CERITA FIKSI: MENIKMATI MASA TUA DARI SAHAM PERBANKAN HINGGA BERUMUR 100 TAHUN

 Bab 1: Keputusan Terbesar

Di sebuah kota kecil di ujung negeri, Ardi menjalani hidup yang sepi tapi penuh warna. Hidupnya selalu pas-pasan, bekerja dari satu tempat ke tempat lain, hingga usianya hampir mencapai 60 tahun. Setelah bertahun-tahun kerja serabutan—menjadi buruh angkut, penjaga toko, tukang servis elektronik, hingga pembersih kantor—Ardi akhirnya berhasil mengumpulkan uang yang dianggapnya cukup untuk pensiun. Namun, siapa sangka jika hari itu adalah titik awal dari perjalanan hidup yang sama sekali berbeda dari perkiraan.

Di rumahnya yang sederhana, di atas kursi kayu yang sudah usang, Ardi duduk sambil memegang secarik kertas laporan bank yang menampilkan jumlah tabungannya.

"Akhirnya… 700 juta rupiah," gumamnya, seolah-olah tidak percaya pada dirinya sendiri. Angka yang luar biasa bagi seorang seperti Ardi, angka yang ia impikan sejak lama.

Dengan langkah mantap, ia menuju rumah tetangganya yang lebih muda, seorang pria bernama Hendra yang dikenal cukup paham soal investasi. Setelah mengetuk pintu dan masuk, ia berbicara langsung kepada Hendra.

"Hendra," ujar Ardi sambil duduk. "Kira-kira kalau uang ini aku investasikan ke saham BCA dan BRI, gimana ya? Ada yang bilang, dua saham ini cukup aman buat jangka panjang."

Hendra mengangguk. "BCA dan BRI itu perusahaan besar, Pak Ardi. Keduanya aman, stabil, dan dividennya lumayan. Tapi, ini buat jangka panjang. Apa Pak Ardi yakin?"

Ardi tersenyum. "Aku sudah kerja keras selama hampir 40 tahun, Hendra. Sekarang, aku ingin uang ini yang bekerja buat aku."


Bab 2: Kehidupan yang Tak Diduga

Beberapa bulan setelah uangnya diinvestasikan, Ardi resmi berhenti bekerja. Setiap pagi, ia menghabiskan waktu dengan berolahraga ringan di halaman rumahnya, menonton televisi, atau membaca koran tua yang ia kumpulkan dari waktu ke waktu. Hidupnya sederhana tapi damai.

Namun, waktu terus berlalu, dan takdir ternyata memiliki rencana lain untuknya. Pada usia 70 tahun, Ardi menyadari bahwa kesehatannya cukup prima. Tubuhnya kuat, pikirannya tajam, bahkan ingatannya masih baik. Hari demi hari berlalu, hingga tiba masanya ia berusia 80 tahun, dan saat itu ia mulai menyadari bahwa umurnya mungkin akan jauh lebih panjang dari yang ia duga.

Sahabatnya, Mulyadi, sesekali berkunjung. Di teras rumah Ardi, mereka berbincang sambil menyeruput kopi.

"Ardi, kau benar-benar masih sehat ya. Kau pikir umurmu bisa sepanjang ini?" tanya Mulyadi sambil tertawa.

"Sejujurnya, aku kira waktu sudah tak banyak, Mulyadi," Ardi menghela napas. "Siapa sangka bisa mencapai umur 80 lebih. Kalau tahu begini, dulu mungkin aku tidak akan berhenti bekerja terlalu dini."

Mulyadi tertawa kecil. "Jangan menyesal, Ardi. Hidup ini anugerah. Pikirkan saja ini sebagai kesempatan untuk melakukan lebih banyak kebaikan."


Bab 3: Tahun-Tahun yang Sunyi

Memasuki usia 90 tahun, Ardi sudah lama tinggal seorang diri. Ia mulai merasa terasing di tengah-tengah masyarakat yang semakin modern dan asing. Jalan-jalan yang dulu ia kenal telah berubah; tetangga-tetangganya kini adalah generasi baru yang tak mengenalnya. Namun, dividennya dari saham BCA dan BRI terus mengalir, memberinya cukup uang untuk makan sehari-hari dan membiayai kebutuhan kecil lainnya.

Satu malam, Ardi berbincang dengan dirinya sendiri, sebuah kebiasaan yang ia dapatkan di usia senja.

"Tak kusangka… aku hidup lebih lama dari semua yang kukenal. Bahkan Mulyadi, sahabat terdekatku, sudah berpulang lima tahun lalu." Ardi tersenyum pahit, menatap kosong pada album-album foto tua di depannya.

Malam itu, kesepian menyelimuti Ardi. Namun, ada ketenangan yang tak ia dapatkan selama hidupnya sebagai pekerja serabutan. Hidup yang panjang memberi kesempatan baginya untuk merenung lebih dalam tentang makna hidup, dan ia merasa bersyukur meski hidup dalam kesederhanaan.


Bab 4: Warisan yang Tak Terduga

Pada suatu hari di usianya yang ke-98, Ardi mengunjungi bank untuk melihat laporan investasinya. Seorang petugas bank muda terkejut saat melihatnya.

"Kakek Ardi… saham Anda bertumbuh pesat, terutama karena BCA dan BRI berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir," katanya. "Total aset Anda sekarang… mencapai sekitar 1,5 miliar."

Ardi tercengang mendengar jumlah yang fantastis itu. "1,5 miliar? Tak kusangka," gumamnya, setengah tak percaya. "Dulu, aku cuma berpikir uang ini cukup untuk menghidupiku. Tapi sekarang, aku punya lebih dari yang kubutuhkan."

Beberapa bulan kemudian, Ardi memutuskan untuk mewariskan sebagian besar uangnya kepada anak-anak yatim di panti asuhan dekat rumahnya. Pada akhirnya, ia merasa bahwa uang itu tak akan berarti apa-apa bila hanya disimpan.

Kepala panti asuhan, Ibu Rina, yang menerima kabar itu, tak mampu menahan haru. Ia menemui Ardi dan berterima kasih atas kemurahan hatinya.

"Kami akan selalu mendoakanmu, Pak Ardi. Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi hidupmu menjadi berkah untuk banyak orang di sekitar sini."

Ardi tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Doa anak-anak itu lebih berharga dari semua harta di dunia ini, Bu Rina."


Bab 5: Perjalanan Terakhir

Di usia 100 tahun, Ardi akhirnya dipanggil Sang Khalik dengan tenang di rumahnya. Tidak ada keramaian, hanya beberapa tetangga dan sahabat lama yang hadir. Namun, jejak hidup Ardi dan warisan yang ia tinggalkan menjadi cerita bagi banyak orang di kota itu, terutama bagi anak-anak di panti asuhan yang ia bantu.

Dunia mungkin telah melupakannya, tetapi kisah hidupnya yang sederhana dan tabah menjadi pelajaran bagi mereka yang mendengar. Ardi yang hidup dalam hening, pergi dalam damai, tapi meninggalkan warisan kasih yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar