CERITA FIKSI: KETIKA KAPITALISME DITERAPKAN DI SELURUH DUNIA

 

Bab 1: Awal dari Ketidakadilan

Di tahun 2100, seluruh dunia telah bertransformasi menjadi satu entitas ekonomi raksasa. Tidak ada lagi pembatasan negara, hanya korporasi yang berkuasa. Di kota-kota megapolis yang membentang dari Asia hingga Eropa, warga tidak lagi terikat pada kewarganegaraan—mereka adalah pekerja dari perusahaan-perusahaan global, yang menentukan hidup dan mati mereka.

Kebijakan ekonomi liberalisme dan kapitalisme yang diterapkan sejak satu abad yang lalu membentuk dunia di mana semua layanan publik diprivatisasi. Pendidikan, kesehatan, bahkan air bersih menjadi barang dagangan. Hanya mereka yang mampu membeli yang bisa bertahan hidup, sementara yang lain terpaksa tunduk pada sistem yang mengendalikan setiap aspek kehidupan mereka.

Di sebuah apartemen kecil di Megapolis Neo-Tokyo, seorang pemuda bernama Adam duduk merenung di depan jendela yang menghadap ke lautan gedung pencakar langit. Tangannya bergetar, meremas secarik kertas pemberitahuan bahwa kontraknya sebagai analis data di Corporation Nova tidak akan diperpanjang. Dia menghela napas berat.

"Ini tidak adil," katanya dengan suara serak. "Aku sudah bekerja tanpa henti, tapi sekarang mereka memecatku hanya karena aku menolak jam lembur yang tidak dibayar."

Bab 2: Kekuatan Tanpa Penghalang

Sejak kapitalisme murni diterapkan, korporasi-korporasi raksasa menjadi penguasa baru. Mereka membeli tanah, kota, bahkan hak-hak manusia. Ava, seorang jurnalis independen yang bekerja di kota Megapolis New Berlin, menyaksikan semua ini. Dia telah berkeliling dunia selama sepuluh tahun terakhir, meliput kekejaman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh korporasi. Namun, artikel-artikelnya tidak pernah dibaca. Media, yang juga dimiliki oleh korporasi, mengabaikan laporan-laporannya.

"Kebenaran tidak lagi relevan," kata Ava kepada Adam yang ditemuinya di sebuah kafe bawah tanah, salah satu dari sedikit tempat yang masih menerima transaksi tanpa pelacakan digital. "Yang penting hanyalah keuntungan, dan kita hanyalah angka di laporan keuangan mereka."

Adam hanya tersenyum pahit. Dia tidak percaya pada perubahan, bukan lagi.

Bab 3: Kesenjangan yang Menganga

Seratus tahun setelah dunia mengadopsi kapitalisme murni, kekayaan dunia terpusat pada segelintir orang. 0,1% populasi dunia menguasai 99% sumber daya. Kota-kota para elit dibangun megah, di atas bukit atau pulau-pulau buatan, sementara sisa dunia hidup dalam bayang-bayang kemiskinan.

Di Distrik 17, Lila, seorang gadis berusia dua belas tahun, bersembunyi di balik reruntuhan bangunan. Hujan turun deras, menggenangi jalan-jalan yang penuh dengan lumpur. Lila adalah salah satu dari banyak anak yang hidup sebagai pengungsi di kota-kota besar. Orang tuanya tewas karena kebijakan lingkungan yang terlalu lama diabaikan oleh perusahaan tambang yang mencemari sumber air mereka.

"Aku tidak mau mati di sini," katanya dengan nada putus asa kepada temannya, Kenji, yang sedang menunggu giliran mengisi air bersih di pos terdekat. "Kita harus pergi ke kota elit, di sana ada segalanya."

Kenji hanya menggelengkan kepala. "Kita tidak punya identitas, Lila. Tanpa kartu perusahaan, kita bahkan tidak dianggap sebagai manusia."

Bab 4: Resistensi yang Mulai Tumbuh

Di bawah permukaan kota-kota megapolis, sekelompok orang mulai merencanakan pemberontakan. Mereka disebut Syndicate, kelompok yang beranggotakan para pekerja yang ditindas, pengungsi, dan jurnalis independen yang tak pernah didengar. Ava dan Adam menjadi bagian dari mereka, mendistribusikan informasi lewat jaringan bawah tanah yang terputus dari internet korporat.

"Kita harus mengembalikan hak asasi manusia," kata Adam dalam rapat rahasia di terowongan bawah tanah. "Dunia ini sudah gila, hanya keuntungan yang menjadi tujuan mereka. Kita ini manusia, bukan mesin pencetak uang."

Namun, meski usaha perlawanan semakin kuat, korporasi tetap menguasai segalanya. Mereka memiliki pasukan keamanan pribadi, teknologi canggih, dan kekayaan tak terbatas.

Bab 5: Warisan yang Ditinggalkan

Tahun 2200, seratus tahun setelah kapitalisme murni diterapkan, dunia akhirnya runtuh karena perlawanan besar-besaran. Pemberontakan berhasil menggulingkan korporasi, tetapi dengan harga yang sangat mahal. Kota-kota yang dulu megah kini menjadi puing-puing, teknologi yang mereka miliki menjadi senjata penghancur massal yang tidak terkendali. Sejarah mencatat bahwa keruntuhan itu adalah harga dari sebuah sistem yang tidak pernah mengenal batasan.

Adam, yang kini berumur delapan puluh tahun, berdiri di antara reruntuhan. Dia memandang sekelilingnya, dunia yang dulu dipenuhi kilauan lampu-lampu neon kini sunyi dan hancur.

"Kita membangun dunia yang salah," katanya kepada Ava yang berdiri di sampingnya, kini sudah tua dan letih. "Kita terlalu sibuk mengejar keuntungan, hingga lupa apa itu artinya menjadi manusia."

Ava mengangguk. "Tapi kita bisa memulai kembali," katanya. "Membangun dunia baru yang lebih adil. Mungkin kali ini, kita bisa belajar dari kesalahan."

Adam menatap ke kejauhan, matahari terbit perlahan di ufuk timur, menyinari puing-puing yang tersebar di tanah. Dunia ini mungkin telah kehilangan seratus tahun kemajuan, tapi mereka memiliki kesempatan untuk membangun kembali—dari awal, dengan pelajaran yang didapat dari keruntuhan masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar