Bab 1: Bangsa yang Kaya Sumber Daya
Indonesia, tahun 2100, adalah negara yang dikaruniai kekayaan alam melimpah. Hutan tropis yang rimbun, tambang mineral yang tidak habis-habis, dan lautan yang kaya ikan. Namun, sejak sistem ekonomi kapitalisme murni diterapkan, semua kekayaan itu dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing yang berlomba-lomba mengeksploitasi. Pemerintah yang dulu memiliki otoritas kini hanyalah simbol—sekadar regulator yang berfungsi untuk memuluskan jalan bagi investasi asing.
Di sebuah desa di Kalimantan, seorang pemuda bernama Rian duduk di tepi sungai yang kini berwarna keruh. Dulu, sungai ini menjadi sumber kehidupan bagi desanya, namun kini tercemar oleh limbah tambang nikel yang dibangun oleh perusahaan multinasional. Rian adalah salah satu dari ribuan pemuda Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Bonus demografi yang dulu digadang-gadang sebagai berkah kini menjadi kutukan.
"Apa gunanya kita memiliki kekayaan alam kalau kita tidak bisa menikmatinya?" keluh Rian kepada sahabatnya, Dewi, yang baru saja pulang dari kota setelah mencoba peruntungan sebagai pekerja di sebuah pabrik otomasi.
Dewi mengangguk, wajahnya muram. "Lapangan kerja semakin sedikit, Rian. Semua pabrik sekarang sudah menggunakan robot. Kita hanya menjadi buruh yang tak lagi dibutuhkan."
Bab 2: Ledakan Angkatan Kerja
Lonjakan populasi usia produktif mencapai puncaknya di tahun 2080, ketika generasi muda Indonesia mendominasi struktur demografi. Namun, mayoritas lapangan kerja sudah beralih ke sektor padat modal. Industri pertambangan, manufaktur, dan energi dikelola oleh teknologi canggih dan otomasi. Hanya mereka yang memiliki keterampilan digital yang bisa bertahan, dan itu hanya sebagian kecil dari populasi yang memiliki akses ke pendidikan berkualitas.
Di sebuah kampus di Jakarta, Prof. Haris, seorang ahli ekonomi, sedang memberikan kuliah kepada mahasiswanya tentang "Kegagalan Sistem Ekonomi Pasar Bebas di Indonesia."
"Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan bonus demografi yang besar," katanya dengan nada penuh keprihatinan, "tapi tanpa pendidikan yang tepat, kita tidak bisa memanfaatkan revolusi digital 5.0. Kita hanya akan menjadi konsumen teknologi, bukan produsen."
Seorang mahasiswa, Sinta, mengangkat tangan. "Lalu apa yang bisa kita lakukan, Pak? Pendidikan kita masih berfokus pada teori kuno. Kurikulum tidak menyiapkan kami untuk pekerjaan di masa depan."
Prof. Haris menghela napas. "Itulah masalahnya, Sinta. Sistem kita terlalu lambat beradaptasi. Korporasi besar tidak peduli dengan pendidikan, mereka hanya peduli pada keuntungan."
Bab 3: Pendidikan yang Tertinggal
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, Indonesia tertinggal jauh. Pendidikan yang tidak responsif terhadap perubahan zaman membuat lulusan-lulusan universitas kesulitan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar kerja. Kebanyakan dari mereka berakhir sebagai pekerja informal di sektor yang sudah tergerus otomatisasi. Pemerintah, yang tidak memiliki daya tawar kuat di hadapan korporasi global, tak mampu memperbaiki sistem pendidikan.
Dewi dan Rian akhirnya memutuskan pindah ke Jakarta, mencoba keberuntungan sebagai pekerja kontrak di sebuah pusat logistik. Mereka bekerja di shift malam, mengatur dan memindahkan barang-barang yang dikelola oleh sistem otomatis.
"Pekerjaan ini akan segera hilang," kata Dewi dengan nada putus asa saat mereka beristirahat di kantin. "Sebentar lagi akan diganti oleh drone. Aku tidak tahu harus kemana lagi."
Rian hanya terdiam. Dia tahu apa yang dikatakan Dewi benar, tapi dia tidak punya pilihan lain. Mereka terjebak dalam sistem yang tidak memberi mereka kesempatan untuk berkembang.
Bab 4: Ketimpangan yang Menganga
Kesenjangan ekonomi di Indonesia semakin lebar. Pulau Jawa, yang menjadi pusat perekonomian, dipenuhi dengan gedung-gedung megah yang dikelola oleh perusahaan asing. Sementara itu, di luar Jawa, banyak daerah yang terpinggirkan, tanpa infrastruktur memadai dan akses pendidikan yang berkualitas. Di pusat-pusat kota besar, kaum elit hidup dalam kemewahan, sementara di pinggiran kota dan desa-desa, rakyat biasa bertahan hidup dengan segala keterbatasan.
Adi, seorang mantan pegawai bank yang dipecat karena otomatisasi sistem keuangan, kini menjadi supir ojek online. Dalam perjalanan, dia membawa Farid, seorang pengusaha kaya yang sedang menuju ke pertemuan penting dengan investor asing.
"Apa kabar, Pak? Lama tidak lihat Anda lagi di bank," tanya Adi dengan sopan, mencoba mengobrol.
Farid hanya tertawa kecil. "Oh, sistem bank sekarang sudah otomatis, Adi. Tidak ada lagi pekerjaan seperti dulu. Anda tahu, kalau ingin sukses, Anda harus ikut tren. Semua tentang teknologi sekarang."
Adi hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Hatinya pedih, menyadari bahwa dia adalah bagian dari generasi yang tidak pernah siap menghadapi perubahan cepat ini.
Bab 5: Pemberontakan yang Tersulut
Ketidakpuasan yang semakin meluas akhirnya memicu gelombang protes besar-besaran. Di kota-kota besar, ribuan buruh, mahasiswa, dan petani berkumpul di jalanan, menuntut hak atas sumber daya mereka sendiri dan sistem pendidikan yang lebih baik. Namun, pemerintah, yang bergantung pada investasi asing, menggunakan kekuatan militer untuk menekan pemberontakan.
Rian dan Dewi kini menjadi bagian dari kelompok aktivis bawah tanah yang memperjuangkan keadilan. Mereka menyebarkan informasi secara sembunyi-sembunyi melalui jaringan internet gelap, mengajak orang-orang untuk bersatu melawan sistem yang tidak adil.
"Kita tidak bisa menyerah," kata Rian dalam pertemuan rahasia di sebuah gudang tua. "Ini tentang masa depan kita. Kalau kita diam, kita hanya akan menjadi budak di tanah kita sendiri."
Dewi menggenggam tangan Rian. "Aku bersamamu, apa pun yang terjadi. Ini tentang hak kita sebagai manusia."
Bab 6: Harapan yang Terkubur
Pada tahun 2130, Indonesia akhirnya runtuh dalam kekacauan ekonomi dan sosial. Korporasi-korporasi besar yang dulu menguasai sumber daya perlahan-lahan menarik diri, meninggalkan kerusakan lingkungan dan ketidakstabilan sosial yang tak bisa diperbaiki. Di tengah puing-puing kota Jakarta, Rian duduk termenung. Dia menatap reruntuhan gedung-gedung megah yang dulu menjadi simbol kejayaan ekonomi kapitalis.
"Kita terlalu terlambat," gumamnya. "Semua ini sudah berakhir."
Namun, di tengah kehancuran, ada segelintir harapan yang masih tersisa. Generasi muda yang lahir dari pemberontakan mulai membangun komunitas baru, berusaha memulihkan tanah yang tercemar dan membangun sistem pendidikan mandiri. Mereka tahu, perubahan membutuhkan waktu, dan mereka siap menghadapi segala tantangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar