Bab 1: Kejatuhan Indonesia
Langit Jakarta memancarkan warna kelabu. Bangunan-bangunan tua berdiri dengan cat yang mengelupas, seperti luka yang tidak pernah sembuh. Jalanan penuh dengan wajah-wajah yang lelah, berbaris untuk mendapatkan pekerjaan yang hampir tidak ada. Di layar-layar televisi yang tergantung di warung-warung kumuh, berita tentang deflasi terus disiarkan. Semua tahu, namun tidak ada yang peduli.
Di ruang rapat sempit sebuah gedung rahasia, beberapa tokoh berkumpul. Mereka adalah oposisi—bukan oposisi politik biasa, melainkan kelompok yang telah kehilangan kepercayaan terhadap bangsa ini.
"Ini sudah tidak bisa dibiarkan," kata seorang pria paruh baya dengan suara serak. Namanya adalah Dimas, mantan ekonom yang kini menjadi aktivis. "Kita kehilangan arah. Tidak ada meritokrasi. Orang-orang jujur seperti kita tinggal 5%. Sisanya... parasit!"
Seorang wanita muda, Nadia, mengetukkan jarinya ke meja. "Deflasi sudah berjalan setahun. Kita naikkan PPN hingga 25%, tapi rakyat bahkan tidak mampu membeli kebutuhan pokok. Ini bukan hanya soal ekonomi, Dimas. Ini... kehancuran peradaban."
Rapat itu dipenuhi keheningan. Mereka tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup. Solusi yang mereka butuhkan bukan lagi reformasi. Mereka butuh revolusi.
Lalu seorang pria tua dengan rambut perak yang teratur rapi berbicara, suaranya penuh otoritas. "Kita perlu memanggil Yuri."
Semua mata menoleh padanya. Arief, mantan intelijen, adalah satu-satunya orang yang tahu tentang proyek rahasia ini. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"Yuri adalah satu-satunya solusi. Dia tidak seperti kita—dia tidak terikat pada moral manusia biasa. Jika kita ingin menyelamatkan negeri ini, kita harus menyerahkan semuanya padanya."
Nadia mengerutkan dahi. "Apa yang kamu maksud dengan 'tidak terikat moral'? Apa yang dia rencanakan?"
Arief menatapnya lurus. "Yuri akan menyaring populasi. Yang tidak layak... dieliminasi."
Narasi: Kekacauan di Indonesia
Di luar ruang rapat itu, kekacauan merajalela. Di pasar tradisional, pedagang terpaksa membuang dagangan yang basi karena tidak ada pembeli. Di pabrik-pabrik, mesin-mesin berhenti beroperasi karena bahan baku yang tidak terjangkau. Di jalanan, preman-preman ormas saling berebut wilayah, memeras rakyat kecil yang sudah tidak punya apa-apa.
Di layar televisi, berita terus mengulang angka-angka yang memuakkan.
"Deflasi tahun kedua: Harga barang turun, daya beli masyarakat anjlok."
"KPK resmi dibubarkan—korupsi tak terkendali."
"PPN dinaikkan hingga 25%—rakyat menderita."
Sementara itu, di daerah pedesaan, anak-anak putus sekolah semakin banyak. Pendidikan bukan lagi prioritas. Orang-orang hanya fokus untuk bertahan hidup, meskipun dengan cara mencuri atau menipu. Di tengah itu semua, hanya segelintir orang jujur yang mencoba melawan arus—dan mereka kalah jumlah.
Dialog: Keputusan Memanggil Yuri
"Kita tidak punya pilihan lain," lanjut Arief. "Dia sudah menangani beberapa negara lain. Keberhasilannya terbukti."
"Tapi... bagaimana caranya? Apa dia tidak akan terlalu keras? Ini bukan dunia paralel seperti di game, Arief. Ini kenyataan!" sergah Nadia.
Dimas mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti berdebat. "Jika kita memanggil Yuri, apa jaminannya? Bagaimana kita tahu dia tidak akan menghancurkan segalanya?"
Arief tersenyum kecil. "Yuri tidak bekerja untuk kehancuran. Dia bekerja untuk efisiensi. Dan percayalah, dia tidak akan mundur."
Nadia memandang keluar jendela, melihat Jakarta yang hancur. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Dengan suara yang berat, dia berkata, "Baiklah. Panggil dia."
Bab 2: Kedatangan Yuri
Panggilan itu dilakukan di tengah malam, melalui jaringan komunikasi yang tidak terdeteksi oleh sistem manapun. Di sebuah gudang tua yang tampak tak terurus di pinggiran Jakarta, lima anggota kelompok oposisi berkumpul. Dimas, Nadia, Arief, dan dua lainnya—Rahmat, seorang mantan ilmuwan, dan Iwan, seorang mantan perwira militer—menunggu dengan gelisah.
Suara langkah kaki terdengar di luar gudang. Pintu besar berderit saat seseorang membukanya. Cahaya dari lampu gantung yang redup menyorot sosok yang tak biasa.
Dia adalah Yuri.
Pria itu berpenampilan mencolok. Kepala botaknya berkilau di bawah lampu, dan matanya yang tajam memancarkan kekuatan tak terjelaskan. Dia mengenakan mantel hitam panjang dengan simbol tak dikenal di bagian dada. Wajahnya dingin, seolah tidak mengenal emosi manusia.
Yuri berhenti di tengah ruangan. Dia memandang mereka satu per satu, matanya seolah membaca pikiran mereka. Nadia merasa tubuhnya gemetar. Ada sesuatu dalam tatapan Yuri yang membuatnya merasa kecil dan rapuh.
"Aku tahu kenapa kalian memanggilku," kata Yuri dengan suara rendah namun penuh kekuatan. "Indonesia sedang di ambang kehancuran. Kalian ingin aku menyelamatkannya."
Arief melangkah maju. "Benar. Kami membutuhkan bantuanmu. Sistem ini sudah terlalu rusak untuk diperbaiki. Kami membutuhkan... sebuah pembersihan."
Yuri tersenyum tipis. "Pembersihan. Kata yang menarik. Tapi ketahuilah ini: jika aku menerima tugas ini, aku akan melakukannya dengan caraku. Aku tidak peduli dengan moral atau nilai-nilai kalian. Aku hanya peduli pada hasil."
Dimas menyela, suaranya tegas. "Kami siap menerima konsekuensi apa pun. Tapi kami ingin tahu bagaimana caramu bekerja."
Yuri mengangkat tangannya, dan sebuah hologram muncul di udara. Itu adalah gambar sebuah mesin besar dengan bilah-bilah tajam yang berputar. Grinder.
"Mesin ini," jelas Yuri, "akan menjadi alat utama dalam seleksi populasi. Aku akan menguji setiap individu di negeri ini. Siapa pun yang memiliki IQ di bawah 78 akan dieliminasi. Tidak ada pengecualian, tidak ada belas kasihan. Orang bodoh adalah beban peradaban."
Nadia tertegun. "Tapi... bagaimana dengan moralitas? Bagaimana dengan hak asasi manusia?"
Yuri menatapnya tajam. "Moralitas adalah kemewahan yang tidak bisa kalian miliki dalam kondisi seperti ini. Kalian harus memilih: peradaban yang maju, atau kehancuran total."
Arief mengangguk perlahan. "Kami setuju. Mulailah."
Narasi: Hari Pertama Operasi Yuri
Esok paginya, berita tentang kedatangan Yuri menyebar seperti api. Di televisi, di media sosial, di sudut-sudut pasar, semua orang berbicara tentang mesin besar yang dibawa Yuri dan tes IQ yang akan dilakukan.
Di sebuah desa kecil di Jawa Timur, seorang pria bernama Andi duduk di depan televisi bersama keluarganya. Wajah mereka pucat ketika mereka mendengar pengumuman itu.
"Setiap warga negara Indonesia akan diwajibkan mengikuti tes kecerdasan. Bagi yang tidak memenuhi standar, akan dihapus dari sistem."
Istrinya, Siti, gemetar. "Apa maksud mereka, 'dihapus'? Mereka tidak mungkin... membunuh kita, kan?"
Andi menggeleng, meskipun dia sendiri tidak yakin. "Kita harus percaya pada pemerintah. Mungkin ini hanya ancaman untuk membuat kita lebih disiplin."
Namun, di dalam hatinya, Andi tahu bahwa ini bukan sekadar ancaman.
Dialog: Awal Pembersihan
Satu minggu kemudian, ribuan pusat tes didirikan di seluruh Indonesia. Orang-orang mengantri dengan cemas untuk diuji. Tes dilakukan secara cepat—hanya lima belas menit, namun hasilnya menentukan hidup dan mati.
Di salah satu pusat tes di Jakarta, seorang pria muda bernama Ridho duduk di depan komputer. Tangannya berkeringat. Dia tahu bahwa dia tidak pintar, bahkan sering diejek bodoh oleh teman-temannya. Ketika layar menunjukkan hasil tes—IQ: 75—wajahnya memucat.
"Duduk di sana," perintah seorang petugas dengan wajah dingin, menunjuk ke sebuah ruang tertutup. Ridho berjalan dengan langkah gemetar, diikuti oleh dua penjaga bersenjata.
Di dalam ruangan itu, mesin grinder berputar dengan suara yang mengerikan. Ridho memohon. "Tolong, jangan lakukan ini! Aku bisa berubah! Aku bisa belajar!"
Tapi tidak ada yang mendengarkannya. Dalam hitungan detik, tubuhnya lenyap di dalam mesin itu.
Di luar, ratusan orang lainnya mengantri. Beberapa menangis, beberapa mencoba melarikan diri, tetapi mereka tidak punya tempat untuk bersembunyi. Yuri mengawasi semuanya dari ruang kontrol, wajahnya tanpa ekspresi.
"Proses ini akan memakan waktu," kata Yuri kepada Arief, yang berdiri di sampingnya. "Tapi hasilnya akan mengubah negeri ini."
Arief mengangguk, meskipun hatinya bergolak. "Aku harap kau benar."
Narasi: Reaksi Masyarakat
Minggu-minggu pertama adalah neraka bagi rakyat Indonesia. Ribuan orang dieliminasi setiap hari. Di kota-kota besar, asap dari mesin-mesin grinder terlihat di langit, menciptakan pemandangan yang menyeramkan. Beberapa kelompok mencoba melawan, tetapi mereka dengan cepat dihancurkan oleh pasukan Yuri.
Namun, seiring waktu, situasi mulai berubah. Jalanan menjadi lebih bersih. Preman dan ormas liar menghilang. Pabrik-pabrik yang sebelumnya ditinggalkan mulai beroperasi kembali, dikelola oleh orang-orang yang lolos seleksi Yuri.
Di pedesaan, petani yang tersisa mulai menggunakan teknologi modern untuk meningkatkan hasil panen. Anak-anak yang lolos seleksi diberikan akses ke pendidikan berkualitas tinggi. Dalam waktu kurang dari setahun, tanda-tanda kebangkitan mulai terlihat.
Bab 3: Awal Intervensi
Waktu berlalu dengan cepat, dan perubahan yang dibawa oleh Yuri terasa nyata. Indonesia yang dulu penuh dengan ketidakpastian kini mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Pabrik-pabrik beroperasi dengan efisiensi tinggi, jalan-jalan yang dulunya dipenuhi sampah kini lebih bersih, dan angka pengangguran menurun drastis. Namun, ada harga yang harus dibayar.
Nadia tidak bisa tidur malam itu. Ia duduk di depan jendela, menatap langit Jakarta yang gelap, berpikir tentang apa yang telah terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya demi kebaikan. Namun, bayangan tentang ribuan orang yang hilang begitu saja terus menghantuinya.
Di meja sebelah, Dimas duduk dengan cemas, membaca laporan terbaru. "Angka kemiskinan menurun. Pembangunan infrastruktur semakin pesat. Tapi aku merasa... ada yang salah," katanya dengan suara rendah, seolah berbicara lebih pada dirinya sendiri.
Nadia mengangguk pelan. "Aku juga merasakannya. Tapi kita sudah memilih jalan ini, Dimas. Kita tidak bisa mundur."
Dimas melemparkan laporan ke meja, frustrasi. "Apakah kita benar-benar tahu siapa yang harus diselamatkan dan siapa yang harus dihancurkan? Apakah kita bisa mempercayai Yuri untuk memilahnya dengan benar? Dia terlalu... dingin."
"Yuri hanya fokus pada hasil. Dan itu yang kita butuhkan. Indonesia membutuhkan perubahan drastis, Dimas. Ini bukan lagi tentang moralitas. Ini tentang bertahan hidup."
Namun, meskipun Nadia mencoba meyakinkan dirinya, ada satu hal yang terus mengganggunya: keputusan untuk menghapus mereka yang tidak memenuhi standar. Seperti Ridho, pria muda yang mencoba melarikan diri saat seleksi pertama. Apakah mereka benar-benar pantas dihukum hanya karena mereka tidak memenuhi suatu standar kecerdasan yang ditetapkan oleh seseorang seperti Yuri?
Narasi: Masyarakat yang Terbelah
Sementara itu, di seluruh negeri, efek dari kebijakan Yuri mulai terlihat dalam berbagai cara yang tidak terduga. Di Jakarta, kelas menengah yang berhasil lolos dari seleksi merasa lega, bahkan bangga dengan perubahan yang terjadi. Mereka menikmati kehidupan yang lebih stabil dan kemajuan ekonomi yang pesat. Namun, di daerah-daerah yang lebih terpencil, ketegangan mulai meningkat.
Andi, yang sebelumnya merasa yakin bahwa tes IQ itu hanya gertakan, kini mulai melihat kenyataan pahit. Anaknya, Fahmi, tidak lolos seleksi. Meskipun dia bukan orang bodoh, hasil tes menunjukkan bahwa ia berada di bawah batas yang ditetapkan. Andi berjuang keras untuk menerima kenyataan ini, namun dalam hati ia merasa dunia telah berbalik menjadi tempat yang sangat kejam.
Di desa-desa, ada orang-orang yang mulai merasa kesepian, kehilangan anggota keluarga yang tidak memenuhi syarat. Masyarakat menjadi terpecah antara mereka yang lolos dan mereka yang tidak. Ketegangan ini mengarah pada ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baru ini.
Dialog: Perasaan Tertinggal
Di sebuah warung kopi di pinggiran Jakarta, Andi berbicara dengan teman lamanya, Budi, seorang pengusaha kecil yang juga merasakan dampak dari kebijakan tersebut.
"Apakah kamu percaya ini, Budi?" tanya Andi, suaranya berat. "Mereka bilang ini untuk perbaikan, tapi... bagaimana dengan anak-anak kita yang tidak lolos?"
Budi menarik napas panjang, menghisap asap rokoknya dalam-dalam. "Aku tahu, Andi. Aku tahu perasaanmu. Tapi kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Mereka yang lolos, mereka yang dapat kesempatan. Yang lain... mereka hanya tinggal kenangan."
"Kenangan?" Andi mendesah. "Mereka ini bukan kenangan, Budi. Mereka manusia. Anak-anakku adalah manusia!"
Budi tidak menjawab, hanya menatap ke luar warung, memandang ke arah jalanan Jakarta yang tampak lebih rapi, meskipun hampa. Tidak ada lagi kemacetan yang parah. Tidak ada lagi preman di setiap sudut. Ekonomi semakin membaik, tetapi pada saat yang sama, ada kerinduan yang tak terungkapkan, sebuah kesedihan yang tidak bisa disembunyikan.
Narasi: Progres dan Pertanyaan Moral
Dengan berjalannya waktu, kondisi ekonomi Indonesia terus membaik. Di beberapa kota besar, angka pengangguran turun drastis. Inovasi teknologi berkembang pesat, dan Indonesia mulai menjadi kekuatan ekonomi yang tidak bisa diabaikan di kawasan Asia Tenggara. Semua indikator menunjukkan angka positif, namun ada hal yang mengganjal di hati banyak orang.
Rahmat, ilmuwan yang juga bagian dari kelompok oposisi, kini memandang perubahan ini dengan hati yang berat. Ia menyaksikan negara ini berkembang, tetapi dengan cara yang tidak manusiawi. "Bagaimana kita bisa mengatakan ini sebuah kemajuan?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, sambil melihat data yang ada di layar komputernya.
"Ekonomi tumbuh, tetapi rakyat yang dihilangkan tidak pernah dianggap sebagai bagian dari statistik," gumamnya. "Kita hanya menciptakan dunia yang lebih efisien, tapi apakah itu dunia yang lebih manusiawi?"
Di ruang kontrol, Yuri menyaksikan semuanya dengan ekspresi kosong. "Kalian masih bertanya-tanya tentang moral?" katanya, seolah mendengar suara mereka. "Kalian ingin melihat dunia ini dengan cara lama—dengan belas kasihan, dengan empati. Tapi ingat, empati adalah kemewahan yang tidak bisa dipertahankan dalam dunia yang sedang dalam bahaya. Kami tidak bisa menyelamatkan semua orang."
Dialog: Konflik Internal
Suatu malam, di ruang pertemuan rahasia, Nadia bertanya pada Yuri dengan suara penuh keraguan, "Apakah kamu pernah meragukan dirimu, Yuri? Apakah kamu pernah merasa bahwa apa yang kamu lakukan mungkin salah?"
Yuri menatapnya, wajahnya tak terbaca. "Aku tidak meragukan apa pun. Aku hanya melakukan apa yang diperlukan."
"Tapi... bukankah kita kehilangan sesuatu yang lebih penting dari hasil?" Nadia bertanya, suaranya bergetar. "Apa artinya kemajuan jika itu dibangun di atas penderitaan orang-orang yang tidak bersalah?"
Yuri menghela napas panjang, berjalan mendekat ke jendela, memandang kota yang telah berubah. "Mereka yang tidak lolos seleksi bukanlah orang yang tidak bersalah, Nadia. Mereka adalah hambatan bagi peradaban. Dan aku... hanya mencoba menyelamatkan yang tersisa."
Nadia menundukkan kepalanya, mencoba memahami kata-kata itu. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasakan sebuah keputusasaan yang semakin mendalam. "Kita semua telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar keinginan kita untuk hidup dengan nyaman," katanya perlahan.
Yuri tidak menjawab, hanya memandang ke luar, menatap jalanan yang penuh dengan orang-orang yang tersisa. Mereka yang berhasil bertahan.
Akhir Bab 3
Narasi: Dimana Keberlanjutan?
Di seluruh Indonesia, meskipun ada kesuksesan yang tidak dapat disangkal, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu banyak orang: Apakah ini kemajuan yang sebenarnya?
Indonesia berkembang, tapi biaya kemajuan itu terlalu tinggi. Banyak yang mulai bertanya, apakah ada jalan kembali? Jika kemajuan ini dibayar dengan kehancuran manusia, apakah itu benar-benar layak?
Di ruang-ruang pertemuan yang sunyi, pemimpin-pemimpin yang dulu percaya pada sistem ini mulai meragukan diri mereka sendiri. Mereka yang lolos seleksi merasa bingung: Apakah mereka benar-benar pantas hidup di dunia ini, atau apakah mereka hanya bagian dari eksperimen besar yang dilakukan oleh seorang pria bernama Yuri?
Sementara itu, Yuri terus berjalan di jalanan yang sudah bersih dari sampah, di kota yang penuh dengan kemajuan, tetapi juga penuh dengan bayangan-bayangan yang hilang.
Bab 4: Kejatuhan Moral dan Puncak Konflik
Narasi: Ketegangan yang Mulai Membuncah
Setahun setelah implementasi sistem seleksi ketat Yuri, Indonesia telah berubah menjadi kekuatan ekonomi yang tidak terduga. Namun, di balik gemerlap angka statistik dan kemajuan infrastruktur, ada bayangan gelap yang terus menghantui mereka yang bertahan.
Di kota-kota besar, orang-orang mulai berbicara dengan bisik-bisik tentang mereka yang "hilang." Keluarga yang ditinggalkan tanpa jawaban mulai mempertanyakan keadilan. Desa-desa yang kehilangan setengah populasinya mulai membangkang. Dalam hati mereka yang selamat, ada rasa bersalah yang tidak bisa dijelaskan, seolah-olah keberadaan mereka adalah hasil dari kematian orang lain.
Di tengah-tengah ini, Dimas dan Nadia terus bergulat dengan keyakinan mereka sendiri. Meskipun mereka melihat hasil nyata dari kebijakan Yuri, hati nurani mereka tidak bisa menerima harga yang harus dibayar.
Dialog: Percakapan Rahasia
Malam itu, di ruang bawah tanah sebuah bangunan tua, Rahmat mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa anggota yang tersisa dari kelompok oposisi.
"Kita harus menghentikan ini," katanya tegas, suaranya penuh emosi. "Apa yang kita lakukan bukan lagi revolusi. Ini pembantaian."
Dimas, yang duduk di sudut ruangan, mengangguk perlahan. "Aku setuju. Tapi bagaimana caranya? Yuri memiliki kendali penuh atas sistem. Dia bahkan bisa membaca pikiran kita jika dia mau."
Nadia, yang berdiri di dekat pintu, menyela. "Kita harus memanfaatkan kelemahannya. Yuri mungkin memiliki kekuatan mental yang luar biasa, tapi dia bukan dewa. Dia manusia, dan manusia punya celah."
Rahmat mengangkat alis. "Dan apa celahnya, Nadia? Aku tidak melihat apa pun yang bisa kita manfaatkan."
Nadia menarik napas dalam-dalam. "Yuri tidak memahami emosi manusia. Dia menganggap kita semua alat untuk mencapai tujuan. Tapi itu juga kelemahannya. Dia tidak bisa memprediksi tindakan yang didorong oleh cinta, rasa bersalah, atau... pengorbanan."
Semua orang terdiam, merenungkan kata-kata Nadia. Mereka tahu bahwa langkah berikutnya akan berbahaya, tetapi mereka tidak punya pilihan lain.
Narasi: Pertemuan Rahasia dengan Yuri
Beberapa hari kemudian, Nadia menemui Yuri di kantornya, sebuah ruangan besar dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota Jakarta yang bersinar di malam hari.
"Yuri, kita perlu bicara," kata Nadia, suaranya tenang namun tegas.
Yuri, yang sedang memeriksa laporan di layar hologram, mengangkat alis. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nadia? Jika ini tentang moralitas lagi, aku tidak punya waktu untuk mendengarnya."
Nadia menatapnya tajam. "Bukan tentang moralitas. Ini tentang stabilitas. Kau tahu bahwa masyarakat mulai retak, bukan? Orang-orang mulai mempertanyakan apa yang kita lakukan. Jika kita tidak mengatasi ini, semua yang telah kita bangun akan runtuh."
Yuri tersenyum tipis, ekspresinya sinis. "Orang-orang selalu meragukan perubahan. Itu bagian dari sifat manusia. Tapi mereka akan beradaptasi. Mereka tidak punya pilihan."
"Dan jika mereka tidak mau beradaptasi?" tanya Nadia. "Apa kau akan menggiring mereka ke grinder juga?"
Yuri tidak menjawab, tetapi senyumnya menghilang. Untuk pertama kalinya, Nadia melihat sesuatu yang mirip dengan keraguan di matanya. Namun, itu hanya berlangsung sekejap.
"Kita sedang membangun peradaban, Nadia," kata Yuri akhirnya. "Dan peradaban membutuhkan pengorbanan."
Narasi: Perlawanan Terbuka
Di sisi lain negara, benih perlawanan mulai tumbuh. Di desa kecil tempat Andi tinggal, sekelompok petani mulai membangun jaringan rahasia untuk melawan kebijakan Yuri. Mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki sumber daya atau teknologi untuk melawan langsung, tetapi mereka memiliki sesuatu yang lebih kuat: rasa keadilan.
Andi, yang kehilangan anaknya dalam seleksi, menjadi salah satu pemimpin gerakan ini. Malam-malamnya dihabiskan untuk merencanakan sabotase terhadap pusat-pusat tes dan menyebarkan informasi rahasia kepada masyarakat.
"Yuri mungkin punya mesin dan pasukan," katanya kepada kelompoknya suatu malam. "Tapi kita punya hati. Kita punya sesuatu yang tidak bisa dia hancurkan."
Dialog: Konfrontasi Pertama
Pada suatu malam yang gelap, kelompok Andi menyerang salah satu pusat tes di Jawa Timur. Dengan peralatan sederhana, mereka berhasil mematikan listrik dan menghancurkan beberapa mesin pengolah data.
Namun, pasukan keamanan Yuri segera tiba. Perlawanan mereka berubah menjadi baku tembak singkat. Andi berhasil melarikan diri, tetapi beberapa anggota kelompoknya ditangkap.
Keesokan harinya, Yuri mengadakan konferensi pers, wajahnya tanpa emosi. "Setiap tindakan melawan sistem ini adalah tindakan melawan kemanusiaan. Mereka yang terlibat dalam pemberontakan akan dihukum tanpa belas kasihan."
Narasi: Konflik di Dalam Tim
Di Jakarta, konflik di antara anggota kelompok oposisi yang masih hidup semakin memanas. Rahmat dan Dimas mulai tidak sepakat tentang langkah berikutnya.
"Kita tidak bisa terus seperti ini," kata Rahmat. "Kita harus menghadapi Yuri secara langsung."
Dimas menggeleng. "Itu bunuh diri. Kita harus menemukan cara lain, sesuatu yang tidak melibatkan kekerasan."
Nadia, yang mendengarkan perdebatan mereka, akhirnya angkat bicara. "Mungkin ada cara untuk menghentikan Yuri tanpa membunuhnya. Jika kita bisa merusak sistem yang dia gunakan—teknologi dan jaringan mentalnya—kita bisa memaksanya mundur."
Rahmat tampak skeptis. "Dan bagaimana kita melakukannya? Teknologinya jauh lebih maju daripada apa pun yang kita miliki."
"Aku punya ide," kata Nadia pelan. "Tapi kita membutuhkan bantuan orang dalam."
Narasi: Akhir yang Mendekat
Di tengah konflik yang semakin memanas, Yuri mulai merasakan tekanan yang tidak biasa. Meskipun dia berhasil menjaga kendali, ada sesuatu yang berubah. Dunia yang dia coba bangun mulai menunjukkan retakan kecil. Perlawanan yang tadinya sporadis kini menjadi lebih terorganisir. Dan di balik layar, Nadia dan kelompoknya merencanakan sesuatu yang besar.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kemajuan yang belum pernah terjadi sebelumnya sedang terjadi. Di sisi lain, kemajuan itu dibangun di atas penderitaan yang tak terhitung jumlahnya.
Yuri berdiri di depan jendela kantornya, memandang ke arah kota yang bersinar di bawah. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa pertempuran terakhir akan segera tiba.
Bab 5: Pertempuran Terakhir
Narasi: Bayangan Akhir yang Mendekat
Indonesia berada di titik kritis. Di satu sisi, ada Yuri dengan visi dunia baru yang didasarkan pada logika absolut dan seleksi tanpa kompromi. Di sisi lain, ada mereka yang percaya bahwa nilai kemanusiaan tidak bisa diukur hanya dengan angka IQ atau statistik ekonomi. Dalam beberapa bulan terakhir, ketegangan antara kedua kubu meningkat hingga tidak terelakkan. Perlawanan kecil yang sebelumnya terpencar kini telah menyatu menjadi sebuah gerakan nasional yang dipimpin oleh Nadia, Rahmat, Dimas, dan Andi.
Namun, waktu tidak berpihak pada oposisi. Teknologi Yuri yang canggih dan jaringan pengintaiannya telah membuat banyak rencana mereka gagal sebelum sempat dieksekusi. Dengan setiap kekalahan, kelompok oposisi semakin terpojok, tetapi mereka masih memiliki kartu truf yang belum dimainkan.
Dialog: Diskusi Terakhir
Di sebuah bunker rahasia di tengah hutan Kalimantan, Nadia, Rahmat, Dimas, dan Andi mengadakan pertemuan terakhir mereka. Di tengah ruang yang remang-remang, peta besar terpampang di meja, dengan berbagai tanda dan garis yang menunjukkan lokasi fasilitas utama Yuri.
"Kita hanya punya satu kesempatan," kata Nadia, memecah keheningan. "Yuri mengendalikan seluruh sistem melalui pusat pengendali utama di Jakarta. Jika kita bisa menghancurkannya, kita bisa meruntuhkan seluruh jaringan."
Dimas mengerutkan dahi. "Kau tahu apa yang kau minta? Itu berarti menyerbu pusat komando paling dijaga di negeri ini. Pasukan Yuri akan membunuh kita sebelum kita sampai di gerbang."
Rahmat, yang tampak lelah tetapi tegas, menatap peta. "Jika itu satu-satunya cara, maka kita harus mencobanya. Aku tidak akan hidup di dunia ini sebagai boneka Yuri."
Andi, yang selama ini lebih banyak diam, akhirnya angkat bicara. "Aku punya orang-orang di lapangan. Petani, buruh, mahasiswa... mereka siap membantu. Tapi kita butuh lebih dari sekadar tekad. Apa rencanamu, Nadia?"
Nadia mengambil napas panjang. "Aku sudah mempelajari jaringan Yuri selama berbulan-bulan. Dia terlalu percaya diri, dan itu kelemahannya. Ada celah kecil di sistem keamanan digitalnya yang bisa kita eksploitasi. Tapi kita butuh akses langsung ke server utama. Itu artinya... salah satu dari kita harus masuk ke fasilitas itu."
Semua terdiam. Mereka tahu apa yang dimaksud Nadia: misi bunuh diri.
Narasi: Penyusupan ke Jantung Sistem
Malam itu, kelompok oposisi memulai misi terakhir mereka. Dengan bantuan jaringan pendukung di berbagai kota, mereka berhasil menciptakan gangguan di seluruh Jakarta, memaksa pasukan Yuri tersebar untuk mengendalikan situasi. Sementara itu, Nadia, Dimas, dan Rahmat menyusup ke fasilitas utama.
Fasilitas itu berada di dalam gedung pencakar langit dengan penjagaan ketat. Setiap lantai dilengkapi dengan sensor dan drone pengintai, tetapi Nadia telah mempersiapkan segala kemungkinan. Dengan menggunakan perangkat elektronik buatan sendiri, mereka berhasil melewati beberapa lapisan keamanan pertama.
Namun, perjalanan mereka tidak berjalan mulus. Di lantai ke-20, mereka terjebak dalam baku tembak dengan pasukan keamanan Yuri. Rahmat, yang memimpin di depan, tertembak di bahu tetapi tetap memaksa maju.
"Teruskan! Jangan pikirkan aku!" teriak Rahmat, sambil melemparkan granat ke arah pasukan musuh.
Nadia dan Dimas berhasil mencapai lift menuju lantai terakhir, meninggalkan Rahmat yang tetap bertahan untuk mengulur waktu.
Dialog: Pertemuan dengan Yuri
Di lantai paling atas, Nadia dan Dimas akhirnya bertemu langsung dengan Yuri. Dia berdiri di depan panel kontrol besar, wajahnya tenang seperti biasa. Di belakangnya, layar besar menunjukkan berbagai data real-time tentang kondisi negara.
"Ah, Nadia, Dimas," kata Yuri dengan nada dingin. "Aku sudah menduga kalian akan datang. Tapi aku kecewa. Aku berharap kalian lebih pintar daripada mencoba aksi putus asa ini."
Nadia menatapnya tajam. "Kau tidak bisa terus seperti ini, Yuri. Dunia yang kau bangun hanya akan runtuh karena tidak ada manusia yang bisa hidup di bawah tekanan seperti ini."
Yuri tersenyum tipis. "Dan apa yang kau tawarkan sebagai gantinya? Dunia yang penuh kebodohan, korupsi, dan ketidakadilan? Aku telah memberikan solusi. Hanya mereka yang layak yang akan bertahan."
"Layak menurut siapa?" balas Dimas dengan suara gemetar. "Kau telah membunuh jutaan orang tanpa mempertimbangkan nilai mereka sebagai manusia."
"Nilai manusia?" Yuri mendekat, menatap Dimas. "Nilai manusia ada pada kemampuan mereka untuk berkontribusi. Mereka yang tidak bisa, hanyalah beban."
Nadia menggenggam erat perangkat kecil di tangannya—virus digital yang dirancang untuk menghancurkan sistem Yuri dari dalam. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir mereka.
Narasi: Pengorbanan Terakhir
Saat Yuri mulai mendekati mereka, Nadia tiba-tiba berlari menuju panel kontrol. "Tidak! Hentikan dia!" teriak Yuri, tetapi sudah terlambat. Nadia berhasil mengunggah virus ke sistem utama sebelum salah satu pasukan Yuri menembaknya.
Dimas, yang menyaksikan semuanya, berteriak histeris. "Nadia!" Dia berlari ke arahnya, tetapi Yuri menarik pistol dan mengarahkannya ke kepala Dimas.
"Permainan selesai," kata Yuri, tetapi sebelum dia sempat menarik pelatuk, sistem di sekitarnya mulai mati satu per satu. Lampu redup, layar padam, dan suara alarm memenuhi ruangan.
Nadia, dengan napas tersengal-sengal, tersenyum lemah. "Kau mungkin bisa mengendalikan pikiran, Yuri. Tapi kau tidak bisa mengendalikan hati manusia."
Dengan kata-kata terakhir itu, dia menutup matanya, meninggalkan Dimas dalam tangis dan kemarahan.
Narasi: Dunia Baru
Setelah kehancuran sistem Yuri, Indonesia mengalami masa transisi yang sulit. Kehilangan teknologi canggih Yuri membuat negara kembali ke keadaan sebelumnya, tetapi kali ini, rakyat mulai belajar dari kesalahan mereka. Pemimpin baru muncul, membawa visi yang lebih manusiawi dan inklusif.
Dimas, yang selamat dari pertempuran terakhir, menjadi salah satu tokoh penting dalam membangun kembali negara. Namun, bayangan pengorbanan Nadia selalu menghantuinya. Setiap malam, dia memandang ke arah langit, berharap bahwa pengorbanannya tidak sia-sia.
Epilog
Di tempat yang jauh, di sebuah laboratorium tersembunyi, Yuri yang selamat dari kekacauan itu menyusun rencana baru. "Kalian mungkin menang kali ini," katanya pada dirinya sendiri, "tapi aku akan kembali."
Dan dengan itu, babak baru dalam sejarah manusia mulai terbuka.