CERITA DRAMA: RIANA

Riana adalah seorang wanita muda yang ceria, namun akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggunya. Ia sering merasakan nyeri pada ujung jarinya, terutama ketika ia bekerja di depan komputer. Suatu hari, Riana memutuskan untuk mengenakan cardigan abu-abunya yang nyaman untuk menghadiri pertemuan kantor.

Di kantor, rasa nyeri di ujung jarinya semakin parah. Ia mencoba memijat-mijat jarinya agar sedikit lebih rileks, tetapi rasa sakit itu tak kunjung hilang. Sambil menghela napas panjang, Riana memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter sepulang kerja.

“Riana, kamu kenapa? Kamu terlihat tidak nyaman,” tanya salah satu rekan kerjanya, melihat ekspresi Riana yang muram.

“Jari-jari ini terasa sakit sekali, apalagi saat harus mengetik,” jawab Riana sambil menunjukkan tangannya yang sedikit memerah.


Sepulang kerja, Riana langsung menuju klinik. Riana mengendarai sepeda motor laki, berangkat dari kantor menuju klinik. Ia menikmati perjalanan, meskipun hembusan angin kencang membuatnya sedikit kedinginan. Cardigan abu-abunya tak cukup menahan angin, dan setiap kali ia mempercepat laju motornya, bagian bawah dress pink tanpa lengan yang ia kenakan sedikit tersingkap.

Di salah satu lampu merah, beberapa pengendara lain memperhatikannya dengan tatapan penasaran. Seorang pria di sebelahnya, mengendarai sepeda motor juga, sesekali mencuri pandang. “Wah, warnanya cerah banget, Mbak,” katanya sambil tersenyum canggung.

Riana yang mendengar komentar itu hanya membalas dengan anggukan sopan. “Iya, lagi ingin yang cerah-cerah aja,” balasnya sambil tersenyum. Ia tahu dress pink-nya menarik perhatian, tetapi ia tidak peduli. Baginya, perjalanan ke klinik ini adalah tentang rasa nyaman, dan ia tetap yakin dengan pilihan bajunya.

Di persimpangan lain, seorang ibu yang sedang menunggu angkot di pinggir jalan menggeleng pelan sambil berbisik kepada suaminya, “Lihat, Pak. Berani sekali anak muda jaman sekarang. Baju pink cerah naik motor laki. Tapi ya, cantik sih…”

Suaminya, yang tengah menghisap rokok, hanya mengangguk, “Ya, yang penting dia nyaman. Lihat, dia tampaknya percaya diri sekali,” jawabnya dengan nada netral.

Saat Riana melaju melewati kawasan pasar, beberapa pedagang yang sedang membereskan dagangan melirik ke arahnya. "Wih, Mbaknya keren juga. Dress pink naik motor laki, berani!" seru salah satu penjual buah dengan suara keras, disambut tawa teman-temannya.

Riana hanya tersenyum kecil, menikmati angin yang menerpa wajahnya. Di balik semua tatapan dan komentar itu, ia tahu bahwa ada kebebasan yang ia rasakan saat mengendarai motor, bahkan jika itu berarti menunjukkan sedikit dari dress pink cerahnya yang tampak kontras dengan motor laki yang ia tumpangi.

Di dekat klinik, ia akhirnya berhenti di parkiran, mematikan mesin, dan melepas helmnya. Angin sore masih bertiup lembut, menggoyangkan ujung dress-nya. Beberapa orang yang ada di parkiran sempat melirik, tapi tidak ada yang berkata apa-apa. Mereka hanya tersenyum sopan, seolah menghargai keberanian Riana yang tampil beda.

Ketika Riana tiba di klinik, penampilannya langsung menarik perhatian beberapa orang di ruang tunggu. Dress pink tanpa lengan yang ia kenakan menonjol di antara pakaian formal dan kasual lainnya. Beberapa orang melirik sekilas, mungkin terkejut karena penampilannya yang terkesan lebih santai dibandingkan suasana klinik yang cenderung serius.

Di meja resepsionis, seorang perawat muda tersenyum ramah sambil menyapanya, "Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa dibantu?"

“Sore, saya mau periksa tangan saya. Rasanya nyeri sekali,” jawab Riana sambil mengusap-usap jarinya. Ia sedikit gelisah, tetapi tetap mencoba tersenyum.

Saat ia duduk di ruang tunggu, seorang ibu yang duduk di sebelahnya berbisik kepada temannya, "Cantik sekali bajunya. Tapi untuk ke klinik, agak... berani, ya?"

Temannya mengangguk pelan, “Mungkin dia langsung dari acara lain atau dari kantor. Tapi warnanya memang mencolok.”

Riana yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum kecil, mencoba tidak memedulikan komentar yang terdengar samar. Baginya, kenyamanan adalah hal utama, dan dress pink tanpa lengan ini memang memberikan perasaan lebih santai setelah seharian mengenakan pakaian kerja yang formal.

Ketika akhirnya namanya dipanggil oleh asisten dokter, Riana berdiri dan berjalan menuju ruang periksa. Tatapan beberapa orang di ruang tunggu mengikuti langkahnya, sebagian dengan rasa penasaran, sebagian lagi hanya sekilas. Ia tahu bahwa dress pink yang ia kenakan bukanlah pilihan pakaian yang biasa dilihat di klinik, tapi ia merasa itu tak jadi masalah.

Di dalam ruang periksa, dokter memperhatikannya sebentar, lalu tersenyum, “Dress yang bagus, Mbak Riana. Warna yang cerah, semoga membuat suasana jadi lebih baik, ya?”

Riana tersenyum lega mendengar ucapan dokter, “Terima kasih, Dok. Saya memang butuh sesuatu yang cerah hari ini.” Ucapannya disertai tawa kecil, dan untuk pertama kalinya hari itu, Riana merasa bahwa pilihan bajunya memberikan dampak positif, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang lain di sekitarnya.

Setelah pulang dari klinik, Riana merasa sedikit lega. Namun, ia memutuskan untuk mengganti pakaian agar merasa lebih nyaman. Cardigan abu-abunya yang tadi dipakainya di kantor ia lepas, menggantinya dengan dress pink tanpa lengan yang lebih santai.

Keesokan harinya, ketika Riana sedang bersantai di ruang tamunya, ia kembali merasakan nyeri di jarinya. Sambil mengenakan dress pink yang longgar, ia memerhatikan jari-jarinya yang tampak kaku. Pikirannya melayang, mengingat betapa padatnya jadwal di kantor dan betapa ia jarang memperhatikan kesehatan dirinya.

“Mungkin aku terlalu banyak bekerja,” gumamnya pelan sambil memegang ujung jarinya yang kembali terasa sakit.

Sejenak ia terdiam, mengingat percakapan dengan temannya di kantor. Ia merasa bahwa perubahan kecil dalam hidupnya, seperti mengganti pakaian menjadi lebih santai, memberikan sedikit kenyamanan dalam menghadapi hari-hari yang penuh tekanan. Walau rasa sakit itu belum hilang sepenuhnya, Riana tahu bahwa ia harus mulai merawat dirinya lebih baik.

“Mungkin cardigan abu-abu itu akan kusimpan dulu, saat ini aku butuh sesuatu yang lebih santai,” pikir Riana sambil tersenyum kecil, menyadari bahwa ia harus lebih mencintai dirinya sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar