FIKSI ILMIAH: SAAT PIMPINAN ALIEN MIRIP MANUSIA TIBA DI INDONESIA

 

Bab 1: Kedatangan di Indonesia

Armada Terran tiba di orbit Bumi dan mendarat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbeda dengan kota-kota seperti New York atau Beijing yang menyambut mereka dengan parade dan negosiasi formal, di Indonesia, kedatangan mereka disambut dengan kebingungan, ketidakpastian, dan birokrasi berbelit.

Jim Raynor turun dari Medivac, pesawat transportasi canggih, di Jakarta. Dia mengenakan jaket kulit khasnya dan mengamati situasi sekitar dengan tatapan penuh minat. Jakarta menyambut dengan langit abu-abu dari polusi dan jalan-jalan yang macet oleh kendaraan tua. Di televisi yang terpajang di terminal bandara, berita soal kasus Ferdi Sambo dan KPK yang diintervensi pemerintah terus mengisi layar.

“Ini...” Raynor menggumam, menyesap kopi sachet yang baru dia beli di bandara. “Bukan seperti yang aku bayangkan.”

Di hadapannya, seorang pejabat pemerintah berdiri canggung. “Selamat datang di Indonesia, Tuan Raynor,” katanya, terpaksa berbicara dalam bahasa Inggris yang kaku. “Kami senang menyambut Anda di sini.”

Raynor memiringkan kepalanya dan menatap sang pejabat dengan senyum tipis. Berkat program AI linguistik di otaknya, Raynor bisa mengerti semua bahasa manusia dengan sempurna, termasuk bahasa Indonesia.

“Langsung ke intinya,” kata Raynor dalam bahasa Indonesia fasih, membuat sang pejabat terkejut. “Aku datang bukan untuk basa-basi. Aku butuh melihat kondisi negara ini sendiri.”


Bab 2: Bertemu dengan Realitas Indonesia

Dalam waktu singkat, Raynor berkeliling ke berbagai wilayah Indonesia. Dia melihat kemacetan kronis di Jakarta, banjir di berbagai sudut kota, dan antrean panjang pasien di rumah sakit pemerintah. Di kawasan pedesaan, ia melihat sekolah-sekolah yang nyaris runtuh dan anak-anak belajar di kelas tanpa buku dan fasilitas memadai.

Raynor duduk di sebuah warung kopi di pinggiran Jakarta, berbincang dengan seorang sopir ojek daring bernama Budi.

“Bagaimana kehidupan di sini, Budi?” tanya Raynor, menyeruput kopinya.

Budi tertawa getir. “Hidup di sini? Ya begini, Pak. Kerja keras dari pagi sampai malam, tapi uangnya pas-pasan. Pendidikan susah, yang kaya makin kaya, yang miskin makin sengsara. Korupsi, ya, seperti udara. Ada di mana-mana.”

Raynor mengamati Budi sejenak. “Kenapa kalian tidak mengganti orang-orang yang korup?” tanyanya, tampak serius.

Budi mengangkat bahu. “Mau gimana, Pak? Yang naik ke atas itu ya yang punya koneksi, bukan yang pintar atau kerja keras. Meritokrasi? Itu cuma di buku sekolah. Orang-orang jujur malah dikorbankan, seperti yang terjadi di KPK.”

Raynor termenung. Program AInya mencatat setiap kalimat, menyusun pola dan kesimpulan: Indonesia adalah negara dengan potensi besar, tapi terhambat oleh korupsi sistemik dan kepemimpinan buruk.


Bab 3: Pertemuan dengan Pemimpin Indonesia

Raynor akhirnya bertemu dengan presiden Indonesia di istana negara. Di ruang pertemuan ber-AC yang megah, ia duduk berhadapan dengan para pejabat tinggi.

“Tuan Raynor,” kata presiden dengan senyum politis. “Kami berharap Anda dan bangsa Terran bisa membantu membangun negara kami.”

Raynor menatap presiden itu dengan dingin, tanpa basa-basi. “Sebelum bicara soal kerja sama, aku ingin tahu kenapa lembaga seperti KPK—yang seharusnya melawan korupsi—malah diintervensi. Dan kenapa orang seperti Ferdi Sambo masih bisa mendapat pengaruh setelah kasus sebesar itu.”

Suasana ruangan berubah canggung. Para pejabat saling menatap, tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya, salah satu menteri berbicara dengan nada berputar-putar. “Kami sedang berusaha memperbaiki keadaan, Tuan Raynor. Tapi, masalah seperti ini... yah, kompleks.”

Raynor menyeringai. “Dengar, aku sudah berhadapan dengan penguasa korup dan tirani sepanjang hidupku. Dan satu hal yang aku tahu: orang-orang sepertimu tidak pernah berubah. Kalian hanya menunggu kesempatan untuk menekan rakyat sedikit lebih keras.”

Presiden menegang, namun sebelum bisa menjawab, Raynor melanjutkan. “Aku bisa membangun ulang negara ini dalam hitungan bulan. Kami punya teknologi dan kekuatan untuk memperbaiki sistem kalian. Tapi kalau kalian tidak bisa melepaskan mental korup dan nepotisme, kalian tidak butuh bantuan kami—kalian butuh revolusi.”


Bab 4: Teknologi Tanpa Mentalitas yang Siap

Raynor menyadari bahwa memberikan teknologi canggih ke Indonesia bisa berakhir dengan buruk. Di negara dengan literasi rendah dan pemerintahan korup, teknologi hanya akan memperkuat mereka yang sudah berkuasa. Bahkan AI dan otomatisasi bisa disalahgunakan untuk mengendalikan masyarakat, bukan membebaskannya.

“Teknologi adalah alat,” Raynor berkata pada dirinya sendiri saat dia berdiri di atas gedung tinggi, memandang lampu-lampu Jakarta yang berkedip di malam hari. “Tapi kalau diserahkan ke tangan yang salah, alat itu bisa berubah jadi senjata.”

Dia melihat potensi besar di kalangan rakyat biasa—orang-orang seperti Budi, yang bekerja keras setiap hari hanya untuk bertahan hidup. Namun, Raynor tahu bahwa tanpa pemimpin yang bersih dan sistem yang adil, negara ini akan terus terjebak dalam lingkaran stagnasi.

Di sebuah pabrik di Cikarang, Raynor berdialog dengan buruh-buruh muda yang berusaha berinovasi dengan alat sederhana. “Kalian tidak butuh orang seperti aku untuk membuat perubahan,” kata Raynor kepada mereka. “Kalian hanya butuh pemimpin yang benar-benar peduli.”


Bab 5: Pesan Terakhir Raynor

Pada hari terakhirnya di Indonesia, Raynor mengadakan konferensi pers di Monas. Dengan ratusan wartawan dan ribuan warga berkumpul di sekitarnya, ia berbicara jujur dan tanpa basa-basi.

“Indonesia punya potensi besar,” katanya. “Tapi masalah terbesar kalian bukanlah kurangnya teknologi atau sumber daya. Masalah terbesar kalian adalah kepemimpinan yang gagal dan budaya korupsi yang sudah dianggap biasa.”

“Aku bisa meninggalkan teknologi fusi, AI canggih, dan semua alat untuk membangun masa depan,” lanjutnya. “Tapi itu tidak akan berarti apa-apa kalau kalian tidak memperbaiki cara kalian memimpin dan mengelola negeri ini. Revolusi sejati dimulai dari rakyat. Kalau kalian ingin berubah, kalian sendiri yang harus membuatnya terjadi.”

Raynor menatap kerumunan untuk terakhir kalinya. “Kalau kalian ingin masa depan yang lebih baik, jangan tunggu bantuan dari luar. Kalian sendiri yang harus berjuang untuknya.”


Epilog: Setelah Kepergian Raynor

Setelah kepergian Raynor, pidatonya menjadi viral di seluruh Indonesia. Di kota-kota besar dan desa-desa terpencil, orang-orang mulai mendiskusikan pesan itu. Beberapa anak muda mulai bergerak, mendirikan gerakan anti-korupsi dan mendesak reformasi sistem pendidikan.

Namun, para elite politik tetap berusaha mempertahankan status quo. Perubahan tidak datang dengan mudah. Tapi di beberapa sudut negeri, semangat mulai tumbuh: keinginan untuk memutus rantai korupsi dan membangun masa depan yang lebih baik.

Raynor mungkin telah pergi, tapi pesannya tetap hidup. Di antara segala ketidakpastian dan tantangan, ada harapan kecil bahwa suatu hari nanti, Indonesia akan menemukan jalannya sendiri—tanpa perlu bergantung pada kekuatan luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar