NOVEL FIKSI ILMIAH: KETIKA MANUSIA MENGGUNAKAN 85% PIKIRAN SADARNYA

 Bab 1: "Kesadaran yang Terlupakan"

Di tahun 2087, manusia telah mengembangkan teknologi yang memungkinkan pengaturan ulang pikiran, sebuah inovasi revolusioner yang mereka namakan Neuro-Directive Sync (NDS). Melalui teknologi ini, pikiran sadar manusia ditingkatkan hingga mencapai kontrol hampir penuh dalam kehidupan sehari-hari—85% pikiran sadar, sementara hanya tersisa 15% untuk pikiran bawah sadar. Teknologi ini diyakini sebagai solusi atas ketidakstabilan emosi dan kesalahan impulsif yang sering menyebabkan masalah sosial. Di era ini, manusia hidup di bawah kendali kesadaran yang hampir sepenuhnya dirancang untuk logika dan perhitungan rasional, mengesampingkan impuls bawah sadar yang dianggap tidak perlu.

Di sebuah ruang makan di kota Solaris, Rian dan sahabatnya, Kiran, tengah berbicara serius. Keduanya adalah mahasiswa psikologi di Universitas Solaris, salah satu dari sedikit universitas yang masih mempertahankan jurusan psikologi dalam era yang sangat bergantung pada NDS ini.

"Apa yang kamu pikirkan soal NDS, Rian?" tanya Kiran sambil menatap secangkir kopi di depannya. Matanya penuh rasa ingin tahu, tapi nadanya seolah mengandung kegelisahan yang ia coba sembunyikan.

Rian terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke luar jendela, melihat orang-orang yang berlalu-lalang tanpa ekspresi yang terlalu mencolok. "Menurutku, ini seperti menciptakan manusia yang terlalu sempurna… atau mungkin terlalu kaku. Pikiran sadar kita mengendalikan hampir semuanya, kita menjadi seperti mesin, hanya berbeda karena kita masih bisa merasakan, tapi hanya sebatas yang logis," jawabnya perlahan, mencoba merangkai kata-katanya dengan hati-hati.

Kiran mengangguk, lalu melanjutkan, "Kita menghapus aspek bawah sadar kita, bagian yang mengandung emosi mendalam, trauma, bahkan naluri bertahan hidup. Apa kita benar-benar tahu apa yang kita korbankan?"

Rian menatap Kiran dengan sorot mata yang tajam. "Justru itu, Kiran. Pikiran bawah sadar kita adalah tempat tersembunyinya banyak pengalaman emosional yang bisa mengajarkan kita sesuatu tentang diri kita. Sekarang, semua itu tertutup oleh perhitungan rasional yang terlalu dominan."

Mereka terdiam. Di luar, tampak orang-orang berjalan dengan langkah mantap, wajah datar mereka tak menunjukkan sedikitpun kegundahan atau rasa senang yang berlebihan. Sementara Kiran terus menerus melirik sekeliling, mencari tanda-tanda bahwa dunia ini masih memiliki sisa-sisa kehangatan manusiawi.

Bab 2: "Memori yang Terbungkam"

Seminggu kemudian, Kiran memperkenalkan Rian kepada seorang profesor tua bernama Dr. Sarman, seorang pakar neurologi yang dikenal skeptis terhadap NDS. Dr. Sarman adalah satu dari sedikit orang yang masih mempertanyakan dampak NDS pada kondisi mental manusia.

"Apa kalian sadar?" Dr. Sarman membuka percakapan dengan nada tegas. "Selama ini, kita selalu mengira bahwa memperbesar kontrol sadar adalah solusi untuk kedamaian dan ketertiban. Tapi, dalam proses itu, kita memenjarakan bagian paling mendasar dari diri kita, yaitu intuisi, naluri, dan ketakutan kita."

Rian mengangguk penuh perhatian. "Maksud Anda, Dr. Sarman, kita mengorbankan kebebasan jiwa?"

"Lebih dari itu," jawab Dr. Sarman dengan nada yang bergetar, "Kita membuang pengalaman traumatis yang dulu menjadi bagian dari pertumbuhan kita. Tanpa memori itu, kita tidak tahu bagaimana menghadapi ketakutan dan rintangan. Kita hanya hidup, bukan merasakan hidup."

Kiran mencoba memahami. "Tapi bukankah trauma dan rasa sakit yang ada di bawah sadar itu berbahaya jika dibiarkan terlalu lama?"

"Tentu saja," jawab Dr. Sarman. "Namun, membuangnya begitu saja sama saja seperti menghapus sejarah kita sendiri. Bukankah tanpa ingatan, kita menjadi seperti tabula rasa yang tak pernah belajar dari masa lalu?"

Rian merasa kata-kata Dr. Sarman seolah menyentuh sesuatu yang sangat dalam di benaknya. "Jadi, bagaimana caranya kita bisa mengembalikan keseimbangan ini, tanpa harus menyingkirkan NDS sepenuhnya?"

Dr. Sarman tersenyum samar, seolah-olah ia menantikan pertanyaan itu. "Ada cara. Aku sedang mengerjakan sebuah program alternatif yang bisa mengaktifkan kembali memori bawah sadar dalam dosis yang aman. Namun, itu berisiko tinggi. Pemerintah akan menganggap ini sebagai ancaman terhadap ketertiban yang mereka ciptakan."

Bab 3: "Kebangkitan Memori"

Rian dan Kiran memutuskan untuk ikut dalam eksperimen Dr. Sarman, meski sadar bahwa mereka bisa dihukum berat jika tertangkap. Mereka mengenakan perangkat kecil yang dirancang Dr. Sarman, yang ia sebut "Reverie". Alat ini memfasilitasi pemulihan memori bawah sadar secara bertahap, memungkinkan mereka mengakses emosi terdalam dan insting yang sudah lama hilang.

Rian mulai mengalami perubahan. Di suatu malam, ia bermimpi tentang peristiwa masa kecil yang dulu sangat menyakitkan baginya—dihina oleh teman-temannya, merasa tidak berdaya, dan terpuruk dalam kesedihan. Namun, anehnya, ia merasa damai setelah terbangun dari mimpi itu.

Ketika Rian bertemu dengan Kiran keesokan harinya, ia tampak lebih tenang dan percaya diri. "Aku merasakan sesuatu, Kiran. Seperti ada bagian dari diriku yang baru saja terlahir kembali."

Kiran menatap Rian dengan antusias. "Kamu ingat mimpi atau memori masa kecilmu?"

Rian mengangguk, tersenyum lemah. "Ya, tapi bukan hanya itu. Aku mulai merasa lebih hidup. Seolah-olah aku tidak lagi terperangkap dalam kendali pikiran sadar yang begitu kaku."

Bab 4: "Pemberontakan Kesadaran"

Eksperimen Dr. Sarman mulai menyebar secara diam-diam di kalangan mahasiswa Solaris yang merasa muak dengan kendali kesadaran berlebihan. Mereka mulai mempertanyakan nilai-nilai hidup mereka dan melihat kehidupan sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar produktivitas dan ketertiban.

Namun, pemerintah Solaris segera menyadari pergerakan ini. Mereka mengirimkan pasukan keamanan untuk memburu orang-orang yang menggunakan Reverie, menganggap mereka sebagai ancaman yang bisa menghancurkan tatanan sosial.

Di sebuah pertemuan rahasia, Rian, Kiran, dan beberapa mahasiswa lainnya berkumpul untuk mendiskusikan langkah selanjutnya.

"Kita tidak bisa berhenti sekarang," seru Rian dengan semangat yang menyala. "Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang kemanusiaan kita yang sebenarnya."

Kiran menggenggam tangan Rian. "Jika kita teruskan, kita mungkin akan dianggap kriminal. Apa kau benar-benar yakin ini jalan yang ingin kau tempuh?"

Rian menatap Kiran dengan mata penuh keyakinan. "Jika hidup kita hanya sekadar mengikuti perintah pikiran yang terprogram, apa gunanya kita ada di dunia ini?"

Bab 5: "Kebebasan yang Terlupakan"

Pertarungan antara pasukan pemerintah Solaris dan kelompok "Reverie" menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang telah menekan sisi manusiawi. Di tengah kekacauan itu, Dr. Sarman dan kelompok mahasiswa tersebut melarikan diri ke tempat tersembunyi, membangun komunitas kecil yang hidup dengan keseimbangan antara pikiran sadar dan bawah sadar.

Rian, kini menjadi pemimpin gerakan "Reverie", mulai menyadari bahwa kebebasan sejati tidak bisa diperoleh tanpa memahami ketakutan dan rasa sakit yang tersembunyi di bawah sadar. Di hadapan para pengikutnya, ia berkata, "Kita mungkin akan kehilangan segalanya, tapi kita memiliki kebebasan yang tak bisa mereka ambil. Kebebasan untuk merasakan, bermimpi, dan berjuang."

Kiran tersenyum bangga di sampingnya, sambil menggenggam tangan Rian erat. "Akhirnya, kita bisa merasakan kehidupan yang sesungguhnya."

Novel ini berakhir dengan sebuah gambaran tentang komunitas yang hidup dengan prinsip baru, mempertahankan keseimbangan antara kesadaran dan bawah sadar mereka. Mereka bukanlah manusia sempurna, tapi mereka manusia yang sepenuhnya hidup, menjalani hidup dengan segala kompleksitas dan kedalaman emosi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar