CERITA FIKSI: KETIKA AMERIKA SERIKAT "MENIRU" INDONESIA (VERSI 02)

Dunia telah berubah. Dalam versi alternatif sejarah ini, Amerika Serikat bukanlah negara dengan empat musim yang identik dengan salju dan pemandangan musim gugur. Di sini, Amerika adalah negeri tropis yang selalu terjaga dalam hangat matahari dan suara gemuruh hujan. Bukan hanya iklimnya yang berbeda, tetapi masyarakatnya. Amerika ini memiliki watak, kebiasaan, dan nilai-nilai yang sama persis dengan masyarakat Indonesia seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis.

Di jalanan Washington D.C., pada musim hujan yang penuh dengan banjir, seorang pria bernama Mark berdiri memandangi mobil-mobil yang terjebak air. Sudah biasa bagi Mark melihat kota lumpuh dalam genangan—pembangunan yang seolah tanpa perencanaan matang, proyek yang terhenti, dan korupsi di setiap lini yang mengakar dari generasi ke generasi.



Mark adalah seorang reporter yang bekerja di salah satu surat kabar terbesar di Amerika, The Tropical Times. Dalam kondisi ideal, profesinya akan membuatnya disegani dan dihormati. Tapi di negeri ini, pers sering dianggap musuh oleh penguasa. Wartawan seperti Mark menghadapi ancaman setiap hari, khususnya ketika mereka meliput kasus korupsi, manipulasi politik, atau ketidakadilan sosial.

Amerika ini adalah negara yang menempatkan kepentingan keluarga, teman, dan koneksi di atas aturan hukum yang seharusnya adil. Dari lingkaran kekuasaan yang terkecil hingga ke kongres, politik didominasi oleh permainan kekerabatan dan aliran uang yang menentukan nasib negara. Nilai-nilai seperti gotong royong yang dianggap suci dalam masyarakat ternyata memiliki sisi gelap—menjadi sarang nepotisme, kolusi, dan perlindungan hanya untuk "keluarga besar".



“Aku sudah tidak tahan lagi, Rick,” ujar Mark dengan nada frustrasi pada sahabatnya, Rick, yang juga seorang wartawan.

Rick tersenyum pahit sambil menyalakan rokoknya. “Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Sistem ini begitu kuat. Setiap usaha untuk mengubahnya berakhir dengan ancaman, atau lebih buruk lagi, kehilangan pekerjaan.”

“Setiap kali aku mempublikasikan artikel tentang korupsi atau kebijakan yang menindas rakyat, aku harus siap kehilangan banyak hal. Kalau sudah begini, kadang aku berpikir untuk berhenti saja.”

“Mark, ini bukan lagi soal berhenti atau terus. Ini tentang kita melawan angin. Seluruh Amerika ini telah terbentuk dengan nilai-nilai yang berbeda dari yang kita harapkan,” ujar Rick sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.


Di Amerika versi tropis ini, rasa gotong royong bukan lagi sesuatu yang murni dan ikhlas. Setiap bantuan atau budi baik menuntut balas. Ketika seseorang naik jabatan, orang-orang di sekitarnya mengharapkan imbalan sebagai bukti terima kasih. Di setiap kantor pemerintahan, hingga sekecil administrasi desa, sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan bisa dipercepat jika ada “sedikit uang rokok” yang diselipkan dalam amplop.

Kebudayaan ini tidak hanya tercermin dalam politik atau pekerjaan sehari-hari, tetapi juga dalam gaya hidup. Di kota-kota besar seperti New York dan Los Angeles, perbedaan sosial mencolok. Mereka yang berkuasa hidup dalam kemewahan, sementara mayoritas warga terjebak dalam kehidupan yang penuh perjuangan. Banjir, kemacetan, dan polusi adalah bagian dari kehidupan yang tak terhindarkan. Jalan-jalan dibiarkan rusak selama bertahun-tahun, menunggu dana perbaikan yang sering kali lenyap dalam korupsi.



Suatu hari, Mark dan Rick bertemu dengan seorang pejabat lokal, Mr. Brown, untuk mengajukan wawancara tentang proyek perbaikan jalan yang tak kunjung selesai.

“Apa yang akan Anda katakan kepada warga yang sudah menunggu perbaikan ini selama bertahun-tahun?” tanya Mark dengan nada tajam.

Mr. Brown tersenyum ramah, tapi tak ada kesan tulus dalam sorot matanya. “Ah, proyek itu pasti akan selesai dalam waktu dekat. Kita hanya perlu bersabar. Lagipula, kan sudah ada jalan lain yang bisa dilalui.”

Rick menggeleng, merasa muak dengan jawaban yang sama di setiap wawancara. “Tapi anggaran sudah dialokasikan tiga kali lipat, Mr. Brown. Kemanakah uang itu?”

Mr. Brown tertawa kecil, lalu menepuk pundak Rick seolah-olah mereka sedang berbicara dalam nada bercanda. “Anda tahu kan, banyak biaya tambahan. Biaya koordinasi, biaya ‘motivasi’ untuk memastikan proyek ini berjalan. Ya, Anda paham maksud saya.”



Di negara ini, hukum adalah permainan yang lentur. Keberpihakan hukum bisa dibeli. Orang kaya jarang menerima hukuman yang adil, sementara rakyat kecil yang tidak punya koneksi sering kali menjadi kambing hitam dalam kasus-kasus besar. Polisi, hakim, dan jaksa seringkali berpihak kepada yang memberikan “amplop tambahan,” sementara keadilan sejati hampir mustahil diperoleh.

Mark merasa bahwa perjuangannya sia-sia. Setiap berita yang ia tulis seolah tenggelam tanpa perubahan yang berarti. Ada kalanya ia merasa menyesal telah memilih profesi ini. Ia ingat nasihat ayahnya dulu, “Di negeri ini, kalau kau ingin hidup nyaman, lebih baik kau jalankan bisnis sendiri atau bergabung dengan pemerintahan.” Ayahnya sendiri dulu bekerja sebagai pegawai di kantor walikota, dan sejak dulu, Mark tahu banyak rahasia keluarga yang hidup nyaman dari “tambahan” hasil suap kecil-kecilan.



“Kita ini seperti ayam yang disuruh bertelur emas, tapi setiap kali telur itu keluar, mereka ambil,” ujar Mark dengan nada kecewa pada Rick di sebuah kafe kumuh di sudut kota.

Rick mengangguk sambil menyeka keringat di dahinya. Di musim kemarau ini, kota begitu panas, hampir tak ada angin yang berhembus. “Aku ingin sekali melarikan diri dari semua ini. Tapi ke mana kita bisa pergi? Seluruh Amerika seperti ini, Mark. Negeri ini sudah terlalu jauh terjerat budaya yang kita ciptakan sendiri.”


Meski memiliki keinginan besar untuk berubah, Mark sadar bahwa hampir tidak ada jalan keluar. Orang-orang di sekelilingnya sudah terbiasa dengan sistem ini—bahkan mereka sudah belajar bagaimana memanfaatkannya. Masyarakat sudah membentuk mentalitas bahwa segala sesuatu bisa diatur dengan cara pintas, dan kebudayaan ini begitu dalam tertanam hingga mengubah Amerika Serikat menjadi negeri tropis yang penuh dengan karakter seperti di Indonesia.

Meski begitu, Mark memutuskan untuk tetap berjuang, meskipun ia tahu dirinya hanyalah setitik debu di tengah badai budaya. Setiap kali ia menulis, ia menyimpan secercah harapan bahwa suatu hari, generasi mendatang akan mulai menyadari kekeliruan yang kini telah menjadi kebiasaan. Di Amerika Serikat ini, ia berjuang untuk menanamkan impian bahwa suatu hari nanti, rakyatnya akan mengutamakan kejujuran, disiplin, dan kebenaran di atas segalanya—meskipun saat ini, impian itu tampak jauh dan hampir mustahil terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar