Amerika Serikat tidak lagi seperti yang dikenal dunia. Iklimnya berubah menjadi tropis dengan dua musim saja: musim hujan yang basah dan mendominasi, serta musim kemarau yang terik dan penuh debu. Sepanjang tahun, langit Amerika kini dipenuhi awan mendung atau terik matahari yang menyengat. Yang lebih aneh, masyarakatnya berubah—mereka memiliki sifat dan karakteristik seperti yang digambarkan oleh sastrawan Mochtar Lubis tentang watak orang Indonesia: penuh keakraban, gotong royong, namun sering kali lamban, fatalistik, terkadang apatis, dan cenderung menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil.
Di negeri yang dulu menjadi simbol kedisiplinan dan kebebasan, peradaban kini berputar dalam pola yang berbeda. Dalam segala aspek kehidupan, Amerika Serikat menjadi cerminan dari sebuah masyarakat yang lebih santai, hangat, namun tak lepas dari sifat permisif dan mentalitas ketergantungan pada hubungan-hubungan personal.
Kota New York, pusat bisnis yang dulunya berdetak dengan kecepatan luar biasa, kini dipenuhi oleh budaya yang mengutamakan harmoni sosial dan kehati-hatian. Di jalan-jalan, para pengendara mobil kini tidak secepat dulu; klakson yang biasanya meraung kini hampir tidak terdengar, digantikan oleh pemandangan orang-orang yang saling tersenyum dan menyapa hangat. Tak ada lagi tenggat waktu yang ketat; kebanyakan rapat-rapat bisnis dimulai dengan obrolan panjang tentang keluarga, cuaca, atau hal-hal sederhana lain.
Di lantai atas gedung pencakar langit yang sudah mulai usang dan dipenuhi lumut karena kelembapan yang tinggi, Senator Charles Whitman mengamati langit mendung di luar jendela kantornya.
"Apa pendapatmu, Jack, tentang perubahan ini?" tanya Senator Whitman kepada asistennya, Jack, yang datang membawa secangkir kopi.
Jack tersenyum, lalu duduk di sofa dengan santai. "Kurasa, kita mulai hidup lebih lambat, Pak. Semua orang tampak lebih bahagia, meski pekerjaan jadi lebih lambat."
Senator Whitman menghela napas panjang. "Bahagia, mungkin. Tapi kurasa kita kehilangan semangat bersaing. Negara ini dibangun di atas kompetisi yang sehat dan kerja keras. Sekarang... lihat saja birokrasi kita, penuh dengan jalan pintas dan urusan yang tersendat-sendat."
Jack tertawa kecil. "Begitulah yang terjadi ketika orang-orang lebih mengutamakan kedekatan pribadi daripada ketepatan kerja. Orang-orang lebih suka bekerja dengan ‘kenalan’ atau ‘saudara’."
Ekonomi Amerika berubah secara fundamental. Dunia perbankan, yang biasanya disiplin dan sangat ketat dalam standar-standarnya, kini dibayangi oleh mentalitas “asal kenal” dan kebiasaan untuk memperpanjang tenggat waktu. Orang-orang berhutang dengan mudah, namun terlambat dalam melunasi. Korupsi kecil mulai marak karena hampir semua orang merasa nyaman menerima “titipan” atau “kenang-kenangan” dari pihak-pihak yang memiliki urusan.
Budaya persaingan sehat yang dulu menjadi inti dari masyarakat kapitalis Amerika kini tergantikan oleh sistem yang lebih longgar dan penuh kompromi. Ekonomi yang dulu tumbuh pesat mulai melambat. Para investor asing bingung melihat bagaimana Amerika berubah menjadi tempat di mana proyek-proyek infrastruktur terhambat oleh negosiasi berlarut-larut dan permintaan “balas jasa.”
"Kami harus menghentikan proyek jembatan itu, Senator," lapor seorang insinyur proyek, Alex, dalam rapat di kantor pusat pemerintahan kota New York. "Pihak kontraktor meminta tambahan dana karena beberapa pejabat meminta ‘insentif’ tambahan."
Senator Whitman menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ini bukan Amerika yang aku kenal. Dulu, semua proyek bisa berjalan cepat dengan sistem yang terstruktur. Sekarang, bahkan membangun jembatan pun harus berurusan dengan permintaan tak masuk akal."
"Namun, masyarakat tidak keberatan dengan keterlambatan ini," tambah Alex. "Banyak warga merasa proyek itu bisa menunggu, karena selama ini kita masih punya alternatif jalan lain."
"Fatalisme!" gumam Whitman kesal. "Orang-orang menerima segalanya seakan itu sudah takdir. Bagaimana kita bisa maju jika selalu berpikir, ‘Ah, biar nanti saja selesai?’"
Dalam bidang politik, Amerika Serikat mengalami fenomena baru yang menarik. Pemilu yang biasanya penuh gairah, debat panas, dan adu argumen kini berjalan lebih santai. Partai-partai politik lebih suka mengandalkan jaringan relasi dan pendekatan pribadi daripada berkampanye dengan janji-janji besar. Pemilihan presiden terakhir berjalan nyaris tanpa kontroversi; para kandidat lebih sering menggelar pertemuan kecil dengan masyarakat setempat, berbincang mengenai cuaca atau keluarga mereka, dan menghindari topik-topik berat.
Namun, di balik semua itu, politik Amerika mulai penuh dengan "politik balas budi." Para pejabat diangkat bukan karena kompetensi atau integritas, tapi karena kedekatan atau "jasa baik" kepada keluarga atau kerabat. Sistem meritokrasi yang dulu dijunjung tinggi kini menjadi lemah, digantikan oleh sistem patronase.
Pada sebuah wawancara di stasiun televisi nasional, seorang jurnalis bertanya kepada Senator Whitman, "Senator, bagaimana Anda melihat perubahan budaya politik di negeri kita sekarang?"
Senator Whitman tersenyum pahit. "Politik kita sekarang lebih hangat, lebih ‘dekat’, tapi juga lebih penuh dengan balas budi. Orang-orang dipilih bukan lagi berdasarkan kemampuan atau kecakapan, tapi siapa yang punya koneksi atau jasa di masa lalu."
"Tapi bukankah itu menciptakan kedekatan yang lebih dalam di masyarakat kita?" tanya jurnalis tersebut, mencoba mengambil sisi positif.
"Kedekatan, mungkin," jawab Senator Whitman. "Tapi tanpa kualitas kepemimpinan yang baik, kita hanya menciptakan perpecahan dan kesenjangan yang lebih besar."
Hukum dan ketertiban di Amerika juga mengalami perubahan besar. Di jalan-jalan, pelanggaran kecil semakin sering dibiarkan. Polisi lebih sering "memberi peringatan" daripada benar-benar menindak. Kasus-kasus kriminalitas yang tidak terlalu berat hampir selalu berakhir dengan permintaan maaf atau sanksi sosial alih-alih hukuman serius.
Budaya "maaf-memaafkan" menjadi nilai baru yang mengakar di masyarakat. Meskipun di satu sisi masyarakat lebih damai dan saling memaafkan, di sisi lain, hukum tidak lagi memiliki kekuatan yang sama. Pelanggar hukum seringkali hanya diberi "peringatan" atau sanksi yang sangat ringan, sehingga banyak orang menganggap enteng segala bentuk pelanggaran. Penegakan hukum menjadi selektif; orang yang memiliki koneksi lebih sering bebas dari hukuman.
"Pak, mengapa orang itu tidak ditahan? Bukankah ia jelas melanggar aturan?" tanya seorang polisi muda kepada atasannya setelah mereka menghentikan seorang pengendara yang menerobos lampu merah.
Atasannya hanya mengangkat bahu. "Ah, biar saja. Toh dia sudah meminta maaf. Lagi pula, dia kenalan saya."
Polisi muda itu menggeleng, merasa bingung dengan perubahan budaya kerja mereka. "Tapi, Pak, kalau begini terus, bagaimana hukum bisa dipatuhi?"
Atasannya hanya tertawa kecil. "Kau akan terbiasa, Nak. Di sini, semuanya soal hubungan baik. Jangan terlalu kaku, kita kan manusia."
Seiring berjalannya waktu, Amerika Serikat semakin mirip dengan gambaran Mochtar Lubis tentang masyarakat yang terjebak dalam jaringan sosial yang kompleks dan penuh kompromi. Negara yang dulu dikenal karena disiplinnya kini tenggelam dalam budaya "santai," di mana hampir setiap aspek kehidupan berputar di sekitar koneksi personal, kompromi, dan mentalitas "jalan pintas."
Orang-orang mulai kehilangan semangat untuk berkompetisi secara sehat; banyak yang pasrah dan menerima keadaan. Amerika, yang dulu menjadi simbol kemajuan dunia, kini hanyalah sebuah negeri yang bergerak lamban, dipenuhi oleh orang-orang yang penuh keramah-tamahan, namun tersandera oleh hubungan personal yang rumit dan kesulitan membedakan antara aturan dan perasaan.
Sebuah negeri tropis, penuh keakraban, namun lemah dalam kedisiplinan—itulah Amerika Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar