Dalam realitas yang terbalik ini, alunan sound horeg – suara khas dari komunitas jalanan di Jawa Timur, yang dikenal dengan dentuman ritmisnya yang energik – telah menembus batas negara. Yang dulunya hanya memeriahkan hajatan dan acara-acara lokal di Indonesia, kini menjadi simbol hiburan di Amerika Serikat. Ketukan khas tersebut kini menghiasi perayaan Thanksgiving dan Halloween, menambah nuansa berbeda di balik hiruk-pikuk tradisi Amerika yang sudah turun-temurun.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk Thanksgiving, seorang pria bernama Randy McCarthy, seorang warga Texas, berdiri dengan canggung di depan speaker besar yang sedang memainkan musik sound horeg. Di sebelahnya berdiri Wira, seorang mahasiswa Indonesia yang kebetulan menempuh pendidikan di Amerika.
“Randy,” Wira memulai, suaranya sedikit terganggu oleh dentuman musik yang memekakkan telinga, “apa yang kamu pikirkan tentang sound horeg ini?”
Randy tersenyum kecut, mengangkat bahu. “Entahlah, Wira. Musik ini... energik, tapi tak biasa untuk Thanksgiving. Biasanya kami hanya memainkan musik country atau jazz yang tenang,” katanya sambil menutup telinganya sesaat karena suara yang semakin menggelegar. “Tapi pemerintah bilang kita harus memainkan musik ini, jadi… ya mau bagaimana lagi?”
Wira terkekeh, merasa sedikit bangga tapi juga heran. Ia tidak pernah menyangka sound horeg, yang sering ia dengar di kampung halamannya di Surabaya, akan mendominasi perayaan besar di Amerika. “Di Indonesia, musik ini biasanya dipakai buat acara-acara jalanan, pernikahan, atau sekadar kumpul-kumpul warga. Bukan untuk Thanksgiving, apalagi Halloween!”
Randy menatapnya, tertarik. “Jadi, di sana ini memang budaya lokal? Apa kalian punya makna khusus di balik musik ini?”
Wira berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Mungkin lebih ke bentuk kebersamaan dan solidaritas. Musik ini keras, heboh, dan melibatkan banyak orang. Semakin ramai, semakin seru. Tapi kalau dipaksakan ke acara Thanksgiving dan Halloween seperti ini, rasanya agak… absurd.”
Di tempat lain, tepatnya di New York, aula besar di Times Square dipenuhi dengan ornamen labu dan dekorasi seram khas Halloween. Speaker-speaker besar ditempatkan di setiap sudut ruangan, menghentak dengan dentuman sound horeg yang sama. Kebisingan memenuhi udara, menciptakan suasana yang tak biasa – kombinasi horor dan keriuhan khas Jawa Timur.
"Apakah kalian merasa aneh dengan perubahan ini?" tanya Marie, seorang jurnalis muda, kepada seorang pengunjung lainnya, Alex.
Alex mengangguk, bingung. “Aku sudah biasa dengan suasana Halloween yang menyeramkan, musiknya itu biasanya gelap, mencekam. Tapi sekarang…” Ia berhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Sekarang rasanya lebih seperti pesta jalanan yang kacau. Anak-anak tidak takut; malah mereka ikut menari!”
Marie tertawa, namun tidak bisa menyembunyikan kebingungannya sendiri. Ia tidak mengerti bagaimana kultur Indonesia yang jauh bisa merambah hingga ke pusat kota New York.
Saat mereka berbincang, pemerintah federal Amerika mengumumkan lewat layar besar bahwa sound horeg akan menjadi suara resmi perayaan nasional pada hari-hari besar. Orang-orang mulai mempertanyakan motif di balik keputusan ini.
“Kamu tahu, Marie,” ujar Alex dengan serius, “aku rasa ini bukan sekadar hiburan. Mungkin mereka mencoba mengalihkan perhatian kita dari masalah lain. Siapa tahu?”
Marie mendengus, “Mungkin saja. Tapi tetap saja, aneh bukan, bagaimana mereka bisa memilih sound horeg dari semua jenis musik yang ada?”
Sementara itu, di Indonesia, berita tentang sound horeg yang mendunia ini menjadi topik hangat. Di warung kopi Surabaya, para warga berkumpul dan menyaksikan berita yang menayangkan bagaimana masyarakat Amerika bersuka cita dengan sound horeg.
“Wah, Le, iki lho Amerika wes do seneng sound horeg! Iso-iso kono wonge jadi suka kabeh!” ucap Pak Wiryo, seorang pria tua dengan nada bangga.
Tukang kopi yang mendengar pun ikut tertawa. “Yo iyo, Pak. Jek ora ngiro aku musik ndeso ki nyampe Amerika.”
Dan begitulah, masyarakat Indonesia menyaksikan budaya mereka – yang dulu sering dianggap sederhana dan “ndeso” – menjadi fenomena di dunia barat. Bagi Wira dan Randy, Marie dan Alex, serta para penonton di kedua belah dunia, pengadopsian sound horeg dalam budaya Amerika ini adalah suatu paradoks yang menakjubkan dan membingungkan.
Di antara kebingungan dan kekaguman, mereka menyadari satu hal: bahwa budaya bisa berpindah, mengubah bentuknya, dan diterima dengan cara yang tak terduga. Dalam setiap dentuman sound horeg yang menghentak Amerika, gema Nusantara pun ikut mengiringi, mengajarkan bahwa apa yang dulu hanya sebuah suara kini telah menjadi identitas yang mengglobal.
"Diplomasi Horeg: Dentuman yang Menembus Batas NATO"
Di ruang pertemuan NATO di Brussels, para pemimpin negara berkumpul dengan wajah serius. Dalam agenda hari itu, ada satu pengumuman kontroversial dari Amerika Serikat yang menjadi topik utama. Seorang diplomat Amerika berdiri di tengah podium dengan percaya diri, siap mengumumkan sebuah keputusan yang akan mengubah wajah budaya perayaan di seluruh Eropa dan negara-negara sekutu.
“Kami, sebagai pimpinan NATO, menetapkan bahwa mulai tahun depan, musik sound horeg wajib dimainkan dalam setiap perayaan besar negara-negara anggota, tanpa terkecuali,” katanya dengan nada tegas. Sejenak, ruangan terdiam. Para diplomat dari negara-negara sekutu saling bertukar pandang, tampak kaget dan bingung.
Salah satu yang pertama angkat bicara adalah Jean-Pierre Dubois, perwakilan dari Prancis. “Tunggu dulu, Anda ingin kami memutar… sound horeg, musik jalanan dari Indonesia itu, di perayaan Natal dan Paskah?” tanyanya dengan nada skeptis, seakan tidak percaya.
“Benar, Tuan Dubois,” jawab diplomat Amerika dengan nada santai, seolah menganggap hal tersebut wajar. “Kami yakin, melalui sound horeg, kita akan memperkuat ikatan sosial dalam perayaan kita. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk memperkuat solidaritas budaya dan diplomasi antar anggota NATO.”
Di belakang ruangan, seorang perwakilan Jerman, Hans Müller, berbisik kepada rekannya, “Apakah mereka bercanda? Musik itu seperti… pesta jalanan yang kacau balau! Bagaimana bisa itu mencerminkan solidaritas di perayaan gereja atau Hari Kemerdekaan kita?”
Sementara itu, di London, masyarakat sudah mulai mendengar kabar tersebut melalui media. Di sebuah kafe kecil di kota, dua sahabat, Emily dan Grace, sedang membicarakan kebijakan baru itu.
“Emily, pernah dengar musik sound horeg ini?” tanya Grace, sambil menyeruput kopinya.
Emily mengangguk, “Ya, beberapa bulan lalu aku mendengarnya di acara Halloween. Suara dentumannya benar-benar… gila! Kupikir itu hanya tren sementara.”
Grace mendesah panjang, “Tapi sekarang, katanya kita wajib memutarnya saat Natal? Maksudku, Natal harusnya tenang, penuh damai. Tapi kalau yang diputar sound horeg… aku bahkan tak bisa membayangkan suasananya.”
Di sela-sela pembicaraan mereka, sebuah layar televisi di kafe tersebut menayangkan seorang pejabat NATO yang menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut.
“Kami percaya bahwa sound horeg, dengan dentuman energiknya, akan membawa semangat baru dalam setiap perayaan kita. Ini adalah upaya untuk menggabungkan elemen tradisional dan modern dari berbagai budaya, mempererat persatuan dan menghapuskan batas-batas sosial,” ujar pejabat itu.
Emily mendengus. “Batas sosial? Maksud mereka, memaksa semua orang mendengar musik yang bukan dari budaya mereka akan mempererat persatuan?”
Di Berlin, protes mulai bermunculan. Ribuan orang berkumpul di depan gedung parlemen, memegang spanduk bertuliskan “Keep Horeg Away” dan “Our Holidays, Our Choice!”. Mereka menuntut hak untuk menentukan jenis musik yang sesuai untuk perayaan besar di negara mereka.
Kembali ke Brussels, para pemimpin negara NATO terlihat semakin gelisah. Wakil dari Italia, Lorenzo Rossi, yang terkenal lantang, akhirnya angkat bicara.
“Kami menghormati budaya Amerika dan ide-ide baru, tapi memaksa musik tertentu untuk dimainkan pada hari-hari besar kami adalah tindakan yang tidak adil! Bagaimana mungkin kami menggabungkan sound horeg yang penuh dentuman ini dengan suasana perayaan suci seperti Natal di Roma?”
Diplomat Amerika menatap Lorenzo dengan tenang. “Tuan Rossi, kebijakan ini sudah diputuskan secara kolektif. Kami percaya, jika Anda semua memberikan kesempatan, sound horeg akan membawa energi baru bagi rakyat kalian.”
Suara protes mulai terdengar semakin nyaring, namun diplomat Amerika tetap pada pendiriannya. “Kita sudah berada di era baru, di mana setiap budaya harus saling menyatu. Lagipula, jika Indonesia bisa membawakan sound horeg ke perayaan besar seperti Thanksgiving di Amerika, mengapa negara-negara NATO tidak bisa menerima musik ini juga?”
Di Indonesia, berita tentang kebijakan NATO ini menjadi sorotan. Di sebuah warkop di Surabaya, Pak Budi dan beberapa pelanggan lainnya menonton berita tersebut dengan penuh semangat.
“Lho, iki piye ceritane sound horeg kok tekan NATO!” seru Pak Budi dengan nada tak percaya.
Seorang pemuda di sampingnya, yang juga penggemar sound horeg, terkekeh. “Mungkin Amerika memang lagi doyan kebudayaan kita, Pak. Bayangno, wong Eropa kudu muter sound horeg waktu Natal. Horeg nang gereja, piro lucune kuwi!”
Pak Budi tertawa terbahak-bahak. “Yo yo, sing penting awakdewe sing gawe, wong-wonge seneng opo ora, wes tanggung jawab NATO saiki!”
Di berbagai belahan dunia, ketegangan mengenai kebijakan ini terus memanas. Namun, bagi rakyat Indonesia, kebijakan ini seolah menjadi penghargaan bagi budaya mereka yang berhasil melintasi batas benua. Bagi Wira, Randy, Emily, dan para pemimpin dunia, dentuman sound horeg kini bukan hanya sekadar musik, tetapi sebuah simbol baru – simbol globalisasi yang penuh ironi, mengajarkan bahwa terkadang, batas budaya bisa menjadi absurd di tangan kekuatan politik.
Di balik dentuman yang menggelegar itu, dunia pun menyadari bahwa persatuan budaya yang dipaksakan justru menyisakan banyak pertanyaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar