Bab 5: Revolusi Kesadaran di Nusantara
Tahun 2080, teknologi pemindahan kesadaran kini merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di negara yang 95% penduduknya religius dan memegang erat ajaran dogmatis, kehadiran teknologi ini menimbulkan polemik hebat. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakomodasi teknologi tersebut melalui program BPJS Kesehatan, menjadikannya bisa diakses oleh semua kalangan tanpa biaya besar.
Kantor BPJS Cabang Jakarta Selatan
“Bapak benar ingin menjalani prosedur ini?” tanya Sari, seorang petugas BPJS dengan nada suara ragu. Di hadapannya, Pak Hasan, seorang pria berusia 70 tahun yang sudah menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai guru mengaji di kampung, duduk dengan pandangan tegas.
“Ya, saya sudah memikirkannya. Anak-anak saya yang membujuk, katanya ini akan menyelamatkan jiwa saya. Kalau tubuh ini sudah tidak bisa bergerak, mungkin jiwa saya masih bisa hidup di dunia baru itu,” jawab Pak Hasan. Matanya yang keriput memancarkan keraguan yang dalam, seakan masih berjuang antara iman dan rasa ingin tahu.
Sari menunduk sejenak, tahu bahwa di luar sana, ada ratusan orang seperti Pak Hasan yang mengalami dilema serupa. Pihak BPJS kini dipenuhi oleh antrean orang tua yang tertarik untuk mencoba teknologi ini—baik karena tekanan keluarga, rasa penasaran, atau harapan baru untuk hidup bebas dari batasan fisik.
Dialog di Warung Kopi
Di pojokan kota, warung kopi menjadi saksi perdebatan sengit di antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap teknologi ini. Asep, seorang pemuda berusia 30 tahun dengan kaos bertuliskan "Surga Dunia Nyata," adalah salah satu pemimpin kelompok yang menolak keras pemindahan kesadaran.
“Gila! Mereka menjadikan jiwa sebagai barang dagangan! Ini penghinaan terhadap Tuhan!” suaranya menggema di ruangan sempit itu. Beberapa orang yang duduk di sekitarnya mengangguk setuju.
“Bukannya ini cara baru untuk hidup abadi? Bukankah kita juga diajarkan bahwa hidup ini hanya sementara?” jawab Dedi, seorang mahasiswa teknologi yang penasaran dengan konsep dunia digital. Ia menyesap kopinya dengan santai, senyum tipis di bibirnya.
Asep berdiri dari kursinya, wajahnya merah padam. “Tidak ada yang bisa menggantikan kehidupan ini! Jiwa adalah milik Tuhan, bukan milik teknologi. Pemindahan kesadaran adalah melawan kodrat! Mereka yang memilih diunggah bukanlah manusia lagi, mereka hanyalah bayang-bayang!”
Diskusi di Masjid Agung
Di masjid terbesar di kota, para ulama berkumpul untuk membahas fatwa yang akan dikeluarkan terkait pemindahan kesadaran. Di hadapan mereka, layar holografis menampilkan wajah digital seorang tokoh yang dihormati, Kiai Abdul Rahman, yang telah memilih diunggah dua tahun sebelumnya karena kondisi kesehatannya yang parah. Suaranya terdengar jernih, mengalun seperti saat ia masih hidup di dunia nyata.
“Saudara-saudara, saya memilih untuk diunggah karena saya ingin melanjutkan dakwah saya. Tubuh saya tidak lagi mampu, tapi jiwa saya tetap hidup. Apakah ini melawan kodrat? Saya hanya menunggu keputusan saudara-saudara.”
Para ulama saling bertukar pandang, terdiam. Beberapa merasa Kiai Abdul Rahman tidak lagi otentik sebagai manusia. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai bukti bahwa teknologi bisa menjadi alat dakwah baru yang efektif.
Efek Sosial: Desa dan Kota Terbelah
Di desa-desa, terutama di wilayah pedalaman, teknologi pemindahan kesadaran hampir dianggap sebagai hal yang tabu. Banyak keluarga yang menganggap bahwa mereka yang memilih diunggah sudah kehilangan iman. Ada desa yang bahkan mengucilkan keluarga yang anggotanya memilih untuk diunggah, menganggapnya sebagai “keluarga tanpa roh”.
Di kota-kota besar, terutama Jakarta dan Surabaya, situasi berbeda. Semakin banyak anak muda yang tertarik dengan ide kehidupan digital. Mereka mendirikan komunitas digital, membentuk kelompok yang membahas etika dan filosofi kehidupan di dunia maya. Diskusi tentang arti hidup dan mati kini menjadi tema yang populer di berbagai seminar universitas, bahkan disiarkan di acara televisi.
Rumah Dr. Arya di Jakarta
Dr. Arya kini menetap di Jakarta, tubuhnya sudah tak lagi sepenuhnya biologis. Setelah proses pemindahan, dia hanya hadir di dunia nyata sebagai "Neo-Human"—sebuah tubuh buatan yang bergerak dengan kesadarannya yang sudah diunggah. Malam itu, dia berdiskusi dengan seorang politisi muda, Andi, yang tertarik untuk mempopulerkan teknologi ini di seluruh Indonesia.
“Menurut Anda, apakah masyarakat kita siap menerima teknologi ini sepenuhnya?” tanya Andi, menatap Dr. Arya yang berdiri dengan tenang di balkon rumahnya, menghadap ke gemerlap kota Jakarta.
“Tidak pernah ada masyarakat yang benar-benar siap untuk perubahan besar, Andi. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah teknologi ini adalah anugerah atau kutukan,” jawab Dr. Arya. Dia menarik napas panjang, meskipun dia tahu tubuh buatan ini tak benar-benar memerlukan udara.
“Kalau begitu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” desak Andi.
“Kita akan menunggu. Akan selalu ada yang menolak, tapi akan selalu ada yang menerima. Teknologi tidak bisa dihentikan, Andi, ia akan terus mengalir seperti air, mencari celah terkecil hingga akhirnya meresap di mana-mana,” jawab Dr. Arya sambil tersenyum samar.
Bab 6: Kebangkitan Kesadaran Digital
Di suatu malam yang tenang, seorang ustaz muda bernama Ali, yang semula menentang keras pemindahan kesadaran, akhirnya memutuskan untuk diunggah. Dia ingin membuktikan sendiri, apakah dunia digital benar-benar dapat menyimpan nilai-nilai spiritual yang selama ini ia pegang. Ketika kesadarannya terbangun di dunia maya, ia melihat komunitas baru yang berdiskusi tentang etika, moral, dan nilai-nilai agama di dunia digital.
“Saya tidak menyangka, banyak yang masih berusaha menjaga iman di sini,” kata Ali kepada seorang avatar yang terlihat seperti pemuda, namun sebenarnya adalah kesadaran seorang kakek yang telah diunggah sejak satu dekade lalu.
“Iman adalah bagian dari jiwa, Ali, dan selama kita masih memiliki jiwa, iman kita tetap hidup, meskipun dalam bentuk yang berbeda,” jawab sang avatar.
Indonesia kini berada di persimpangan jalan; antara mempertahankan tradisi atau merangkul masa depan. Semakin banyak yang memilih jalan tengah—mengintegrasikan nilai-nilai agama dan teknologi dalam kehidupan mereka, menciptakan komunitas digital yang unik, di mana teknologi dan spiritualitas hidup berdampingan.
Bab 7: Pilihan Takdir
Pak Hasan, yang dulu ragu, kini merasa menemukan kedamaian di dunia digital. Ia mengajar mengaji di platform digital yang diakses oleh ribuan anak muda yang ingin belajar agama. Dia sadar bahwa kehidupannya yang lama telah berakhir, tetapi jiwa dan pesan yang dia bawa tetap abadi.
“Mungkin benar, kita tidak bisa menghentikan perubahan,” gumam Pak Hasan suatu hari, sambil mengajar murid-murid digitalnya. “Tapi kita bisa memastikan bahwa di tengah perubahan itu, kita tidak kehilangan arah.”
Dr. Arya tersenyum puas, menyadari bahwa teknologi yang ia ciptakan telah menemukan tempatnya di tanah yang kompleks ini, di antara iman yang kokoh dan rasa ingin tahu yang tak terbendung. Teknologi ini tidak mengubah iman, tetapi imanlah yang mengubah teknologi—menciptakan sebuah masa depan di mana tradisi dan inovasi berjalan bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar