunia. Alih-alih disambut dengan serangan, bangsa Protoss menawarkan perjanjian ekonomi. Mereka meminta izin untuk menambang sumber daya mineral dan energi di seluruh Bumi, khususnya elemen-elemen langka seperti lithium, emas, dan uranium. Sebagai imbalan, mereka menjanjikan bantuan teknologi di bidang kesehatan, energi, dan transportasi.
“Mereka menawarkan solusi buat krisis energi kita, Bro!” seru Dimas pada sahabatnya, Andra, saat keduanya menonton berita. “Masa mau kita tolak?”
“Tapi mereka bisa aja punya maksud tersembunyi,” Andra mengingatkan. “Siapa tahu mereka ambil semua sumber daya kita dan tinggalin Bumi jadi planet mati?”
Namun, ketakutan itu kalah oleh janji-janji kemajuan instan. Dalam waktu beberapa bulan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencapai kesepakatan dengan Protoss.
Bab 2: Perubahan yang Tak Terduga (2025-2035)
Sepuluh tahun pertama setelah kedatangan Protoss membawa perubahan besar di seluruh dunia. Protoss memperkenalkan teknologi energi tanpa batas melalui kristal psionik, yang memungkinkan seluruh dunia beralih dari energi fosil. Kota-kota mulai menggunakan transportasi berbasis teleportasi, dan penyakit mematikan seperti kanker bisa disembuhkan dengan metode biologis canggih mereka.
Namun, harga yang harus dibayar segera terlihat. Protoss menambang secara besar-besaran, menggali hingga ke inti planet. Gurun Sahara dan hutan Amazon menjadi ladang tambang raksasa. Pegunungan Andes dan Himalaya diledakkan untuk diambil mineral berharga. Perubahan ekologis yang drastis memicu kerusakan lingkungan.
“Ini terlalu cepat,” ujar seorang ilmuwan lingkungan kepada komite PBB. “Ekosistem kita nggak bisa beradaptasi. Bencana akan datang.”
Namun, suara-suara seperti itu tenggelam oleh euforia kemajuan dan ketergantungan pada teknologi Protoss.
Di kota-kota besar, ekonomi mulai bergantung pada komoditas ekspor untuk bangsa Protoss. Setiap negara berlomba untuk menyuplai mineral dan energi demi mendapatkan lebih banyak akses teknologi.
Bab 3: Munculnya Ketergantungan dan Ketegangan Global (2035-2045)
Pada pertengahan dekade kedua, butterfly effect mulai terlihat. Ekonomi dunia berubah drastis. Negara-negara yang kaya mineral seperti Kongo, Australia, dan Brazil menjadi kekuatan ekonomi baru. Sementara itu, negara-negara tanpa sumber daya mulai mengalami kemunduran.
Ketegangan geopolitik meningkat. Negara-negara saling berebut hak akses atas ladang tambang yang masih tersisa. Konflik lokal berubah menjadi perang global berskala kecil, bukan lagi demi politik atau ideologi, tetapi demi sumber daya untuk bangsa Protoss.
Di tengah ketegangan, kelompok-kelompok manusia mulai menentang kehadiran Protoss. Mereka percaya bahwa makhluk ini hanya memperalat manusia dan akan meninggalkan Bumi dalam kehancuran. Di seluruh dunia, gerakan “Bumi untuk Manusia” bermunculan, menyerukan penghentian hubungan dengan Protoss.
“Mereka datang hanya untuk menjarah, dan kita malah berlutut pada mereka!” seru pemimpin protes dalam sebuah unjuk rasa di Washington DC.
“Kita harus hentikan ini sebelum terlambat!”
Namun, pemerintah dunia yang sudah sangat bergantung pada teknologi Protoss menolak tuntutan ini. “Kalau mereka pergi, kita akan terjun bebas ke abad kegelapan,” ujar seorang pemimpin negara.
Bab 4: Keruntuhan Ekologis dan Sosial (2045-2060)
Di dekade keempat, kerusakan ekologis menjadi tak terhindarkan. Lautan mengalami kerusakan parah akibat penambangan bawah laut, dan lapisan atmosfer semakin tipis karena eksploitasi energi psionik yang masif. Perubahan iklim ekstrem memicu bencana alam yang menghancurkan kota-kota pesisir dan lahan pertanian.
Ekonomi dunia mengalami krisis besar. Banyak negara miskin jatuh ke dalam kekacauan karena tidak mampu bersaing dalam perlombaan mendapatkan akses teknologi Protoss. Sementara itu, di negara-negara kaya, kesenjangan sosial semakin melebar. Hanya segelintir elit yang bisa menikmati keuntungan dari hubungan dengan Protoss.
“Lihat kita sekarang,” ujar Andra kepada Dimas, saat keduanya berdiri di balkon apartemen mewah di Singapura yang dikelola oleh Protoss. “Semua orang hidup dengan teknologi mereka, tapi mereka juga hidup dalam ketakutan. Entah kapan mereka akan pergi dan meninggalkan kita dengan kehancuran ini.”
Bab 5: Perpisahan yang Tak Terduga (2060-2075)
Di tahun 2065, sebuah peristiwa mengejutkan terjadi. Protoss mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan cukup sumber daya dan akan meninggalkan Bumi. “Kalian telah membantu kami mengamankan masa depan bangsa kami,” kata pemimpin Protoss dalam pesan terakhir mereka. “Sekarang saatnya kami pergi. Semoga kalian mampu melanjutkan perjalanan kalian sendiri.”
Kepergian mereka meninggalkan kehampaan besar. Tanpa teknologi Protoss, dunia kembali jatuh dalam krisis. Infrastruktur yang dibangun dengan teknologi mereka runtuh karena manusia tak mampu memeliharanya. Energi psionik menghilang, dan negara-negara harus kembali bergantung pada sumber energi tradisional yang hampir habis.
Di tengah kekacauan, banyak orang merasa ditinggalkan dan dikhianati. Generasi baru yang tumbuh dengan kemudahan teknologi Protoss merasa tidak siap menghadapi dunia yang kembali terpuruk. Ekonomi runtuh, dan konflik sosial serta perang saudara meledak di berbagai belahan dunia.
Epilog: Lima Puluh Tahun Setelah Kontak Pertama (2075)
Pada tahun 2075, Bumi adalah bayangan dari kejayaannya. Negara-negara telah pecah menjadi faksi-faksi kecil yang saling bersaing untuk sumber daya yang tersisa. Teknologi Protoss menjadi artefak langka yang diperebutkan. Banyak orang percaya bahwa makhluk asing ini hanya datang untuk menjarah, lalu meninggalkan umat manusia dalam kehancuran.
Namun, di tengah kehancuran itu, muncul secercah harapan. Generasi baru mulai mencari cara untuk bangkit kembali, bukan dengan mengandalkan teknologi asing, tetapi dengan memanfaatkan sumber daya dan pengetahuan yang masih mereka miliki.
“Kita pernah bergantung pada mereka, dan itu kesalahan kita,” ujar seorang pemimpin muda dalam pidatonya di hadapan rakyatnya. “Sekarang saatnya kita belajar untuk berdiri di atas kaki kita sendiri.”
Butterfly effect dari kedatangan Protoss telah mengubah Bumi selamanya. Meskipun bangsa manusia kehilangan banyak hal, mereka belajar satu pelajaran penting: tidak ada kekuatan luar yang bisa menyelamatkan mereka selain diri mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar