CERITA FIKSI: KETIKA DUNIA BARAT NEKAT MENJATUHKAN NUKLIR KE PALESTINA

Sinopsis: Dalam dunia yang terbentuk setelah Palestina hancur oleh senjata nuklir, pengaruh Amerika Serikat dan NATO tak terbendung. Rusia, China, dan Iran kini tak lagi menjadi kekuatan besar dunia, terpecah menjadi negara-negara kecil yang tak mampu melawan dominasi kekuatan Barat. Israel berkembang pesat sebagai pusat kekuatan Timur Tengah, mengambil alih kawasan yang dulunya penuh konflik. Namun, seratus tahun kemudian, efek dari keputusan tersebut telah membentuk sebuah realitas yang mengancam keberadaan kemanusiaan, menciptakan ketidakseimbangan besar di antara negara-negara dan memicu krisis yang tak pernah terbayangkan.

Bab 1: 100 Tahun Kemudian

Di sebuah ruang rapat yang dikelilingi tembok kaca tebal, tiga ilmuwan tengah membahas krisis iklim yang semakin parah akibat ketidakseimbangan kekuatan global. Mereka adalah Dr. Samuel Perkins, ahli geopolitik; Fatima al-Qassab, pakar sejarah; dan Dr. Reza Hamidi, ilmuwan lingkungan.

Dialog dan Narasi:

Dr. Perkins menyentuh dinding layar interaktif di hadapannya, menampilkan data-data lingkungan. Angka-angka yang tampak di layar itu sangat mengkhawatirkan: peningkatan suhu global, tingginya radiasi di kawasan Timur Tengah, hingga krisis ekonomi di bekas negara-negara yang kini terpecah.

“Dulu, orang tidak berpikir bahwa menghancurkan sebuah negara akan berdampak global. Tapi lihatlah sekarang,” Dr. Perkins menatap rekan-rekannya dengan tatapan serius. “Seratus tahun yang lalu, tindakan nuklir itu mengubah arah sejarah, menciptakan ketakutan, dan—lebih buruknya—menyisakan ketidakseimbangan yang terus bertambah hingga sekarang.”

Fatima mengangguk pelan. "Efek kupu-kupu dalam geopolitik. Momen kecil yang memicu gelombang tak berujung. Tanpa kekuatan penyeimbang seperti Rusia atau China, Amerika Serikat dan NATO bisa melakukan apa saja. Tapi sekarang, bahkan mereka tidak bisa mengatasi krisis yang mereka mulai."

Dr. Reza menggeser layar ke arah peta dunia yang menunjukkan batas laut yang naik secara drastis di berbagai negara. "Dengan tak adanya persaingan untuk sumber daya, negara-negara besar yang tersisa seperti Amerika Serikat, Israel, dan negara-negara Eropa mulai menguras habis lahan dan sumber daya alam. Mereka merusak ekosistem demi keuntungan singkat."

Di layar, data terbaru tentang populasi dunia muncul: angka kelahiran menurun drastis, penyakit genetik meningkat, dan air bersih menjadi barang langka. "Efek panjangnya adalah bencana kesehatan. Genetik manusia makin terdegradasi akibat radiasi. Saat Palestina dihancurkan, mereka berpikir itu hanya akan menyelesaikan konflik kecil di Timur Tengah. Namun, radiasi yang tertinggal malah mencemari wilayah sekitarnya, dan keturunannya kini menderita," Dr. Reza menambahkan dengan nada getir.

Fatima menarik napas dalam-dalam, mengenang catatan sejarah yang dipelajarinya. "Seratus tahun yang lalu, Amerika dan sekutunya menghancurkan Palestina, mengabaikan hak manusia, dan berpikir mereka telah menyelesaikan masalah. Namun ternyata, keputusan itu hanya menciptakan kekacauan yang lebih besar dan memperburuk keadaan."

Narasi:

Seratus tahun setelah tragedi itu, dunia bukan lagi tempat yang aman. Hanya beberapa negara besar yang tersisa, menguasai teknologi dan militer yang tak tertandingi. Namun, rakyat dunia membayar mahal. Ketidakseimbangan lingkungan, ekonomi, dan sosial menjalar dari satu negara ke negara lain, meluluhlantakkan kemanusiaan yang mulai tak memiliki tujuan bersama.

Perang kecil terjadi di mana-mana, bukan lagi tentang ideologi, tapi tentang air, udara bersih, dan tanah yang tak terkontaminasi. Negara-negara kecil yang dahulu menjadi bagian dari Rusia dan China kini berusaha bertahan dengan sisa sumber daya yang mereka miliki. Rakyat yang hidup di bawah bayang-bayang radiasi Palestina yang tak kunjung hilang hidup dalam ketakutan akan penyakit dan degradasi genetik.

Dialog dan Narasi Lanjutan:

Di ruang rapat, Fatima menatap keluar jendela, melihat langit yang mulai keabu-abuan akibat polusi. "Mungkin seratus tahun yang lalu, mereka berpikir bahwa kekuatan mereka akan abadi. Tapi kekuatan tanpa tanggung jawab selalu berujung pada kehancuran."

Dr. Perkins menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang letih. "Setiap keputusan yang mereka buat, setiap langkah yang mereka ambil tanpa mempertimbangkan dampaknya... semua itu adalah langkah menuju kehancuran. Mereka lupa, dunia ini punya hukum alamnya sendiri, yang menuntut keseimbangan. Dan kini, kita semua dipaksa membayar harganya."

Di layar, angka populasi dunia menunjukkan penurunan yang drastis. "Butterfly effect yang sebenarnya," gumam Dr. Reza lirih.

Bab 2: Dampak ke Barat

Latar: Di sebuah pusat penelitian sosiopolitik di Eropa, seorang jurnalis investigatif, Maria Weber, tengah berbicara dengan Robert Dean, seorang analis ekonomi dari London yang mempelajari dampak keputusan nuklir seratus tahun yang lalu. Maria mempersiapkan artikel khususnya tentang pengaruh keputusan masa lalu terhadap Barat di era modern.

Dialog dan Narasi:

Maria mengamati Robert yang menatap layar hologram dengan data-data keuangan yang tampak tak terkendali. Nilai mata uang, rasio pengangguran, dan tingkat ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah terus meningkat. Di layar, garis-garis grafik menunjuk ke bawah, mencerminkan penurunan stabilitas ekonomi.

"Aku masih tak percaya bahwa keputusannya dulu akan menciptakan malapetaka sebesar ini, bahkan bagi kita di Barat," ujar Maria dengan nada suara bergetar.

Robert mengangguk dengan sorot mata muram. "Pada awalnya, Barat merasa telah memenangkan permainan geopolitik. Palestina hilang, dan Timur Tengah tak punya lagi kekuatan yang bisa menandingi kepentingan mereka. Tapi kemenangan itu cuma bertahan beberapa dekade. Setelahnya, Barat sendiri yang kehabisan sumber daya dan ditinggalkan oleh aliansi-aliansi yang runtuh."

Maria terdiam sejenak, mencoba memahami dampaknya secara mendalam. "Jadi… ini lebih dari sekadar kehancuran fisik Timur Tengah. Ketidakseimbangan itu ternyata memengaruhi kita juga di sini?"

"Benar," jawab Robert sambil menunjuk grafik penurunan ekonomi yang memanjang hampir seratus tahun. "Tanpa saingan kuat di Timur, Amerika Serikat dan sekutunya terlalu percaya diri, mendominasi ekonomi global tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Mereka menguras bahan bakar fosil, mencemari lingkungan, dan melupakan bagaimana memperkuat ketahanan ekonomi lokal. Kini, kita mengalami inflasi dan krisis energi yang memukul semua lapisan masyarakat."

Narasi:

Eropa dan Amerika Serikat kini menjadi bayang-bayang dari kejayaan mereka yang dulu. Dengan runtuhnya perekonomian Timur, ketergantungan mereka pada monopoli sumber daya justru menciptakan situasi yang tak mereka duga. Negara-negara Barat saling berebut sumber daya alam yang tersisa, mengakibatkan ketidakstabilan sosial dan kerusuhan yang meluas. Teknologi tinggi memang telah maju, namun terbatas hanya pada kalangan elit, sementara mayoritas penduduk terjebak dalam kemiskinan.

Efek psikologis dari ketidakamanan ini semakin jelas di masyarakat. Rasa percaya terhadap pemerintah semakin terkikis, sementara ketidakpuasan terhadap kelas elit meningkat tajam. Konflik-konflik dalam negeri pun semakin kerap terjadi, membawa Barat ke dalam pusaran ketidakpastian yang hampir tak teratasi.

Dialog dan Narasi Lanjutan:

Maria menatap Robert dengan pandangan ingin tahu. "Bagaimana dengan kehidupan sosial? Rakyat Amerika dan Eropa dulu dikenal tangguh. Tapi sekarang… rasanya ada sesuatu yang hilang."

Robert terdiam, mencoba mencari kata yang tepat. "Semangat masyarakat untuk bersatu perlahan pudar. Warga merasa diabaikan, diperintah oleh elite yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Setelah Palestina hancur, solidaritas Barat juga mulai terkikis. Orang-orang merasa hidup di dunia yang tak ada arah, tak ada nilai kemanusiaan yang benar-benar nyata."

Maria menundukkan kepalanya, memahami bahwa dampak keputusan itu jauh lebih besar dari sekadar geopolitik. Barat, yang dulu digdaya, kini berada di titik nadir, menghadapi ancaman kehancuran dari dalam akibat keserakahan dan hilangnya rasa tanggung jawab.

Narasi Akhir Bab:

Seratus tahun telah berlalu sejak Barat mengklaim "kemenangan" mereka. Kini, mereka hanya menyaksikan keruntuhan internal yang tak terhindarkan, terjebak dalam siklus ketidakstabilan yang mereka ciptakan sendiri. Ironisnya, keputusan untuk menghancurkan sebuah negara kecil di Timur Tengah telah menciptakan kehancuran yang lebih besar di jantung peradaban mereka sendiri, menciptakan sebuah ironi sejarah yang tak akan pernah terlupakan.

Bab 3: Kejatuhan Sang Penguasa

Latar: Beberapa dekade setelah peristiwa penghancuran Palestina, seorang sejarawan muda bernama Amelia Rivers sedang melakukan wawancara dengan Jack Miller, seorang veteran politik dan mantan anggota intelijen yang hidup semasa era Presiden Trump. Amelia hendak menyusun buku tentang dampak keputusan-keputusan besar di masa kepemimpinan Trump, termasuk serangan nuklirnya yang paling kontroversial.

Dialog dan Narasi:

Amelia menatap pria tua di depannya, melihat garis-garis kelelahan dan bekas luka di wajah Jack yang tampak begitu nyata. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Presiden Trump setelah dia meluncurkan serangan itu? Apakah ada penyesalan atau tekanan dari orang-orang di sekitarnya?”

Jack menghela napas dalam-dalam. “Trump adalah orang yang keras kepala. Ia selalu percaya bahwa tindakannya benar, bahkan ketika banyak dari kami memperingatkannya tentang dampak yang bisa menghancurkan dunia. Ketika keputusan nuklir itu diambil, ia yakin ia sedang mengamankan Amerika, tetapi nyatanya, ia membuka pintu menuju kehancuran yang tak terbayangkan.”

Amelia memiringkan kepala, penasaran. "Bagaimana reaksinya setelahnya? Apakah dia pernah menyadari kesalahannya?”

“Awalnya, tidak sama sekali,” jawab Jack dengan suara lirih. “Dia bahkan menyebut serangan itu sebagai ‘langkah patriotik yang berani’. Bagi Trump, itu adalah kemenangan melawan ‘teroris’ dan ancaman Timur Tengah. Namun, saat dampak radiasi mulai menyebar dan Israel, sekutunya, mulai merasakan tekanan lingkungan dan politik, barulah Trump mulai merasa tertekan oleh konsekuensinya.”

Narasi:

Di tahun-tahun terakhir masa kepemimpinannya, Trump menghadapi protes besar-besaran di Amerika Serikat. Rakyat yang dulu mendukungnya mulai kehilangan kepercayaan, melihat bahwa keputusan tersebut justru membuat Amerika lebih rentan daripada sebelumnya. Ekonomi mulai terguncang karena negara-negara Timur yang dulunya menjadi pasar besar Amerika kini tidak lagi stabil, dan ketidakpuasan rakyat memuncak ketika dampak lingkungan dari serangan nuklir mulai mencapai wilayah Amerika.

Setelah pensiun, Trump menjalani kehidupan dalam isolasi. Ia diasingkan secara tidak resmi dari partai dan politik arus utama. Para mantan sekutunya menjauhinya, menyalahkan dirinya atas kesalahan perhitungan strategis yang mengorbankan hubungan internasional dan menjerumuskan Amerika dalam ketidakstabilan yang berkepanjangan.

Dialog dan Narasi Lanjutan:

Amelia menatap Jack dengan raut wajah penuh simpati. "Jadi, apa yang terjadi pada Trump di akhir hidupnya?"

Jack tersenyum miris, matanya menerawang ke masa lalu. “Ia meninggal dalam kesepian. Di tahun-tahun terakhirnya, Trump menyaksikan negara yang dia cintai mengalami keruntuhan ekonomi dan sosial. Generasi muda tak bisa lagi hidup dengan idealisme patriotik seperti dulu. Mereka menyalahkan generasinya atas kondisi yang mereka alami.”

Amelia mencatat dengan seksama, terkejut dengan akhir hidup yang begitu tragis bagi sosok yang pernah begitu berkuasa. “Dia tak pernah meminta maaf?”

Jack menggelengkan kepala. “Tidak secara resmi. Bagi Trump, menyesali keputusan itu berarti mengakui bahwa dirinya salah. Ia meninggalkan dunia dengan keyakinan bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk Amerika. Namun, Amerika yang ia tinggalkan justru adalah negara yang terpecah-belah, ekonomi yang hancur, dan generasi muda yang kehilangan kepercayaan pada masa depan.”

Narasi Akhir Bab:

Kisah tentang Donald Trump dan serangan nuklir yang ia perintahkan menjadi babak kelam dalam sejarah Amerika Serikat. Keputusan yang awalnya diharapkan menjadi pengamanan bagi negara justru membuka luka mendalam yang tak pernah pulih. Kematian Trump menjadi simbol dari era penuh kebencian dan perpecahan, sebuah peringatan tentang konsekuensi dari kekuasaan yang dijalankan tanpa kebijaksanaan dan kemanusiaan.

Serangan nuklir ke Palestina menjadi keputusan yang menghancurkan, bukan hanya bagi Timur Tengah, tetapi juga bagi Amerika Serikat sendiri. Sementara jasad Trump dikubur dengan pengawalan kecil, namanya terus menjadi perdebatan dalam sejarah Amerika, meninggalkan warisan tentang bahaya dari ambisi yang tak terkendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar