Sejak teknologi Schrödinger yang revolusioner itu diluncurkan, dunia mengalami perubahan yang tak terduga. Alat tersebut, yang seukuran ponsel, memungkinkan pengguna untuk “memilih” atau “melihat” cabang realitas alternatif di mana keputusan mereka berbeda—sebuah gagasan tentang “melihat kemungkinan lain dalam hidup.” Teknologi ini dijuluki "Realizer" dan segera menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
1. Di Ruang Kantor - Jakarta, Indonesia
Pada sebuah perusahaan, Dwi dan Raka, rekan kerja yang sama-sama penasaran dengan Realizer, berdiskusi sambil menatap layar alat tersebut.
“Kamu tahu, Dwi, aku sudah pakai alat ini selama satu bulan. Lihat ini! Kalau saja waktu itu aku mengambil pekerjaan di luar negeri, ternyata aku hidup jauh lebih kaya,” kata Raka sambil menunjukkan tampilan alternatif dari kehidupannya.
Dwi menatap layar itu dengan takjub. “Luar biasa, Rak! Tapi, apa kau tidak merasa aneh? Kadang aku berpikir, sepertinya aku terlalu bergantung pada Realizer untuk melihat ‘kehidupan lain’ yang mungkin aku miliki.”
Raka tertawa. “Aneh? Justru ini cara untuk tahu kita hidup di dunia yang benar. Dengan alat ini, kita bisa memastikan pilihan-pilihan kita itu tepat.”
Namun, yang tidak disadari Raka, setiap kali ia mengintip realitas alternatif, ia membawa pengaruh dari realitas lain ke dalam kehidupannya yang sekarang, menciptakan efek kupu-kupu yang perlahan mengguncang keberadaannya.
2. Dampak pada Keluarga dan Hubungan
Beberapa bulan setelah Realizer dirilis, hubungan dalam keluarga-keluarga pun mulai merenggang. Banyak orang yang menggunakan Realizer untuk melihat kemungkinan dalam pernikahan atau hubungan mereka.
Suatu malam, seorang pria bernama Ardi berbicara dengan istrinya, Sari, yang tampak resah.
“Sari, lihat ini. Kalau waktu itu aku tidak menikah denganmu, hidupku ternyata lebih bebas, tanpa beban!” kata Ardi sambil tertawa kecil, menunjukkan layar Realizer kepada Sari.
Sari menatapnya dengan marah. “Jadi, maksudmu kau menyesal menikah denganku?”
Ardi terkesiap, menyadari kekhilafannya. “Tidak, bukan begitu maksudku... aku hanya penasaran.”
Namun, keretakan sudah mulai terbentuk. Banyak keluarga mengalami konflik seperti ini, ketika melihat “kemungkinan lain” malah menimbulkan rasa penyesalan atau ketidakpuasan dalam kehidupan nyata.
3. Ketidakpastian dalam Dunia Pekerjaan
Banyak perusahaan mulai mengalami krisis kepercayaan karena para karyawan sibuk mencari “versi diri” yang lebih sukses atau kaya. Beberapa bahkan berhenti dari pekerjaan mereka karena merasa lebih baik di realitas lain. Di sebuah perusahaan teknologi, seorang manajer bernama Lina mengeluhkan dampak alat ini pada timnya.
“Bambang, kau serius mau berhenti? Kau salah satu programmer terbaik kami,” kata Lina sambil menahan frustrasi.
Bambang tersenyum tipis. “Maaf, Bu. Tapi setelah melihat kemungkinan di mana aku bekerja sendiri, menjadi seorang freelancer sukses, aku merasa itulah yang seharusnya aku lakukan.”
Keputusan seperti ini menimbulkan efek domino. Banyak perusahaan mengalami kesulitan mempertahankan karyawan, sementara banyak orang justru kehilangan stabilitas hidup karena keputusan yang didorong oleh versi diri yang mungkin tak sepenuhnya sesuai.
4. Realitas yang Mulai Kabur
Sementara itu, dampak dari Realizer semakin terasa di dunia nyata. Banyak orang melaporkan merasa bingung antara mana yang nyata dan mana yang hanya “pilihan alternatif” dalam Realizer. Dodot, yang pernah selamat dari kecelakaan dan kini menjadi penggiat teknologi Realizer, merasa seperti berada di dua dunia sekaligus.
“Kamu tidak merasa aneh, Dodot? Sepertinya kita sudah terlalu banyak melihat versi hidup yang seharusnya bukan untuk kita,” kata Toni, rekannya.
“Aku juga mulai merasakan hal yang sama. Kadang, aku merasa diriku yang lain... yang seharusnya mati dalam kecelakaan itu, malah hidup di sini. Semua ini... kacau,” ujar Dodot, menatap layar Realizer yang terus menunjukkan pilihan-pilihan.
Teknologi ini menciptakan efek yang sangat mirip dengan "efek kupu-kupu" dalam teori chaos—sebuah perubahan kecil yang membawa pengaruh besar di masa depan. Banyak orang merasa kehadiran mereka di realitas yang salah, atau mulai terasing dari dunia yang mereka kenal.
5. Kehilangan Jati Diri
Lama-kelamaan, orang-orang yang terlalu sering menggunakan Realizer mulai merasa kehilangan identitas. Mereka menjadi terlalu banyak terpapar dengan versi alternatif dari diri mereka. Mungkin mereka adalah seorang dokter di dunia ini, tetapi di versi lain, mereka seorang seniman atau seorang pengusaha. Konflik identitas ini perlahan menggerogoti mental mereka.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Rio, yang baru saja berhenti dari pekerjaannya sebagai akuntan karena melihat dirinya menjadi musisi di realitas lain, berbicara dengan seorang terapis.
“Dokter, saya merasa kosong… Seperti aku ini bukan diriku sendiri,” kata Rio.
Terapis mengangguk. “Ini disebut ‘dissociative identity confusion’. Kau terlalu sering melihat dirimu yang lain, hingga tidak lagi mengenali siapa dirimu yang sebenarnya.”
Rio tertunduk lesu. Ia menyadari bahwa Realizer telah mempengaruhinya begitu dalam, mencabut fondasi jati dirinya.
6. Perpecahan dan Destabilitas Sosial
Dengan semakin banyaknya orang yang merasa terhubung ke realitas lain, tatanan sosial pun mulai goyah. Konflik, ketidakpuasan, bahkan pemberontakan kecil muncul di berbagai belahan dunia. Orang-orang mulai bertanya, “Jika aku bisa menjadi kaya atau sukses di realitas lain, mengapa aku harus menderita di sini?”
Di sebuah ruang sidang pemerintah, para ahli berdiskusi tentang dampak jangka panjang Realizer ini.
“Kita harus membatasi penggunaan Realizer,” ujar seorang senator. “Ini sudah mengacaukan masyarakat kita. Orang-orang kehilangan jati diri dan kewarasan karena alat ini.”
Namun seorang ahli teknologi membalas. “Membatasinya tidak akan menyelesaikan masalah. Dunia sudah terlalu tergantung. Kita harus menemukan cara lain untuk mengelola dampaknya.”
Kekacauan semakin meluas, dan pemerintah di seluruh dunia mulai khawatir Realizer akan memicu anarki global. Efek kupu-kupu dari alat ini semakin terasa—mulai dari perpecahan kecil dalam keluarga hingga gejolak sosial di tingkat yang lebih besar.
7. Masa Depan yang Kacau
Pada akhirnya, Realizer tidak hanya mengubah individu tetapi juga seluruh peradaban. Dunia kini terpecah antara mereka yang “percaya pada realitas asli” dan mereka yang merasa “terjebak di realitas yang salah.” Sekelompok orang bahkan mulai menyebut diri mereka “Penjelajah Realitas,” mengklaim bahwa hidup di satu realitas saja adalah penjara bagi jiwa manusia.
Di sebuah pusat konferensi, Dodot yang kini menjadi aktivis Realizer mengakhiri pidatonya dengan nada getir.
“Kita menginginkan pilihan, tetapi kita justru terjebak dalam kebebasan tanpa batas. Realitas, bagi kita, telah menjadi persimpangan yang tak ada ujungnya. Pertanyaannya adalah, beranikah kita berhenti dan menerima hidup yang kita miliki sekarang?”
Para penonton terdiam, menyadari bahwa mereka kini hidup dalam dunia yang tak lagi pasti, berantakan oleh efek kupu-kupu yang tak bisa dihentikan.
Epilog
Teknologi yang dimulai dengan janji untuk “melihat kemungkinan lain” akhirnya menjadi alat yang mengaburkan batas antara hidup yang nyata dan ilusi. Realizer, yang awalnya dirancang untuk membuka mata manusia terhadap pilihan hidup, malah menciptakan dunia yang penuh ketidakpastian, di mana setiap orang menjadi buronan dari dirinya sendiri, terjebak dalam labirin yang tanpa akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar