Bab 1 - Kesepakatan yang Mengguncang Dunia
Juli 1989.
Gedung Putih yang biasanya tenang mendadak menjadi pusat perhatian dunia. Sebuah konferensi pers internasional yang mengejutkan baru saja diumumkan. Amerika Serikat dan Indonesia, dua negara dengan latar belakang yang sangat berbeda, telah sepakat untuk bertukar pemimpin. George H.W. Bush akan menjadi Presiden Indonesia, sementara Jenderal Soeharto akan mengambil alih kepresidenan Amerika Serikat selama sepuluh tahun ke depan.
Narasi
Kesepakatan ini, yang dikenal sebagai “Proyek Pertukaran Presiden”, diputuskan di tengah ketegangan Perang Dingin yang memuncak dan meningkatnya ketidakpastian politik global. Para pemimpin kedua negara mengklaim bahwa eksperimen ini dilakukan untuk memperkuat hubungan internasional dan “memahami perbedaan budaya yang mendalam”.
Namun, banyak yang percaya bahwa ada alasan yang jauh lebih dalam dan tersembunyi di balik kesepakatan ini—entah itu karena kepentingan ekonomi, tekanan politik internasional, atau bahkan ketakutan akan konflik global yang lebih besar. Dan di balik itu semua, rakyat kedua negara bingung dan cemas, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Bab 2 - George H.W. Bush di Jakarta
Agustus 1989.
George H.W. Bush tiba di Indonesia dengan sambutan yang meriah dari pemerintah setempat, meskipun masyarakat umum masih merasa ragu. Suasana istana presiden di Jakarta mendadak berubah; protokol diplomatik ala Barat mulai diterapkan. Bush, dengan ciri khas karismanya, berusaha menyesuaikan diri dengan budaya dan birokrasi Indonesia yang rumit.
Dialog
“Selamat datang di Indonesia, Tuan Bush,” kata Jenderal Benny Moerdani, salah satu penasihat militer terdekat Soeharto, dengan senyum yang penuh kesopanan. “Semoga Anda bisa menyesuaikan diri di sini. Kami memiliki cara sendiri dalam mengelola pemerintahan.”
“Terima kasih, Jenderal,” jawab Bush sambil tersenyum ramah. “Saya akan melakukan yang terbaik. Tapi saya juga berharap bisa membawa beberapa perubahan positif untuk rakyat Indonesia.”
Moerdani hanya mengangguk tipis, sedikit ragu, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
Bab 3 - Soeharto di Washington, D.C.
September 1989.
Sementara itu, di Amerika Serikat, Soeharto tiba di Washington, D.C. dengan rombongan besar yang didominasi oleh para pejabat militer Indonesia. Senyum tenangnya, yang biasa dilihat sebagai tanda otoritas di Indonesia, tampak aneh di tengah keramaian Gedung Putih. Bagi rakyat Amerika, sosok Soeharto adalah teka-teki; mereka tidak tahu apakah harus mengagumi atau mencurigainya.
Narasi
Kehadiran Soeharto segera merubah dinamika politik di Amerika. Ketegasan dan gaya pemerintahannya yang sentralistik mulai mempengaruhi birokrasi Amerika yang biasanya terbuka dan demokratis. Parlemen AS terkejut ketika Soeharto memperkenalkan pendekatan “Orde Baru” dalam kebijakan ekonomi dan keamanan, sesuatu yang sangat tidak lazim di Amerika Serikat.
Dialog
“Presiden Soeharto, sistem demokrasi kita tidak bekerja seperti di negara Anda,” kata Senator John McCain dalam sebuah pertemuan di Capitol Hill. “Kami tidak bisa hanya mengeluarkan perintah dan berharap rakyat akan mengikuti.”
Soeharto tersenyum tipis, mata tajamnya menatap McCain. “Saya memahami itu, Senator. Tapi di beberapa situasi, rakyat membutuhkan kepemimpinan yang tegas. Amerika perlu mengatur ulang arah ekonominya, dan saya pikir ini adalah waktu yang tepat.”
McCain hanya bisa menahan kekesalannya, tahu bahwa ia menghadapi seseorang yang tidak mudah digoyahkan.
Bab 4 - Dampak Kebijakan di Indonesia
1991.
Dua tahun setelah Bush memimpin Indonesia, perubahan mulai terlihat. Bush berhasil memperkenalkan beberapa reformasi ekonomi yang berorientasi pasar bebas, meningkatkan investasi asing, dan mendorong pembangunan infrastruktur. Namun, pendekatannya yang liberal menimbulkan kecemasan di kalangan militer dan elite politik Indonesia yang selama ini terbiasa dengan kontrol yang ketat.
Narasi
Di sisi lain, rakyat Indonesia merasakan sedikit angin segar dalam hal kebebasan berbicara dan berekspresi. Media yang sebelumnya ditekan oleh Orde Baru mulai mendapatkan sedikit ruang untuk mengkritik kebijakan pemerintah, meskipun tekanan dari pihak militer masih ada.
Namun, tidak semua orang senang dengan perubahan ini. Para loyalis Soeharto menganggap Bush sebagai ancaman terhadap stabilitas yang telah dibangun selama puluhan tahun. Demonstrasi pro-Soeharto meledak di Jakarta, menuntut kembalinya kepemimpinan yang mereka anggap lebih “otentik”.
Dialog
“Apa yang Anda lakukan, Tuan Bush, adalah berbahaya,” kata Jenderal Wiranto, salah satu loyalis Soeharto, saat bertemu dengan Bush di istana presiden. “Indonesia tidak siap untuk kebebasan seperti ini. Anda akan mengundang kekacauan.”
“Saya percaya rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesempatan untuk menentukan nasib mereka sendiri,” jawab Bush tegas. “Mereka butuh kebebasan, bukan kendali militer yang berlebihan.”
Bab 5 - Soeharto Menggoyang Washington
1994.
Di Amerika, kepemimpinan Soeharto yang keras telah mengubah wajah politik AS. Militer mendapatkan lebih banyak pengaruh, dan kebijakan keamanan dalam negeri diperketat dengan cara yang belum pernah dilihat sebelumnya. Pengawasan terhadap warga sipil meningkat, dan pers Amerika yang bebas mulai merasakan tekanan pemerintah.
Namun, ekonomi Amerika tumbuh pesat di bawah pendekatan Soeharto yang otoriter tapi efektif. Pembangunan infrastruktur besar-besaran dilakukan, dan pengangguran menurun drastis. Meskipun banyak yang mengkritik gaya pemerintahannya yang dianggap mengekang kebebasan, beberapa pihak tidak dapat menyangkal bahwa kebijakan Soeharto membawa hasil.
Narasi
Di kota-kota besar seperti New York dan Los Angeles, terjadi protes besar-besaran menuntut kembalinya kebebasan pers dan reformasi demokrasi. Sebuah gerakan baru, yang disebut “Demokrasi Kembali”, mulai berkembang, dipimpin oleh tokoh-tokoh politik Amerika yang merasa kecewa dengan kepemimpinan Soeharto.
Dialog
“Kita tidak bisa membiarkan kebebasan kita dicabut seperti ini!” teriak Martin, seorang pemuda yang menjadi pemimpin gerakan di hadapan ribuan orang yang berkumpul di Central Park. “Ini Amerika Serikat, bukan Indonesia!”
Di balik jendela Gedung Putih, Soeharto melihat kerumunan dengan ekspresi dingin. “Rakyat Amerika perlu belajar disiplin,” katanya pelan kepada ajudannya. “Kebebasan tanpa batas hanya akan menimbulkan kekacauan.”
Bab 6 - Akhir Pertukaran yang Kontroversial
1999.
Sepuluh tahun berlalu, dan masa pertukaran presiden akhirnya berakhir. Kedua negara telah melalui masa-masa yang penuh tantangan dan perubahan. Indonesia, di bawah kepemimpinan Bush, mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi juga mengalami ketegangan sosial yang meningkat. Amerika, di bawah kepemimpinan Soeharto, menikmati stabilitas ekonomi namun harus menghadapi erosi kebebasan sipil yang signifikan.
Narasi
Saat keduanya bersiap untuk kembali ke negara masing-masing, dunia menyaksikan dengan perasaan campur aduk. Di Indonesia, Bush dianggap sebagai “pembebas” oleh sebagian orang, namun “pengacau” oleh yang lain. Di Amerika, Soeharto dikenang sebagai “pemimpin yang kuat” oleh para pendukungnya, tetapi “tirani asing” oleh para pengkritiknya.
Kepulangan mereka diadakan dengan upacara besar, di mana rakyat dari kedua negara berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal pada pemimpin yang selama satu dekade telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Dialog
“Jadi, kita kembali ke rumah masing-masing,” kata Bush saat bersalaman dengan Soeharto di panggung upacara di Jakarta.
Soeharto mengangguk. “Ya, tapi rumah itu tidak akan pernah sama lagi.”
Bush tersenyum tipis. “Mungkin itu yang terbaik. Kadang, perubahan memang diperlukan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar