FIKSI SOSIO-POLITIK: PESTA 'MUKBANG' ULAR BERBISA DAN AKHIR TRAGIS PELAKU KORUPSI

 Bab 1: Titik Balik

Di ruang sidang DPR yang penuh sesak, suasana terasa tegang. Wajah-wajah para politisi tampak serius, beberapa tampak khawatir, yang lain menunjukkan amarah yang tersembunyi di balik senyum diplomatik mereka. Presiden Aryo Pratama berdiri di podium, menatap seluruh anggota dewan yang duduk rapi di depannya.

"Kita berada di titik nadir," ucap Presiden Aryo dengan nada tegas. "Tingkat kasus korupsi di Indonesia mencapai 95%, hampir menghancurkan ekonomi makro kita. Rakyat menderita. Harga-harga melonjak, pengangguran meningkat, dan kepercayaan pada pemerintahan ini berada di titik terendah. Hari ini, kita akan memutuskan langkah berani. Saya dan pimpinan MPR/DPR telah merumuskan UU yang tak pernah terbayangkan sebelumnya—hukuman bagi para koruptor yang akan memberi pelajaran pada mereka yang mempermainkan amanah rakyat."

Suara desahan terdengar di seluruh ruangan. Ketua MPR, Pak Hardiman, melirik ke arah Presiden Aryo dengan tatapan tajam namun penuh dukungan.

"Kita akan memberikan hukuman mati bagi para koruptor dengan cara yang tidak akan pernah mereka lupakan," lanjut Aryo, matanya bersinar oleh kemarahan yang terpendam. "Koruptor akan dijatuhkan ke dalam sebuah sumur besar yang berisi puluhan spesies ular berbisa—sumur yang akan menjadi simbol keadilan sejati bagi rakyat Indonesia."

Bab 2: Reaksi Publik

Berita tentang rancangan UU itu menyebar bak api yang membakar rumput kering. Di jalan-jalan, di pasar, di kedai kopi, semua orang membicarakan hal yang sama. Televisi dan radio terus menyiarkan liputan langsung tentang sidang yang berlangsung panas di Senayan.

"Ini gila! Bagaimana mungkin mereka bisa begitu kejam?" tanya seorang pria paruh baya di warung kopi pinggir jalan, wajahnya memucat.

"Keji? Itu yang pantas mereka dapatkan!" jawab seorang wanita dengan nada tinggi. "Para koruptor itu sudah terlalu lama mempermainkan nasib kita semua. Sudah saatnya mereka merasakan ketakutan yang sama seperti kita setiap hari."

Di kantor-kantor pemerintah, para pegawai yang biasanya tenang kini tampak gelisah. Suara bisikan mengalir deras di antara meja-meja kerja. Banyak yang takut, tidak sedikit yang merasa bersalah. UU ini, jika disahkan, akan mengubah wajah Indonesia selamanya.

Bab 3: Pengesahan UU

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Di gedung DPR, ribuan orang berkumpul untuk mendukung atau memprotes rancangan UU baru tersebut. Bendera merah putih berkibar di antara teriakan massa, sebagian menginginkan keadilan, sebagian lagi menuduh pemerintah telah kehilangan akal sehat.

Presiden Aryo kembali berdiri di depan mikrofon, kali ini diapit oleh Ketua MPR dan Ketua DPR. "Dengan disahkannya UU ini, kami menyatakan perang terhadap korupsi," katanya sebelum mengetukkan palu yang menandai dimulainya era baru di Indonesia.

Di luar gedung, sorakan rakyat bercampur dengan suara tangis dan amarah. Tidak lama kemudian, di media, cuplikan-cuplikan tentang pembangunan sumur raksasa yang dijaga ketat oleh militer dan polisi mulai menghiasi layar televisi.

Bab 4: Pengadilan Pertama

Setahun setelah UU disahkan, korupsi mulai terkuak satu per satu. Pengadilan pertama menjatuhkan vonis pada seorang bupati yang terbukti menggelapkan dana bantuan bencana. Wajahnya pucat saat mendengar keputusan hakim.

"Bupati Ramdani, Anda dijatuhi hukuman mati sesuai UU Korupsi Nomor 20 Tahun 2024," kata hakim dengan nada datar. "Anda akan dimasukkan ke dalam sumur keadilan beserta spesies ular berbisa yang ada di dalamnya."

Suara riuh rendah terdengar di ruang sidang. Ramdani yang biasanya angkuh kini tampak putus asa, wajahnya seperti kehilangan darah.

"Tidak...! Ini tidak adil!" teriak Ramdani. "Saya dijebak! Tolong, berikan saya kesempatan kedua!"

Namun, keputusan telah dijatuhkan. Para penjaga memborgol tangannya dan membawanya pergi menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke "Sumur Keadilan."

Bab 5: Eksekusi di Depan Publik

Ribuan orang berkumpul di sekitar area eksekusi yang dijaga ketat. Di tengah lapangan yang luas, sebuah sumur besar sebesar rumah minimalis berdiri menganga. Sumur itu sudah menjadi legenda sejak dibangun, dikelilingi oleh pagar tinggi dan kawat berduri. Di dalamnya, puluhan spesies ular berbisa berkeliaran, siap menunggu siapa pun yang dijatuhkan ke dalamnya.

"Ini adalah keadilan bagi rakyat," kata seorang presenter televisi, wajahnya tegang. "Hari ini, kita akan melihat eksekusi pertama di Sumur Keadilan."

Ramdani dibawa ke pinggir sumur. Para penonton terdiam, menahan napas. Presiden Aryo, yang menyaksikan dari kejauhan, menatap dengan tatapan penuh keyakinan.

"Bupati Ramdani, inilah hukuman untuk dosa-dosa yang telah kau lakukan kepada rakyat," kata algojo yang berdiri di sebelahnya.

Dengan satu dorongan, tubuh Ramdani terjatuh ke dalam sumur. Suara jeritan bercampur dengan suara gemerisik ular yang mulai bergerak mendekatinya. Teriakan Ramdani memudar seiring dengan suara gemuruh penonton yang menyaksikan keadilan ditegakkan, meski dengan cara yang begitu mengerikan.

Bab 6: Dampak Sosial dan Politik

Setelah eksekusi pertama, ketakutan menyebar ke seluruh negeri. Para politisi dan pejabat yang selama ini bermain curang tiba-tiba memperlihatkan perilaku yang lebih bersih. Tidak ada lagi amplop-amplop coklat yang berpindah tangan di ruang-ruang gelap. Di pasar, harga-harga mulai stabil, dan ekonomi perlahan membaik.

Namun, pro dan kontra tak kunjung reda. Organisasi HAM internasional mengutuk UU ini sebagai tindakan barbar yang melanggar hak asasi manusia. Namun, Presiden Aryo tetap kukuh pada pendiriannya.

"Kita tidak bisa kembali ke masa lalu," kata Aryo dalam sebuah wawancara televisi. "Korupsi hampir menghancurkan negara ini. Kita harus bertindak tegas untuk menyelamatkan masa depan Indonesia."

Di sisi lain, para pengacara mulai mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, menuduh bahwa UU ini tidak manusiawi. Namun, suara rakyat tetap mendukung pemerintah. "Kita sudah cukup menderita," kata seorang ibu yang diwawancarai di pinggir jalan. "Akhirnya, ada yang bertindak untuk kita."

Bab 7: Perubahan di Negeri

Lima tahun kemudian, Indonesia berubah menjadi negara dengan ekonomi yang kuat. Laporan internasional menunjukkan bahwa tingkat korupsi turun drastis hingga 5%, dan birokrasi menjadi lebih efisien. Pembangunan infrastruktur berjalan lancar, dan investasi asing mengalir deras.

Namun, di balik kemajuan itu, "Sumur Keadilan" tetap menjadi simbol yang kontroversial. Setiap tahun, puluhan pelaku korupsi dari berbagai level dijatuhkan ke dalam sumur itu. Di mata sebagian orang, ini adalah keadilan yang akhirnya ditegakkan. Di mata yang lain, ini adalah kebrutalan yang tak seharusnya terjadi di zaman modern.

Suatu sore, Presiden Aryo yang kini sudah pensiun, duduk di teras rumahnya yang sederhana. Seorang jurnalis muda datang menemuinya, membawa rekaman suara dari salah satu koruptor yang pernah dijatuhkan ke sumur.

"Apa Anda tidak menyesal, Pak, telah membuat hukum yang begitu keras?" tanya jurnalis itu.

Aryo menatap jauh ke arah cakrawala yang mulai memerah. "Kadang, untuk menghentikan kegelapan, kau harus menyalakan api yang cukup besar untuk membakar semua yang busuk," jawabnya pelan. "Aku tidak bangga, tapi aku tahu itu perlu. Mungkin suatu hari, kita bisa menemukan cara yang lebih manusiawi. Tapi saat itu, kita sedang di ambang kehancuran. Dan aku hanya memilih jalan yang tersisa."

Jurnalis itu terdiam, menatap wajah tua mantan presiden yang penuh dengan keteguhan namun juga kesedihan yang sulit disembunyikan. Di kejauhan, suara nyanyian anak-anak terdengar, menggema di langit sore yang damai, seolah menandakan era baru di negeri yang pernah hampir tenggelam dalam kegelapan.

Bab 8: Pengaruh yang Tak Terduga

Berita bahwa Indonesia berhasil menurunkan tingkat korupsi hingga titik terendah dalam sejarah menyebar dengan cepat. Negara-negara di seluruh dunia memperhatikan dengan penuh minat, terutama mereka yang tengah menghadapi krisis kepercayaan terhadap pemerintah akibat skandal-skandal korupsi. Keberhasilan "Sumur Keadilan" menjadi topik perdebatan panas di parlemen negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat.

Di Washington, D.C., sebuah sidang khusus diadakan oleh Kongres Amerika Serikat. Parlemen yang didominasi oleh Partai Republik, yang selama ini dikenal dengan kebijakan sayap kanan, menunjukkan minat yang mengejutkan terhadap kebijakan kontroversial Indonesia.

“Ini mungkin solusi yang kita cari selama ini,” ujar Senator John McMillan, seorang politisi garis keras dari Partai Republik, sambil menatap layar yang memperlihatkan cuplikan eksekusi pertama di Sumur Keadilan. “Korupsi di negeri ini sudah terlalu parah. Lihat apa yang berhasil dilakukan Indonesia. Mungkin inilah saatnya kita mengambil langkah serupa.”

Seorang senator dari Partai Demokrat, Catherine Torres, mengangkat tangan dengan wajah gusar. “Ini barbar! Bagaimana bisa kita mempertimbangkan sesuatu yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia? PBB tidak akan pernah menyetujui ini!”

McMillan menatap tajam ke arah Torres, lalu tersenyum dingin. “PBB sudah lama kehilangan kendali. Rakyat kita menuntut tindakan nyata, bukan ceramah moral dari organisasi internasional yang tak pernah efektif.”

Bab 9: Sidang di PBB

Desas-desus tentang Amerika yang mempertimbangkan hukuman mati untuk koruptor menyebar hingga ke PBB. Delegasi dari berbagai negara mulai mempertanyakan apakah negara-negara Barat, yang selama ini menjadi advokat utama hak asasi manusia, benar-benar akan mengambil langkah seperti itu.

Di ruang sidang PBB, seorang perwakilan dari Indonesia, Duta Besar Rahayu, berdiri di podium dengan tenang, dikelilingi oleh wajah-wajah yang tampak tidak percaya.

"Indonesia tidak pernah bermaksud menjadi contoh untuk negara-negara lain," katanya. "Kami melakukan apa yang harus kami lakukan untuk menyelamatkan negara kami dari kehancuran. Tetapi, jika negara-negara lain ingin meniru kebijakan kami, kami hanya bisa berharap mereka melakukannya dengan hati-hati dan mempertimbangkan konteks masing-masing."

Seorang perwakilan dari Amerika Serikat, yang dikenal sebagai pendukung Partai Republik, berdiri dan tersenyum pada Rahayu. "Kami menghargai keberanian Indonesia untuk mengambil langkah yang sulit," katanya. "Kita semua tahu bahwa sistem global saat ini seringkali tidak efektif dalam menangani korupsi."

Sejak saat itu, PBB mengeluarkan peringatan keras terhadap negara-negara yang berniat meniru kebijakan Indonesia, menyebutnya sebagai "pelanggaran hak asasi manusia yang terang-terangan." Namun, beberapa negara Barat—termasuk Amerika—tetap tidak bergeming.

Bab 10: Diskusi di Gedung Putih

Di Gedung Putih, sebuah rapat rahasia diadakan di Ruang Oval, dihadiri oleh para pemimpin partai Republik dan sejumlah penasihat keamanan nasional. Presiden Amerika Serikat, seorang politisi sayap kanan yang dikenal keras, menatap layar monitor yang menunjukkan data keberhasilan Indonesia dalam menekan korupsi.

"Ini langkah yang berisiko, Tuan Presiden," kata penasihat hukum senior, Robert Blake. "PBB dan media internasional pasti akan menentangnya. Tapi jika kita benar-benar bisa mengurangi korupsi seperti Indonesia, itu akan jadi kemenangan besar bagi kita di pemilu berikutnya."

Presiden berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Kita sudah terlalu lama ditindas oleh aturan yang dibuat oleh organisasi internasional yang tidak tahu apa yang terjadi di negara ini. Kalau Indonesia bisa melakukannya dan berhasil, kenapa kita tidak?"

"Tapi ini akan memecah belah negara," protes Kepala Staf, Emily Carter. "Banyak orang yang tidak akan setuju dengan cara ini, terutama mereka yang mendukung hak asasi manusia."

Presiden tersenyum tipis. "Rakyat tidak peduli dengan moralitas jika perut mereka lapar dan dompet mereka kosong. Ini bukan soal keadilan moral, ini soal bertahan hidup. Mulai rancang undang-undangnya. Kita akan bergerak, dengan atau tanpa restu PBB."

Bab 11: Protes dan Dukungan

Berita bahwa Amerika Serikat sedang merumuskan undang-undang serupa dengan "Sumur Keadilan" memicu gelombang protes besar di seluruh negeri. Di New York, ribuan orang turun ke jalan, membawa spanduk yang mengecam kebijakan yang mereka anggap sebagai "kemunduran peradaban."

"Ini tidak bisa diterima! Kita tidak bisa menjadi negara barbar seperti ini!" teriak seorang demonstran muda di depan Gedung Putih.

Namun, di bagian lain negara, di pedesaan yang selama ini merasa terpinggirkan oleh korupsi di pusat kekuasaan, dukungan terhadap kebijakan itu tumbuh subur. Talk show radio konservatif membicarakan keberanian Indonesia dengan penuh kekaguman, memuji negara kecil di Asia yang berhasil menantang otoritas global.

"Indonesia punya nyali," kata seorang pembawa acara radio terkenal di Texas. "Dan mereka membuktikan bahwa hukuman keras adalah cara untuk membersihkan kotoran yang menumpuk di sistem pemerintahan kita. Mungkin kita juga perlu menyalakan api keadilan seperti mereka."

Bab 12: Undang-undang Baru di Amerika

Kongres akhirnya mengesahkan undang-undang baru, yang disebut "Act for Ultimate Justice," yang memberikan hukuman mati bagi koruptor dengan cara yang lebih "terhormat" daripada di Indonesia—bukan sumur ular, tetapi penjara isolasi penuh tanpa komunikasi selama sisa hidup. Amerika mencoba untuk meniru kesuksesan Indonesia, tetapi dengan sedikit modifikasi agar terlihat lebih beradab di mata dunia.

Kritik internasional terus berdatangan, tapi dukungan rakyat Amerika mengalir deras. Mereka yang merasa dikhianati oleh sistem yang korup akhirnya menemukan harapan baru dalam kebijakan ekstrem tersebut.

Bab 13: Pertemuan di Jakarta

Di Jakarta, Presiden Aryo diundang untuk berbicara dalam sebuah konferensi internasional yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat. Di depan para pemimpin dunia, Aryo berdiri dengan tenang, menatap wajah-wajah yang penasaran.

"Kami tidak pernah bermaksud untuk menjadi model bagi dunia," katanya, suaranya rendah namun tegas. "Kami melakukan apa yang kami lakukan karena kami terpojok. Kami tidak punya pilihan lain. Saya berharap dunia memahami, bahwa setiap negara punya konteks dan masalahnya masing-masing. Cara kami bukanlah satu-satunya cara."

Presiden Amerika berdiri dan menyalami Aryo. "Kami belajar banyak dari Anda," katanya. "Mungkin Anda benar. Mungkin cara kami akan berbeda, tapi semangat keadilan itulah yang kami ambil dari pengalaman Anda."

Bab 14: Dunia yang Berubah

Setelah pertemuan itu, semakin banyak negara di dunia yang memberanikan diri untuk mengambil langkah ekstrem terhadap korupsi, terutama di Eropa Timur dan Amerika Latin yang selama ini berjuang dengan masalah korupsi sistemik. Indonesia menjadi simbol, bukan hanya ketegasan, tapi juga pengingat bahwa keadilan bisa menjadi senjata yang tajam, jika tidak dikelola dengan bijaksana.

Namun, meski keberhasilan Indonesia menginspirasi dunia, ada harga yang harus dibayar. Kritik internasional, isolasi dari PBB, dan tekanan ekonomi dari negara-negara yang menentang kebijakan itu membuat Indonesia menghadapi tantangan baru.

Di Jakarta, Aryo duduk di kantornya, menatap laporan ekonomi yang menunjukkan kemajuan pesat, tetapi juga laporan diplomatik yang penuh dengan ancaman sanksi dari PBB.

"Mungkin kita benar," gumamnya pelan. "Mungkin kita salah. Tapi yang pasti, kita memilih jalan yang sulit, dan sekarang, tidak ada lagi jalan untuk kembali."

Di sisi lain dunia, Presiden Amerika berdiri di Gedung Putih, menatap peta global yang terpampang di dinding, mencoba memahami dunia baru yang mulai terbentuk, di mana garis antara keadilan dan kekejaman menjadi semakin tipis, dan di mana kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh diplomasi, tetapi oleh keberanian untuk bertindak, apa pun risikonya.

Bab 15: Oligarki Terkapar di Sumur Keadilan

Sistem "Sumur Keadilan" telah menyebar melintasi batas-batas negara, dan dalam gelombang pertama penghakiman yang menghebohkan, sepuluh orang oligarki kelas kakap dari berbagai negara, yang selama ini dikenal sebagai untouchable, akhirnya menghadapi konsekuensi dari keserakahan mereka. Setiap nama yang masuk dalam daftar eksekusi menjadi headline di seluruh dunia, menarik perhatian jutaan orang yang haus akan keadilan sejati.

1. Alejandro Guzmán (Meksiko)

Alejandro Guzmán, seorang taipan minyak yang menguasai pasar energi di Meksiko, dijatuhi hukuman mati setelah terbukti mengalihkan dana pemerintah sebesar miliaran dolar untuk memperkaya dirinya sendiri. Di hadapan sumur berisi ular berbisa, Alejandro gemetar. “Aku bisa bayar lebih! Aku bisa beli semuanya!” teriaknya, memohon ampun saat didorong oleh algojo. Saat tubuhnya jatuh ke dasar sumur, teriakan penuh ketakutan itu berubah menjadi tangisan mengerikan yang terhenti oleh desisan ular yang segera menyergap tubuhnya.

2. Boris Volkov (Rusia)

Boris Volkov, seorang oligarki yang menguasai sektor gas alam Rusia, dihukum mati karena suap yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah selama bertahun-tahun. Di pinggir sumur, ia menatap dingin para eksekutor. “Negara ini tidak akan bertahan tanpaku!” katanya dengan nada arogan. Tapi keangkuhannya segera lenyap saat ia jatuh ke dalam sumur. Seekor king kobra bergerak cepat, mengigit tangan Boris sebelum ia sempat berteriak lebih lama, dan tubuhnya bergoyang di antara tumpukan ular.

3. Klaus Becker (Jerman)

Klaus Becker, penguasa jaringan konstruksi raksasa di Eropa, terkenal memonopoli tender proyek-proyek pemerintah Jerman dengan suap yang tersebar luas. Di saat terakhirnya, ia memohon belas kasihan kepada para penjaga, tetapi tak ada ampun untuknya. Saat terjun ke dalam sumur, ular tanah menyelusup dengan cepat dan melilit kakinya, menyebabkan kejang-kejang hebat yang menghentikan napasnya dalam hitungan menit.

4. Lu Wei (Tiongkok)

Di Beijing, pengusaha teknologi Lu Wei—yang selama ini menguasai pasar e-commerce dan media sosial—dituduh melakukan korupsi besar-besaran dengan menyelundupkan uang negara ke luar negeri. Ia mencoba menyogok algojo dengan mata uang asing, tapi semua upaya sia-sia. Saat tubuhnya menghantam dasar sumur, seekor kobra jawa muncul dari kegelapan, menyuntikkan bisa mematikan tepat di lehernya. Jeritannya mereda dalam hitungan detik, bergema di antara dinding sumur yang gelap.

5. Samuel Donovan (Amerika Serikat)

Samuel Donovan, seorang pengusaha real estate dan pemilik media yang dikenal sebagai “Raja Properti Amerika,” akhirnya jatuh setelah bertahun-tahun mengontrol politik melalui korupsi dan suap. Sebelum didorong, ia bersumpah akan “menghancurkan” sistem ini, tetapi ancaman terakhirnya lenyap saat tubuhnya dihempaskan ke dalam sumur. Seekor welang yang licin bergerak tanpa suara dan menyergap tubuhnya yang terbaring tak berdaya, membuatnya menggeliat dalam kesakitan yang tak terkatakan.

6. Jean-Michel Renault (Prancis)

Di Paris, Jean-Michel Renault, seorang miliarder mode yang mengontrol jaringan bisnis di seluruh Eropa, dijatuhi hukuman mati setelah terbukti melakukan penggelapan pajak dan penipuan finansial selama dua dekade. Saat jatuh ke dalam sumur, kilatan kulitnya yang pucat tampak sejenak sebelum ular-ular tanah menyerbu tubuhnya yang gemetar. Suaranya tenggelam dalam suara desisan ular yang berdesak-desakan di sekelilingnya.

7. Rajiv Bhattacharya (India)

Rajiv Bhattacharya, taipan properti yang terkenal di seluruh India, terkenal menguasai sektor properti dengan cara yang tidak bersih. Ketika dihadapkan pada hukuman mati, ia menatap sumur dengan wajah yang sudah pasrah. “Semua ini tak akan mengubah apa pun,” katanya datar, sebelum tubuhnya didorong ke dalam kegelapan. Seekor king kobra yang bersembunyi di celah-celah batu bergerak secepat kilat, membuat Rajiv menggeliat liar saat bisa menyebar di tubuhnya.

8. Fernando Torres (Spanyol)

Di Madrid, Fernando Torres—seorang pengusaha perbankan yang mengatur aliran dana dari rekening gelap di seluruh Eropa—menjadi korban berikutnya. Wajahnya yang biasanya tersenyum sinis kini berubah tegang. “Aku tidak akan mati seperti ini!” teriaknya, tetapi eksekutor tetap mendorongnya tanpa ampun. Di dasar sumur, seekor kobra jawa melingkari tubuhnya, menggigit beberapa kali hingga tubuh Fernando mengejang dan matanya membelalak kosong.

9. Amadou Diarra (Nigeria)

Di Lagos, Amadou Diarra, seorang pengusaha minyak yang berkuasa di Afrika Barat, dituduh memanfaatkan kekayaan alam negaranya untuk kepentingan pribadi dengan merugikan negara miliaran dolar. Ia diantar ke sumur dengan tangan terikat, berusaha meyakinkan para penjaga bahwa ia bisa “membeli” kebebasannya. Namun, ketika tubuhnya jatuh, tak ada yang bisa disogok. Weling yang berbisa dengan cepat menyergap tubuhnya, membuat Amadou meraung dalam siksaan hingga akhirnya terdiam.

10. Gerard Dubois (Kanada)

Gerard Dubois, seorang taipan tambang di Kanada, dikenal karena eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan lingkungan atau hak-hak masyarakat adat. Ketika dijatuhi hukuman, ia mencoba menyogok eksekutor dengan saham perusahaannya yang berharga. Tapi semua rayuan ditolak mentah-mentah. Saat tubuhnya terhempas ke dalam sumur, ular tanah merayap di tubuhnya, diikuti oleh king kobra yang segera menancapkan taringnya di lengan Gerard, menyebabkan tubuhnya mengejang dalam rasa sakit yang tidak tertahankan.

Bab 16: Dunia yang Terhenyak

Ketika berita tentang eksekusi oligarki ini tersebar, dunia terhenyak. Tayangan langsung yang disiarkan melalui media global menimbulkan perdebatan panas di ruang publik. Di satu sisi, banyak yang bersorak, menyebutnya sebagai keadilan yang lama ditunggu-tunggu. Namun di sisi lain, kecaman datang dari organisasi hak asasi manusia, menyebutnya sebagai langkah mundur peradaban.

Di Jakarta, Presiden Aryo diundang dalam sebuah wawancara khusus oleh media internasional yang menanyakan pandangannya tentang eksekusi yang semakin menyebar luas di seluruh dunia.

"Ini bukan tentang keadilan yang sempurna," kata Aryo dengan tegas, wajahnya tak menunjukkan keraguan. "Ini tentang pesan yang kita kirimkan pada mereka yang selama ini merasa tak tersentuh oleh hukum. Rakyat di berbagai negara mulai sadar bahwa ketidakadilan harus dihadapi dengan tindakan nyata, meskipun cara kita tidak akan disukai oleh semua orang."

Di seluruh dunia, satu per satu oligarki yang selama ini berdiri di atas hukum akhirnya terjatuh ke dalam “sumur” mereka sendiri, dihadapkan pada ular-ular berbisa yang tak peduli dengan kekayaan atau kekuasaan. Sejarah mencatatnya sebagai era baru di mana kekuasaan tidak lagi bisa membeli keadilan, dan suara rakyat yang marah menjadi lebih kuat dari segala suap dan intimidasi yang selama ini menutupi kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar